Kapitayan
Keakuratan artikel ini diragukan dan artikel ini perlu diperiksa ulang dengan mencantumkan referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. |
Seluruh atau sebagian artikel di bawah ini mungkin merupakan klaim sepihak yang belum bisa dibuktikan atau diverifikasi oleh sumber resmi. Anda dapat membantu Wikipedia dengan menambahkan referensi. Lihat halaman diskusi untuk detil diskusi. |
Artikel ini mungkin mengandung riset asli. |
Netralitas artikel ini dipertanyakan. |
Artikel atau beberapa bagian di dalam artikel ini saling kontradiktif. |
ꦏꦥꦶꦠꦪꦤ꧀ | |
Jenis | Agama asli Nusantara (Suku Jawa) |
---|---|
Teologi | Monoteisme |
Badan pemerintahan | Majelis Nasional Agama Jawa |
Wilayah | Jawa Tengah & Jawa Timur |
Bahasa |
|
Kantor pusat | Jawa Tengah |
Pengakuan | Diakui sejak 2017, sebagai Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.[1] |
Umat | Suku Jawa |
Bagian dari seri |
Agama di Jawa |
---|
Artikel ini adalah bagian dari seri |
Agama asli Nusantara |
---|
Sumatra |
Ugamo Malim • Pemena • Arat Sabulungan • Fanömba adu • Melayu |
Jawa |
Sunda Wiwitan (Madraisme & Buhun) • Kapitayan • Kejawen • Hindu Jawa • Saminisme |
Nusa Tenggara |
Hindu Bali • Halaika • Wetu Telu • Marapu • Jingi Tiu • Koda Kirin • Makamba Makimbi |
Kalimantan |
Kaharingan • Momolianisme • Bungan |
Sulawesi |
Aluk Todolo • Tolotang • Tonaas Walian • Adat Musi • Masade • Hindu Sulawesi |
Maluku dan Papua |
Naurus • Wor • Asmat |
Organisasi |
Portal «Agama» |
Kapitayan (dari bahasa Jawa: ꦏꦥꦶꦠꦪꦤ꧀) adalah salah satu agama kuno di pulau Jawa, khususnya bagi Suku Jawa. Kapitayan merupakan salah satu bentuk monoteisme asli Jawa yang dianut dan dijalankan oleh sebagaian masyarakat Jawa secara turun-temurun.[2] Agama ini juga kerap mengidentifikasikannya sebagai "agama kuno Jawa", "agama monoteis Jawa", "agama monoteis leluhur", "agama asli Jawa", yang mana berbeda dari Kejawen (agama Jawanik lainnya yang bersifat non-monoteistik).
Etimologi dan terminologi
Secara etimologi, kata "Kapitayan" merupakan istilah yang berasal dari bahasa Jawa Kuno, yang memiliki kata dasar "Taya" (Caraka Kuno: ) yang berarti "tak terbayangkan", "tak terlihat" atau "mutlak" secara harfiah,[3] dalam bahasa Sunda juga terdapat kata taya (singkatan dari teu aya) yang memiliki arti "tidak ada" atau "tiada",[4] dengan demikian itu berarti bahwa Taya tidak dapat dipikirkan atau dibayangkan, atau tidak dapat digapai oleh panca indra duniawi manusia.[5]
Kapitayan dapat digambarkan sebagai ajaran yang memuja atau menyembah Taya (ꦠꦪ) atau Sang Hyang Taya (ꦱꦁꦲꦾꦁꦠꦪ) yang merujuk kepada entitas yang tak terbayangkan dan tak terlihat, yang terkadang juga disebut sebagai Suwung (ꦱꦸꦮꦸꦁ), Awang (ꦲꦮꦁ), or Uwung (ꦲꦸꦮꦸꦁ).
Kata Awang-uwung (ꦲꦮꦁꦲꦸꦮꦸꦁ) mengacu pada keberadaan nyata tetapi tidak terjangkau, sehingga dapat diketahui dan disembah oleh makhluk duniawi termasuk manusia, dan Sang Hyang Taya digambarkan sebagai entitas bersifat ketuhanan dan supranatural yang berkategori Tu (ꦠꦸ) ataupun To (ꦠꦺꦴ).[5]
Prinsip keagamaan
Tuhan
Tuhan dalam agama kapitayan disebut Sang Hyang Taya. Taya berarti "suwung" (kosong). Tuhan Kapitayan bersifat abstrak, tidak bisa digambarkan. Sang Hyang Taya diartikan sebagai "tan keno kinaya ngapa", tidak dapat dilihat, dipikirkan, atau dibayangkan, alias tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Untuk itu, supaya bisa disembah Sanghyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut Tu atau To, yang bermakna "daya gaib" yang bersifat adikodrati. Tu atau To adalah tunggal dalam Dzat. Satu Pribadi. Tu lazim disebut dengan nama Sanghyang Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yaitu Kebaikan dan Kejahatan. Tu yang bersifat Kebaikan disebut Tu-han disebut dengan nama Sanghyang Wenang. Tu yang bersifat Kejahatan disebut dengan nama Sang Manikmaya. Demikianlah, Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya pada hakikatnya adalah sifat saja dari Sanghyang Tunggal. Karena itu baik Sanghyang Tunggal, Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya bersifat gaib tidak dapat didekati dengan pancaindera dan akal pikiran. Hanya diketahui sifat-Nya saja.[6]
Kekuatan Sang Hyang Taya yang kemudian mewakili di berbagai tempat, seperti di batu, monumen, pohon, dan di banyak tempat lain.[7] Oleh karena itu, mereka memberikan persembahan atas tempat itu, bukan karena mereka menyembah batu, pohon, monumen, atau apa pun, tetapi mereka melakukannya sebagai pengabdian mereka kepada Sang Hyang Taya yang kekuatannya diwakili di semua tempat itu.[8] Agama kapitayan tidak mengenal dewa-dewa seperti dalam agama Hindu.[9]
Teologi
Kapitayan ini lebih menyerupai ketauhidan daripada animisme-dinamisme. Penyebutan sebagai animisme-dinamisme sendiri muncul oleh karena, secara tampilan fisik, ritual yang dilakukan oleh para penganutnya tampak sebagai penyembahan terhadap benda-benda. Secara sederhana, penyembahan benda-benda itu dipahami sebagai pemujaan terhadap kekuatan benda itu sendiri (animisme-dinamisme). Sebenarnya, pada awalnya ajaran Kapitayan justru tidak menyembah benda itu sebagai kekuatan mutlak, tetapi lebih pada penyembahan Sang Hyang, kekuatan tertinggi. Benda-benda yang terdapat dalam ritual keagamaan, seperti pohon, batu, dan mata air adalah beberapa perwujudan saja dari kekuatan yang maha tinggi Sang Hyang tersebut.
Oleh karena Sanghyang Tunggal dengan dua sifat itu bersifat gaib, maka untuk memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati pancaindera dan alam pikiran manusia. Itu sebabnya, di dalam ajaran Kapitayan dikenal keyakinan yang menyatakan bahwa kekuatan gaib dari Pribadi Tunggal Sanghyang Taya yang disebut Tu atau To itu ‘tersembunyi’ di dalam segala sesuatu yang memiliki nama Tu atau To. Para pengikut ajaran Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib pada wa-tu, tu-gu, tu-tuk, tu-nda, tu-lang, tu-nggul, tu-ak, tu-k, tu-ban, tu-mbak, tunggak, tu-lup,tu-ngkub, tu-rumbukan, un-tu, pin-tu, tu-tud, to-peng, to-san, to-pong, to-parem, to-wok, to-ya. Sisa-sisa sarana pemujaan inilah yang dalam arkeologi dikenal sebagai Menhir, Dolmen, Punden Berundak, Nekara, Sarkofagus, dan lain lain. Dalam melakukan bhakti memuja Sanghyang Taya melalui sarana-sarana inilah, orang menyediakan sesaji berupa tumpeng, tu-mbal, tu-mbu, tu-kung, tu-d kepada Sanghyang Taya melalui sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib.[6]
Seorang hamba pemuja Sanghyang Taya yang dianggap saleh akan dikaruniai kekuatan gaib yang bersifat positif (tu-ah) dan yang bersifat negatif (tu-lah). Mereka yang sudah dikaruniai tu-ah dan tu-lah itulah yang dianggap berhak untuk menjadi pemimpin masyarakat. Mereka itulah yang disebut ra-tu atau dha-tu. Mereka yang sudah dikaruniai tu-ah dan tu-lah, gerak-gerik Kehidupannya akan ditandai oleh PI, yakni kekuatan rahasia Ilahi Sanghyang Taya yang tersembunyi. Itu sebabnya, ra-tu atau dha-tu, menyebut diri dengan kata ganti diri: PI-nakahulun. Jika berbicara disebut PI-dato. Jika mendengar disebut PI-harsa. Jika mengajar pengetahuan disebut PI-wulang. Jika memberi petuah disebut PI-tutur. Jika memberi petunjuk disebut PI-tuduh. Jika menghukum disebut PI-dana. Jika memberi keteguhan disebut PIandel. Jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut PItapuja lazimnya berupa PI-nda (kue tepung), PI-nang, PI-tik, PIndodakakriya (nasi dan air), PI-sang. Jika memancarkan kekuatan disebut PI-deksa. Jika mereka meninggal dunia disebut PI-tara. Seorang ratu atau dha-tu, adalah pengejawantahan kekuatan gaib Sanghyang Taya. Seorang ratu adalah citra Pribadi Sanghyang Tunggal.[6]
Dengan prasyarat-prasyarat sebagaimana terurai di muka, kedudukan ra-tu dan dha-tu tidak bersifat kepewarisan mutlak. Sebab seorang ra-tu yang dituntut keharusan fundamental memiliki tu-ah dan tu-lah, tidak bisa diwariskan secara otomatis pada anak keturunannya. Seorang ra-tu harus berjuangkeras menunjukkan keunggulan tu-ah dan tu-lah, dengan mula-mula menjadi penguasa wilayah kecil yang disebut wisaya. Penguasa wisaya diberi sebutan Raka. Seorang raka yang mampu menundukkan kekuasaan raka-raka yang lain, maka ia akan menduduki jabatan ra-tu. Dengan demikian, ra-tu adalah manusia yang benar-benar telah teruji kemampuannya, baik kemampuan memimpin dan mengatur strategi maupun kemampuan tu-ah dan tulah yang dimilikinya.[6]
Nilai-nilai keagamaan Kapitayan inilah yang kemudian diadopsi oleh para Walisongo dalam menyebarkan agama Islam ke daerah-daerah. Karena konsep tauhid dalam Kapitayan pada dasarnya sama dengan konsep tauhid dalam Islam: istilah “Tan keno kinaya ngapa” dalam Kapitayan (“tidak dapat dilihat, tidak dapat dipikirkan, tidak dapat dibayangkan, Ia berada di luar segalanya"), memiliki arti yang sama dengan "laisa kamitslihi syai'un" dalam Islam ("Tidak ada yang seperti Dia"; Qur'an Surah Ash-Syura bab 42 ayat 11).[8]
Walisongo juga menggunakan istilah “Sembahyang” (menyembah Sang Hyang Taya di Kapitayan) dalam memperkenalkan istilah “Shalat” dalam Islam. Dalam hal tempat pemujaan atau persembahyangan, Walisongo juga menggunakan istilah Sanggar di Kapitayan, yang merupakan bangunan empat persegi dengan lubang kosong di dindingnya sebagai simbol Sang Hyang Taya di Kapitayan, bukan arca seperti dalam agama Hindu. Istilah tempat untuk berdoa atau beribadah di Kapitayan ini juga digunakan oleh Walisongo dengan nama "Langgar" mewakili istilah Masjid dalam Islam.[10][8]
Ada juga ritual tidak makan dari pagi hingga malam di Kapitayan, yang disebut dengan Upawasa (Puasa atau Poso). Kebetulan, ritual puasa dalam agama Hindu disebut juga dengan Upawasa atau Upavasa.[11] Alih-alih menggunakan istilah puasa atau Siyam dalam Islam, Walisongo menggunakan istilah Puasa atau Upawasa dari Kapitayan dalam menggambarkan ritual tersebut. Sebutan Poso Dino Pitu dalam Kapitayan yang artinya puasa pada hari kedua dan kelima yang sama dengan puasa tujuh hari, sangat mirip dengan bentuk puasa Senin dan Kamis dalam Islam. Tradisi "Tumpengan" Kapitayan juga dilestarikan oleh para Walisongo dalam perspektif Islam yang dikenal sebagai "Sedekah". Inilah makna istilah yang disebut-sebut oleh Gus Dur (presiden keempat Indonesia) sebagai "mempribumikan Islam".[8]
Praktik ibadah
Dalam rangka melakukan puja bakti kepada Sanghyang Tunggal, penganut Kapitayan menyediakan sajen berupa tu-mpeng, tu-mpi (kue dari tepung), tumbu (keranjang persegi dari anyaman bambu untuk tempat bunga), tu-ak (arak), tu-kung (sejenis ayam) untuk dipersembahkan kepada Sanghyang Tu-nggal yang daya gaib-Nya tersembunyi pada segala sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib seperti tu-ngkub, tu-nda, wa-tu, tu-gu, tu-nggak, tu-k, tu-ban, tu-rumbukan, tu-tuk. Para penganut Kapitayan yang punya maksud melakukan tu-ju (tenung) atau keperluan lain yang mendesak, akan memuja Sanghyang tu-nggal dengan persembahan khusus yang disebut tu-mbal.[12]
Berbeda dengan pemujaan terhadap Sanghyang Tunggal yang dilakukan masyarakat awam dengan persembahan sajen-sajen di tempat-tempat keramat, untuk beribadah menyembah Sanghyang Taya langsung, amaliah yang lazim dijalankan para ruhaniwan Kapitayan, berlangsung di suatu tempat bernama sanggar, yaitu bangunan persegi empat beratap tumpang dengan tutu-k (lubang ceruk) di dinding sebagai lambang kehampaan Sanghyang Taya.[12]
Dalam bersembahyang menyembah Sanghyang Taya di sanggar itu, para ruhaniwan Kapitayan mengikuti aturan tertentu: mula-mula, sang ruhaniwan yang sembahyang melakukan tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap tutu-k (lubang ceruk) dengan kedua tangan diangkat ke atas menghadirkan Sanghyang Taya di dalam tutu-d (hati). Setelah merasa Sanghyang Taya bersemayam di hati, kedua tangan diturunkan dan didekapkan di dada tepat pada hati. Posisi ini disebut swa-dikep (memegang ke-aku-an diri pribadi). Proses tu-lajeg ini dilakukan dalam tempo relatif lama. Setelah tu-lajeg selesai, sembahyang dilanjutkan dengan posisi Tu-ngkul (membungkuk memandang ke bawah) yang juga dilakukan dalam tempo relatif lama. Lalu dilanjutkan lagi dengan posisi tu-lumpak (bersimpuh dengan kedua tumit diduduki). Yang terakhir, dilakukan posisi To-ndhem (bersujud seperti bayi dalam perut ibunya). Selama melakukan tu-lajeg, tu-ngkul, tu-lumpak, dan To-ndhem dalam waktu satu jam lebih itu, ruhaniwan Kapitayan dengan segenap perasaan berusaha menjaga keberlangsungan Keberadaan Sanghyang Taya (Yang Hampa) yang sudah disemayamkan di dalam tutu-d (hati).[12]
Sejarah
Dalam keyakinan penganut Kapitayan di Jawa, leluhur yang awal sekali dikenal sebagai penganjur Kapitayan adalah tokoh mitologis Danghyang Semar putera Sanghyang Wungkuham keturunan Sanghyang Ismaya. Menurut cerita, negeri asal Danghyang Semar adalah Swetadwipa, benua yang tenggelam akibat banjir besar yang menyebabkan Danghyang Semar dan kaumnya mengungsi ke Pulau Jawa. Sanghyang Semar memiliki saudara bernama Sang Hantaga (Togog) yang tinggal di negeri seberang (luar Jawa), yang juga mengajarkan Kapitayan tapi sedikit berbeda dengan yang diajarkan Danghyang Semar. Saudara Danghyang Semar yang lain lagi bernama Sang Manikmaya, menjadi penguasa di alam gaib kediaman para leluhur yang disebut Ka-hyang-an.[5]
Tokoh-tokoh idola dalam ajaran Kapitayan seperti Danghyang Semar, Kyai Petruk, Nala Gareng, dan Bagong dimunculkan sebagai punakawan yang memiliki kekuatan adikodrati yang mampu mengalahkan Dewa-Dewa dalam Agama Hindu.[13]
Rujukan
- ^ "Penghayat Kepercayaan: Setelah Putusan MK dan Kolom KTP". voaindonesia.com. 10 April 2018. Diakses tanggal 25 Juli 2023.
- ^ Sunyoto (2017). p. 13.
- ^ Zoetmulder, P.J. (1982), Old Javanese-English Dictionary, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde
- ^ Satjadibrata, R. (1944). Kamus Sunda-Indonesia. Bandung: Dunia Pustaka Jaya. hlm. 342. ISBN 978-623-7295-22-8.
- ^ a b c Sunyoto (2017). p. 14.
- ^ a b c d Sunyoto, Agus (2017). "NU dan Faham Keislaman Nusantara". Mozaic : Islam Nusantara. 3 (1): 15–30.
- ^ Galbinst (2019). h. 13.
- ^ a b c d Galbinst (2019). h. 14.
- ^ Samantho, Ahmad Yanuana (Oktober 2016). Kapitayan Agama Pertama di Nusantara, Bukti bahwa Para Nabi Pernah diutus di Nusantara. Dalam Agama Pertama di Tanah Jawa, Kapitayan, Agama Universal. Halaman 4.
- ^ Sunyoto (2017). h. 17.
- ^ "Upavasa - Banglapedia". en.banglapedia.org. Diakses tanggal 2019-11-20.
- ^ a b c Sunyoto (2017). h. 16-17.
- ^ Sunyoto (2017). h. 178.
Baca lebih lanjut
- Galbinst, Yuri (2019), Islam: Dari Indonesia ke Dinasti Safawi, Cambridge: Cambridge Stanford Books
- Sunyoto, Agus (2017), Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Walisongo Sebagai Fakta Sejarah, Tangerang Selatan: Pustaka Iman