Lompat ke isi

Sejarah Jawa Barat pada era kerajaan Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Versi yang bisa dicetak tidak lagi didukung dan mungkin memiliki kesalahan tampilan. Tolong perbarui markah penjelajah Anda dan gunakan fungsi cetak penjelajah yang baku.

Agama Islam mulai masuk ke daerah Jawa Barat di abad ke-14 M. Orang yang tercatat pertama kali memeluk Islam di daerah Jawa Barat adalah Bratalegawa, seorang pangeran dan saudagar putra raja Bunisora dari Galuh.[1][2] Ia mulai menyebarkan Islam di Caruban Girang (Cirebon) di tahun 1337 dan membentuk komunitas muslim pertama disana. Perlahan Cirebon berkembang menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa Barat.[3] Tokoh lainnya yang berperan dalam penyebaran Islam di Jawa Barat adalah Qurotul Ain atau Syekh Quro yang menyebarkan Islam di daerah Karawang.[4] Ia mendirikan pondok pesantren pertama di Jawa Barat yang bernama Pondok Quro di tahun 1418.[5] Salah-satu murid yang berguru padanya adalah Nyai Subanglarang, yang menjadi istri dari Sri Baduga Maharaja dan ibu dari Pangeran Cakrabuana atau Raden Walangsungsang dan Nyai Rara Santang. Cakrabuana berguru kepada Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurjati, seorang penyebar Islam lainnya yang berasal dari Melaka.[6] Setelah dewasa, ia dinobatkan menjadi penguasa Cirebon, dimana Cakrabuana lalu membangun Keraton Pakungwati yang merupakan istana bercorak Islam pertama di daerah Jawa Barat.[7] Sementara itu adik dari Cakrabuana, Nyai Rara Santang, menikah dengan Syarif Abdullah Umdatuddin, penguasa dari Kerajaan Champa dan melahirkan Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.[8] Syarif Hidayatullah setelah dewasa dan menetap di Cirebon lalu menikahi sepupunya dan putri dari Cakrabuana yaitu Nyai Mas Pakungwati, dimana pada tahun 1479 Cakrabuana turun takhta dan mewariskan Cirebon kepada menantunya Syarif Hidayatullah.[9]

Berdirinya Kesultanan Cirebon

Di bawah kepemimpinan Syarif Hidayatullah, keadaan perekonomian Cirebon dan perannya sebagai pusat penyebaran Islam semakin berkembang pesat.[10] Atas saran dari pamannya Cakrabuana, di tahun 1482 ketika kerajaan Sunda dan Galuh kembali bersatu, Syarif Hidayatullah mengirimkan maklumat kepada kakeknya Sri Baduga Maharaja. Maklumat tersebut berisi pernyataan bahwa Cirebon memutuskan untuk menghentikan kiriman upeti tahunan ke Pakuan, yang menjadikan Cirebon sebagai negara merdeka yang berdaulat.[11][12] Keputusan ini dibuat agar Cirebon bisa terlepas dari pengaruh Hindu yang masih kuat di daerah Jawa Barat. Sri Baduga Maharaja pernah berkeinginan untuk menyerang Cirebon, namun dicegah oleh para penasihat istana dikarenakan Cakrabuana dan Syarif Hidayatullah masih anak dan cucunya sendiri.[13] Sementara itu Syarif Hidayatullah menjalin hubungan baik dengan Kesultanan Demak yang baru berdiri di timur, negara yang merupakan pesaing politik dan ekonomi dari Kerajaan Sunda setelah pengaruh Majapahit semakin melemah di pesisir utara Jawa.[13] Ia membentuk persekutuan dengan Demak melalui jalan pernikahan antara anak-anaknya dengan anggota keluarga Demak.[14] Dengan terbentuknya persekutuan ini, perairan Cirebon mendapat perlindungan dari angkatan laut Demak yang dikenal kuat saat itu.[15]

Perjanjian Sunda-Portugal

Persekutuan yang terbentuk antara Cirebon dan Demak ini membuat Sri Baduga Maharaja cemas. Sebagai negara agraris, Kerajaan Sunda memiliki angkatan darat yang besar dan kuat, namun angkatan lautnya relatif lebih lemah dari Demak.[15] Ia menilai angkatan laut Demak sebagai ancaman terhadap kota-kota pelabuhan milik Kerajaan Sunda seperti Sunda Kelapa dan Banten, yang merupakan gerbang utama dari jalur perdagangan Kerajaan Sunda dengan negara lain seperti Melaka dan Barus.[15] Untuk mengantisipasi ancaman yang dapat ditimbulkan oleh angkatan laut Demak, di tahun 1512 Sri Baduga mengutus putra mahkotanya, Sanghyang Surawisesa untuk mengunjungi Melaka yang saat itu sudah dikuasai oleh Bangsa Portugis.[16] Di Melaka Portugis, Surawisesa bertemu dengan kapitan-mayor Rui de Brito Patalim, penguasa Melaka yang ditunjuk oleh laksamana Portugis Afonso de Albuquerque, untuk merundingkan kesepakatan perdagangan antara kedua pihak. Dalam catatan sejarah Portugal, Sanghyang Surawisesa dikenal dengan nama Samiam atau Samian.[17][18] Surawisesa mengunjungi Melaka kembali di tahun 1521, dimana ia bertemu dengan Jorge de Albuquerque, kapitan-mayor yang merupakan sepupu dari Alfonso.[19] Di tahun 1522, Jorge de Albuquerque mengutus kapten Henrique de Leme ke Pakuan, mengunjungi Surawisesa yang baru menggantikan ayahnya sebagai raja.[20][21] Dari kunjungan ini dibuatlah perjanjian antara Portugal dan Sunda, dimana disepakati bahwa kapal-kapal Portugis diberikan tempat untuk berlabuh di pelabuhan Sunda Kelapa dan Portugal dibolehkan untuk membangun benteng di muara sungai Ciliwung, sementara Sunda akan menyumbang 1.000 karung lada kepada Portugal.[22][23] Kedua pihak lalu membuat sebuah prasasti sebagai tanda perjanjian di muara Ciliwung.[24]

Perang Demak-Sunda

Terbentuknya perjanjian antara Sunda dan Portugal ini meresahkan penguasa Demak saat itu yaitu Sultan Trenggana. Antara tahun 1512-1521 Demak sudah menyerbu Melaka beberapa kali untuk mengusir keberadaan Portugal disana namun selalu menemui kegagalan.[25] Sultan pendahulu Trenggana, Pati Unus, bahkan gugur dalam penyerbuan di tahun 1521.[26] Trenggana mengkhawatirkan keberadaan orang-orang Portugis di Sunda Kelapa yang dapat memutus jalur perdagangan Demak dengan wilayah Sumatra dan Asia yang lain dan mengancam keberadaan negara-negara Islam di Nusantara.[27] Trenggana lalu menyiapkan angkatan laut Demak untuk menaklukan wilayah pesisir utara Kerajaan Sunda terutama Sunda Kelapa untuk mencegah pelabuhan tersebut menjadi basis pertahanan Portugal.[28][29] Persiapan penaklukan ini memulai Perang Demak-Sunda antara Surawisesa yang dibantu oleh bangsa Portugis dan Trenggana yang dibantu oleh Cirebon yang dipimpin oleh Syarif Hidayatullah, keponakan dari Surawisesa sendiri.[30][31] Tercatat setidaknya terdapat 15 kali pertempuran selama 5 tahun (1526-1531) antara pasukan Sunda melawan pasukan gabungan Demak dan Cirebon.[32][33] Selama perang tersebut, pihak kerajaan Sunda kehilangan pelabuhan-pelabuhan pentingnya seperti Banten dan Sunda Kelapa.[34] Banten berhasil ditaklukan oleh angkatan laut Demak dan Cirebon di tahun 1526, dimana Maulana Hasanuddin dari Banten, putra dari Syarif Hidayatullah diangkat menjadi penguasa wilayah tersebut.[35][36] Hasanuddin kelak menjadi sultan pertama di Banten.[37] Sementara itu pelabuhan Sunda Kelapa di tahun 1527 ditaklukan oleh Fatahillah, laksamana Demak yang juga menantu dari Syarif Hidayatullah.[38] Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang berarti "kota kemenangan", yang merupakan asal-mula nama dari kota Jakarta sekarang.[34][39] Bantuan dari pihak Portugal yang diharapkan oleh Surawisesa datang terlambat, dimana armada Portugal yang dipimpin oleh Duarte Coelho beserta Francisco de Sa dari Goa baru datang ke Sunda Kelapa saat pelabuhan tersebut sudah dikuasai Fatahillah.[40][41] Armada tersebut berhasil diusir oleh pasukan gabungan Demak dan Cirebon setelah melalui satu pertempuran yang dahsyat.[17][42] Di tahun 1528, Cirebon mulai melakukan ekspansi ke wilayah Galuh dan Talaga dan berhasil menguasai keduanya secara penuh di tahun 1530.[43][44] Namun pasukan gabungan Demak dan Cirebon selalu tidak berhasil dalam setiap penyerbuan yang dilakukan ke Pakuan Pajajaran dikarenakan benteng pertahanannya yang kokoh dan letak geografis Pakuan yang berada jauh di pedalaman.[15][45] Pada 29 Juni 1531, kedua pihak menyepakati perjanjian damai dimana Cirebon dan Sunda saling mengakui kedaulatan masing-masing sebagai negara sederajat pewaris Sri Baduga Maharaja.[15] Perjanjian ini ditandatangani oleh Surawisesa, Fatahillah (mewakili Demak), Hasanuddin dan Pangeran Pasarean.[46][47] Kerajaan Sunda banyak kehilangan wilayahnya dari perang ini, dimana daerah pelabuhan Banten yang ditaklukkan Hasanuddin kelak lahir menjadi negara baru, sementara wilayahnya di sebelah timur sungai Citarum dan pesisir utara menjadi wilayah Cirebon.[48][49] Hilangnya wilayah tersebut terutama pelabuhan Banten dan Sunda Kelapa menjadi pemicu kemunduran ekonomi kerajaan ini yang mulai dirasakan penguasanya sepeninggal Surawisesa.[48]

Keruntuhan Kerajaan Sunda oleh Kesultanan Banten

Kemenangan Demak dan Cirebon atas Sunda tersebut semakin mengkuatkan perkembangan penyebaran Islam di Jawa Barat. Banten menjadi pusat kedua penyebaran Islam di Jawa Barat setelah Cirebon.[50][51] Sebaliknya, Kerajaan Sunda yang bercorak Hindu terus mengalami kemunduran sepeninggal Surawisesa. Ratu Dewata yang menggantikannya di tahun 1535, lebih memusatkan diri pada kegiatan keagamaan dan kurang memperhatikan urusan pertahanan negara karena berlakunya perjanjian damai dengan Demak dan Cirebon.[52][15] Di era pemerintahannya, pasukan Banten di bawah Hasanuddin pernah mencoba kembali menyerbu Pakuan namun kembali gagal.[53][54] Ratu Dewata digantikan oleh Ratu Sakti di tahun 1543. Raja ini tercatat sebagai raja yang zalim terhadap rakyatnya, dimana banyak terjadi penyalahgunaan kekuasaan di era pemerintahannya.[47][55] Sunda relatif aman dari ancaman Banten dan Cirebon saat itu karena keduanya sedang membantu Demak dalam usaha penaklukan atas daerah Panarukan (Kerajaan Blambangan) yang masih bercorak Hindu.[56][57] Ratu Sakti akhirnya digulingkan oleh para pembesar kerajaan dan penggantinya Nilakendra naik takhta di tahun 1551.[52][18] Di era pemerintahannya, situasi negara sudah tidak menentu, dimana terjadi bencana kelaparan yang melanda masyarakat.[52][58] Sementara itu Banten dibawah Hasanuddin menjadi kesultanan yang berdaulat di tahun 1552, memanfaatkan keadaan perang saudara di Demak saat itu antara kubu Arya Penangsang dan Adiwijaya.[26][59] Pakuan kemudian mendapat serbuan besar berkali-kali dari putra mahkota Banten Maulana Yusuf.[47] Serbuan ini mengakibatkan Nilakendra dan para pembesar kerajaan menelantarkan Pakuan dan memindahkan pusat pemerintahan ke Pulasari (sekarang Pandeglang) di tahun 1555.[53][60] Di timur, Kesultanan Demak digantikan oleh Kesultanan Pajang setelah Adiwijaya memenangkan perang saudara dan memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang.[26] Nilakendra lalu digantikan oleh Raga Mulya di tahun 1567.[15] Di tahun 1568, Syarif Hidayatullah wafat dan digantikan oleh Fatahillah yang kemudian wafat di tahun 1570, lalu Cirebon dipimpin oleh cicit Syarif Hidayatullah bernama Zainul Arifin.[61][43] Di Banten, Hasanuddin wafat di tahun 1570 dan posisinya sebagai sultan Banten digantikan oleh Maulana Yusuf.[62] Di tahun 1579, Maulana Yusuf melancarkan serbuan akhir ke Pakuan dan Pulasari yang mengakhiri keberadaan kerajaan Sunda di Jawa Barat.[63][47] Geusan Ulun, penguasa di Sumedang Larang yang masih bagian dari Cirebon saat itu, menyatakan diri sebagai penerus Raga Mulya dengan gelar Kusumadinata II dan menolak penguasaan Banten atas bekas wilayah Sunda.[64][65]

Sumedang Larang bergabung dengan Mataram

Sumedang Larang dan Cirebon pernah terlibat peperangan di awal abad ke-17, dikarenakan terjadinya Peristiwa Harisbaya di tahun 1585, dimana Harisbaya yang merupakan istri selir dari Panembahan Ratu I, terlibat hubungan terlarang dengan Geusan Ulun dan dilarikan ke Sumedang.[66] Hal ini memicu perang antara Cirebon dan Sumedang yang diakhiri dengan penyerahan wilayah Sindangkasih (kemungkinan Majalengka) kepada Cirebon dan diceraikannya Harisbaya oleh Panembahan Ratu, yang kemudian menjadi istri dari Geusan Ulun.[67] Peristiwa Harisbaya ini menjadi awal kemunduran Kerajaan Sumedang Larang, dikarenakan hubungan larang tersebut mencoreng nama Geusan Ulun dan mengakibatkan banyak warga Sumedang Larang keluar menetap di wilayah lain.[68][69] Geusan Ulun lalu wafat di tahun 1608 dan mewariskan kerajaannya kepada anak Harisbaya yaitu Suriadiwangsa yang naik takhta dengan gelar Kusumadinata III.[70] Sementara di Banten, setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Sunda dan mengembangkan Banten sebagai pusat perdagangan penting di Asia Tenggara, Maulana Yusuf wafat di tahun 1585. Kepemimpinannya dilanjutkan oleh putranya Maulana Muhammad, yang mengadakan ekspedisi militer terhadap Kerajaan Palembang di tahun 1596, namun Maulana Muhammad gugur dalam ekspedisi tersebut.[71] Di tahun yang sama, ekspedisi penjelajahan Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman tiba di Banten.[72] Di timur, Kesultanan Mataram di bawah Sutawijaya menggantikan kedudukan Pajang sebagai penguasa Jawa bagian tengah dan timur, dimana daerah Galuh tercatat sudah dikuasai oleh Mataram di tahun 1595.[73] Mataram di awal pendiriannya memiliki hubungan baik dengan Cirebon dikarenakan Panembahan Ratu dan Sutawijaya sama-sama pernah mendukung kubu Pangeran Benawa selama terjadi konflik di Pajang.[11][74] Namun hubungan ini mulai berubah ketika Sultan Agung cucu Sutawijaya berkuasa di tahun 1613, dimana politik ekspansionis yang dijalankannya memaksa Cirebon menjadi vasal Mataram di tahun 1619.[75] Di tahun yang sama, VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen berhasil merebut Jayakarta dari Banten dan mulai mendirikan Kota Batavia.[76] Lalu di tahun 1620, raja Kusumadinata III mendatangi Sultan Agung di Kerto dan menyatakan bergabungnya Sumedang Larang dengan Mataram, demi melindungi daerahnya dari kemungkinan serbuan dari Banten.[70] Oleh Sultan Agung ia diterima dengan baik, lalu raja Kusumadinata III diangkat sebagai bupati wedana (setingkat gubernur) untuk daerah Parahyangan dengan gelar Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, dimana ia ditugaskan membangun pertahanan daerah kekuasaannya untuk menghadapi serbuan dari arah barat.[77] Di tahun 1624, Rangga Gempol I memimpin pasukan Sumedang untuk membantu Sultan Agung dalam menaklukan Surabaya, dimana ia ditugaskan untuk menaklukan daerah Madura dan berhasil menyelesaikannya.[78] Keberhasilan ini membuat Sultan Agung meminta Rangga Gempol I untuk menetap di Kerto sebagai pembesar kerajaan, dimana jabatan bupati wedana Parahyangan lalu dilimpahkan kepada saudaranya Rangga Gede.[79] Namun tidak lama setelah Rangga Gempol I tinggal di Kerto, ia dihukum mati oleh Sultan Agung di tahun 1625 dikarenakan suatu gurauan darinya yang dianggap meremehkan Mataram.[80]

Pemberontakan Dipati Ukur

Setelah Rangga Gede menjadi bupati wedana tetap menggantikan saudaranya, daerah Parahyangan mendapat serbuan pasukan Banten di tahun 1627, dimana serbuan ini dipimpin oleh Kartajiwa atau Suriadiwangsa II, anak sulung dari Rangga Gempol I yang kecewa dikarenakan jabatan bupati wedana peninggalan ayahnya tidak turun kepadanya.[79] Kartajiwa mendatangi dan meminta sultan Banten saat itu, Abul Mafakhir untuk memberikannya pasukan untuk menyerang Parahyangan, lalu ia akan menggabungkan Parahyangan dengan Banten setelah berhasil menguasai daerah tersebut.[79] Serbuan ini tidak mampu dihalau oleh Rangga Gede, sehingga Sultan Agung menjatuhi hukuman penahanan terhadap dirinya.[81] Sultan Agung menugaskan Dipati Ukur sebagai bupati wedana baru untuk mengusir pasukan Banten dari Parahyangan, dimana ia berhasil dalam tugasnya ini.[82] Setelah usahanya untuk menyatukan Parahyangan dengan Banten tidak berhasil, Kartajiwa beserta pengikutnya lalu menetap di wilayah Banten sekitar Sungai Cisadane dan ikut membantu mendirikan pemukiman yang berkembang menjadi Kota Tangerang modern.[83] Di tahun 1628, Sultan Agung melancarkan penyerbuan ke Batavia untuk mengusir VOC dari Batavia dan nantinya menjadikan Batavia sebagai pangkalan militer sebelum menyerbu Banten secara langsung.[84] Sebagian pasukan Mataram berangkat melalui Laut Jawa dan singgah di Cirebon sebelum pergi ke Batavia.[85] Serbuan yang dipimpin Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja ini mengalami kegagalan dikarenakan kurangnya persediaan pangan dari tentara Mataram selama mengepung Batavia.[86] Serbuan kedua lalu dilancarkan di tahun 1629, dimana Sultan Agung menyiapkan beberapa titik persediaan pangan di daerah pesawahan di Cirebon, Karawang dan Gebang untuk memasok tentara Mataram selama penyerbuan kedua berlangsung di Batavia.[87] Namun rencana ini terdengar ke pihak VOC yang mengerahkan pasukannya untuk membakar lumbung-lumbung padi tersebut, yang mengakibatkan serbuan kedua Mataram ini kembali mengalami kegagalan.[88] Dipati Ukur sebagai bupati wedana Parahyangan juga salah-satu panglima Mataram dalam penyerbuan tersebut, memutuskan untuk memberontak terhadap Mataram untuk menghindari hukuman dari Sultan Agung yang sering menjatuhkan hukuman berat terhadap panglima yang dianggap gagal dalam menjalankan tugas.[77] Setelah pemberontakannya berhasil dipadamkan di tahun 1632, Dipati Ukur lalu dihukum mati di ibukota Mataram, lalu Sultan Agung mendeportasi penduduk asli daerah Parahyangan terutama penduduk Tatar Ukur ke arah timur.[89]

Sepeninggal Dipati Ukur, daerah Parahyangan termasuk Galuh mengalami reorganisasi administrasi dari Mataram untuk memulihkan kestabilan di daerah tersebut. Rangga Gede yang diangkat kembali sebagai bupati wedana tidak lama kemudian wafat di tahun 1633, dimana jabatannya dilanjutkan anaknya Raden Bagus Weruh dengan gelar Rangga Gempol II.[90] Rangga Gempol II lebih banyak menjalankan tugasnya di ibukota Mataram daripada Sumedang untuk mencegah timbulnya pemberontakan kembali di Parahyangan. Setelah Sultan Agung wafat di tahun 1645, penerusnya Amangkurat I menghapuskan jabatan bupati wedana yang dipegang Rangga Gempol II, sehingga kedudukannya turun sebagai bupati biasa yang hanya membawahi Sumedang dengan kedudukan yang setara dengan bupati-bupati lainnya di Parahyangan.[91] Setelah wafat, Rangga Gempol II lalu digantikan oleh anaknya Rangga Gempol III di tahun 1656. Sementara di Cirebon, setelah Panembahan Ratu I wafat di tahun 1649, ia digantikan oleh cucunya Abdul Karim yang juga menantu dari Amangkurat I, bergelar Panembahan Ratu II.[92] Di masa pemerintahan Panembahan Ratu II, Cirebon semakin kehilangan kedaulatannya akibat kendali Mataram yang semakin kuat.[93] Setelah kegagalan misi dari Pangeran Martasari dan Suradimarta di tahun 1650 untuk membujuk Banten agar mengakui supremasi Mataram, terjadi Peristiwa Girilaya dimana Amangkurat I menahan Panembahan Ratu II di ibukota Mataram karena kegagalannya tersebut.[43] Penahanan ini mengakibatkan krisis kosongnya kepemimpinan di Cirebon, dimana Amangkurat I segera mendesak Pangeran Martasari untuk menyiapkan pasukan untuk menyerang Banten. Pangeran Martasari lalu mencoba untuk menguasai Pelabuhan Tanara milik Banten dalam suatu konflik yang disebut sebagai Perang Pacirebonan di akhir tahun 1650, dimana sebagian besar pasukan Cirebon masuk dalam perangkap serta berhasil dihancurkan pasukan Banten.[94] Panembahan Ratu II sendiri wafat dalam penahanan di Mataram di tahun 1662.[95]

Pemberontakan Trunajaya

Dikarenakan kepemimpinan Amangkurat I yang menindas dan zalim, meletus Pemberontakan Trunajaya di tahun 1674 yang melemahkan kendali Mataram atas daerah Parahyangan.[96] Di barat, keadaan ini dimanfaatkan oleh Rangga Gempol III untuk memulihkan kembali keadaan wilayah Sumedang di saat baru bergabung dengan Mataram, dimana ia mencoba untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang dahulunya merupakan bagian Kerajaan Sumedang Larang, hingga Sumedang terlibat konflik dengan Banten yang saat itu dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa yang juga ingin menguasai dan menyebarkan pengaruh di daerah-daerah tersebut.[97] Di tahun 1677, pasukan Trunajaya berhasil merebut keraton Plered di pusat Mataram, sehingga kendali Mataram atas daerah Parahyangan menghilang, khususnya di bagian barat seperti Cianjur.[98] Amangkurat I wafat dalam pelariannya di Tegal dan dilanjutkan oleh anaknya Amangkurat II sebagai sultan Mataram.[99] Dikarenakan Mataram tidak memiliki pasukan bersama persenjataan yang cukup dalam menghadapi Trunajaya, Amangkurat II terpaksa membuat perjanjian dengan gubernur jenderal VOC Joan Maetsuycker di tanggal 19-20 Oktober 1677, dimana disetujui bahwa VOC akan membantu Mataram untuk menumpas pemberontakan Trunajaya dengan syarat Mataram harus menyerahkan beberapa wilayah kepada VOC termasuk daerah Parahyangan antara Sungai Cisadane dan Citarum.[100] Jatuhnya Plered ke tangan Trunajaya membuat kedua putra Panembahan Ratu II yang ikut ditahan sejak 1650 yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya bisa membebaskan diri.[11] Keduanya lalu sepakat membagi kekuasaan di Cirebon dengan persetujuan Sultan Ageng Tirtayasa, sehingga Kesultanan Cirebon terbagi menjadi Kesultanan Kasepuhan dan Kanoman di tahun 1678 dimana keduanya berada dalam pengaruh dan perlindungan Banten.[101]

Pendudukan Banten atas Sumedang

Setelah berhasil membuat Cirebon berada dalam pengaruh Banten, Sultan Ageng Tirtayasa lalu menyiapkan pasukannya untuk menyerang Sumedang dengan dipimpin panglima Cilikwidara yang didukung para bupati Parahyangan yang menentang Rangga Gempol III.[102] Pasukan Banten berhasil menduduki Sumedang antara tahun 1678-1680, yang membuat Rangga Gempol III terpaksa mundur ke daerah Indramayu selama masa pendudukan tersebut.[102] Pendudukan Banten atas Sumedang berakhir di tahun 1680, ketika Cilikwidara dan pasukannya ditarik mundur sehubungan dengan meletusnya konflik internal antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya Abu an-Nasr yang kelak lebih dikenal sebagai Sultan Haji.[23] Dalam konflik internal Banten tersebut, VOC bersekutu dengan kubu Abu an-Nasr, dimana VOC lalu berhasil menjebak dan menahan Sultan Ageng Tirtayasa di tahun 1683, yang kemudian wafat dalam penahanan di Batavia di tahun 1692.[71] Setelah Abu an-Nasr menggantikan posisi ayahnya sebagai di tahun 1683, Banten tidak lagi menjadi negara berdaulat namun tunduk terhadap kebijakan VOC yang berlaku di wilayahnya.[103] Konflik tersebut juga berdampak terhadap dinamika politik di Cirebon, dimana pengaruh Banten yang semakin melemah digantikan VOC melalui perjanjian di tanggal 7 Januari 1681.[11] Sementara di daerah Parahyangan, Kontak antara VOC dengan para penguasa daerah baru mulai terjalin di tahun 1684 saat gubernur jenderal VOC Johannes Camphuys mulai mengirim utusan ke Indramayu dan Karawang.[104][105] Penjelajahan VOC ke daerah pedalaman mulai dilakukan di tahun 1687, dimana tim yang dipimpin oleh Pieter Scipio van Oostende berhasil menemukan kembali reruntuhan Pakuan Pajajaran serta situs Prasasti Batutulis di Bogor.[106] Penjelajahan tersebut akhirnya berakhir di pesisir selatan Palabuhanratu.[107]

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ "Dewa Bratalegawa Orang Islam Pertama di Jawa Barat". Republika Online. 2008-09-20. Diakses tanggal 2021-03-27. 
  2. ^ antaranews.com (2008-09-19). "Dewa Bratalegawa Orang Islam Pertama di Jawa Barat". Antara News. Diakses tanggal 2021-03-27. 
  3. ^ Okezone (2021-03-25). "Kisah Raja Padjajaran, Banten dan Cirebon Naik Haji : Okezone Nasional". https://nasional.okezone.com/. Diakses tanggal 2021-03-27.  Hapus pranala luar di parameter |website= (bantuan)
  4. ^ "Karawang akan Perbaiki Kompleks Makam Syekh Quro". Republika Online. 2019-07-11. Diakses tanggal 2021-03-27. 
  5. ^ M.Ag, Dr Ading Kusdiana (2014). SEJARAH PESANTREN: Jejak, Penyebaran, dan Jaringannya di Wilayah Priangan (1800-1945). Humaniora. ISBN 978-979-778-245-0. 
  6. ^ Hasan, H. Ahmad Zaini (2014-01-01). PERLAWANAN DARI TANAH PENGASINGAN ; Kiai Abbas, Pesantren Buntet, dan Bela Negara. Lkis Pelangi Aksara. ISBN 978-602-14913-2-4. 
  7. ^ Wulandari, Lisa Dwi; Maulidi, Chairul (2017-09-01). Tipologi Lanskap Pesisir Nusantara: Pesisir Jawa. Universitas Brawijaya Press. ISBN 978-602-432-391-2. 
  8. ^ H, Asby (1986-01-01). Senja Pajajaran. PT Balai Pustaka (Persero). 
  9. ^ Wahidoh,S.PdI, Siti. BUKU INTISARI SKI: (Sejarah Kebudayaan Islam). Rumah Belajar Matematika Indonesia. ISBN 978-623-94494-0-7. 
  10. ^ Worosetyaningsih, Tri. KEHIDUPAN MASYARAKAT PADA MASA PRAAKSARA, MASA HINDU BUDHA, DAN MASA ISLAM. Myria Publisher. ISBN 978-602-53663-7-6. 
  11. ^ a b c d Notosusanto, Marwati Djoened, Poesponegoro, Nugroho (2008). Sejarah Nasional Indonesia Jilid 3: Zaman Pertumbuhan & Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia. Balai Pustaka (Persero), PT. ISBN 978-979-407-409-1. 
  12. ^ Musman, Asti (2021-09-25). Walisongo: Sebuah Biografi. Anak Hebat Indonesia. ISBN 978-623-400-742-8. 
  13. ^ a b Jauquene, F. Taufiq El (2020). DEMAK BINTORO Kerajaan Islam Pertama di Jawa dari Kejayaan hingga Keruntuhan. Araska Publisher. ISBN 978-623-7910-44-2. 
  14. ^ Sunardjo, R. H. Unang (1996). Selayang pandang sejarah masa kejayaan Kerajaan Cirebon: kajian dari aspek politik dan pemerintahan. Yayasan Keraton Kasepuhan Cirebon. 
  15. ^ a b c d e f g Danasasmita, Saleh (1983). Sejarah Bogor. Pemerintah Daerah Kotamadya DT II Bogor. 
  16. ^ detikcom, Tim. "Negara yang Pernah Menjajah Indonesia, Bukan Hanya Belanda dan Jepang". detikTravel. Diakses tanggal 2021-03-28. 
  17. ^ a b Noor, Farish Ahmad; Noor, Ahmad-Noor A. (2005). From Majapahit to Putrajaya: Searching for Another Malaysia (dalam bahasa Inggris). Silverfishbooks. ISBN 978-983-3221-05-9. 
  18. ^ a b Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuna. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1984. 
  19. ^ Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society (dalam bahasa Inggris). 1955. 
  20. ^ Wali, Abdullah (2019-10-31). Multikulturalisme dalam Pendidikan Agama Islam: Analisis Pemikiran Dosen PAI di Perguruan Tinggi Umum. Penerbit A-Empat. ISBN 978-602-0846-51-4. 
  21. ^ Seni. BP ISI. 1999. 
  22. ^ Simbolon, Parakitri Tahi (2006). Menjadi Indonesia. Penerbit Buku Kompas. ISBN 978-979-709-264-1. 
  23. ^ a b Sejarah perlawanan terhadap imperialisme dan Kolonialisme di daerah Jawa Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 1990. 
  24. ^ Jakarta, BAPPEDA DKI (1998). Jakarta membangun. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, DKI Jakarta. 
  25. ^ M.A, Prof Dr H. J. Suyuthi Pulungan (2022-01-06). Sejarah Peradaban Islam. Amzah. ISBN 978-602-0875-13-2. 
  26. ^ a b c Jauquene, F. Taufiq El (2020). DEMAK BINTORO Kerajaan Islam Pertama di Jawa dari Kejayaan hingga Keruntuhan. Araska Publisher. ISBN 978-623-7910-44-2. 
  27. ^ "Surawisesa Beri Portugis Sunda Kelapa, Pajajaran Dihajar Demak-Cirebon - Semua Halaman - National Geographic". nationalgeographic.grid.id. Diakses tanggal 2023-01-08. 
  28. ^ MA, Drs Imam Subchi. Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas XII. Toha Putra. ISBN 978-602-1172-15-5. 
  29. ^ HM, Zaenudin. Kisah-kisah Edan Seputar DJakarta Tempo Doeloe. 
  30. ^ Mashad, Dhurorudin (2014-01-01). Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang Hilang. Pustaka Al Kautsar. ISBN 978-979-592-666-5. 
  31. ^ Ruhyani, Asep (2020-06-10). "Tiga Tokoh Utama Perang Pajajaran Melawan Cirebon - Analisis - www.indonesiana.id". https://www.indonesiana.id/profil/read/140571/tiga-tokoh-utama-perang-pajajaran-melawan-cirebon (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-01-16.  Hapus pranala luar di parameter |website= (bantuan)
  32. ^ "Star Glam Cirebon | Cirebon In One Click | 15 Kali Pertempuran Perang Antara Kerajaan Pajajaran dan Cirebon Berlangsung 5 Tahun". starglamcirebon.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-01-08. 
  33. ^ Poesponegoro, Marwati Djoened; Notosusanto, Nugroho (1984). Sejarah nasional Indonesia. Balai Pustaka. 
  34. ^ a b M.M, Dr H. Eman Suryaman (2024-05-14). Jalan Hidup Sunan Gunung Jati: Sejarah Faktual dan Filosofi Kepemimpinan Seorang Pandhita-Raja. Marja. ISBN 978-602-6297-30-3. 
  35. ^ Banten kota pelabuhan jalan sutra. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 1995. 
  36. ^ "Melacak Jejak Kesultanan Banten (Bag 1)". Republika Online. 2012-11-29. Diakses tanggal 2023-01-16. 
  37. ^ Hamid, A. (1987). Tragedi berdarah di Banten, 1888. Yayasan Kiyai Haji Wasyid. 
  38. ^ Jakarta selayang pandang: memasuki millenium III. Diterbitkan oleh Kadin Tingkat I DKI Jakarta bekerjasama dengan PT. Kloang Klede Putra Timur. 1999. 
  39. ^ RI, Kemdikbudristek. "Jalur Rempah Nusantara". jalurrempah.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2023-01-12. 
  40. ^ Leirissa, R. Z. (1995-01-01). Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 
  41. ^ Tantangan nasional. Leknas. 1970. 
  42. ^ Ataladjar, Thomas B. (2003). Toko Merah: saksi kejayaan Batavia lama di tepian muara Ciliwung : riwayat dan kisah para penghuninya. Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta. 
  43. ^ a b c Hernawan, Wawan; Kusdiana, Ading (2020-05-12). BIOGRAFI SUNAN GUNUNG DJATI: Sang Penata Agama di Tanah Sunda. LP2M UIN Sunan Gunung Djati Bandung. ISBN 978-623-93720-1-9. 
  44. ^ Ekajati, Edi Suhardi (2003). Sejarah Kuningan: dari masa prasejarah hingga terbentuknya kabupaten. Kiblat Buku Utama. 
  45. ^ "Kisah Ketangguhan Benteng Parit Kerajaan Pajajaran Karya Prabu Siliwangi yang Sulit Ditembus". iNews.ID. 2022-08-04. Diakses tanggal 2023-01-16. 
  46. ^ Rahmadania, Andi Wulan; Wibowo, Hanafi; Sarjono, Erlambang; Simamora, Harry Farinuddin; Amin, Muhammad Miftah Nur; Maheswara, Adhitya M.; Vivaldy, Jonathan Charmian (2022-07-20). Strategi Politik Perempuan dalam Sejarah. Neosphere Digdaya Mulia. ISBN 978-623-99818-7-7. 
  47. ^ a b c d Michrob, Halwany; Chudari, A. Mudjahid (1993). Catatan masalalu Banten. Saudara. 
  48. ^ a b "Masa Kemunduran Kerajaan Pajajaran". Sejarah Cirebon. Diakses tanggal 2023-01-12. 
  49. ^ Okezone (2022-01-04). "Kalah Perang, Sebagian Besar Wilayah Kekuasaan Pajajaran Hilang : Okezone Nasional". https://nasional.okezone.com/. Diakses tanggal 2023-01-12.  Hapus pranala luar di parameter |website= (bantuan)
  50. ^ Rifa'i, Bahtiar. "Kisah Maulana Hasanuddin Penyebar Islam-Raja Pertama Kesultanan Banten". detiknews. Diakses tanggal 2023-01-17. 
  51. ^ "Penyebaran Islam di Tanah Sunda (4): Dari Cirebon Sampai Banten – Gana Islamika" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-01-17. 
  52. ^ a b c Danasasmita, Saleh (2014). Menemukan Kerajaan Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama. hlm. 91. ISBN 978-979-8002-61-8. 
  53. ^ a b Adimihardja, Kunaka (1992). Kasepuhan yang tumbuh di atas yang luruh: pengelolaan lingkungan secara tradisional di kawasan Gunung Halimun, Jawa Barat. Tarsito. 
  54. ^ Ensiklopedi nasional Indonesia. Cipta Adi Pustaka. 1991. 
  55. ^ "Ratu Sakti, Raja Pajajaran yang Suka Membunuh hingga Nikahi Selir Ayahnya". iNews.ID. 2022-06-09. Diakses tanggal 2023-01-22. 
  56. ^ Atja (1986). Nagarakretabhumi I.5: karya kelompok kerja di bawah tanggungjawab Pangeran Wangsakerta Panembahan Cirebon. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  57. ^ Saleh, Mohamad Idwar (1981). Banjarmasih: sejarah singkat mengenai bangkit dan berkembangnya kota Banjarmasin serta wilayah sekitarnya sampai dengan tahun 1950. Museum Negeri Lambung Mangkurat, Propivsi [i.e. Propinsi] Kalimantan Selatan. 
  58. ^ Hidayat, H. Setia; Haesy, Noor Syamsuddin Chatib (2004). Sangkakala Padjadjaran: upaya awal mengeja dan menyingkap makna Rumpaka. Padepokan Seni Budaya Sunda Sangkakala Padjadjaran. ISBN 978-979-9056-81-8. 
  59. ^ Luthfi, Widhi. "Kerajaan Islam di Jawa; Kerajaan Banten". www.goodnewsfromindonesia.id. Diakses tanggal 2023-01-22. 
  60. ^ inforadar.id. "Kisah Ratu Nilakendra, Raja Pajajaran Penganut Sekte Sesat yang Ditaklukkan Sultan Banten". inforadar.id. Diakses tanggal 2023-01-22. 
  61. ^ Basyari, Hasan (1989). Sekitar komplek makam Sunan Gunung Jati dan sekilas riwayatnya: dilengkapi do'a silsila Gunung Jati dan ratib al Haddad. Zul Fana. 
  62. ^ Hendarti, Latipah (2008-01-01). Menepis Kabut Halimun: Rangkaian Bunga Rampai Pengelolaan Sumberdaya Alam Di Halimun. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 978-602-433-131-3. 
  63. ^ Zuhdi, Ahmad; Auliahadi, Arki; Fauzi; Nurasiah (2022-11-01). Dinamika Islam di Nusantara. Penerbit NEM. ISBN 978-623-423-478-7. 
  64. ^ Permana, Aan Merdeka (2000). Silalatu Gunung Salak (dalam bahasa Sunda). Yayasan Galura. 
  65. ^ Azis, Nur. "Sejarah Mahkota Binokasih Peninggalan Kerajaan Sumedang Larang". detikjabar. Diakses tanggal 2023-01-27. 
  66. ^ Ekajati, Edi Suhardi; Wibisana, Wahyu; Anggawisastra, Ade Kosmaya (1985). Naskah Sunda lama kelompok babad. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  67. ^ Patanjala: jurnal penelitian sejarah dan budaya. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2014. 
  68. ^ Ekajati, Edi Suhardi (1984). Masyarakat Sunda dan kebudayaannya. Girimukti Pasaka. 
  69. ^ "Prabu Geusan Ulun, Pajajaran, dan Kisah Cintanya | diplomasi". diplomasi.republika.co.id. Diakses tanggal 2023-08-23. 
  70. ^ a b Naskah Sunda lama di Kabupaten Sumedang. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1986. 
  71. ^ a b Hatmadji, Drs H. Tri (2007). Ragam Pusaka Budaya Banten. Direktorat Jenderal Kebudayaan. ISBN 978-979-99324-0-2. 
  72. ^ Supriyono, Ken (2022-01-03). Persamuhan di Banten: Reportase Setengah Dekade - Jilid I. Pandiva Buku. ISBN 978-602-5583-51-3. 
  73. ^ M, Apipudin S. (2010). Penyebaran Islam Di Daerah Galuh Sampai Dengan Abad Ke-17. Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI. ISBN 978-979-797-302-5. 
  74. ^ PhD, Dr dr Adi Teruna Effendi, SpPD; Sumarlan, Sutrimo; Saptomo, Bunyan; Jabbar, Rahim; Yusuf, Mukhtar; Pharmanegara, Lalu; Sadikin, Prof Dr dr Mohammad. Jejak Islam di nusantara. PT Penerbit IPB Press. ISBN 978-623-256-245-5. 
  75. ^ Pustaka rajya rajya i bhumi Nusantara. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. 
  76. ^ Adi, Windoro (2010). Batavia, 1740: menyisir jejak Betawi. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-22-5451-8. 
  77. ^ a b Suhardja, Gai. The Future of Ideas: Wisata DAS Cikapundung. PT Kanisius. ISBN 978-979-21-7263-8. 
  78. ^ admin (2021-06-24). "Raden Suriadiwangsa Menjadi Bupati Wadana Prayangan". IniSumedang.Com. Diakses tanggal 2023-08-27. 
  79. ^ a b c Lubis, Nina Herlina (2001). Konflik elite birokrasi: biografi politik Bupati R.A.A. Martanagara. Humaniora Utama Press. ISBN 978-979-9231-52-9. 
  80. ^ Rosidi, Ajip (2000). Ensiklopedi Sunda: alam, manusia, dan budaya, termasuk budaya Cirebon dan Betawi. Pustaka Jaya. ISBN 978-979-419-259-7. 
  81. ^ Patanjala: jurnal penelitian sejarah dan budaya. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2014. 
  82. ^ Lasmiyati, Lasmiyati (2017-05-05). "DIPATI UKUR DAN JEJAK PENINGGALANNYA DI KECAMATAN CIPARAY KABUPATEN BANDUNG (1627-1633)". Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research. 8 (3): 381–396. doi:10.30959/patanjala.v8i3.15. ISSN 2598-1242. 
  83. ^ "Kisah Tiga Raksa Raden Sumedang Pendiri Kota Tangerang, Aria Wangsakara Dinobatkan Pahlawan Nasional". Tribunjabar.id. Diakses tanggal 2023-08-27. 
  84. ^ "Setelah Usir VOC Dari Batavia Selanjutnya Adalah Mengalahkan Banten, Begitu Niat Mataram Islam Semula, Tapi... - Semua Halaman - Intisari". intisari.grid.id. Diakses tanggal 2023-09-01. 
  85. ^ Sumber-sumber asli sejarah Jakarta sampai dengan tahun 1630: Sumber-sumber sejarah pada dasawarsa pertama kota Batavia (1619-1630) dan kutipan dari karya sastra Indonesia yang menyangkut awal mula Jakarta. Semua sumber disajikan dalam bahasa asli, yakni Belanda, Inggris serta Jawa dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Yayasan Cipta Loka Caraka. 2001. 
  86. ^ Saihu, Made (2021-08-01). Paradigma Pendidikan Islam Nusantara: Kajian Nilai-Nilai Pendidikan dalam Serat Wulang Reh. The Nuansa Publishing. ISBN 978-623-96351-7-6. 
  87. ^ TEMPO (2021-12-10). Seri TEMPO: Jalan Pos Daendels. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-602-424-684-6. 
  88. ^ S, Conie Wishnu W. dan Hari Bagor. Jejak-Jejak Di Tlatah Teteguall. GUEPEDIA. 
  89. ^ Kiernan, Ben (2008). Blood and Soil: Modern Genocide 1500-2000. hlm. 142. ISBN 9780522854770. 
  90. ^ Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde (dalam bahasa Belanda). Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. 1937. 
  91. ^ "Pustaka Ilmiah Universitas Padjadjaran » Blog Archive » Sumedang Pada Masa Pengaruh Kesultanan Mataram (1601-1706)" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-11-05. 
  92. ^ Media, Kompas Cyber (2021-08-12). "Keraton Kanoman Cirebon: Sejarah, Letak, dan Fungsinya Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-11-05. 
  93. ^ M.Pd, Noor Hidayati, S. Pd; M.Pd, Huriyah, S. Pd. MANUSIA INDONESIA, ALAM & SEJARAHNYA. Penerbit K-Media. ISBN 978-623-316-624-9. 
  94. ^ "Perang Banten-Cirebon di Akhir Ramadan". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. 2019-06-11. Diakses tanggal 2023-11-05. 
  95. ^ Pustaka rajya rajya i bhumi Nusantara. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. 
  96. ^ "Kekuasaan Mataram Islam Surut di Masa Amangkurat I karena Kezalimannya? - Semua Halaman - Intisari". intisari.grid.id. Diakses tanggal 2023-11-06. 
  97. ^ Gani, Lutfi Abdul (2020-03-01). Ki Luluhur Rekam Jejak Sejarah Raden Aria Wangsakara. Deepublish. ISBN 978-623-02-0863-8. 
  98. ^ Visualisasi tinggalan sejarah Islam di Tatar Sunda, 1600-1942: edisi Priangan. Kerjasama Pusat Kajian Lintas Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 2011. 
  99. ^ Yahya, Syarif (2023-02-13). Kamus Sejarah Agama Islam: Nama, Kronologi, Peristiwa Syarif Yahya. Nuansa Cendekia. ISBN 978-602-350-200-4. 
  100. ^ Said, Mohamad (1987). Mendidik dari zaman ke zaman. Jemmars. 
  101. ^ Yusandi, Ojel Sansan (2020-09-18). Batavia Membelah Tirtayasa. Carik Pustaka. 
  102. ^ a b Patanjala: jurnal penelitian sejarah dan budaya. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2014. 
  103. ^ Media, Kompas Cyber (2023-01-29). "Isi Perjanjian antara Sultan Haji dengan VOC Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-11-21. 
  104. ^ Lubis, Nina Herlina (1998). Kehidupan kaum ménak Priangan, 1800-1942. Pusat Informasi Kebudayaan Sunda. 
  105. ^ Riyandi, Rizma (2020-06-25). "Priangan dalam Lintasan Sejarah - Ayo Bandung". Priangan dalam Lintasan Sejarah - Ayo Bandung. Diakses tanggal 2023-11-27. 
  106. ^ Iguchi, Masatoshi (2015-01-28). Java Essay: The History and Culture of a Southern Country (dalam bahasa Inggris). Troubador Publishing Ltd. ISBN 978-1-78462-151-3. 
  107. ^ AyoBandung.Com, Redaksi. "Menjelajahi Priangan Zaman Kompeni". ayobandung.com. Diakses tanggal 2020-12-19.