Kerbau di Indonesia
Kerbau di Indonesia merupakan hasil domestikasi kerbau liar asia. Beberapa suku di Indonesia menjadikan penyembelihan kerbau sebagai simbol ritus kematian untuk pelepasan arwah seseorang yang telah meninggal, antara lain suku Toraja dan suku Dayak.
Domestikasi
[sunting | sunting sumber]Jenis kerbau yang mengalami domestikasi di Indonesia berasal dari kerbau liar asia. Salah satu keterangan domestikasi kerbau di Indonesia terdapat pada litografi pada sebuah lukisan yang dibuat oleh Frans Lebret (1865–1872). Lukisan ini berjudul Anak-anak dan Kerbau di Jawa.[1]
Pemanfaatan
[sunting | sunting sumber]Ritus kematian
[sunting | sunting sumber]Beberapa suku di Indonesia mengadakan ritus kematian untuk pelepasan arwah dari seseorang yang telah meninggal. Ritus kematian ini dilakukan tidak langsung setelah kematian seseorang, melainkan bertahun-tahun setelah kematiannya. Penyelenggaraannya dilakukan secara massal dengan biaya yang banyak dan dilaksanakan pada hari-hari yang dianggap baik.[2]
Terdapat dua suku di Indonesia yang menyimbolkan pelepasan arwah orang mati dengan penyembelihan kerbau. Keduanya ialah suku Toraja di Kabupaten Tana Toraja dan suku Dayak di Kalimantan Timur.[3] Penyembelihan kerbau dilakukan oleh Suku Toraja di Kabupaten Tana Toraja dalam upacara adat bernama Rambu Solo'. Sedangkan penyembelihan kerbau dilakukan oleh Suku Dayak di Kalimantan Timur dalam upacara adat bernama Kwangkey. Jumlah kerbau yang disembelih dalam Rambu Solo' sangat banyak. Sedangkan pada Kwangkey, jumlah kerbau yang disembelih dapat satu atau dua saja,[4]
Pada Rambu Solo', jumlah kerbau yang disembelih menandakan status sosial seseorang dalam suku Toraja. Semakin banyak kerbau yang disembelih menandakan semakin tinggi status sosialnya dalam masyarakat suku Toraja. Status sosial ini tampak pada tanduk-tanduk kerbau hasil sembelihan yang dipasang pada rumah adat suku Toraja yaitu tongkonan.[2] Sementara itu, suku Dayak tidak mengkhususkan penempatan tanduk ataupun rangka kerbau pada rumah adat mereka yaitu rumah lamin. Tanduk atau rangka kerbau hanya dipajang di salah satu tiang pada bagian dalam rumah lamin.[4]
Referensi
[sunting | sunting sumber]Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Widaningsih, N., dkk. (April 2023). Triyanto, Sigit, ed. Profil Kerbau Rawa Ternak Endemik Kalimantan Selatan (PDF). Bandung: Widina Bhakti Persada Bandung. hlm. 15. ISBN 978-623-459-456-0.
- ^ a b Matatita 2009, hlm. 144.
- ^ Matatita 2009, hlm. 144-145.
- ^ a b Matatita 2009, hlm. 145.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Matatita (2009). Tales from the Road: Mencicip Keunikan Budaya dari Yogyakarta hingga Nepal. B-first. ISBN 978-979-243-850-5. Ringkasan.