Lompat ke isi

Atapers

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 9 Maret 2015 12.26 oleh RaFaDa20631 (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi '{{italictitle}} thumb|Kereta api dengan ''atapers'' di gerbongnya. [[Berkas:KRL train surfing 5.jpg|thumb|KRL dengan ''atapers''.]...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Kereta api dengan atapers di gerbongnya.
KRL dengan atapers.

Atapers (bentuk tunggalnya: atapper) adalah penumpang atau kelompok penumpang yang naik kereta api atau kereta rel listrik namun berada di atap gerbongnya. Istilah ini merupakan istilah populer yang muncul pada dekade 1990-an hingga 2000-an ketika KA Commuter Jabodetabek masih berstatus sebagai KRL Ekonomi yang dikelola oleh Divisi Angkutan Perkotaan Jabodetabek.

Kata atapers berasal dari bahasa Indonesia atap dan diberi sufiks -er (dalam bahasa Inggris berarti 'pelaku suatu usaha'). Atapers merupakan bentuk "train surfing" (berselancar di kereta api) yang populer di Indonesia.

Umumnya KRL yang diasosiasikan terhadap para atapers adalah KRL Rheostatik, dikarenakan bentuk atapnya yang melengkung dan tidak dipasangi AC, sehingga mengakibatkan penumpang leluasa untuk naik di atapnya.[1]

Alasan

Alasan yang mendasar dari munculnya atapers adalah:

  • ingin naik kereta api tanpa tiket alias gratis;
  • ingin merasakan kegembiraan akan pemandangan di luar KRL;
  • gerbong penuh sesak oleh penumpang atau mengalami kelebihan muatan;
  • gerbong panas karena belum ada AC; atau
  • armada yang dimiliki oleh operator tidak seimbang dengan jumlah penumpang harian.

Bahaya

Rupanya, praktik ini menuai kecaman. Ada berbagai macam bahaya yang akan menghantui, antara lain atapers akan terjerembap keluar dari kereta dan jatuh tersungkur apabila berada di pinggir atap kereta yang miring. Selain itu, peluang untuk tersetrum oleh kabel listrik aliran atas (LAA) dapat terjadi karena interaksi antara pantograf dengan LAA.

Salah satu insiden terakhir yang disebabkan oleh atapers antara lain, pada 8 April 2013, terjadi pelemparan kaca Stasiun Citayam, Stasiun Depok, dan Stasiun Universitas Indonesia akibat dari amukan para atapers, meskipun sudah ditertibkan.[2]

Tindakan

PT Kereta Api Indonesia telah melaksanakan langkah preventif guna mencegah kejadian yang tidak diinginkan dari atapers selama dekade 2000-an hingga 2010-an. Di antaranya, penambahan anjing pelacak, ceramah ustaz, dan pemasangan alat penyemprot cat ketika kereta lewat di dekatnya. Selain itu juga dengan memasang bola pejal dari beton seberat 3 kg dan alat sapu-sapu atap yang berbentuk seperti sapu lidi. Namun usaha itu sia-sia; banyak dari atapers melempari "senjata" yang disiapkan KAI itu dengan batu, yang mengakibatkan alat tersebut tidak berfungsi.[3]

Ketika KAI membentuk KCJ, anak perusahaannya yang ditugasi untuk mengoperasikan KRL, telah terjadi perubahan yang signifikan. Pemberlakuan tiket elektronik dan penambahan armada baru dari KRL bekas Jepang telah "menyulap" sistem perkeretaapian Jabodetabek yang semrawut menjadi nyaman dipandang.[4]

Referensi