Lompat ke isi

Jalur Gaza

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Versi yang bisa dicetak tidak lagi didukung dan mungkin memiliki kesalahan tampilan. Tolong perbarui markah penjelajah Anda dan gunakan fungsi cetak penjelajah yang baku.
Jalur Gaza

قطاع غزة
Bendera Jalur Gaza
Bendera Palestina
Status
Ibu kota
[[Daftar kota di {{{common_name}}}|(dan kota terbesar)]]
Kota Gaza
31°30′53″N 34°27′15″E / 31.51472°N 34.45417°E / 31.51472; 34.45417
Bahasa resmiBahasa Arab
Kelompok etnik
Bangsa Arab Palestina
Agama
DemonimOrang Gaza
Orang Palestina
Pemerintahan
• Negara
 Negara Palestina
Luas
 - Total
365 km2
Populasi
 - Perkiraan 2022
2.375.259[4]
6507/km2
Mata uangShekel baru Israel
Pound Mesir[5]
Zona waktuWaktu Standar Palestina
(UTC+2)
 - Musim panas (DST)
UTC+3 (Waktu Musim Panas Palestina)
Kode telepon+970
Kode ISO 3166PS
  1. ^ Negara Palestina diakui oleh 138 anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Tahta Suci.
  2. ^ Meskipun Israel menarik diri dari Jalur Gaza pada tahun 2005, Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi hak asasi manusia internasional dan banyak pakar hukum menganggap Jalur Gaza masih berada di bawah pendudukan militer oleh Israel,[2] karena Israel masih memegang kendali langsung atas ruang udara dan maritim Gaza, enam dari tujuh penyeberangan darat Gaza, zona penyangga larangan bepergian di wilayah tersebut, dan daftar penduduk Palestina. Namun, Israel dan pakar hukum lainnya membantah hal ini.[3]
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini
Kaki langit kota Gaza
Pusat kota Gaza, 2012

Jalur Gaza (bahasa Arab: قطاع غزة Qiṭāʿ Ġazzah, IPA: [qɪˈtˤɑːʕ ˈɣazza]) adalah sebuah kawasan yang terletak di pantai timur Laut Tengah, bagian dari wilayah Negara Palestina, berbatasan dengan Mesir di sebelah barat daya (11 km), dan Israel di sebelah timur dan utara (51 km (32 mi). Jalur Gaza memiliki panjang sekitar 41 kilometer (25 mi) dan lebar antara 6 hingga 12 kilometer (3,7 hingga 7,5 mi), dengan luas total 365 kilometer persegi (141 sq mi).[6] Populasi di Jalur Gaza berjumlah sekitar 1,7 juta jiwa.[7] Mayoritas penduduknya besar dan lahir di Jalur Gaza, selebihnya merupakan pengungsi Palestina[8] yang melarikan diri ke Gaza setelah meletusnya Perang Arab-Israel 1948. Populasi di Jalur Gaza didominasi oleh Muslim Sunni. Tingkat pertumbuhan penduduknya pertahun mencapai angka 3,2%, menjadikannya sebagai wilayah dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi ke-7 di dunia.[7]

Jalur Gaza memperoleh batas-batasnya saat ini pada akhir perang tahun 1948, yang ditetapkan melalui Perjanjian Gencatan Senjata Israel-Mesir pada tanggal 24 Februari 1949.[9] Pasal V dari perjanjian ini menyatakan bahwa garis demarkasi di Jalur Gaza bukanlah merupakan perbatasan internasional. Jalur Gaza selanjutnya diduduki oleh Mesir. Pada awalnya, Jalur Gaza secara resmi dikelola oleh Pemerintahan Seluruh Palestina, yang didirikan oleh Liga Arab pada bulan September 1948. Sejak pembubaran Pemerintahan Seluruh Palestina pada tahun 1959 hingga 1967, Jalur Gaza secara langsung dikelola oleh seorang gubernur militer Mesir.

Israel merebut dan menduduki Jalur Gaza dalam Perang Enam Hari pada tahun 1967. Berdasarkan Persetujuan Damai Oslo yang disahkan pada tahun 1993, Otoritas Palestina ditetapkan sebagai badan administratif yang mengelola pusat kependudukan Palestina. Israel mempertahankan kontrolnya terhadap Jalur Gaza di wilayah udara, wilayah perairan, dan lintas perbatasan darat dengan Mesir. Israel secara sepihak menarik diri dari Jalur Gaza pada tahun 2005.

Jalur Gaza merupakan bagian dari teritori Palestina.[10][11][12][13] Sejak bulan Juli 2007, setelah pemilihan umum legislatif Palestina 2006 dan setelah Pertempuran Gaza, Hamas menjadi penguasa de facto di Jalur Gaza, yang kemudian membentuk Pemerintahan Hamas di Gaza.

Sejarah

Mandat Britania (1923–1948)

Pemakaman Militer Perang Dunia I, Gaza

Mandat Palestina didirikan dengan didasarkan pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pasal 22 dari Perjanjian Liga Bangsa-Bangsa dan Resolusi San Remo pada tanggal 25 April 1920 oleh Sekutu dan kekuatan terkait setelah Perang Dunia I.[14] Mandat ini menetapkan bahwa Britania Raya menguasai wilayah bagian selatan Suriah Utsmaniyah sejak tahun 1923 hingga 1948.

Pemerintahan Seluruh Palestina

Pada tanggal 22 September 1948, menjelang akhir Perang Arab-Israel 1948, Pemerintahan Seluruh Palestina diproklamasikan oleh Liga Arab di Kota Gaza yang diduduki Mesir. Pemerintahan ini didirikan oleh Liga Arab untuk membatasi pengaruh Transyordania di Palestina. Pembentukan Pemerintahan Seluruh Palestina ini diakui oleh enam dari tujuh negara anggota Liga Arab, yaitu: Mesir, Suriah, Lebanon, Irak, Arab Saudi, dan Yaman.p sedangkan negara Liga Arab yang tidak mengakui adalah Transyordania. Di luar Liga Arab, tidak satupun negara yang mengakui pembentukan pemerintahan tersebut.[15]

Perjanjian Gencatan Senjata Israel-Mesir yang disahkan pada tanggal 24 Februari 1949 mengakhiri permusuhan antara kedua belah pihak, sekaligus menetapkan garis perbatasan antara pasukan Mesir dan Israel. Perjanjian ini juga menetapkan perbatasan antara Jalur Gaza dengan Israel yang tetap berlaku hingga saat ini. Kedua belah pihak menyatakan bahwa batas tersebut bukanlah perbatasan internasional, sedangkan perbatasan selatan dengan Mesir tetap menjadi perbatasan internasional yang telah ditetapkan pada tahun 1906 antara Kekaisaran Utsmaniyah dan Imperium Britania.[16]

Populasi di Jalur Gaza terus meningkat seiring dengan masuknya gelombang besar-besaran pengungsi Palestina yang keluar dari israel sebelum dan selama terjadinya peperangan. Warga palestina yang tinggal di Jalur Gaza atau Mesir menerbitkan paspor Seluruh Palestina. Mesir tidak menawarkan untuk memberikan kewarganegaraan kepada pengungsi Palestina. Sejak akhir 1949, para pengungsi ini menerima bantuan langsung dari badan PBB UNRWA. Selama berlangsungnya Kampanye Sinai November 1956, Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai diduduki oleh tentara Israel. Adanya tekanan internasional membuat Israel akhirnya menarik diri dari Jalur Gaza. Pemerintahan Seluruh Palestina dibubarkan oleh Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser pada tahun 1959.

Pendudukan Mesir (1959–1967)

Che Guevara mengunjungi Gaza, 1959

Setelah pembubaran Pemerintahan Seluruh Palestina pada tahun 1959, dengan dalih pan-Arabisme, Mesir terus menduduki Jalur Gaza hingga tahun 1967. Pada kenyataannya, Mesir tidak pernah menganeksasi Jalur Gaza, melainkan memperlakukannya sebagai teritori dan mengelolanya melalui seorang gubernur militer[17]

Pemandangan Gaza, 2003

Peta Gaza

Jalur Gaza, Mei 2005
Universitas Islam Gaza

Israel kembali menguasai Jalur Gaza pada bulan Juni 1967 setelah berakhirnya Perang Enam Hari. Selama periode ini, Israel mendirikan sebuah blok pemukiman bernama Gush Katif di sudut barat daya, di dekat Rafah dan perbatasan Mesir. Secara total Israel menciptakan 21 pemukiman di Jalur Gaza, yang terdiri dari 20% dari luas wilayah.

Pada bulan Maret 1979, Israel dan Mesir menandatangani Perjanjian Damai Israel-Mesir. Perjanjian ini antara lain menyatakan bahwa Israel harus menarik warga sipil dan tentaranya dari Semenanjung Sinai yang telah diduduki oleh Israel selama Perang Enam Hari, ke perbatasan internasional yang ditetapkan pada tahun 1906.[butuh rujukan] Mesir sepakat untuk men-demiliterisasi Semenanjung Sinai. Status akhir dari Jalur Gaza dan hubungan lainnya antara Israel dan Palestina tidak diatur dalam perjanjian ini. Mesir menolak klaim teritorial Israel atas wilayah di sebelah utara perbatasan internasional. Jalur Gaza tetap berada di bawah kendali militer Israel hingga tahun 1994.

Intifada Kedua pecah pada bulan September 2000, ditandai dengan terjadinya berbagai gelombang protes, kerusuhan sipil, dan pengeboman terhadap militer Israel dan warga sipil, kebanyakan dilakukan oleh pembom bunuh diri, peluncuran roket dan bom ke daerah perbatasan Israel oleh gerilyawan Palestina dari Jalur Gaza, terutama oleh gerakan Hamas dan Jihad Islam. Pada bulan Februari 2005, pemerintah Israel memutuskan untuk menerapkan rencana penarikan diri sepihak dari Jalur Gaza. Rencana ini mulai diterapkan pada tanggal 15 Agustus 2005, dan selesai pada tanggal 12 September 2005. Berdasarkan rencana tersebut, semua permukiman dan pangkalan militer Israel di Jalur Gaza (empat di Tepi Barat) dan Zona Industri Bersama Israel-Palestina dibongkar. Pada tanggal 12 September 2005, kabinet Israel secara resmi menyatakan bahwa Israel secara resmi mengakhiri pendudukan militernya di Jalur Gaza. Israel juga menarik diri dari Rute Philadelphia, jalur sempit yang berdekatan dengan jalur perbatasan dengan Mesir. Namun, Israel tetap mempertahankan kontrolnya atas jalur perlintasan masuk dan keluar dari Gaza. Perlintasan Rafah antara Mesir dan Gaza dipantau oleh tentara Israel melalui kamera pengawasan khusus.

Penarikan diri sepihak Israel (2005)

Angkatan Pertahanan Israel meninggalkan Jalur Gaza pada tanggal 1 September 2005 sebagai bagian dari rencana penarikan diri sepihak Israel, dan semua warga negara Israel diusir dari daerah tersebut. Sebuah perjanjian antara Israel dan Otoritas Palestina yang ditengahi oleh Condoleezza Rice disahkan pada bulan November 2005. Perjanjian ini bertujuan untuk meningkatkan kebebasan warga Palestina untuk melakukan kegiatan ekonomi di Jalur Gaza. Berdasarkan ketentuan perjanjian tersebut, perlintasan Rafah dengan Mesir harus dibuka kembali, dan lalu lintasnya dipantau oleh Otoritas Nasional Palestina dan Uni Eropa. Hanya orang-orang dengan ID Palestina, atau warga negara asing dalam kategori tertentu yang tunduk pada pengawasan Israel, yang diizinkan untuk memasuki dan keluar dari Jalur Gaza. Semua barang, kendaraan dan truk yang berasal atau menuju Mesir yang melewati Perlintasan Kerem Shalom, juga berada di bawah pengawasan penuh militer Israel.[18]

Otoritas Palestina

Pagar pembatas Jalur Gaza

Pada bulan Mei 1994, setelah perjanjian Palestina-Israel, atau yang dikenal sebagai Persetujuan Damai Oslo disahkan, transfer pemerintahan dari Israel ke Palestina mulai dilakukan secara bertahap. Sebagian Jalur Gaza (kecuali untuk blok permukiman dan pangkalan militer) berada di bawah kendali Palestina. Tentara Israel meninggalkan Gaza dan daerah perkotaan lainnya. Otoritas Palestina, yang dipimpin oleh Yasser Arafat, memilih Kota Gaza sebagai pusat administrasi. Pada bulan September 1995, Israel dan OPP menandatangani perjanjian damai kedua yang memperluas kewenangan Otoritas Palestina terhadap kota-kota di Tepi Barat. Perjanjian tersebut juga membentuk 88 anggota Dewan Nasional Palestina terpilih, yang menggelar sidang perdananya di Gaza pada bulan Maret 1996.

Antara tahun 1994 dan 1996, Israel membangun pembatas Jalur Gaza Israel untuk meningkatkan keamanan di Israel. Sebagian besar pembatas ini dirobohkan oleh Palestina pada awal Intifada Al-Aqsa bulan September 2000.[19] Pada bulan Desember 2000 hingga Juni 2001, pembatas antara Gaza dan Israel dibangun kembali.[20] Selain itu, Israel juga masih memiliki hak untuk mengontrol perbatasan utara Jalur Gaza, serta wilayah perairan dan udara, sedangkan Mesir mengontrol perbatasan selatan Jalur Gaza.[21]

Pemerintahan

Saat ini, Jalur Gaza berada di bawah pemerintahan Hamas. Sejak 2007 hingga 2014, pemerintahan Hamas dipimpin oleh Ismail Haniyeh, dan kembali dipimpin oleh orang yang sama sejak 2017.[22]

Pembagian administratif

Jalur Gaza terbagi ke dalam 5 kegubernuran: Kegubernuran Gaza Utara, Kegubernuran Gaza, Kegubernuran Deir al-Balah, Kegubernuran Khan Yunis, dan Kegubernuran Rafah.

Daftar kota

Status hukum

PBB, Human Rights Watch, dan organisasi serta LSM internasional lainnya menganggap bahwa Israel masih menduduki Jalur Gaza karena Israel-lah yang menguasai wilayah udara dan perairan Gaza dan tidak memungkinkan dilakukannya pergerakan barang ke dalam atau keluar Gaza lewat udara atau laut (hanya melalui darat).[23][24][25] Namun, lintas perbatasan dengan Mesir tidak dikontrol oleh Israel. Seperti halnya Israel, Mesir juga membatasi lalu lintas barang dan orang yang melintasi perbatasan. Israel menyatakan bahwa Gaza tidak lagi didudukinya, karena Israel tidak memiliki hak kontrol efektif atau kewenangan atas daratan di Jalur Gaza.[26][27] Menteri Luar Negeri Israel Tzipi Livni menyatakan pada tahun 2008: "Israel hengkang dari Gaza. Membongkar permukimannya disana. Tak ada lagi tentara Israel yang tersisa disana setelah penarikan diri dari wilayah itu."[28] Setelah Israel mundur pada tahun 2005, Pemimpin Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, menyatakan bahwa status hukum dari Jalur Gaza tidak mengalami perubahan,[26] dan status Gaza masih tidak jelas setelah Operasi Cast Lead dan invasi Israel di Gaza pada bulan Januari 2009.[29] Pada tahun 2012, pendiri Hamas, Mahmoud Zahar, menyatakan bahwa Gaza tidak lagi diduduki.[30]

Lihat juga

Referensi

  1. ^ "Mideast accord: the overview; Rabin and Arafat sign accord ending Israel's 27-year hold on Jericho and the Gaza Strip" Diarsipkan 9 December 2020 di Wayback Machine.. Chris Hedges, New York Times, 5 May 1994.
  2. ^ Sanger, Andrew (2011). "The Contemporary Law of Blockade and the Gaza Freedom Flotilla". Dalam M.N. Schmitt; Louise Arimatsu; Tim McCormack. Yearbook of International Humanitarian Law - 2010. 13. Springer Science & Business Media. hlm. 429. doi:10.1007/978-90-6704-811-8_14. ISBN 978-90-6704-811-8. Israel claims it no longer occupies the Gaza Strip, maintaining that it is neither a State nor a territory occupied or controlled by Israel, but rather it has 'sui generis' status. Pursuant to the Disengagement Plan, Israel dismantled all military institutions and settlements in Gaza and there is no longer a permanent Israeli military or civilian presence in the territory. However, the Plan also provided that Israel will guard and monitor the external land perimeter of the Gaza Strip, will continue to maintain exclusive authority in Gaza air space, and will continue to exercise security activity in the sea off the coast of the Gaza Strip as well as maintaining an Israeli military presence on the Egyptian-Gaza border, and reserving the right to reenter Gaza at will. Israel continues to control six of Gaza's seven land crossings, its maritime borders and airspace and the movement of goods and persons in and out of the territory. Egypt controls one of Gaza's land crossings. Gaza is also dependent on Israel for water, electricity, telecommunications and other utilities, currency, issuing IDs, and permits to enter and leave the territory. Israel also has sole control of the Palestinian Population Registry through which the Israeli Army regulates who is classified as a Palestinian and who is a Gazan or West Banker. Since 2000 aside from a limited number of exceptions Israel has refused to add people to the Palestinian Population Registry. It is this direct external control over Gaza and indirect control over life within Gaza that has led the United Nations, the UN General Assembly, the UN Fact Finding Mission to Gaza, International human rights organisations, US Government websites, the UK Foreign and Commonwealth Office and a significant number of legal commentators, to reject the argument that Gaza is no longer occupied. 
    * Scobbie, Iain (2012). Elizabeth Wilmshurst, ed. International Law and the Classification of Conflicts. Oxford University Press. hlm. 295. ISBN 978-0-19-965775-9. Even after the accession to power of Hamas, Israel's claim that it no longer occupies Gaza has not been accepted by UN bodies, most States, nor the majority of academic commentators because of its exclusive control of its border with Gaza and crossing points including the effective control it exerted over the Rafah crossing until at least May 2011, its control of Gaza's maritime zones and airspace which constitute what Aronson terms the 'security envelope' around Gaza, as well as its ability to intervene forcibly at will in Gaza. 
    * Gawerc, Michelle (2012). Prefiguring Peace: Israeli-Palestinian Peacebuilding Partnerships. Lexington Books. hlm. 44. ISBN 9780739166109. While Israel withdrew from the immediate territory, it remained in control of all access to and from Gaza through the border crossings, as well as through the coastline and the airspace. In addition, Gaza was dependent upon Israel for water, electricity sewage communication networks and for its trade (Gisha 2007. Dowty 2008). In other words, while Israel maintained that its occupation of Gaza ended with its unilateral disengagement Palestinians – as well as many human rights organizations and international bodies – argued that Gaza was by all intents and purposes still occupied. 
  3. ^ Cuyckens, Hanne (2016). "Is Israel Still an Occupying Power in Gaza?". Netherlands International Law Review. 63 (3): 275–295. doi:10.1007/s40802-016-0070-1alt=Dapat diakses gratis. ISSN 0165-070X. 
  4. ^ "مليونان و375 ألف نسمة عدد سكان قطاع غزة مع نهاية 2022". arabic.news.cn. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 January 2023. Diakses tanggal 5 January 2023. 
  5. ^ Chami, Ralph; Espinoza, Raphael; Montiel, Peter J. (26 January 2021). Macroeconomic Policy in Fragile States. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-885309-1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 April 2023. Diakses tanggal 4 August 2021. 
  6. ^ Arie Arnon, Israeli Policy towards the Occupied Palestinian Territories: The Economic Dimension, 1967-2007. MIDDLE EAST JOURNAL, Volume 61, No. 4, AUTUMN 2007 (p. 575)
  7. ^ a b Gaza Strip Diarsipkan 2014-06-08 di Wayback Machine. Entry at the CIA World Factbook
  8. ^ Cobham and Kanafani, 2004, p. 179.
  9. ^ Egypt Israel Armistice Agreement Diarsipkan 2014-05-25 di Wayback Machine. UN Doc S/1264/Corr.1 23 February 1949
  10. ^ "Palestinian Territories". U.S. Department of State. Diakses tanggal 2009-04-06. 
  11. ^ "Occupied Palestinian Territory". European Commission. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-02-28. Diakses tanggal 2009-04-06. 
  12. ^ "Israel, the occupied territories and the autonomous territories — ICRC maps". ICRC. Diakses tanggal 2009-04-06. 
  13. ^ "Country profile: Israel and Palestinian territories". London: BBC. 15 December 2009. Diakses tanggal 2009-04-06. 
  14. ^ Palestine Royal Commission Report Presented by the Secretary of State for the Colonies to Parliament by Command of His Majesty, July 1937, Cmd. 5479 Diarsipkan 2012-01-27 di Wayback Machine.. His Majesty’s Stationery Office., London, 1937. 404 pages + maps.
  15. ^ All-Palestine Government, by Shlaim, Avi
  16. ^ Gardus, Yehuda; Shmueli, Avshalom, ed. (1978–79). The Land of the Negev (English title). Ministry of Defense Publishing.  (Ibrani), pp. 369–370
  17. ^ "How has the Gaza Strip influenced the Israeli-Palestinian conflict?" Diarsipkan 2012-01-20 di Wayback Machine. entry at ProCon.org citing "An Historical Encyclopedia of the Arab-Israeli Conflict"
  18. ^ Tanya Reinhart, The Road to Nowhere, Verso, London 2006 pp.134-5
  19. ^ Almog, Major General Doron (2004-12-23). "Lessons of the Gaza Security Fence for the West Bank". 4 (edisi ke-12). Jerusalem Centre for Public Affairs. 
  20. ^ Barnard, Anne (2006-10-22). "Life in Gaza Steadily Worsens". The Boston Globe. 
  21. ^ "Gaza crisis: key maps and timeline". BBC News. 2009-01-06. Diakses tanggal 2010-06-01. 
  22. ^ "Background on the Gaza Strip". B'tselem. 14 July 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 January 2016. Diakses tanggal 29 January 2016. 
  23. ^ "Israel/Occupied Palestinian Territories: The conflict in Gaza: A briefing on applicable law, investigations and accountability". Amnesty International. 2009-01-19. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-06-10. Diakses tanggal 2009-06-05. 
  24. ^ "Human Rights Council Special Session on the Occupied Palestinian Territories" July 6, 2006; Human Rights Watch considers Gaza still occupied.
  25. ^ Levs, Josh (2009-01-06). "Is Gaza 'occupied' territory?". CNN. Diakses tanggal 2009-05-30. 
  26. ^ a b Dore Gold, JCPA Legal Acrobatics: The Palestinian Claim that Gaza is Still "Occupied" Even After Israel Withdraws, Jerusalem Centre for Public Affairs, Vol. 5, No. 3, August 26, 2005.
  27. ^ International Law and Gaza: The Assault on Israel's Right to Self-Defense Diarsipkan 2012-03-06 di Wayback Machine., Jerusalem Centre for Public Affairs, Vol. 7, No. 29 28 January 2008.
  28. ^ Israeli MFA Address by Israeli Foreign Minister Livni to the 8th Herzliya Conference, Ministry of Foreign Affairs Israel, January 22, 2008.
  29. ^ Susan Power, Re-engaging the Gaza Debate: the impact of Operation "Cast Lead", (06) 2009 Intellectum, pp. 033-045,Re-engaging the Gaza debate: the impact of Operation "Cast Lead"
  30. ^ [1] Diarsipkan 2012-11-13 di Wayback Machine. "'Against whom could we demonstrate in the Gaza Strip? When Gaza was occupied, that model was applicable,' Zahar said." Retrieved from Ma'an News Agency, January 5, 2012

Bibliografi

  • Cobham, David P.; Kanafani, Noman (2004). The economics of Palestine: economic policy and institutional reform for a viable Palestinian state (edisi ke-Illustrated). Routledge. ISBN 0-415-32761-X, 9780415327619 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 

Pranala luar