Kopi gayo
Jenis | Kopi arabika |
---|---|
Asal | Indonesia |
Kopi gayo (bahasa Inggris: Gayo coffee) merupakan varietas kopi arabika yang menjadi salah satu komoditi unggulan yang berasal dari Dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah, Indonesia.[1] Ia telah mendapatkan Fair Trade Certified™ dari Organisasi Internasional Fair Trade pada tanggal 27 Mei 2010, Kopi gayo menerima sertifikat IG (Indikasi Geografis) diserahkan oleh Kemenkumham RI.[2][3] Kemudian pada Event Lelang Special Kopi Indonesia tanggal 10 Oktober 2010 di Bali, kembali kopi arabika gayo memperoleh peringkat tertinggi saat cupping score.[4] Sertifikasi dan prestasi tersebut kian memantapkan posisi kopi gayo sebagai kopi organik terbaik dunia.[5]
Latar belakang
Perkebunan kopi yang telah dikembangkan sejak tahun 1908 ini tumbuh subur di Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah dan sebagian kecil wilayah Gayo Lues. Ketiga daerah yang berada di ketinggian 1200 m di atas permukaan laut tersebut memiliki perkebunan kopi terluas di Indonesia, yaitu sekitar 81.000 hektar. Masing-masing 42.000 hektar berada di Kabupaten Bener Meriah, selebihnya (39.000 hektar) di Kabupaten Aceh Tengah. Masyarakat Gayo berprofesi sebagai petani kopi dengan dominasi varietas Arabika. Produksi kopi arabika yang dihasilkan dari Tanah Gayo merupakan yang terbesar di Asia.
Adapun penyebaran tumbuhan kopi ke Indonesia dibawa seorang berkebangsaan Belanda pada abad ke-17 yang mendapatkan biji arabika mocca dari Arabia ke Batavia (Jakarta). Kopi Arabika itu pertama-tama ditanam dan dikembangkan di daerah Jatinegara, Jakarta, menggunakan tanah partikelir Kesawung yang kini lebih dikenal Pondok Kopi. Penyebaran selanjutnya dari tanaman kopi tersebut sampai juga ke kawasan Dataran tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah. Dari masa kolonial Belanda hingga sekarang kopi gayo khususnya telah menjadi mata pencaharian pokok mayoritas masyarakat Gayo bahkan telah menjadi satu-satunya sentra tanaman kopi kualitas ekspor di daerah Aceh Tengah. Selain itu bukti arkeologis berupa sisa pabrik pengeringan kopi masa kolonial Belanda di Desa Wih Porak, Kecamatan Silih Nara, Aceh Tengah telah memberikan kejelasan bahwa kopi pada masa lalu pernah menjadi komoditas penting perekonomian.
Peran Belanda dan kopi gayo
Kehadiran kekuasaan Belanda di Tanah Gayo tahun 1904 serta merta diikuti pula dengan hadirnya pendatang-pendatang lain. Pada masa itu wilayah Aceh Tengah dijadikan onder afdeeling Nordkus Atjeh dengan Sigli sebagai ibu kotanya. Di sisi lain, kehadiran Belanda juga telah memberi penghidupan baru dengan membuka lahan perkebunan, salah satunya kebun kopi di Tanah Gayo (di ketinggian 1.000 - 1.700 m di atas permukaan laut).
Sebelum kopi hadir di Dataran tinggi Gayo, tanaman teh dan lada telah lebih dulu diperkenalkan. Menurut ahli pertanian Belanda JH Heyl dalam bukunya berjudul Pepercultuur in Atjeh menerangkan asalnya tanaman lada dibawa dari Madagaskar (Afrika Timur) dalam abad VII atau VIII ke tanah Aceh (Zainuddin, 1961:264). Sayangnya kedua tanaman itu kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah kolonial. Pada akhirnya Belanda kemudian memperkenalkan dan membuka perkebunan kopi pertama seluas 100 ha pada tahun 1918 di kawasan Belang Gele, yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah. Selain dibukanya lahan perkebunan, pada tahun 1920 muncul kampung baru masyarakat Gayo di sekitar perkebunan kopi Belanda itu, dan pada tahun 1925-1930 mereka membuka sejarah baru dengan membuka kebun-kebun kopi rakyat. Pembukaan itu didasari oleh pengetahuan yang diperoleh petani karena bertetangga dengan perkebunan Belanda itu. Pada akhir tahun 1930 empat buah kampung telah berdiri di sekitar kebun Belanda di Belang Gele itu, yaitu Kampung Belang Gele, Atu Gajah, Paya Sawi, dan Pantan Peseng (Melalatoa, 2003:51).
Peninggalan
Salah satu bukti kepurbakalaan yang berkaitan dengan komoditas kopi ini adalah temuan berupa sisa pabrik pengeringan kopi (biji kopi) di dekat Masjid Baitul Makmur, Desa Wih Porak, Silih Nara, Aceh Tengah, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Susilowati,2007). Secara astronomis terletak pada 040 36.640′ LU dan 0960 45.660′ BT (47 N 0251594 UTM 0510018). Bekas pabrik pengeringan kopi tersebut menempati lahan berukuran 110 m x 60 m, sebagian kini telah menjadi lahan Pesantren Terpadu Darul Uini. Pada lahan tersebut terdapat sisa bangunan berupa sisa pondasi, sisa tembok bangunan, bekas tempat kincir air, dan beberapa kolam tempat proses pengeringan kopi.[6]
Tempat kincir air ditandai dengan 3 buah tembok berketebalan 15 cm, tinggi sekitar 2 m dan di bagian permukaan atasnya dijumpai masing-masing 2 buah baut besi yang diperkirakan sebagai tempat bertumpunya kincir angin. Di dekat bekas tempat kincir air tersebut dijumpai dua buah kolam tempat pemrosesan kopi, salah satunya berukuran panjang sekitar 2,65 m, lebar, 2,33 m dan tinggi sekitar 1,25 m. Pada bagian selatan terdapat saluran air yang menuju ke kolam di bagian selatan. Selain itu juga terdapat bekas tembok kolam pengering gabah kopi di bagian paling selatan setelah tembok saluran air. Pada bekas tembok kolam tersebut masih terdapat lubang saluran air di bagian utara. Setelah masa kemerdekaan pabrik tersebut pernah telantar, selanjutnya sekitar tahun 1960-an hingga tahun 1979 pabrik tersebut pernah dikelola oleh PNP I, kemudian kepemilikannya berpindah ke PT Ala Silo dan terakhir lahannya kini dimiliki oleh Dinas Perkebunan Pemerintah Daerah Kab. Aceh Tengah.
Setelah kemerdekaan
Pada paruh kedua tahun 1950-an, orang Gayo mulai berkebun kopi. Pada periode itu hutan-hutan dibabat untuk dijadikan kebun kopi. Pada tahun 1972 Kabupaten Aceh Tengah tercatat sebagai penghasil kopi terbesar dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Luas areal kebun kopi di Kabupaten Aceh Tengah pada tahun 1972 adalah 19.962 ha. Perkebunan kopi bagi warga Kabupaten Bener Meriah (pemekaran dari Kab. Aceh Tengah) dan Kabupaten Aceh Tengah merupakan urat nadi perekonomian yang paling menonjol, selain perdagangan sayur mayur seperti kol/kubis, wortel, cabai, dan cokelat. Sebagai komoditas ekspor, 27.953 keluarga di Aceh Tengah menggantungkan hidup mereka pada budi daya kopi dengan luas areal 46.392 ha, dan dengan rata-rata 720,7 kg/ha/tahun (BPS Kab. Aceh Tengah 2005:144-145). Konflik yang berkepanjangan menyebabkan sedikitnya 6.440 ha lahan kopi telantar dan 5.037 keluarga kehilangan lapangan kerja.
Setelah konflik mereda dan ditandatanganinya perjanjian damai RI-GAM pada akhir tahun 2005, para petani kopi kini mulai berani bercocok tanam di kebun kopi yang terletak jauh di lereng gunung, tidak sekadar menanam kopi di pekarangan rumah. Harga jual kopi pun -meski dipengaruhi harga kopi dunia- relatif stabil dan terus menguat karena jalur perdagangan antara Takengon - Bireun - Lhoksemauwe - Medan dapat dilalui kendaraan angkut tanpa risiko besar. Kini, aktivitas perkebunan kopi mulai bangkit kembali dan kini telah menjadi tulang punggung perekonomian di Kabupaten Aceh Tengah Bener Meriah dan Gayo Lues.
Cita rasa
Kopi arabika dari dataran Tinggi Gayo, telah dikenal dunia karena memiliki citarasa khas dengan ciri utama antara lain aroma dan perisa yang kompleks dan kekentalan yang kuat. International Conference on Coffee Science, Bali, Oktober 2010 menominasikan kopi Dataran Tinggi Gayo ini sebagai the Best No 1,[4] dibanding kopi arabika dari tempat lain.
Pasar internasional
Kopi gayo cukup terkenal di dunia karena memiliki aroma dan kenikmatan yang khas dan jika di cupping atau di test rasa dan aroma di daerah gayo hampir memiliki cita rasa kopi yang ada di seluruh dunia, ini disebabkan oleh faktor ketinggian dan beberapa aspek lain yang menjadikan kopi gayo terbaik, ini dibuktikan dengan beberapa kali kopi gayo meraih penghargaan sebagai kopi terbaik dunia. Meski terjadi krisis di Eropa, tak mengurangi permintaan kopi asal dataran tinggi Tanah Gayo di pasar dunia. Kopi dari daerah gayo juga merupakan kopi termahal di dunia ini terbukti pada saat pameran kopi dunia yang diselenggarakan organisasi Specialty Coffee Association of America (SCAA) di Portland, Oregon Convention Center, Amerika Serikat. Negara tujuan terbesar ekspor kopi asal Dataran tinggi Tanah Gayo yang meliputi Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues itu adalah Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Lihat pula
Referensi
Catatan kaki
- ^ Market Brief Kopi di Pasar Jerman (PDF), Januari, diakses tanggal 2018-12-26
- ^ [1] Diarsipkan 2013-12-17 di Wayback Machine., nad.litbang.deptan.go.id Diarsipkan 2013-12-17 di Wayback Machine..
- ^ [2][pranala nonaktif permanen], Sertifikat Fair Trade Certified™ Diarsipkan 2014-12-20 di Wayback Machine. untuk kopi Gayo.
- ^ a b [3], Specialty Coffee Association of Indonesia (SCAI) di Bali, 10 Oktober 2010-BPTP Aceh.
- ^ "Litbang Departemen Pertanian RI". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-17. Diakses tanggal 2014-12-14.
- ^ [4] Diarsipkan 2015-03-17 di Wayback Machine., Sisa bangunan pengeringan kopi masa Belanda, Sumber: kebudayaanindonesia.net Diarsipkan 2015-03-17 di Wayback Machine..
- ^ [5], ICCRI 2008, page:1-144 - Panduan Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika Gayo.
Pranala luar
- (Indonesia) BPTP Aceh-nad.litbang.pertanian.go.id
- (Indonesia) nad.litbang.deptan.go.id Diarsipkan 2013-12-17 di Wayback Machine.
- (Indonesia) ditjenbun.pertanian.go.id Diarsipkan 2014-12-14 di Wayback Machine.
- (Indonesia) AcehPedia Diarsipkan 2014-12-21 di Wayback Machine.
- (Indonesia) djpen.kemendag.go.id
- (Indonesia) kebudayaanindonesia.net Diarsipkan 2015-03-17 di Wayback Machine.
- (Indonesia) books.google.co.id