Kamomose
Kamomose (pencarian jodoh) merupakan tradisi turun temurun mencari jodoh yang masih dilestarikan hingga saat ini di kelurahan Boneoge, kecamatan Lakudo, Buton Tengah, Sulawesi Tenggara. Kamomose adalah sejenis permainan tradisional yang sekaligus berfungsi menjadi ajang perkenalan kamose atau peserta yang siap dipinang kepada masyarakat. Kamomose juga berfungsi sebagai media untuk menjalin hubungan silaturahmi antara masyarakat tanpa memandang kasta sosial [1].
Kamomose berasal dari kata “Komomo” yang berarti bunga yang hampir mekar, dan kata “Poose-ose” yang artinya berjejer secara teratur. Sehingga Kamomose diartikan sebagai tradisi di mana bunga yang hampir mekar adalah idiom untuk para gadis yang menginjak usia remaja duduk berjajar, untuk kemudian dikenalkan kepada para pemuda.[2]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Latar belakang munculnya tradisi Kamomose menurut tradisi lisan didasarkan atas ucapan yang keluar (limbaanogau) dari mulut seseorang atas tercapainya suatu pekerjaan yang dilakukan dan sebagai bentuk kesyukuran kepada Tuhan Yang Maha Esa. Waktu pelaksanaan tradisi Kamomose pada mulanya didasarkan atas perhitungan malam bulan yakni empat belas malam dan lima belas malam bulan dengan maksud agar pelaksanaan tradisi Kamomose berjalan dengan baik dan aman serta memberikan kesempatan kepada seluruh masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan tradisi tersebut. Namun saat ini, Kamomose diadakan pada malam hari setelah perayaan Idul Fitri yang ditujukan sebagai media silaturhami masyarakat dan perantau yang pulang kampung.[3]
Prosesi
[sunting | sunting sumber]Peserta
[sunting | sunting sumber]Kamomose diikuti oleh anak gadis yang belum baligh dan didampingi oleh anak gadis yang sudah dewasa dan belum menikah sebagai pemandu selama acara berlangsung. Anak gadis tersebut akan memakai pakaian adat.
Tata cara
[sunting | sunting sumber]Sebelum acara dimulai, terlebih dahulu para gadis mengambil buete atau tempat duduk yang telah disiapkan sebelumnya. Seluruh Kamose atau peserta akan duduk berjejer menghadap Sikhipua atau baskom yang di atasnya terdapat penerang seperti lilin yang disebut juga Sulutakhu. Kegiatan Kamomose akandiawali dengan pemukulan gong sebagai isyarat bahwa acara akan dimulai.
Para pejabat, tokoh masyarakat, tokoh adat, serta para undangan termasuk tuan rumah memasuki arena permainan untuk melakukan fopanga atau memberi hadiah kepada para kamose yang selanjutnya dilanjutkan oleh keluarga dan masyarakat pada umumnya.[1] Hadiah yang dilemparkan ke baskom para gadis adalah kacang mentah, di mana kacang hanyalah sebagai pengganti, karena pada zaman dahulu bukan kacang yang dilemparkan saat tradisi Kamomose, melainkan koin atau mata uang belanda.[2]
Para pejabat hingga masyarakat akan mengelilingi para gadis sambil melempar kacang mentah ke dalam baskom milik gadis yang di inginkan. Selain kacang, para lelaki biasanya juga akan melempar barang lain seperti uang untuk menarik perhatian para peserta. Bila salah satu gadis memberikan respon, maka si pemuda akan memberitahukan ke keluarganya untuk meminang gadis tersebut.[4] Namun, terdapat kepercayaan di warga bahwa pemuda yang berhasil memadamkan api lilin di baskom tersebut adalah jodoh gadis tersebut.[2]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Hasaruddin, Hendraman (2016). "Nilai-nilai Islam dalam Tradisi Kamomoose di Buton Sulawesi Tenggara". Al-Ulum. 16 (1): 165–184.
- ^ a b c "Kamomose, Tradisi Unik Cari Jodoh di Buton Tengah dengan Melempar Kacang". kumparan. Diakses tanggal 2022-08-19.
- ^ Rahman Raofu, Muh. Arsyad, Tanzil (2018). "PERGESERAN TRADISI BUDAYA KAMOMOOSE (PENCARIAN JODOH) PADA MASYARAKAT BONEOGE PERANTAU (Studi di Kelurahan Boneoge Kecamatan Lakudo Kabupaten Buton Tengah)". Neo Societal. 3 (3): 577–583. doi:http://dx.doi.org/10.33772/.v3i3.7022 Periksa nilai
|doi=
(bantuan). - ^ "Mengenal Tradisi Kamomose Atau Tradisi Mencari Jodoh Setelah Lebaran di Buton Tengah". Suarakendari.com. 2022-05-10. Diakses tanggal 2022-08-19.