Lompat ke isi

Saldo untung

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Versi yang bisa dicetak tidak lagi didukung dan mungkin memiliki kesalahan tampilan. Tolong perbarui markah penjelajah Anda dan gunakan fungsi cetak penjelajah yang baku.
Lihatlah, Belanda! Di sinilah mimpimu, jaringan jalur kereta api,
terjalin dari emas saldo untung Hindia.
Namun, di sana, dari daerah Solo, engkau berbangga atas barisan gunung,
yang ceplakan gelombangnya berkilau menertawakan gagasanmu.
Karikatur dari Humoristisch Album tahun 1861.

Saldo untung (bahasa Belanda: batig slot) adalah keuntungan yang berasal dari tanam paksa di Hindia-Belanda (kini Indonesia) dan barang yang masuk ke kas Belanda. Sistem tanam paksa dimulai oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch dengan pemikiran bahwa Nederlands-Indië merupakan daerah yang menguntungkan: Apalah keuntungan yang dihasilkan dari daerah jajahan terpencil...jika tidak memberikan pertumbuhan yang sebanding dengan kemakmuran nasional?.

Anggaran

Melalui bertambahnya pasar di Hindia, saldo untung menjadi kuat. Menurut Undang-undang 1815: Dengan pengecualian, Raja memiliki kekuasaan tertinggi atas perkebunan rakyat dan harta benda kerajaan di belahan dunia lainnya. Hal ini memungkinkannya memutuskan apapun yang terjadi dengan saldo Hindia. Antara tahun 1830-1850, hanya ada seperenam bagian yang muncul sebagai saldo untung pada anggaran. Sehingga, Raja Willem I membayar pengeluaran untuk mobilisasi selama politik kengototan setelah Revolusi Belgia tahun 1830 sebagian dari saldo Hindia. Dari tahun 1840, saldo untung menjadi bagian dari UU, tetapi yang lebih penting adalah UU tahun 1848 di mana Raja tidak lagi memiliki kekuasaan tertinggi di negeri jajahan. Dengan UU Transaksi Hindia tahun 1864 yang berlaku 3 tahun kemudian, Parlemen Belanda memperoleh kendali atas saldo untung.

Pada akhirnya, saldo untung menyusun bagian penting dari keseluruhan pendapatan negara:

Sebelum tahun 1850, saldo untung memberi sekitar 19% dari keseluruhan pendapatan. Antara tahun 1851-1860 sebesar 31%, antara 1861-1870 sebesar 24% dan antara tahun 1871-1877 sebesar 13%. Antara tahun 1856-1865, bahkan 7 kali saldo untung tersebut menyumbang separuh pada pendapatan negara.

Karena tidak pastinya besaran saldo untung, pada awalnya hanya beberapa hutang negara yang terbayar dengannya. Setelah itu, khayalak kurang memperhitungkan pendapatan ini dan selama pemulihan ekonomi pada tahun 1850-an diawali dengan dengan penghapusan cukai. Diluncurkannya pajak penghasilan juga dapat menunda saldo untung, yang dengan hal itu, pergeseran politik dalam sistem berbasis hak pilih sensus dapat dicegah. Dengan UU Perkeretaapian tahun 1860, saldo untung dipergunakan untuk memperluas jaringan kereta api nasional. Pembangunan Terusan Laut Utara dan Nieuwe Waterweg juga menggunakan saldo untung.

Kritik

Pada awalnya, cultuurstelsel diterima secara umum di Belanda, namun dari tahun 1840-an, bermunculanlah kritik antara lain terhadap pekerja paksa dan budak. Kemudian ada laporan yang tiba di Belanda pada tahun 1849, bahwa 4 tahun sebelumnya dimulailah kelaparan di Jawa, anggota parlemen Wolter Robert van Hoëvell mengajak rekan sebangsanya untuk berpikir hingga tingkatan mana mereka telah gagal. Meskipun laporannya Slaven en vrijen onder de Nederlandsche wet adalah satu di antara hal yang mendorong penghapusan perbudakan pada tahun 1859, politik saldo untung tetap kuat. Hal ini mempengaruhi anggaran Belanda tepat di masa itu ketika kemungkinan kebangkrutan negeri tampak membesar. Meskipun Tweede Kamer memprotes penggunaan istilah daerah yang menguntungkan untuk Jawa pada tahun 1853, kritik akibat hal tersebut awalnya hanya terdengar di Belanda. Di kalangan penduduk Eropa di Hindia, kritik-kritik mulai terdengar.

Kritik atas sistem tanam paksa semakin menguat, juga karena dianggap kurang tempat untuk inisiatif pribadi. Ada kesepakatan bahwa Hindia harus membawa kemakmuran atas tanah air, tetapi tak semua orang menutup mata atas cara saldo untung diperoleh. Pada tahun 1860-an, Nederlands-Indie benar-benar menjadi sasaran pembahasan untuk perwakilan rakyat. Dengan UU Gula 1870, penarikan bertahap pemerintah Hindia-Belanda dari budi daya gula pun disahkan, sementara UU Agraria 1870 menjamin kepemilikan tanah penduduk asli Indonesia, sementara lahan liar bisa dipergunakan untuk sewa jangka panjang. Hal itu mengakhiri sistem tanam paksa. Hingga tahun 1877, masih ada kabar burung tentang saldo untung, tetapi dengan jatuhnya harga kopi dan berkecamuknya Perang Aceh menyebabkan hal ini juga berakhir. Pendapat awal tentang penggunaan saldo untung untuk Belanda dapat dibenarkan, yakni bahwa kesatuan keuangan antara Belanda dan Hindia tidak ada lagi. Kerugiannya sepenuhnya berasal dari anggaran Hindia. Meskipun setelah masa tersebut tidak ada lagi rumor tentang saldo untung, sisa saldo itu masih tetap ada hingga tahun 1912. Secara tidak langsung, sistem budi daya dan perdagangan di Hindia tetap penting bagi kemakmuran Belanda.

Een ereschuld

Pada awalnya, liberalisasi tampak menguntungkan penduduk Jawa, namun pengaturan atas modal yang terbatas untuk mewujudkan investasi memastikan bahwa hal itu menjadikannya tidak dapat bersaing di Eropa. Conrad Theodore van Deventer memperjuangkannya pada tahun 1899 dalam artikel Een ereschuld di majalah De Gids untuk membayarkan kembali saldo untung sebesar 187.000.000 gulden kepada Hindia sejak diberlakukannya UU Transaksi Hindia pada tahun 1867. Meskipun tampaknya besar, hal itu tampaknya tak pernah terjadi. Oleh Menteri Idenburg, utang Hindia sebesar 40.000.000 gulden diambil alih pada tahun 1905. Selama masa itulah, politik etis dimulai, yang tujuannya adalah membentuk penduduk negeri jajahan sedemikian rupa sehingga dapat mandiri secara politik dan ekonomi. Namun, di sini juga, kepentingan pribadi memainkan peran penting untuk Belanda.

Literatur

  • Blok DP (red) et al. 1977-1983. Algemene Geschiedenis der Nederlanden. Haarlem: Fibula-Van Dishoeck.
  • De Jong J. 1989. Van batig slot naar ereschuld: de discussie over de financiële verhouding tussen Nederland en Indië en de hervorming van de Nederlandse koloniale politiek 1860-1900. Den Haag: SDU.