Tongkrongan
Fenomena anak muda yang sering berkumpul dan bersosialisasi di lokasi tertentu adalah hal umum dalam masyarakat. Mereka cenderung mengumpul di satu tempat favorit yang kemudian menjadi "tongkrongan" bagi kelompok mereka. Para peneliti menilai fenomena ini menarik untuk diteliti dari sudut pandang bagaimana sebuah tempat bisa menjadi favorit bagi mereka. Anak-anak muda ini akhirnya menunjukkan loyalitas terhadap tempat tersebut dan jarang berpindah ke tempat lain. Aktivitas seperti ini dikenal dengan istilah "tongkrongan".[1]
Tongkrongan sering dilakukan oleh remaja dan orang dewasa muda dalam kategori usia produktif. Aktivitas ini bisa berlangsung di mana saja, termasuk di kafe atau tempat berkumpul lainnya. Bagi anak muda, tongkrongan merupakan cara untuk mengisi waktu luang setelah lelah bekerja atau belajar. Para penggemar tongkrongan membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai, seperti tempat yang nyaman, suasana yang mendukung, serta produk atau layanan yang tersedia.
Berdasarkan hasil riset sindikasi terhadap hampir 800 responden anak muda di enam kota besar di Indonesia, yang dilakukan pada Februari-Maret 2010 oleh MarkPlus Insight bersama Komunitas Marketeers, ditemukan bahwa anak muda dan tongkrongan adalah dua hal yang sangat lekat. Mereka sering berkumpul setelah sekolah, kuliah, atau bekerja. Topik yang dibahas bisa beragam, mulai dari rapat mengenai kegiatan atau kepanitiaan, diskusi topik serius, hingga sekadar menghabiskan waktu dengan ngobrol atau bermain kartu. Menurut riset tersebut, bagi anak muda, aspek terpenting dalam tongkrongan adalah adanya kedekatan emosional dengan teman-teman mereka, sementara faktor lainnya bersifat pendukung.[2]
Aktivitas tongkrongan ini berkembang seiring dengan kemajuan pembangunan di daerah tempat mereka berkumpul. Perkembangan zaman yang pesat juga berdampak pada pertumbuhan penduduk dan pembangunan. Kemajuan ini mendorong sektor bisnis untuk menemukan pangsa pasar mereka, seiring dengan meningkatnya populasi yang memperluas pasar. Pembangunan pun mendorong berkembangnya sektor industri, termasuk gedung perkantoran dan institusi pendidikan, yang menyediakan lebih banyak tempat untuk dijadikan tongkrongan.
Di dalam lingkaran pertemanan, setiap individu akan terus diperhatikan pada suatu tongkrongan. Tongkrongan memastikan bahwa setiap individu selalu dipandang sebagai pribadi yang bernilai. Kebanyakan dari mereka saling berbagi pendapat mengenai sesuatu, sehingga mereka akan dinilai kepribadiannya dari sudut pandang orang-orang di sekitarnya.[3]
Tongkrongan adalah aset seseorang untuk menentukan sikap dan cara berpikir terhadap lingkungan sosial. Sebagai ladang kredibilitas, mereka seakan dituntut untuk menunjukkan dirinya sebagai teman sosial yang baik dan tidak canggung dalam berinteraksi satu sama lain.[3]
Gaya hidup
Tongkrongan telah menjadi gaya hidup populer di kalangan anak muda, dari sini memunculkan beberapa istilah yang kerap digunakan mereka di antaranya: menongkrong (nongkrong), nongki, kongkow, dan hang out.[4] Beberapa daerah di pulau Jawa, kegiatan menongkrong atau nongkrong disebut dengan nyangkruk.
Secara tidak langsung, keberadaan tongkrongan dapat mengubah ritme gaya hidup seseorang jika tidak disadari. Kegiatan menongkrong cenderung dilakukan untuk mengisi waktu luang atau sekedar menunjukkan bahwa dirinya adalah bagian dari golongan tertentu.[3] Jika mereka tergolong mudah bergaul, menyukai hal-hal baru, dan mudah mengeluarkan uang, hal ini dapat mengubah kepribadian mereka cenderung konsumtif (hedonis) untuk sekedar menunjukkan kepeduliannya terhadap tongkrongannya. Namun kenyataanya, mungkin saja mereka tergolong orang biasa saja yang sedang berusaha tampil berharga di lingkungan sosialnya.[4]
Memang aktivitas menongkrong dalam stereotip masyarakat masih dipandang sepele.[5] Seolah anak muda yang berkumpul-kumpul di suatu tempat adalah mereka yang mebuang-buang waktu untuk sebatas mencari kesenangan. Hal ini bisa saja benar namun bisa juga keliru. Tongkrongan akan lebih bermanfaat jika dilakukan oleh orang-orang yang memiliki tujuan jelas dan mengisi kegiatanya dengan sesuatu yang berguna.[6]
Referensi
- ^ Wicaksono, DC (2012). "Fenomena Anak Muda yang Selalu Nongkrong" (PDF). Jurnal Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
- ^ Pramita, DA (2016). "Nongkrong di Warung Kopi". Jurnal Pendidikan Sosiologi.
- ^ a b c Gede Ngurah Eka, I (6 Maret 2020). "Deskripsi Anak Tongkrongan" (dalam bahasa Indonesia). kompasiana.com. Diakses tanggal 5 Januari 2023.
- ^ a b M., Yopy (8 Desember 2015). ""Kongkow", 'Hang Out', 'Nongkrong', dan Dampak Sosial yang Ditimbulkan" (dalam bahasa Indonesia). binus.ac.id. Diakses tanggal 5 Januari 2023.
- ^ D. Putri, Ristiana (19 Desember 2022). Kurniawan, Hariyanto, ed. "Stigma Buruk Melekat pada Anak Tongkrongan, Mengapa?" (dalam bahasa Indonesia). kompas.tv. Diakses tanggal 5 Januari 2023.
- ^ Hastuti, Maya (2022). "Definisi Anak Tongkrongan: Tak Selalu Buruk!" (dalam bahasa Indonesia). klasika.kompas.id. Diakses tanggal 5 Januari 2023.
Pranala luar
- Tongkrongan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
- Tongkrongan di Wiktionary bahasa Indonesia, kamus bebas berbahasa Indonesia