Lompat ke isi

'Urf

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Versi yang bisa dicetak tidak lagi didukung dan mungkin memiliki kesalahan tampilan. Tolong perbarui markah penjelajah Anda dan gunakan fungsi cetak penjelajah yang baku.

Urf atau ‘Urf (bahasa Arab: العرف) merupakan istilah Islam yang dimaknai sebagai adat kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. ‘Urf terbagi menjadi Ucapan atau Perbuatan dilihat dari segi objeknya, menjadi Umum atau look https cream book moon been dariKhusus dari segi cakupannya, menjadi Sah atau Rusak dari segi keabsahan menurut syariat. Para ulama ushul fiqih bersepakat bahwa Adat (‘urf) yang sah ialah yang tidak bertentangan dengan syari'at.

Pengertian ‘Urf

Kata ‘Urf secara etimologi (bahasa) berasal dari kata ‘arafa, ya‘rifu sering diartikan dengan al-ma‘ruf (اَلْمَعْرُوفُ) dengan arti sesuatu yang dikenal. Pengertian dikenal lebih dekat kepada pengertian diakui oleh orang lain. Sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh akal sehat. Kata ‘urf sering disamakan dengan kata adat, kata adat berasal dari bahasa Arab عَادَةٌ ; akar katanya: ‘ada, ya‘udu (عَادَ-يَعُوْدُ) mengandung arti perulangan. Oleh karena itu sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat. Kata ‘urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak.

Sedangkan Kata ‘Urf secara terminologi, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidah berarti: Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.[1]

Landasan hukum ‘Urf

‘Urf tergolong salah satu sumber hukum dari ushul fiqih yang diambil dari intisari Al-Qur’an.

"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (Al-‘Urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh."

— QS. Al-A’raf: 199

Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, yang manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Kata al-ma‘ruf artinya sesuatu yang diakui baik oleh hati. Ayat di atas tidak diragukan lagi bahwa seruan ini didasarkan pada pertimbangan kebiasaan yang baik pada umat, dan hal yang menurut kesepakatan mereka berguna bagi kemaslahatan mereka. Kata al-ma‘ruf ialah kata umum yang mencakup setiap hal yang diakui. Oleh karena itu kata al-ma‘ruf hanya disebutkan untuk hal yang sudah merupakan perjanjian umum sesama manusia, baik dalam soal mu‘amalah maupun adat istiadat.

Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar Ushul Fiqih di Universitas Al-Azhar Mesir dalam karyanya fi al-ijtihad ma la nassa fih, bahwa mazhab yang dikenal banyak menggunakan ‘Urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan malikiyyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah. Menurutnya, pada prinspnya mazhab-mazhab besar fiqih tersebut sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hukum, meskipun dalam jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab tersebut, sehingga ‘Urf dimasukkan kedalam kelompok dalil-dalil yang diperselisihkan dikalangan ulama.[1]

Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi itu selam tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyrakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung (al-mudarabah). Praktik seperti ini telah berkembang di bangsa Arab sebelum Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi beberapa persyaratan.[1]

Macam-macam ‘Urf

Para Ulama Ushul fiqh membagi ‘Urf kepada tiga macam:

Dari segi objeknya

Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada: al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).

a. Al-‘Urf al-Lafzhi. Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan “daging” yang berarti daging sapi; padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “ saya beli daging 1 kg” pedagang itu langsung mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.

b. Al-‘urf al-‘amali. Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah kebiasaan masyrakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakain tertentu dalam acara-acara khusus.

Adapun yang berkaitan dengan mu’amalah perdata adalah kebiasaan masyrakat dalam melakukan akad/transaksi dengan cara tertentu. Misalnya kebiasaan masyrakat dalam berjual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan kerumah pembeli oleh penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar, seperti lemari es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan.[2]

Dari segi cakupannya

Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).

a. Al-‘urf al-‘am adalah kebiasaan tertentu yang bersifat umum dan berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan diseluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang pesawat terbang adalah duapuluh kilogram.

b. Al-‘urf al-khash adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah dan masyarakat tertentu. Misalnya dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu.

Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’

Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua;

a. Al-‘urf al-Shahih (Yang sah). Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka. Dengan kata lain, 'urf yang tidak mengubah ketentuan yang haram menjadi halal atau sebaliknya. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai maskawin.

b. Al-‘urf al-fasid (Yang rusak). Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Kebalikan dari Al-'urf ash-shahih, maka adat dan kebiasaan yang salah adalah yang menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal. Misalnya, kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang di raih peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah memberatakan, karena keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupaiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihkan.[3] dan praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang berlaku pada zaman jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan Riba al-nasi’ah (riba yang muncul dari hutang piutang). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut Ulama Ushul fiqh termasuk dalam kategori al-‘urf al-fasid.[2]

Para Ulama sepakat, bahwa al-urf al-fasid ini tidak dapat menjadi landasan hukum, dan kebiasaan tersebut batal demi hukum.

Permasalahannya

‘Urf yang berlaku di tengah-tengah msyarakat adakalanya bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) dan adakalanya bertentangan dengan dalil syara’ lainnya. Dalam persoalan pertentangan ‘urf dengan nash, para ahli ushul fiqh merincinya sebagai berikut:

Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus

Apabila pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus menyebabkan tidak berfungsinya hukum yang dikandung nash, maka ‘urf tidak dapat diterima. Misalnya, kebiasaan pada zaman jahiliyyah dalam megadopsi anak, dimana anak yang di adopsi itu statusnya sama dengan anak kandung, sehingga mereka mendapat warisan apabila ayah angkatnya wafat. ‘urf seperti ini tidak berlaku dan tidak dapat diterima.

Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat umum

Menurut Musthafa ahmad Al-Zarqa’, apabila ‘urf telah ada ketika datangnya nash yang bersifat umum, maka harus dibedakan antara ‘urf al-lafzhi dengan ‘urf al-‘amali, apabila ‘urf tersebut adalah ‘urf al-lafzhi, maka ‘urf tersebut bisa diterima. Sehingga nash yang umum itu dikhususkan sebatas ‘urf al-lafzhi yang telah berlaku tersebut, dengan syarat tidak ada indikator yang menunjukkan nash umum itu tidak dapat di khususkan oleh ‘urf. Misalnya: kata-kata shalat, puasa, haji, dan jual beli, diartikan dengan makna ‘urf, kecuali ada indikator yang menunjukkan bahwa kata-kata itu dimaksudkan sesuai dengan arti etimologisnya.

‘urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan ‘urf tersebut. Apabila suatu ‘urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama fiqih sepakat menyatakan ‘urf seperti ini, baik yang bersifat lafzhi (ucapan) maupun yang bersifat ‘amali (praktik), sekalipun ‘urf tersebut bersifat umum, tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syara’, karena keberadaan ‘urf ini muncul ketika nash syara’ telah menentukan hukum secara umum.[2]

Kedudukan ‘urf

Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf yang sah, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syari'at. Baik yang menyangkut dengan ‘urf umum dan ‘urf khusus, maupun yang berkaitan dengan ‘urf lafazh dan ‘urf amal, dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’.[2]

Rujukan

  1. ^ a b c Prof.Dr. Satria Effendi, M. Zein, MA, Ushul fiqih, Jakarta: kencana, 2005
  2. ^ a b c d Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, Jakarta: logos wacana Ilmu, 1999
  3. ^ HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahamad Ibnu Hanbal

Daftar Pustaka

  • Ushul Fiqh II, Amir Syarifuddin, Jakarta, logos wacana Ilmu, 1999
  • Kaidah-Kaidah Fikih, A. Djazuli, Jakarta, Kencana. Cet. IV, 2011
  • Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Abdul Wahhab Khallaf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. VIII, 2002
  • Ilmu Ushul Fiqh, Abdul Wahab Khallaf, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993
  • Ushul Fiqh jilid 2, Amir Syarifuddin, Jakarta: Kencana. Cet. 6, 2011
  • Lima Kaidah Pokok dalam Fikih Mazdhab Syafi’i, Jalaluddin Abdurrahman, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986
  • Ushul Fiqih, Muhammad Abu Zahrah, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994
  • Ushul Fiqh 1, Nasrun Haroen, Ciputat: Logos Publishing House, 1996
  • Ushul Fiqh, Rahman Dahlan, Jakarta: Amzah, 2010
  • Ushul Fiqh, Satria Effendi, Jakarta: Kencana, 2009
  • Kamus Ilmu Ushul Fikih, Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Jakarta: Amzah, 2005
  • Ushul Fiqh, Dr. Abd. Rahman Dahlan MA., Jakarta: Amzah, 2010

Pranala luar