Museum Konferensi Asia Afrika
Museum konferensi Asia Afrika merupakan salah satu diantara beberapa museum yang berada di provinsi Jawa Barat tepatnya di kota Bandung. Museum Konferensi Asia Afrika didirikan pada tanggal 24 April tahun 1980.Konferensi Bandung meletakkan dasar-dasar politik, ekonomi, budaya, dan hukum yang disebut sebagai proyek Dunia ketiga. museum konferensi asia afrika di Bandung, Indonesia. Mewakili Asia[1] seperti negara Afghanistan, Burma, Kamboja, Ceylon, india, laos, Lebanon, Arab Saudi, Indonesia, Irak, Iran, Jepang, Yordania, Nepal, Pakistan, Filipina, Turki, Thailand, Turki, Liberia, Jepang, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Indonesi[2]a serta beberapa negara lain yang turut mewakili ASIA.[3]
Museum Konferensi Asia Afrika | |
---|---|
Museum Konferensi Asia Afrika adalah salah satu museum yang berada di kota Bandung. Museum ini didirikan pada 24 April 1980.[5]Pada tanggal 18-24 April 1955, delegasi dari dua puluh sembilan negara menghadiri Konferensi Asia Afrika di Bandung, Indonesia. Mewakili Asia seperti negara Afghanistan, Burma, Kamboja, Ceylon, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), India, Indonesia, Iran, Irak, Jepang, Yordania, Laos, Lebanon, Nepal, Pakistan, Filipina, Arab Saudi, Suriah, Thailand, Turki, Vietnam Utara, Vietnam Selatan, dan Yaman. Sementara dari Afrika: Mesir, Ethiopia, Pantai Emas, Liberia, Libya, dan Sudan. Pada tahun 1955, hampir semua negara di Asia telah mencapai kemerdekaan, tetapi sebagian besar Afrika masih dijajah oleh negara-negara Eropa.[6]
Bandung merupakan bagian dari gelombang yang belum pernah terjadi sebelumnya, di mana banyak orang di seluruh dunia berjuang melawan sisa-sisa imperialisme Eropa. Konferensi Bandung meletakkan dasar-dasar politik, ekonomi, budaya, dan hukum untuk apa yang disebut sebagai Semangat Bandung dan apa yang kemudian disebut sebagai proyek Dunia Ketiga.[6]
Sejarah Museum Konferensi Asia Afrika
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M., sering bertemu dan berbicara dengan para pemimpin negara dan bangsa Asia Afrika selama jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia (1978–1988). Mereka sering bertanya kepadanya tentang Gedung Merdeka dan Kota Bandung, tempat Konferensi Asia Afrika diadakan, dan berulang kali pembicaraan diakhiri dengan mengatakan mereka ingin mengunjungi keduanya.[7]
Gagasan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. adalah untuk mendirikan Museum Konferensi Asia Afrika di Bandung. Gagasan ini berasal dari keinginan untuk mengabadikan Konferensi Asia Afrika 1955, yang merupakan tonggak terbesar keberhasilan politik luar negeri Indonesia dan menyebar ke seluruh dunia, terutama ke negara-negara Asia Afrika dan Nonblok. Selain itu, banyak pemimpin Asia Afrika ingin mengunjungi Bandung. Dalam forum rapat Panitia Peringatan 25 Tahun Konferensi Asia Afrika tahun 1980, Prof. Dr. Haryati Soebadio, Direktur Jenderal Kebudayaan, dan wakil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, menghadiri gagasan tersebut. Presiden Republik Indonesia Soeharto terutama menyambut positif gagasan tersebut. Setelah itu, salah satu tugas Panitia Peringatan 25 Tahun Konferensi Asia Afrika.[7]
Joop Ave, Ketua Harian Panitia Peringatan 25 Tahun Konferensi Asia Afrika dan Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri, bersama dengan Departemen Penerangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Barat, dan Universitas Padjadjaran, membangun gagasan untuk mendirikan Museum Konperensi Asia Afrika. PT Decenta, Bandung, bertanggung jawab atas perencanaan dan pelaksanaan teknis. Sebagai bagian dari peringatan 25 tahun Konferensi Asia Afrika, Presiden Soeharto meresmikan Museum Konperensi Asia Afrika pada 24 April 1980.[7]
Bangunan ini dulunya dibangun untuk Societeit Concordia, tempat berkumpul para elit Eropa, sebelum menjadi Gedung Merdeka. Gedung ini dibangun pada 29 Juni 1879 di persimpangan Jalan Asia Afrika dan Jalan Braga. Gedung ini didirikan dengan tujuan untuk "de bevordering van gezellig verkeer." Artinya, meningkatkan hubungan di Bandung dengan Eropa. Di atas tanah seluas 7.983 meter persegi, gedung-gedung tersebut digunakan oleh masyarakat kelompok eksklusif tersebut. Tempat itu hanya terdiri dari bangunan biasa dengan dinding yang terbuat dari papan dan lentera minyak tanah. Bangunan ini terletak di sudut Jalan Asia-Afrika (Groote Postweg) dan Jalan Braga (Bragaweg). Di sisi kanan bangunan adalah Tjikapoendoeng, atau Cikapundung, area sungai yang menyenangkan dengan banyak pepohonan.[8]
Societeit Concordia adalah tempat untuk dansa, hiburan, dan berkumpulnya sosialita kaya di Bandung dan daerah sekitarnya. Pejabat, pengusaha kaya, pemilik atau karyawan perkebunan adalah antara pengunjungnya. Pertunjukan seni, tarian sosial, dan makan malam di gedung penuh selama akhir pekan. Pada tahun 1926, Van Galen dan C.P. Wolff Schoemaker merenovasi bangunan dalam gaya art-deco. Keduanya adalah arsitek terkenal dan profesor di Technische Hogeschool, yang sekarang dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung. Bangunan seluas 7500 meter persegi ini memiliki lantai marmer Italia dan kamar dengan kayu cikenhout dan lampu kristal di langit-langit.[8]
Bangunan ini berganti nama menjadi Dai Toa Kaman dan berfungsi sebagai pusat kebudayaan selama masa pendudukan Jepang di Indonesia. Bangunan tersebut digunakan sebagai markas pejuang kemerdekaan Indonesia melawan pasukan Jepang setelah Indonesia mengumumkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Gedung Concordia kembali digunakan untuk pertemuan umum, pertunjukan seni, pesta, tarian, dan jamuan makan malam setelah Belanda mengakui Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949. Pemerintah Indonesia memilih Bandung sebagai tuan rumah Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1954. Gedung Concordia dipilih sebagai tempat konferensi internasional tersebut. Bangunan ini saat itu merupakan aula termegah dan terbesar di Bandung. Hotel Savoy Homann dan Preanger berada di lokasi yang strategis di pusat kota.[8]
Untuk memenuhi kebutuhan konferensi internasional, Ir. R. Srigati Santoso merenovasi gedung ini pada awal 1955, dan berganti nama menjadi Gedung Merdeka. Sekarang, gedung ini adalah Museum Konferensi Asia-Afrika.[8]
Perpustakaan
Perpustakaan Museum Konferensi Asia Afrika ini dibangun sebagai bagian dari perayaan peringatan KAA ke 50 pada tahun 2005. Perpustakaan ini mengoleksi buku-buku sejarah, politik, sosial dan budaya negara-negara Asia-Afrika; dokumen-dokumen mengenai Konferensi Asia-Afrika,konferensi-konferensi pendahulu, KTT Asia-Afrika 2005, serta majalah, surat kabar, dan ‘BrailleCorner’ untuk para tunanetra. Selain itu juga terdapat buku anak-anak, komik, cerita pendek, dan novel. Museum Konferensi Asia Afrika ini juga menyimpan berbagai koleksi langka, khususnya koleksi mengenai pelaksanaan Konferensi Asia Afrika 1955.[9]
Perpustakaan Museum Konferensi Asia Afrika mempunyai bahan koleksi pustaka lebih dari 17.000 eksemplar yang kebanyakan jenis bukunya membahas tentang masalah Geopolitik terutama di wilayah Asia Afrika. Untuk jenis kerusakan yang terjadi pada bahan pustaka di perpustakaan Museum Konferensi Asia Afrika cukup jarang ditemui yang rusak karena faktor manusia, karena sistem yang digunakan di perpustakaan ini adalah sistem tertutup dan tidak meminjamkan koleksinya untuk dibawa kerumah. Kerusakan yang sering ditemu kan adalah karena faktor usia buku itu sendiri yang sudah tua.[9]
Nama, Status, dan Sifat
Museum ini bernama Museum Konferensi Asia Afrika. Nama tersebut digunakan untuk mengenang peristiwa Konferensi Asia Afrika yang menjadi Sumber inspirasi dan motivasi bagi bangsa Asia-Afrika.
Museum ini dibangun oleh Pemerintah Republik Indonesia dan berada di bawah wewenang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara pengelolaannya di bawah koordinasi Departemen Luar Negeri dan Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Barat.
Pada 18 Juni 1986, kedudukan Museum Konferensi Asia-Afrika dialihkan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ke Departemen Luar Negeri di bawah pengawasan Badan Penelitian dan Pengembangan Masalah Luar Negeri. Pada Tahun 2003 dilakukan restrukturisasi di Tubuh Departemen Luar Negeri dan Museum Konferensi Asia Afrika dialihkan ke Ditjen Informasi, Diplomasi Publik dan Perjanjian Internasional (Sekarang Ditjen Informasi dan Diplomasi Publik). Saat ini UPT Museum Konferensi Asia Afrika berada dalam koordinasi Direktorat Diplomasi Publik. Museum ini menjadi museum sejarah bagi perjuangan politik luar negeri Indonesia.
Penataan Kembali Museum Konferensi Asia Afrika
Dalam rangka Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika 2005 dan peringatan 50 tahun Konferensi Asia Afrika 1955, pada 22-24 April 2005, tata pameran Museum Konferensi Asia Afrika direnovasi atas prakarsa Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Dr. N. Hassan Wirajuda.
Penataan kembali museum tersebut dilaksanakan atas kerja sama Departemen Luar NEgeri dengan sekretariat Negara dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Perencanaan dan pelaksanaan teknisnya dikerjakan oleh Vasco Design dan Wika Realty.
Referensi
- ^ "Museum Konferensi Asia Afrika". Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 2024-07-06.
- ^ "Museum Konperensi Asia Afrika | Asian-African Conference 1955". www.asiafricamuseum.org. Diakses tanggal 2024-10-07.
- ^ "Museum Konperensi Asia Afrika | Asian-African Conference 1955". www.asiafricamuseum.org. Diakses tanggal 2024-10-07.
- ^ http://kemlu.go.id/Pages/HistoricalBuilding.aspx?IDP=3&l=id
- ^ Ainani Nazere, Sukaesih Sukaesih (Maret 2023). "Hubungan Kualitas Layanan dengan Citra Museum Konferensi Asia Afrika". Jurnal Ilmiah Multidisiplin. 2 (02): 21–29. doi:10.56127/jukim.v2i02.555.
- ^ a b Michael Fakhri, Kelly Reynolds (30 Maret 2017). "The Bandung Conference". International Law. doi:10.1093/OBO/9780199796953-0150.
- ^ a b c "Museum Konperensi Asia Afrika | Museum KAA". www.asiafricamuseum.org. Diakses tanggal 2024-05-22.
- ^ a b c d Laily, Sorta Tobing, Iftitah Nurul (2021-08-10). "Mengenal Peran Museum Konferensi Asia Afrika bagi Dunia - Lifestyle Katadata.co.id". katadata.co.id. Diakses tanggal 2024-05-22.
- ^ a b Rosiana Nurwa Indah, Muhammad Aldy Fahriansyah (7 Desember 2022). "Analisis Penerapan Preservasi Kuratif terhadap Bahan Pustaka di Perpustakaan Museum Konferensi Asia Afrika". Tadwin: Jurnal Ilmu Perpustakaan Dan Informasi. 3 (1): 52–56. doi:10.19109/tadwin.v3i1.