Operasi Trikora
Usaha Pembebasan Irian Barat | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Indonesia | Belanda | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
Soekarno Soeharto | |||||||
Kekuatan | |||||||
Tidak diketahui | Tidak diketahui | ||||||
Korban | |||||||
Tidak diketahui | Tidak diketahui |
Usaha Pembebasan Irian Barat merupakan masa dua tahun dimana Indonesia berusaha merebut Irian Barat dari tangan Belanda dan sekutu, dimana Indonesia didukung oleh anggota-anggota KAA.
Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Indonesia, Soekarno mengumumkan Trikora di alun-alun Utara Yogyakarta. Soekarno juga membentuk Komando Mandala, dimana Mayjen Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Mandala, dan tugas komando mandala adalah untuk merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk merebut kembali Irian Barat.
Latar Belakang
1 tahun setelah Konferensi Meja Bundar, Indonesia mempertanyakan status Irian Barat kepada Belanda dan mengajak Belanda untuk merundingkan tentang status Irian Barat. Namun, Belanda justru malah memasukan Irian Barat ke dalam wilayahnya. Karena hal itu, Indonesia langsung membatalkan Konferensi Meja Bundar dan membubarkan Uni Indonesia-Belanda. Lalu, Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota di Soasiu yang berada di Pulau Halmahera, dengan gubernur pertamanya, Zainal Abidin Syah.
Indonesia juga mencoba untuk memasukan permasalahan Irian Barat]] dalam Sidang Umum PBB. Namun, Belanda tetap mempertahankan Irian Barat. Namun, dukungan internasional semakin kuat. Bahkan pada saat Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955, Indonesia mendapat dukungan dari negara peserta Konferensi Asia Afrika. Indonesia juga mengelar rapat umum yang membahas masalah status Irian Barat, yang akhirnya menyebabkan meningkatnya sikap anti-Belanda di Indonesia.
Namun, semua usaha Indonesia gagal, sehingga akhirnya Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan belanda pada tanggal 17 Agustus 1960. Akhirnya, Indonesia memilih jalur konfrontasi untuk membebaskan kembali Irian Barat.
Usaha Pembebasan Irian Barat
Hubungan Indonesia dan Belanda semakin memanas, Indonesia pun mulai memilih jalur konfrontasi dibanding jalur diplomasi yang tidak ada hasilnya. Karena itu, Indonesia mulai mencari bantuan senjata dari luar negeri. Indonesia mencoba meminta bantuan dari Amerika Serikat, namun gagal. Akhirnya, pada bulan Desember 1960, Jendral A.H. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keamanan Negara, pergi ke Moskwa, Uni Soviet, dan akhirnya berhasil mengadakan perjanjian jual beli senjata dengan pemerintah Uni Soviet senilai USD 2,5 miliar dengan persyaratan pembayaran jangka panjang. Akibat dari hal ini, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang memiliki angkatan udara terkuat di belahan bumi selatan. [1]
Indonesia membeli pesawat udara baru, antara lain 41 Helikopter MI-4 (angkutan ringan), 9 Helikopter MI-6 (angkutan berat), 30 pesawat latih Jet MIG-15 UTI, 49 pesawat baru sergap MIG-17, 10 pesawat buru sergap MIG-19 dan 2 pesawat buru sergap supersonic MIG-21. Dari jenis pesawat pengebom, terdapat sejumlah 22 pesawat pembom ringan IL-28, 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16B, dan 12 pesawat TL-16 KS yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali (rudal) Air to Surface jenis AS-1 Kennel. Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis AN12B Antonov buatan Uni Soviet dan 10 pesawat angkut berat jenis C-130B Hercules buatan Amerika serikat.
Selain itu, Indonesia juga mendekati negara lain seperti India, Pakistan, Australia, Selandia Baru, Thailand, Inggris, Jerman, dan Perancis agar negara tersebut tidak memberi dukungan kepada Belanda jika pecah perang antara Indonesia dan Belanda.
Melihat keadaan ini, negara lain di dunia mendesak PBB agar permasalahan status Irian Barat diperdebatkan kembali, dan akhirnya, dalam Sidang Umum PBB tahun 1961, Sekjen PBB U Thant meminta Ellsworth Bunker (diplomat dari Amerika Serikat untuk mengajukan usul tentang penyelesaian masalah status Irian Barat. Bunker mengusulkan agar Belanda menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia melalui PBB dalam jangka waktu dua tahun.
Indonesia menerima saran tersebut dengan catatan agar waktu pengembalian diperpendek. Namun, Belanda justru malah menyatakan akan melepaskan Irian Barat melalui perwalian PBB untuk membentuk negara Papua. Akhirnya, Belanda mendirikan Dewan Papua yang bertugas mempersiapkan pembentukan Negara Papua.
Akibat dari hal ini, akhirnya Presiden Indonesia, Soekarno, pada tanggal 19 Desember 1961 di alun-alun utara Yogyakarta mengeluarkan Trikora, dimana trikora itu berisi:
1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda.
2. Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh Irian Barat
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum, mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air bangsa.
Soekarno juga membentuk Komando Mandala, dimana Mayjen Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Mandala, dan tugas komando mandala adalah untuk merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk merebut kembali Irian Barat.
Dengan Indonesia membeli senjata dari Uni Soviet, keluarnya Trikora, dan pembentukan Komando Mandala, MBelanda mengirimkan kapal induk Karel Doerman ke Irian Barat. Sehingga, pecahlah pertempuran laut Aru pada tanggal 15 Januari 1962.
Pertempuran Laut Aru
Pertempuran Laut Aru pecah pada tanggal 15 Januari 1962, ketika 3 buah kapal cepat torpedo yakni KRI Macan Tutul, KRI Macan Kumbang dan KRI Harimau sedang berpatroli pada posisi 04-49° S dan 135-02 T dengan Haluan 239, tiba tiba telah dikepung oleh dua kapal jenis kapal perusak, pesawat jenis Neptune dan fregat milik Belanda yang serta merta menghujani dengan peluru dan bom. Komodor Yos Sudarso yang saat itu berada di RI Macan Tutul mengambil alih komando dan memerintahkan tembakan balasan dan manuver sedemikian rupa sehingga musuh terpusat menyerang KRI Macan Tutul.
Manuver itu berhasil, tetapi mengakibatkan tenggelamnya RI Macan Tutul berserta para awaknya. Sesaat sebelum tengelam, Komodor Yos Sudarso dengan menggunakan radio menyerukan pesan tempurnya "Kobarkan semangat pertempuran". Akhirnya, Komodor Yos Sudarso, Kapten Wiratno, dan awak kapal lainnya meninggal dunia. Peristiwa itu kemudian dikenang sebagai Hari Dharma Samudera.
Operasi Infiltrasi Udara dan Penerjunan Penerbang Indonesia
Pasukan Indonesia dibawah pimpinan Mayjen Soeharto melakukan operasi infiltrasi udara dengan menerjunkan penerbang menembus radar Belanda. Mereka diterjunkan di daerah pedalaman Irian Barat. Penerjunan tersebut menggunakan pesawat angkut Indonesia, namun, operasi ini hanya mengandalkan faktor pendadakan, sehingga operasi ini dilakukan pada malam hari.
Penerjunan itu pada awalnya dilaksanakan dengan menggunakan pesawat angkut ringan C-47 Dakota yang kapasitas 18 penerjun, namun karena keterbatasan kemampuannya, penerjunan itu dapat dicegat oleh pesawat pemburu Neptune Belanda.
Salah satu dari penerjun itu, ada perempuan yang bernama Herlina Effendi yang kemudian mendapat pending emas dari pemerintah Indonesia.
Akhir dari Konflik
Amerika Serikat khawatir atas konflik antara Indonesia dan Belanda karena mungkin komunis akan mengambil keuntungan dalam konflik ini, sehingga Amerika Serikat mendesak Belanda untuk berunding dengan Indonesia. Selain itu, Angkatan Laut Republik Indonesia mampu mengorganisasikan Operasi Jayawijaya yang merupakan operasi amfibi terbesar dalam sejarah operasi militer Indonesia. Tidak kurang dari 100 kapal perang dan 16.000 prajurit disiapkan dalam operasi tersebut. Gelar kekuatan tersebut memaksa Belanda kembali ke meja perundingan dan dicapai kesepakatan untuk menyerahkan Irian Barat ke pangkuan RI. Pada tanggal 15 Agustus 1962, perundingan antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan di Markas Besar PBB di New York.
Persetujuan New York
Pada tanggal 15 Agustus 1962, perundingan antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan di Markas Besar PBB di New York. Pada perundingan itu, Indonesia diwakili oleh Dr. Subandrio, dan Belanda diwakili oleh Van Roijen dan Schurmann. Isi dari Persetujuan New York adalah:
1. Penghentian Permusuhan
2. Setelah persetujuan disyahkan, paling lambat 1 Oktober 1962, UNTEA tiba di Irian Barat untuk melakukan serah terima pemerintah Belanda. Sejak saat itu, bendera Belanda diturunkan dan diganti dengan bendera PBB.
3. UNTEA akan memakai tenaga-tenaga Indonesia baik sipil maupun militer. Tenaga militer digunakan sebagai penjaga keamanan bersama putra Irian Barat sendiri. UNTEA juga akan memakai sisa-sisa pegawai Belanda yang diperlukan.
4. Pasukan Indonesia tetap tinggal di Irian Barat yang berstatus di bawah UNTEA.
5. Angkatan Perang Belanda dan pegawai sipilnya berangsur-angsur dipulangkan dan harus selesai paling lambat 11 Mei 1963.
6. Bendera Indonesia mulai berkibar 31 Desember 1962 di samping bendera PBB. Pemerintah Republik Indonesia menerima pemerintahan di Irian Barat dari UNTEA pada tanggal 1 Mei 1963.
7. Pada tahun 1969, diadakan Penentuan Pendapat Rakyat/PEPERTA.
8. Antara Irian Barat dan daerah Indonesia lainnya berlaku lalu lintas bebas.
Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA)
Pada tahun 1969, diselenggarakan PEPERA yang disaksikan utusan sekjen PBB. PEPERA melalui 3 tahap yaitu konsultasi, dimana dimulai pada tanggal 24 Maret 1969, berupa konsultasi dengan dewan kabupaten tentang tata cara PEPERA, lalu tahap kedua yaitu Pemilihan Anggota Dewan Musyawarah, dimana berakhir pada bukan Juni 1969, dan tahap ketiga merupakan pelaksanaan PEPERA, dimana dilakukan di setiap kabupaten sejak 14 Juli 1969 sampai [[4 Agustus] 1969, dimana hasilnya merupakan masyarakat Irian setuju untuk bergabung dengan Indonesia. Irian Barat menjadi provinsi ke-26 Indonesia, dengan nama Provinsi Irian Jaya.
Catatan Kaki
Daftar Pustaka
- Suhadi, Machdi, utarjo Adisusilo, dan A. Kardiyat Wiharyanto. 2006. Ilmu Pengetahuan Susial SEJARAH untuk SMP dan MTs Kelas IX. Penerbit: Esis.
- Sudarmanto, Y.B. 1999. Jejak Pahlawan Indonesia. Penerbit: Grasindo.