Konstitusionalisme
Konstitusionalisme (serapan dari bahasa Belanda: constitutionalisme) adalah suatu konsep atau gagasan yang berpendapat bahwa kekuasaan pemerintah perlu dibatasi, agar penyelenggaraan negara tidak sewenang-wenang atau otoriter. Ide konstitusionalisme ini kemudian diadopsi oleh para Founding Fathers Amerika Serikat sebagai dasar mereka merumuskan dasar negara yang demokratis. Salah satu peletak ide ini adalah John Locke, dengan konsep Trias politica.[1][2][3][4]
Latar Belakang
Konsep konstitusionalisme sendiri sebenarnya telah ada dan berkembang jauh sebelum undang-undang dasar pertama dirumuskan. Ide pokok dari konstitusionalisme adalah bahwa pemerintah sebagai penyelenggara negara perlu dibatasi kekuasaannya (the limited states) agar tidak sewenang-wenang dalam memerintah. Konstitusionalisme menganggap bahwa suatu undang-undang dasar atau konstitusi adalah jaminan untuk melindungi rakyat dari perilaku semena-mena pemerintah. Dengan demikian konstitusionalisme melahirkan suatu konsep lainnya yang disebut sebagai “negara konstitusional” atau (the constitutional state), dimana undang-undang dasar menjadi instrument yang paling efektif dengan menjalankan konsep Rule of Law atau Negara Hukum (Rechtsstaat).[1]
Konstitusionalisme mendasari gagasannya pada ide, kedaulatan hukum yang lahir dari konsensus yang melibatkan seluruh rakyat atau perwakilan daripada rakyat untuk menyusun konstitusi yang menjadi landasan kehidupan bernegara. Konstitusionalisme juga menekankan pada aspek Kedaulatan Rakyat, karena menurut cara pandang konstitusionalis, kekuasaan tertinggi ada pada rakyat, dan negara harus bekerja untuk rakyat sesuai dengan undang-undang yang telah diakui bersama.[5][6]
Tokoh
Ada beberapa tokoh pendukung ide konstitusionalisme pada era modern, yaitu:
Carl J. Friedrich
Menurut Carl J. Friedrich dalam bukunya yang berjudul constitutional Government and Democracy, konstitusionalisme merupakan gagasan bahwa pemerintahan merupakan:
“Suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah.” – Carl J. Friedrich[1]
Richard S. Kay
Menurut Richard S. Kay, konstitusionalisme adalah:
“Pelaksanaan aturan-aturan hukum (rule of law) dalam hubungan individu dengan pemerintah. Konstitusionalisme menghadirkan situasi yang dapat memupuk rasa aman, karena adanya pembatasan terhadap wewenang pemerintah yang telah ditentukan lebih dahulu.” – Richard S. Kay[7]
Jadi, menurut Richard S. Kay, konsep rule of law dan rechtsstaat merupakan inti dari konstitusionalisme yang nantinya akan melahirkan demokrasi konstitusional.
Andrew Heywood
Andrew Heywood melihat konstitusionalisme dari dua sudut pandang. Dalam arti sempit, konstitusionalisme adalah: “Konstitusionalisme adalah penyelenggaraan pemerintahan yang dibatasi oleh sistem perundang-undangan.” – Andrew Heywood Dalam arti sempit itu, dengan kata lain, konstitusionalisme ada apabila lembaga-lembaga pemerintahan dan proses politik dibatasi secara efektif oleh aturan-aturan konstitusi.[7]
Sementara, pengertian konstitusionalisme dalam arti luas menurut Andrew Heywood adalah:
“Konstitusionalisme merupakan perangkat nilai dan aspirasi politik yang mencerminkan adanya keinginan untuk melindungi kebebasan dengan melakukan pengawasan (checks) internal maupun eksternal terhadap kekuasaan pemerintah.” – Andrew Heywood
Jadi, dalam pengertian luasnya, konstitusionalisme adalah bagian penting dari demokrasi konstitusional.[7]
Sejarah
Paham konstituionalisme sendiri sebenarnya telah ada jauh sebelum para ahli konstitusi di atas merumuskan konstitusi itu sendiri. Konstitusionalisme lahir dari keinginan rakyat yang tepatnya pada Abad Pertengahan atau (Middle Ages) di Eropa, dimana saat itu kekuasaan feodalisme dan monarkisme masih berjaya.[8] Kemudain ada tuntutan untuk adanya perlindungan atas hak-hak warga negara, yang kemudian tertuang dalam piagam hak asasi pertama di dunia, yaitu Magna Carta. Meskipun belum sempurna tetapi Magna Charta dianggap sebagai awal gagasan tentang konstitusionalisme paling awal dalam sejarah peradaban manusia.[8]
Di Inggris, ada sebuah perjanjian yang dibuat oleh kalangan bangsawan dengan Kerajaan di Inggris itu kemudian diberi nama Charter of English Liberties, yang kemudian diproklamirkan oleh Raja Henry I. Piagam ini dibuat sebagai bentuk konsekuensi seorang Raja Henry I dalam melindungi hak-hak yang dimiliki rakyatnya, tanpa terkecuali. Piagam ini kemudian menjadi salah satu tonggak sejarah berdirinya monarki konstitusional di Britania Raya.
Khusus di Inggris pada tahun 1215, muncul lagi desakan dalam perlindungan hak-hak sipil, saat itu Raja John dipaksa oleh beberapa golongan bangsawan untuk mengakui beberapa hak mereka – antara lain Raja John harus menjamin bahwa pemungutan pajak tidak akan dilakukan tanpa persetujuan dari yang bersangkutan (wajib pajak). Pada waktu yang sama, juga disetujui bahwa penangkapan atas seseorang yang dituduh bersalah harus melalui proses pengadilan sebagaimana yang telah tercantum dalam Magna Charta (Piagam Besar).[8]
Implementasi dalam Negara
Dalam hal aktualisasi nilai-nilai konstitusionalisme dalam sistem politik yang demokratis, maka konstitusi memberikan kejelasan dalam konsep Trias politica atau pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif dari John Locke. Keberadaan ketiga lembaga negara itu memastikan bahwa tidak ada kekuasaan yang saling tumpang tindih ataupun kekuaaan yang lebih kuat, karena itu ketiga lembaga itu kemudian melakukan power sharing ataupun distribution of power, selain itu pula ketiga lembaga negara bertugas saling mengawasi. Seperti yang ditulis dalam buku Introduction to Political Science yang dituilis oleh Carlton Clymer Rodee:
"memerintah berarti mengawasi, dan mengawasi dalam pengertian politik di dalam suatu negara memerlukan prinsip-prinsip tingkah laku yang lekat dengan prinsip-prinsip hukum, ukuran-ukuran, dan aturan-aturan yang dikukuhkan dengan sanksi, baik perdata maupun pidana."[9]
Artinya bahwa sudah jelas, konstitusi atau undang-undang memberikan acuan bagi penyelenggaraan negara agar pada pejabat ataupun aparatur negara tidak bisa berlaku sewenang-wenang karena mereka diawasi oleh lembaga-lembaga negara yang memiliki kedudukan hukum sebagai prinsip dasarnya yang kuat dan kokoh. Dengan prinsip Trias politica, maka diantara tiga lembaga kekuasaan itu - eksekutif, legislatif, dan yudikatif - bersifat saling mengawasi (prinsip check and balances), tujuannya nanti adalah terciptanya sebuah tatanan pemerintahan yang baik (good governance) dimana nilai-nilai demokrasi yang menjadi indikatornya.[6]
Cara kerjanya adalah, legislatif membuat undang-undangnya karena legislatif adalah representasi atau perwakilan daripada rakyat, kemudian undang-undang itu dijalankan oleh eksekutif dalam bentuk kebijakan publik dalam melayani kebutuhan rakyat, dan yudikatif yang bertugas untuk mempertahankan dan menjaga undang-undang itu agar sesuai dengan koridornya dan tak ada yang menyalahinya, dan juga memebrikan sanksi jika ada yang melanggar undang-undang itu. Namun, kekurangan dari sistem ini adalah, terkadang konflik dapat terjadi antar-lembaga, terutama yang sering berkonflik adalah eksekutif dengan legislatif, jika penguasa ekeskutif dan legislatif berasal dari dua kekuatan politik yang bertentangan, maka sangat memungkinkan terjadinya selisih paham, yang membuat iklim politik menjadi tidak stabil.
Referensi
- ^ a b c Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 171
- ^ "Constitutionalism". Diakses tanggal 2017-11-19.
- ^ Waluchow, Wil (2014). Zalta, Edward N., ed. The Stanford Encyclopedia of Philosophy (edisi ke-Spring 2014). Metaphysics Research Lab, Stanford University.
- ^ "constitutionalism | law". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-19.
- ^ Mursalin, Mushlihin. "Pengertian Konstitusionalisme". Referensi Makalah (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-20.
- ^ a b Administrator. "Konstitusi,Konstitusionalisme, dan Demokrasi Konstitusional". www.saldiisra.web.id. Diakses tanggal 2017-11-20.
- ^ a b c Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 172
- ^ a b c Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 173
- ^ Carlton Clymer Rodee, dkk. Pengantar Ilmu Politik, diterjemahkan dari judul asli, Introduction to Political Science, (Jakarta: Rajawali Press, 2008) hal. 75