Lompat ke isi

Sejarah Ordo Bait Allah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sejarah Ordo Bait Allah meliputi waktu sepanjang dua abad selama Abad Pertengahan, semenjak berdirinya Ordo Bait Allah di awal abad ke-12 hingga dibubarkannya ordo ini di awal abad ke-14.

Kelahiran dan perkembangan

[sunting | sunting sumber]
Masjid Al Aqsa

Sejarah Ordo Bait Allah bisa ditilik hingga periode tak lama setelah Perang Salib Pertama. Sekitar tahun 1119, seorang bangsawan Prancis dari wilayah Champagne, Hugues de Payens, mengumpulkan delapan orang kesatria yang juga masih sanak saudaranya, termasuk di antaranya Godfrey de Saint-Omer, dan memulai Ordo Bait Allah, di mana mereka menyatakan misi mereka adalah untuk melindungi para peziarah yang dalam perjalanan untuk mengunjungi Kota Suci. Mereka mendekati Raja Baldwin II dari Yerusalem yang memperbolehkan mereka untuk mendirikan markas besar di sisi tenggara Bait Suci, di dalam Masjid Al-Aqsa. Semenjak Bait Suci adalah lokasi Bait Salomo yang diceritakan di dalam Kitab Suci, ordo ini mengambil nama "Kesatria Bait Raja Solomo" (The Knights of the Temple of King Solomon), yang nantinya disingkat menjadi "Ordo Bait Allah".

Tidak banyak yang diketahui mengenai ordo ini dalam sembilan tahun pertama berdirinya. Namun pada tahun 1129, setelah mereka secara resmi di bawah pengawasan gereja di Konsili Troyes, mereka menjadi sangat terkenal di seluruh Eropa. Kampanye-kampanye pengumpulan dana mereka meminta bantuan uang, tanah atau putra-putra bangsawan untuk bergabung dengan ordo ini, dengan implikasi bahwa donasi yang diberikan akan membantu baik dalam usaha mempertahankan Yerusalem dan memastikan pemberi bantuan suatu tempat di surga. Usaha-usaha ordo ini dibantu secara besar-besaran dengan dukungan Bernardus dari Clairvaux, tokoh gereja saat itu, dan seorang keponakan salah satu dari sembilan pendiri Ordo Bait Allah.

Dari penampilannya ordo ini menerima kritik yang tajam, terutama dengan konsepnya yang memperbolehkan rohaniwan untuk membawa pedang. Sebagai jawaban atas kritik ini, Bernardus dari Clairvaux membuat sebuah tulisan panjang berjudul De Laude Novae Militae ("Memuji Golongan Kesatria Yang Baru"), di mana ia mendukung misi Ordo Bait Allah dan membela ide dari adanya suatu ordo religius militer dengan merujuk pada teori perang yang adil dalam paham Kristiani yang telah lama ada, di mana teori ini mensahkan "mengangkat senjata" untuk membela pihak yang tidak bersalah dan gereja dari serangan kejam. Dengan melakukan hal tersebut, Bernardus mensahkan kehadiran Ordo Bait Allah yang menjadi biarawan kesatria pertama di dunia Barat.

Bernard menulis:

Seorang Kesatria Ordo Bait Allah sungguh merupakan seorang kesatria pemberani, dan terlindungi di setiap sisinya, karena jiwanya dilindungi oleh jubah iman sebagaimana tubuhnya dilindungi oleh jubah baja. Oleh karenanya ia memiliki perlindungan ganda, dan tidak takut akan setan atau manusia.[1]
Santo Bernardus dari Clairvaux, pelindung Ordo Bait Allah

Donasi-donasi yang diberikan ke ordo ini jumlahnya sangat besar. Raja Aragon, di Semenanjung Iberia, mewariskan tanah yang luas setelah dirinya meninggal dunia pada tahun 1130-an. Anggota-anggota baru ordo ini juga dipersyaratkan untuk mengambil sumpah kemiskinan dan menyerahkan semua harta miliknya kepada persaudaraan para biarawan ini. Harta mereka antara lain tanah, kuda dan harta-harta lainnya yang bernilai, termasuk di antaranya kerja sukarela dan semua bidang niaga.

Pada tahun 1139, kekuasaan yang lebih besar dianugerahkan melalui perintah Paus Innosensius II, yang menerbitkan Bulla kepausan Omne Datum Optimum. Dokumen ini menyatakan bahwa para Kesatria Ordo Bait Allah dapat melewati semua perbatasan dengan bebas, tidak dikenai pajak, dan tidak tunduk pada siapapun kecuali pada Sri Paus. Hal ini merupakan suatu penegasan terhadap keberadaan para Kesatria Ordo Bait Allah dan misi-misi mereka, yang mungkin diajukan oleh sang pendukung ordo ini, Bernardus dari Clairvaux, yang membantu Paus Innosensius II untuk maju menduduki tahtanya tersebut.

Ordo Bait Allah ini berkembang secara cepat di seluruh penjuru Eropa, dengan munculnya cabang-cabang di Prancis, Inggris, dan Skotlandia, dan kemudian menyebar ke Spanyol dan Portugal.

Perang Salib

[sunting | sunting sumber]

Para Kesatria Ordo Bait Allah merupakan suatu kekuatan perang yang elite di zamannya, sangat terlatih, dibekali persenjataan yang mutakhir dan bersemangat tinggi; salah satu aturan dari ordo religius mereka ini adalah bahwa mereka dilarang untuk mundur dari suatu pertempuran, kecuali jumlah mereka lebih sedikit 3 banding 1 daripada lawan mereka. Tidak semua Kesatria Ordo Bait Allah adalah tentara. Misi sebagian besar anggotanya adalah mencari sokongan - yaitu menguasai sumber-sumber daya yang bisa digunakan untuk membiayai dan melengkapi sebagian kecil para anggotanya yang bertempur di garis depan. Oleh karena sistem ini, para tentaranya sangatlah terlatih dan bersenjata lengkap. Bahkan kuda-kuda mereka juga dilatih untuk bertempur dalam peperangan dan dikenakan jubah pelindung.[2] Kombinasi tentara dan rohaniwan dalam Ordo Bait Allah adalah suatu senjata yang ampuh karena bagi mereka menjadi martir di medan pertempuran adalah salah satu cara kematian yang paling bersahaja. Aturan mereka mengharuskan para kesatria untuk terus bertempur bahkan pada batas-batas hingga mirip pada tindakan terlalu nekat, dan mereka dilaang untuk mundur kecuali jumlah mereka lebih sedikit 3 banding 1 - ini pun juga hanya atas dasar perintah dari para komandan mereka - atau apabila bendera Ordo Bait Allah telah jatuh.

Para Kesatria Ordo Bait Allah juga merupakan ahli taktik yang cerdik, seperti impian Santo Bernardus dari Clairvaux yang menyatakan bahwa sebuah kekuatan yang kecil jumlahnya, dalam kondisi yang tepat, bisa mengalahkan musuh yang berjumlah jauh lebih besar. Salah satu pertempuran penting di mana taktik ini digunakan adalah pada tahun 1177 dalam Pertempuran Montgisard. Pemimpin militer Muslim terkenal Salahuddin sedang berusaha untuk maju mendekati Yerusalem dari selatan, dengan kekuatan 26.000 tentara. Ia telah memojokkan tentara Raja Yerusalem Baldwin IV yang terdiri atas 500 kesatria dan para pendukungnya dekat suatu pantai di Ashkelon. Delapan puluh Kesatria Ordo Bait Allah dan para pendukungnya mencoba untuk memberikan bantuan. Mereka bertemu dengan tentara Salahuddin di Gaza, namun karena dianggap terlalu kecil kekuatannya untuk menghentikan perjalanan tentara Salahuddin dan bertempur dengan mereka, Salahuddin memutuskan untuk membiarkan mereka dan terus berjalan ke Yerusalem.

Setelah Salahuddin dan tentaranya meninggalkan mereka, para Kesatria Ordo Bait Allah bisa bergabung dengan kekuatan Raja Baldwin, dan kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke utara menyisiri pantai. Salahuddin melakukan kesalahan penting saat itu - daripada menjaga kesatuan tentaranya, ia mengizinkan tentaranya untuk sementara waktu menyebar yang kemudian para tentara ini menjarah berbagai desa sepanjang jalan mereka menuju Yerusalem. Para Kesatria Ordo Bait Allah mengambil kesempatan kesiapan tentara Salahuddin yang rendah ini untuk melancarkan penyergapan dadakan langsung pada Salahuddin dan para pengawalnya di Montsigard dekat Ramla. Tentara Salahuddin yang sedang tersebar menjadi terlalu lemah untuk cukup mempertahankan diri mereka sendiri, yang menyebabkan Salahuddin dan tentaranya bertempur sambil mundur ke selatan dan berakhir dengan hanya memiliki sepersepuluh dari jumlah tentara yang dibawanya sebelumnya. Pertempuran ini bukanlah pertempuran terakhir melawan Salahuddin, namun kemenangan ini membawa setahun masa damai di Kerajaan Yerusalem dan menjadikannya sebuah legenda kepahlawanan.

Taktik penting lain yang digunakan oleh para Kesatria Ordo Bait Allah adalah apa yang disebut "serbuan skadron". Suatu kelompok kecil para kesatria dan kuda-kuda mereka yang dipersenjatai lengkap membentuk sebuah unit yang ketat yang akan berkuda dengan kecepat tinggi menghajar garis depan musuh, dengan suatu kesungguhan dan kekuatan yang jelas-jelas menyatakan bahwa mereka lebih baik melakukan tindakan bunuh diri daripada mundur. Serangan gencar yang menakutkan ini sering kali mencapai tujuan untuk menerobos garis pertahanan musuh, sehingga mampu memberikan kesempatan menang yang lebih besar bagi tentara Kristen lainnya.[3]

Para Kesatria Ordo Bait Allah, walau jumlahnya relatif kecil, secara rutin bergabung dengan tentara lainnya di pertempuran-pertempuran penting. Mereka menjadi kekuatan yang menerobos garis depan musuh di permulaan pertempuran, atau menjadi para pejuang yang melindungi tentara dari serangan lewat belakang. Mereka bertempur bersama Raja Louis VII dari Prancis dan Raja Richard I dari Inggris.[4] Disamping pertempuran-pertempuran di Palestina, para anggota ordo ini juga bertempur di dalam Reconquista Spanyol dan Portugal.

Pengelola keuangan

[sunting | sunting sumber]

Walaupun pada awalnya mereka adalah sebuah ordo dari para biarawan yang miskin, aturan resmi kepausan membuat Kesatria Ordo Bait Allah sebagai badan amal di seluruh penjuru Eropa. Sumber daya yang lebih banyak lagi diterima ketika anggota-anggota baru bergabung dengan ordo ini, sebagaimana mereka harus mengambil sumpah kemiskinan dan oleh karenanya sering kali anggota-anggota baru ini menyumbangkan uang atau harta milik mereka yang berjumlah besar kepada ordo. Tambahan pendapatan datang dari aktivitas bisnis. Semenjak para biarawan tersebut telah mengambil sumpah kemiskinan, namun memiliki kekuatan prasarana keuangan internasional yang tepercaya dan besar jumlahnya, orang-orang ningrat dan kaya pada zaman itu terkadang menggunakan mereka sebagai semacam bank atau notaris. Apabila seorang ningrat berniat untuk bergabung dalam Perang Salib, hal ini akan membuatnya tidak bisa berada di rumah selama bertahun-tahun. Jadi, beberapa orang ningrat akan menitipkan semua kekayaan dan aktivitas niaganya di bawah kontrol para Kesatria Ordo Bait Allah, untuk menjaganya hingga kembalinya mereka dari perang. Kekuatan finansial ordo ini menjadi sangat besar, dan sebagian besar prasarana ordo ini digunakan tidak untuk peperangan, tapi untuk mengejar tujuan-tujuan ekonomi.

Pada tahun 1150, misi awal ordo ini untuk mengawal para peziarah telah berubah menjadi misi untuk menjaga harta milik peziarah melalui cara-cara inovatif seperti menerbitkan letter of credit, sebuah bentuk awal dari perbankan modern. Para peziarah akan mendatangi sebuah rumah Templar di negaranya, mendepositkan surat-surat dan harta berharga mereka. Para Kesatria Ordo Bait Allah ini kemudian akan memberikan para peziarah ini sepucuk surat yang menjelaskan apa yang mereka terima dan simpan. Para cendekiawan modern telah menyatakan bahwa surat-surat berharga ini dirahasiakan dengan menggunakan huruf-huruf sandi berdasar pada Salib Malta; namun terdapat selisih pendapat mengenai hal ini, dan mungkin juga sistem kode ini digunakan belakangan dan bukannya sesuatu yang digunakan oleh para Kesatria Ordo Bait Allah pada abad pertengahan.[5][6][7] Saat melakukan perjalanan, para peziarah bisa menyerahkan surat berharga tersebut kepada Kesatria Ordo Bait Allah yang ditemuinya di sepanjang jalan, untuk "menarik" uang dari rekening mereka. Hal ini menjada keamanan para peziarah semenjak mereka tidak melakukan perjalanan dengan membawa barang-barang berharga, dan hal ini juga semakian memperbesar kekuatan para Kesatria Ordo Bait Allah.

Kesatria Ordo Bait Allah bermain catur, 1283.

Keterlibatan para Kesatria Ordo Bait Allah dalam dunia perbankan semakin lama menjadikannya dasar dari mata uang baru, karena para kesatria ini semakin terlibat di dalam aktivitas perbankan. Salah satu indikasi dari hubungan politis mereka yang sangat kuat adalah bahwa keterlibatan Ordo Bait Allah dalam menarik bunga/riba tidak menyebabkan kontroversi di dalam ordo mereka sendiri pada khususnya dan di dalam gereja pada umumnya. Secara umum ide peminjaman uang untuk memperoleh bunga/riba dilarang oleh gereja, tapi ordo ini berhasil mengesampingkan hal ini melalui celah yang cerdik, seperti sebuah pendapat bahwa Ordo Bait Allah berhak atas hasil dari hak milik yang digadaikan. Atau seperti kata seorang peneliti Ordo Bait Allah, "Semenjak mereka tidak boleh menarik bunga/riba, mereka malah jadinya menarik biaya sewa."

Kumpulan kekayaan mereka ini sangat penting untuk mendukung semua kegiatan mereka; pada tahun 1180, seorang ningrat Burgundy memerlukan lahan seluas 3 kilometer persegi untuk dapat menyokong kegiatannya sebagai seorang kesatria, dan pada tahun 1260 jumlahnya berkembang menjadi 15,6 km². Ordo ini memiliki kemampuan untuk memelihara hingga 4.000 ekor kuda dan gerombolan hewan lainnya setiap waktu, apabila ketentuannya ditaati; kuda-kuda ini membutuhkan biaya pemeliharaan yang sangat besar karena panasnya suhu udara di outremer (lahan milik para pejuang Perang Salib yang terletak di Mediterania Timur), dan memiliki tingkat kematian yang tinggi baik karena penyakit maupun karena strategi para pemanah Turki yang membidik kuda-kuda para kesatria dan bukannya kesatria itu sendiri. Selain itu juga, tingkat kematian yang tinggi dari para kesatria di timur (biasanya sekitar sembilan puluh persen di medan perang, tidak termasuk yang cedera) membuat biaya kampanya perang menjadi sangat tinggi karena kebutuhan untuk menarik dan melatih kesatria-kesatria baru. Pada tahun 1244, di Pertempuran La Forbie, di mana hanya 33 dari 300 kesatria yang selamat, diperkirakan nilai finansial yang hilang akibat pertempuran ini sekitar 1/9 dari seluruh pendapatan tahunan Prancis di bawah Dinasti Capetian.[butuh rujukan]

Hubungan politik dan pengertian Ordo Bait Allah atas sifat komunitas outremer yang pada dasarnya adalah urban dan komersial menjadikan ordo ini sebagai suatu kekuatan penting, baik di Eropa maupun di Tanah Suci.[butuh rujukan] Mereka memiliki hak milik tanah yang luas di Eropa dan di Timur Tengah, membangun berbagai gereja dan puri, membeli lahan-lahan pertanian dan perkebunan anggur, terlibat dalam pembuatan barang-barang dan ekspor/impor, memiliki armada kapal sendiri, dan untuk beberapa waktu bahkan "menguasai" seluruh pulau Siprus.[8]

Penurunan kekuatan

[sunting | sunting sumber]

Keberhasilan Ordo Bait Allah ini menjadi kekhawatiran banyak ordo lainnya, dua ordo besar di antaranya yang bisa menyaingi kekuatannya adalah Kesatria Hospitaller dan Kesatria Teutonik. Banyak bangsawan lainnya juga memiliki kekhawatiran terhadap Ordo Bait Allah ini, terutama atas dasar alasan-alasan finansial, dan kekhawatiran atas suatu kekuatan militer mandiri yang bisa bergerak secara bebas melewati semua perbatasan.

Pertempuran Hattin

Kecerdikan militer Ordo Bait Allah yang telah lama terkenal mulai mengalami sandungan pada tahun 1180an. Pada tanggal 4 Juli 1187 terjadilah Pertempuran di Tanjung Hattin yang fatal, yang menjadi titik balik dalam Perang Salib. Peristiwa ini sekali lagi melibatkan Salahuddin Ayyubi, yang pernah dikalahkan oleh Ordo Bait Allah pada tahun 1177 dalam Pertempuran Montsigard dekat Tiberias yang terkenal itu, namun kali ini Salahuddin lebih siap siaga. Lebih daripada itu, Pemimpin Agung (Grand Master) Ordo Bait Allah, Gerard de Ridefort, yang baru saja memperoleh jabatan seumur hidup itu terlibat dalam pertempuran ini. Ia bukanlah seorang ahli strategi militer yang baik dan membuat beberapa kesalahan fatal, di antaranya melakukan perjalanan dengan kekuatan 80 kesatria-nya di bawah terik matahari padang pasir yang menyengat tanpa membawa persediaan air yang cukup. Para Kesatria Ordo Bait Allah ini dikalahkan oleh panasnya gurun pasir dalam waktu satu hari, dan kemudian dikepung dan dibantai oleh tentara Salahuddin. Ridefort kemudian membuat kesalahan lebih besar lagi yang benar-benar menjatuhkan semangat tempur seluruh kesatria Ordo Bait Allah: bukannya ia bertempur hingga mati sebagaimana yang dimandatkan sebagai Kesatria Ordo Bait Allah, Ridefort ditangkap dan dijadikan barang tebusan untuk menyerahkan Gaza pada Salahuddin. Ia mencoba menyerang pasukan Salahuddin lagi beberapa bulan kemudian dalam peristiwa Pengepungan Acre, namun hal ini juga berakhir dengan kegagalan dan ditangkapnya lagi Ridefort, kecuali kali ini ia dipenggal kepalanya.

Pertempuran ini menandai titik balik dalam Perang Salib, dan dalam waktu setahun pasukan Muslim berhasil merebut Yerusalem. Hal ini mengguncang kekuatan organisasi Ordo Bait Allah di mana alasan utama berdirinya adalah untuk mendukung segala perjuangan di Tanah Suci. Mereka mencoba untuk membangkitkan kembali dukungan di antara para bangsawan Eropa untuk kembali bertempur, namun setelah kegagalan yang ditunjukkan oleh Pemimpin Agung Gerard de Ridefort, Prancis menarik dukungannya. Tanpa dukungan negara-negara lain, bahkan kepemimpinan luar biasa dari Raja Richard Berhati Singa tidaklah mencukupi. Ordo Bait Allah mengalami kekalahan satu demi satu, seperti di Pertempuran Jaffa tahun 1191. Dalam sebuah pertempuran yang sangat mengenaskan pada tahun 1244, 312 Kesatria Ordo Bait Allah tewas sementara 348 lainnya terluka.[9] Kampanye Perang Salib lainnya yang dipimpin oleh Raja Louis IX dari Prancis dan Raja Edward I dari Inggris tidak berhasil. Dengan tiap kekalahan, seperti dalam Pertempuran al-Mansurah pada tahun 1250 atau Pengepungan Safad pada tahun 1266, Eropa semakin tidak tertarik untuk terlibat dalam kekalahan pertempuran di Perang Salib. Ordo Bait Allah semakin hari semakin banyak kehilangan tanah miliknya, dan setelah peristiwa Pengepungan Acre pada tahun 1291, mereka terpaksa memindahkan markas besar mereka ke pulau Siprus.

Jacques de Molay, yang menjadi Pemimpin Agung Ordo Bait Allah, menempati posisinya di sekitar tahun 1292. Salah satu tugasnya adalah untuk melakukan perjalanan di seluruh penjuru Eropa untuk membangun dukungan pada ordo dan mencoba menyusun kekuatan untuk kampanye Perang Salib berikutnya. Ia bertemu dengan Paus Bonifasius VIII yang baru saja diangkat, yang setuju untuk menganugerahkan Ordo Bait Allah hak istimewa yang sama di Siprus sebagaimana yang mereka pernah miliki di Tanah Suci. Raja Charles II dari Napoli dan Edward I dari Inggris juga memberikan berbagai macam dukungan, baik dengan tetap membebaskan para Kesatria Ordo Bait Allah dari pajak maupun memberikan dukungan di waktu yang akan datang dalam usaha membangun kekuatan militer baru.[10]

Usaha terakhir untuk merebut kembali Tanah Suci (1298–1300)

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1298 atau 1299, ordo militer (Ordo Bait Allah dan Kesatria Hospitaller beserta para pemimpin mereka, termasuk di antaranya Jacques de Molay, Otton de Grandson serta Pemimpin Agung Kaum Hospitaller, melakukan kampanye perang singkat di Armenia, untuk mengusir serbuan kaum Mamluk. Mereka mengalami kegagalan dan tak lama kemudian Benteng Roche-Guillaume di Belen, Turki - pusat kekuatan Ordo Bait Allah di Antioch, jatuh pada tentara Muslim.

Pada tahun 1300, Ordo Bait Allah, bersama-sama dengan Kesatria Hospitaller dan kekuatan tentara dari Siprus mencoba untuk merebut kota pantai Tortosa. Mereka berhasil untuk merebut Pulau Arwad, dekat Tortosa, tapi tak lama kemudian kehilangan pulau itu. Dengan jatuhnya Arwad, para tentara Perang Salib kehilangan pusat kekuatannya di Tanah Suci.[9]

Walaupun mereka masih memiliki markas operasi di Siprus, dan menguasai dana finansial yang cukup besar, Ordo Bait Allah menjadi sebuah ordo tanpa suatu tujuan dan dukungan yang jelas. Situasi yang tidak stabil ini mendorong kejatuhan mereka.

Jatuhnya Ordo Bait Allah

[sunting | sunting sumber]

Pada saat mereka mulai ditangkapi, Ordo Bait Allah telah mengumpulkan kekayaan yang berjumlah sangat besar, walaupun jumlahnya tidak sebanyak yang dimiliki kaum Hospitaller. Ketika mereka berada di Tanah Suci dan saat kembali dari sana, mereka dibebaskan dari semua pajak dan memiliki banyak hak istimewa. Mereka meminjamkan uang yang sangat besar jumlahnya kepada Raja-raja baik di Inggris maupun di Prancis, disamping juga kepada para bangsawannya. Untuk penjelasan mengenai penganiayaan terhadap Kesatria Ordo Bait Allah oleh Raja Philip IV dari Prancis, dapat disimpulkan bahwa pertimbangan-pertimbangan finansial menjadi alasan dasarnya: "Kekayaan ordo ini lebih dari cukup untuk menarik keserakahan para perampok berdarah biru, sementara kekuasaan dan hak-hal istimewa mereka cukup melahirkan ketidak-percayaan bahkan di benak raja-raja yang tidak selalim Raja Philip.Sementara raja ini telah berhutang banyak kepada mereka."[11]

Salah satu dari sekian banyak contoh adalah pada tahun 1299, ordo ini meminjamkan uang dengan jumlah yang besar sebanyak lima ratus ribu livres untuk maskawin saudara perempuannya. Ia juga sangat membutuhkan aliran dana yang besar untuk biaya Perang Flemish. Ia telah menetapkan pajak yang sangat besar hingga menyebabkan beberapa warganya melakukan pemberontakan, sementara beberapa pihak lainnya telah berpikir untuk melakukannya. Saat berada dalam tekanan finansial yang sangat besar, ia menurunkan nilai mata uangnya hingga suatu pemberontakan besar terjadi di Paris. Selama adanya pemberontakan ini sang raja berlindung di balik tembok biara, dan adalah para Kesatria Ordo Bait Allah yang menyelamatkannya dari serangan para pemberontak.

Semua hutang budi ini menjadi suatu beban yang terlalu berat untuk dipikul oleh seorang raja yang berusaha untuk menjadikan dirinya seorang penguasa absolut. Sumber-sumber dananya telah habis dan pilihan tindakan lainnya hanya tinggal sedikit. Apabila ditanya mengapa Raja Philip menyerang Ordo Bait Allah dan bukannya Kesatria Hospitaller, jawabannya mungkin karena faktanya Kesatria Ordo Bait Allah saat itu lebih lemah di antara keduanya, sementara kerahasiaan yang menyelimuti ritual para Kesatria Ordo Bait Allah hanyalah suatu objek dari kecurigaan orang-orang belaka.

Rencana kemudian dibuat. Para menteri dan kaki-tangan Raja Philip seperti Guillaume de Nogaret, Guillaume de Plaisian, Eenaiid de Roye, dan Enguerrand de Marigny sangat senang dengan adanya suatu kesempatan untuk mengisi kembali kas kerajaan yang kosong; selain itu mereka sama sekali tidak ada masalah untuk membuat daftar kesaksian-kesaksian yang memberatkan Ordo Bait Allah, semenjak sejarah telah membuktikan bagaimana banyaknya bukti yang telah tersimpan dari para saksi yang tepercaya yang mendakwa Paus Bonifasius VIII atas kejahatan-kejahatan yang sama kejamnya. Banyak juga para mantan Kesatria Ordo Bait Allah yang dikeluarkan dari ordo karena tindakan-tindakan salah mereka, dan yang mau untuk melampiaskan rasa benci mereka kepada ordo tersebut. Ada juga para anggota ordo yang murtad yang dipenjara kalau tertangkap karena desersi dan para pembohong yang berjumlah cukup banyak di mana dari mereka ini para aparat kerajaan bisa memperoleh bukti-bukti dan kesaksian-kesaksian yang dibutuhkan untuk tujuan tertentu. Semua ini secara diam-diam dikumpulkan oleh Guillaume de Nogaret, dan disimpan dengan sangat rahasia di Corbeil di bawah tanggung jawab seorang biarawan Dominikan, Humbert. Tentunya dari semua ini, ajaran sesat merupakan tuduhan yang paling mudah untuk diajukan.

Pihak Inkuisisi juga ada sebagai alat penting untuk memperoleh dakwaan. Gosip popular, tidak peduli siapa yang membenarkannya, cukup untuk dijadikan alasan untuk menangkapi dan membawa Ordo Bait Allah ke pengadilan, dan ketika sudah masuk ke pengadilan sangat sedikit dari proses penyelidikan yang tidak menghasilkan dakwaan. Apabila suatu usaha pendakwaan telah ditentukan, hasilnya sudah pasti tidak dapat dihindarkan.[12]

Jatuhnya Ordo Bait Allah bisa jadi terjadi karena masalah pinjaman. Raja Philip IV dari Prancis yang muda (juga dikenal sebagai "Philip yang Adil") membutuhkan dana untuk kampanye perangnya melawan Inggris dan meminta dana tersebut dari Ordo Bait Allah. Para kesatria ini menolaknya. Sang raja kemudian mengenakan pajak pada para rohaniwan Prancis dan berusaha untuk membujuk Sri Paus untuk meng-ekskomunikasi para Kesatria Ordo Bait Allah, tapi Paus Bonifasius VIII menolaknya dan malahan mengeluarkan Bulla kepausan pada tahun 1302 yang menegaskan bahwa Sri Paus memiliki kekuasaan absolut di atas kekuasaan duniawi, bahkan kekuasaan di atas seorang raja, serta meng-ekskomunikasikan Raja Philip. Sang Raja menanggapi hal ini dengan mengirimkan salah seorang penasihatnya, Guillaume de Nogaret, dalam sebuah rencana untuk menculik Sri Paus dari kastilnya di Anagni pada bulan September 1303, menuduhnya dengan belasan tuduhan-tuduhan fiktif seperti kejahatan sodomi dan ajaran sesat. Peristiwa yang terkesan sangat keterlaluan ini menginspirasi Dante Alighieri dalam karyanya Divina Commedia: sang Pilatus yang baru telah memenjarakan Wakil Kristus. Rakyat Anagni bangkit menentang tindakan raja ini dan membebaskan Sri Paus yang sudah sangat tua tersebut, namun ia meninggal dunia sebulan kemudian akibat perawatan yang tidak mencukupi.

Penerus Paus Bonifasius, Paus Benediktus XI, mengakhiri hukuman ekskomunikasi pada diri Raja Philip IV namun menolak untuk mengampuni de Nogaret, tetap menjatuhkan hukuman ekskomunikasi padanya dan semua oknum Italia yang terlibat dalam peristiwa penculikan tersebut pada tanggal 7 Juni 1304. Paus Benediktus ini meninggal dunia hanya delapan bulan kemudian di Perugia, kemungkinan akibat diracun oleh salah seorang kaki tangan de Nogaret. Setelah itu terjadi perselisihan selama setahun antara para kardinal Prancis dan Italia untuk menentukan siapa Sri Paus selanjutnya, sebelum menentukan seorang non-Italia bernama Bertrand de Goth, teman masa kecil Raja Philip, yang menjadi Paus Klemens V di bulan Juni 1305. Sri Paus yang baru ini menarik Bulla kepausan yang dikeluarkan oleh Paus Bonifasius VIII yang bertentangan dengan rencana-rencana Raja Philip IV, mengangkat sembilan orang kardinal Prancis lagi, dan, setelah usahanya gagal untuk menyatukan Ordo Bait Allah dengan Kesatria Hospitaller, menyetujui permintaan Raja Philip untuk melakukan penyelidikan terhadap para Kesatria Ordo Bait Allah. Paus Klemens juga memindahkan tahta kepausan dari Anagni di Italia ke Avignon di Prancis yang lebih mudah untuk dikunjungi dan dikontrol (oleh Raja Prancis), yang memulai apa yang disebut sebagai periode Kepausan Avignon.

Raja Philip memiliki alasan-alasan lain untuk tidak percaya kepada Ordo Bait Allah, setelah ordo ini menyatakan keinginannya untuk membentuk negara sendiri, mirip dengan bagaimana para Kesatria Teutonik mendirikan Prusia. Lokasi yang diinginkan oleh Ordo Bait Allah untuk hal ini adalah di Languedoc, di sebelah tenggara Prancis, namun mereka juga memiliki rencana di pulau Siprus. Pada tahun 1306, Ordo Bait Allah mendukung gerakan kudeta di pulau tersebut yang memaksa Raja Henry II dari Siprus untuk mengabdikasikan tahtanya dan menyerahkannya pada saudaranya, Amalric dari Tirus. Hal ini menyebabkan Raja Philip menjadi waswas terutama hanya beberapa tahun sebelumnya ia diwarisi tanah di wilayah Champagne, Prancis, yang merupakan daerah markas besar Ordo Bait Allah. Ordo Bait Allah sudah merupakan suatu "negara di dalam negara", kaya secara institusi, tidak membayar pajak, dan memiliki tentara aktif yang berjumlah besar yang melalui perintah kepausan dapat bergerak bebas melintasi semua perbatasan Eropa. Namun, tentara ini tidak lagi ada di Tanah Suci, sehingga mereka tidak memiliki wilayah perang. Faktor-faktor ini, ditambah dengan fakta bahwa Philip mewarisi dari ayahnya sebuah kerajaan yang miskin dan yang telah berhutang banyak kepada Ordo Bait Allah, mungkin merupakan penyebab utama dari tindakan-tindakan terhadap Ordo Bait Allah.[9][10]

Pada hari Jumat subuh, tanggal 13 Oktober 1307, beberapa Kesatria Ordo Bait Allah Prancis ditangkap secara bersamaan oleh para aparat Raja Philip, kemudian disiksa di beberapa lokasi seperti Menara Chinon, untuk mengaku atas kejahatan ajaran sesat yang dilakukan dalam ordo mereka. Lebih dari 100 tuduhan dijatuhkan kepada mereka, kebanyakan di antaranya adalah tuduhan-tuduhan yang sama yang sebelumnya pernah dituduhkan kepada Paus Bonifasius VIII: tuduhan atas penolakan terhadap Kristus, meludahi dan mengencingi salib, dan penyembahan setan. Proses interogasi para Kesatria Ordo Bait Allah ini di bawah pengawasan pihak Inkuisisi Abad Pertengahan, suatu kelompok ahli interogasi dan rohaniwan berpengalaman yang berkeliling di seluruh Eropa yang selalu siap sedia untuk dimintai jasanya oleh bangsawan Eropa manapun.

Aturan interogasi ini menyatakan bahwa tidak boleh ada darah yang tumpah, namun hal ini tidak menghentikan tindakan penyiksaan. Satu sumber menceritakan bagaimana seorang Kesatria Ordo Bait Allah dibakar tumit kakinya hingga menyebabkan tulang-tulangnya rontok dan keluar melalui kulitnya. Sementara itu beberapa Kesatria Ordo Bait Allah lainnya digantung terbalik atau dipasangi thumbscrew (alat penyiksa yang menjepit jari hingga tulang jari remuk). Dari 138 Kesatria Ordo Bait Allah yang diinterogasi di Paris (di mana banyak di antaranya sudah berusia tua), 105 di antaranya "mengaku" melakukan tindakan menolak Kristus dalam proses inisiasi rahasia ordo mereka. 103 kesatria mengaku akan tindakan berciuman yang vulgar sebagai bagian dari upacara ordo, dan 123 mengatakan bahwa mereka meludahi salib. Di sepanjang pengadilan tidak pernah ada satu pun bukti fisik dari kesalahan yang dituduhkan, dan juga tidak ada saksi-saksi yang tidak berat sebelah; satu-satunya "bukti" didapatkan melalui pengakuan-pengakuan yang keluar dari tindakan penyiksaan.[13] Para Kesatria Ordo Bait Allah memohon bantuan Sri Paus atas peristiwa ini, dan Paus Klemens V memang mengirimkan surat kepada Raja Philip IV dari Prancis mempertanyakan penangkapan-penangkapan tersebut, namun ia tidak melakukan hal lainnya.

Walau faktanya semua pengakuan yang ada adalah hasil dari tekanan, semua pengakuan ini menyebabkan skandal di Paris di mana gerombolan-gerombolan massa menuntut dihukumnya ordo yang dianggap melakukan tindakan penghinaan terhadap agama ini. Sebagai tanggapan atas tekanan publik ini, bersama dengan paksaan dari Raja Philip, Paus Klemens menerbitkan bulla kepausan Pastoralis Praeeminentiae, yang menginstruksikan semua monarki Kristen di Eropa untuk menangkap semua Kesatria Ordo Bait Allah dan menyita semua harta milik mereka.[14] Sebagian besar monarki tidak percaya akan tuduhan-tuduhan ini, walaupun tindakan penyelidikan dilakukan di Inggris, Semenanjung Iberia, Jerman, Italia dan Siprus,[15] dengan kemungkinan adanya pengakuan sangat tergantung pada ada tidaknya tindakan penyiksaan untuk memperolehnya.

Pandangan umum menyatakan bahwa Raja Philip - yang menyita keuangan ordo dan menghancurkan sistem perbankan mereka, sangatlah cemburu pada kekayaan dan kekuasaan Ordo Bait Allah, dan menjadi frustrasi atas banyaknya hutang pada mereka - berusaha untuk menguasai sumber dana Ordo Bait Allah untuk dirinya sendiri dengan cara mengeluarkan tuduhan-tuduhan palsu kepada mereka di Pertemuan Tours pada tahun 1308. Sangatlah tidak mungkin untuk percaya bahwa di bawah pengaruh para penasihat yang dipilihnya secara hati-hati, ia benar-benar mempercayai bahwa semua tuduhan tersebut adalah benar. Adalah suatu hal yang diterima secara luas bahwa Raja Philip secara jelas membuat tuduhan-tuduhan tersebut di mana beberapa di antaranya sama persis dengan tuduhan-tuduhan yang dijatuhkan pada Paus Bonifasius sebelumnya, dan bahwa Raja Philip tidak percaya bahwa ada Kesatria Ordo Bait Allah yang ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang dituduhkan. Fakta menunjukkan bahwa sang raja mengundang Jacques de Molay untuk turut menjadi pembawa peto jenazah di pemakaman saudara perempuan sang raja satu hari sebelum dimulainya tindakan penangkapan terhadap para Kesatria Ordo Bait Allah.[16]

Peristiwa penangkapan ini menyebabkan pergeseran dalam ekonomi Eropa, dari suatu sistem yang ditentukan oleh suatu badan militer (military fiat) kembali ke sistem uang Eropa, yang menghilangkan kekuasaan ini dari ordo gerejawi. Menyaksikan nasib Kesatria Ordo Bait Allah, para Kesatria Hospitaller juga diyakinkan untuk meninggalkan kegiatan perbankan saat itu juga.

Pembubaran Ordo Bait Allah

[sunting | sunting sumber]
Paus Klemens V

Pada tahun 1312, setelah Konsili Vienne, dan di bawah tekanan yang luar biasa dari Raja Philip IV, Paus Klemens V mengeluarkan sebuah keputusan yang secara resmi membubarkan Ordo Bait Allah. Banyak raja dan bangsawan yang telah mendukung Ordo Bait Allah hingga hari itu akhirnya setuju dan membubarkan ordo tersebut di wilayahnya sesuai dengan perintah Sri Paus. Kebanyakan tindakan ini tidaklah sebrutal seperti apa yang terjadi di Prancis. Di Inggris banyak Kesatria Ordo Bait Allah yang ditangkap dan diadili, tapi tidak ada yang didakwa bersalah.

Banyak dari tanah milik Ordo Bait Allah di luar Prancis diserahkan oleh Sri Paus kepada Kesatria Hospitaller, dan banyak Kesatria Ordo Bait Allah yang masih hidup diterima masuk ke dalam kaum Hospitaller. Di Semenanjung Iberia, di mana Raja Aragon menolak untuk memberikan warisan Ordo Bait Allah kepada Kesatria Hospitaller (sebagaimana yang dikehendaki oleh Paus Klemens V), Ordo Montesa mengambil alih harta kekayaan Ordo Bait Allah di sana.

Ordo Bait Allah terus hidup di Portugal, dengan mengubah namanya menjadi Ordo Kristus. Kelompok ini dipercaya telah memberikan sumbangsih pada penemuan-penemuan maritim pertama orang Portugis. Pangeran Henrique sang Navigator memimpin ordo ini selama 20 tahun hingga wafatnya.

Bahkan dengan diserapnya para Kesatria Ordo Bait Allah ke dalam ordo lain, masih terdapat pertanyaan mengenai apa yang terjadi pada seluruh belasan ribu Kesatria Ordo Bait Allah di seluruh Eropa. Diperkirakan terdapat 15.000 "Rumah Templar" dan sebuah armada kapal. Bahkan di Prancis di mana ratusan Kesatria Ordo Bait Allah telah ditangkap dan ditahan, jumlah ini hanyalah bagian kecil dari sekitar 3.000 Kesatria Ordo Bait Allah di seluruh penjuru negeri. Juga, arsip panjang milik Ordo Bait Allah, dengan catatan detail dari semua kepemilikan usaha dan transaksi finansialnya, hilang. Melalui bulla kepausan dokumen ini seharusnya diserahkan kepada Kesatria Hospitaller yang perpustakaannya dihancurkan pada abad ke-16 oleh invasi Turki dalam peristiwa Pengepungan Malta (1565).

Beberapa sejarawan percata bahwa sejumlah Kesatria Ordo Bait Allah melarikan diri ke Pegunungan Alpen Swiss, karena terdapat catatan dari para penduduk desa Swiss di sekitar waktu tersebut yang tiba-tiba menjadi ahli taktik militer yang mahir. Sebuah serangan yang dipimpin oleh Leopold I, Adipati Austria mencoba mengambil-alih kuasa atas Jalur St, Gotthard dengan kekuatan 5.000 kesatria. Kekuatan ini diserang secara mendadak dan dihancurkan oleh kekuatan 1.500 petani Swiss. HIngga saat itu orang-orang Swiss benar-benar tidak memiliki pengalaman militer, namun setelah pertempuran tersebut, orang-orang Swiss menjadi terkenal sebagai tentara yang berpengalaman. Beberapa cerita rakyat dari periode itu menceritakan bagaimana "para kesatria putih bersenjata lengkap" datang membantu dalam pertempuran-pertempuran mereka.[13]

Hanya sedikit yang diketahui atas nasib armada kapal Ordo Bait Allah. Tercatat ada 18 kapal Ordo Bait Allah yang bersandar di pelabuhan La Rochelle, Prancis, pada tanggal 12 Oktober 1307 (sehari sebelum Hari Jumat Tanggal 13 yang terkenal itu). Namun esoknya, armada kapal ini telah menghilang.[17]

Ajaran Sesat, Penghinaan Agama, dan Tuduhan Lainnya

[sunting | sunting sumber]

Bukti yang tak terbantahkan bahwa para imam Templar tidak memotong kata-kata pada saat konsekrasi dalam misa diberikan di dalam proses persidangan di Siprus oleh para rohaniwan yang lama mengembara bersama para Kesatria Ordo Bait Allah di Timur.[18]

Ilustrasi manuskrip (sekitar tahun 1350) yang menyinggung tuduhan "ciuman vulgar" di bagian bawah tulang belakang.

Perdebatan terus berlangsung mengenai apakah tuduhan akan ajaran sesat memiliki dasar sesuai dengan standar zaman itu. Di dalam penyiksaan, beberapa Kesatria Ordo Bait Allah mengaku melakukan kegiatan homoseksual, dan menyembah kepala-kepala dan seorang dewa yang dikenal dengan nama Baphomet.[19] Para pemimpin mereka nantinya akan membantah pengakuan-pengakuan ini, dan oleh karenanya dihukum mati. Beberapa sejarawan, seperti Malcolm Barber, Helen Nicholson dan Peter Partner, membantah hal-hal ini sebagai pengakuan akibat penyiksaan yang biasa dilakukan selama masa Inkuisisi Abad Pertengahan.

Kebanyakan tuduhan ini sama persis dengan tuduhan yang dijatuhkan pada orang-orang lain yang disiksa oleh aparat Inkuisisi, kecuali satu hal: penyembahan kepala. Para Kesatria Ordo Bait Allah secara khusus dituduh menyembah semacam potongan kepala; sebuah tuduhan yang hanya dijatuhkan terhadap para Kesatria Ordo Bait Allah. Penjelasan mengenai kepala ini yang diduga disembah oleh para Kesatria Ordo Bait Allah terdapat berbagai macam dan pada dasarnya saling bertentangan. Mengutip Norman Cohn:

Beberapa orang menggambarkannya sebagai kepala yang memiliki tiga wajah, yang lain mengatakannya memiliki empat kaki, yang lain menceritakannya sebagai sebuah wajah tanpa kaki. Bagi beberapa pihak benda itu adalah tengkorak kepala manusia, diawetkan dan ditanami dengan berlian; yang lain mengatakan benda itu adalah hasil pahatan dari kayu. Beberapa orang percaya bahwa benda itu berasal dari tulang-belulang seorang mantan pemimpin agung ordo ini, sementara yang lain sama percayanya bahwa benda itu merupakan Baphomet - yang diinterpretasikan oleh beberapa pihak di zaman itu sebagai 'Mohammed'. Beberapa orang mengatakan bahwa mereka melihat kepala itu memiliki tanduk.[20]

Malcolm Barber menghubungkan tuduhan ini dengan cerita rakyat abad pertengahan mengenai kepala sakti, dan kepercayaan abad pertengahan popular bahwa kaum Muslim menyembah berhala.[21] Beberapa pihak berpendapat bahwa hal tersebut merujuk pada ritual yang menggunakan relik dari Santo Yohanes Pembaptis,[22] Euphemia,[23] salah satu dari sebelas perawan pengikut Santa Ursula,[24] dan/atau Hugues de Payens [25] dan bukannya patung berhala dewa kaum pagan.

Tuduhan-tuduhan akan ajaran sesat meliputi tindakan meludahi, menginjak-injak, atau mengencingi salib; sambil telanjang, diciumi secara vulgar oleh pasangannya di bagian bibir, pusar dan bagian bawah tulang belakang; ajaran sesat dan penyembahan berhala; homoseksualitas yang terorganisasi; dan juga tuduhan atas penghinaan terhadap Misa Suci dan penolakan terhadap sakramen. Barbara Frale berpendapat bahwa tindakan-tindakanm ini ditujukan untuk memberikan contoh bagaimana bentuk penghinaan dan penyiksaan yang akan dialami oleh seorang tentara Perang Salib bila ditangkap hidup-hidup oleh kaum Saracen. Mengikuti jalan pemikiran ini, mereka diajarkan bagaimana melakukan permutadan hanya dengan pikiran saja dan tidak dengan hati.[26]

Tuduhan atas penyembahan pada Baphomet lebih sulit. Karen Ralls menemukan bahwa, "Tidak pernah disebutkan nama Baphomet baik di dalam Hukum Templar maupun di dalam dokumen-dokumen Ordo Bait Allah lainnya dari periode abad pertengahan".[27] Sejarawan almarhum Hugh J. Schonfield berspekulasi bahwa para imam kepala Ordo Bait Allah menciptakan kata Baphomet melalui sandi Atbash untuk menyembunyikan istilah Gnostik Sophia (Bahasa Yunani untuk "kebijaksanaan") atas dasar pengaruh gulungan naskah kaum Eseni di Qumran (Naskah Laut Mati) yang berdasarkan hipotesis mungkin Ordo Bait Allah menemukannya saat melakukan penggalian arkeologi di wilayah Kerajaan Yerusalem.[28]

Posisi Gereja Katolik Roma

[sunting | sunting sumber]

Proses penyelidikan kepausan dimulai oleh Paus Klemens V untuk menyelidiki baik Ordo Bait Allah secara menyeluruh maupun anggota-anggotanya secara individu, dan tidak ditemukan Kesatria Ordo Bait Allah yang bersalah atas tuduhan ajaran sesat di luar Prancis. Lima puluh empat kesatria dihukum mati di Prancis oleh aparat kerajaan Prancis sebagai pengikut ajaran sesat kambuhan setelah membantah pengakuan awal mereka di depan komisi kepausan; hukuman mati ini didasari pada keinginan Raja Philip untuk mencegah Ordo Bait Allah membangun suatu pembelaan Ordo yang efektif. Strategi ini gagal total karena banyak Kesatria Ordo Bait Allah yang bersaksi membantah tuduhan ajaran sesat di dalam penyelidikan kepausan berikutnya.

Jacques de Molay, litografi berwarna dari abad ke-19 karya Chevauchet

Meski gagal membela Ordo Bait Allah, saat komisi kepausan mengakhiri penyelidikannya pada tanggal 5 Juni 1311, komisi ini tidak menemukan bukti bahwa ordo tersebut memiliki doktrin yang sesat, atau menggunakan "hukum rahasia" yang terpisah dari Hukum Latin dan Hukum Prancis. Pada tanggal 16 Oktober 1311, di Sidang Umum Konsili Vienne yang diadakan di Dauphiné, konsili ini memutuskan untuk tetap menjaga keberadaan Ordo Bait Allah.

Namun pada tanggal 22 Maret 1312, Paus Klemens V mengeluakan bulla kepausan Vox in excelso di mana ia menyatakan bahwa walaupun terdapat tidak cukup alasan untuk mengutuk ordo tersebut, demi kebaikan bersama, kebencian Raja Philip IV terhadap ordo tersebut, skandal yang terjadi akibat pengadilan mereka, dan kerapuhan ordo ini sebagai hasil dari pengadilan yang ada, ordo ini akan ditindas oleh kekuasaan kepausan. Namun ordo ini telah secara jelas menyatakan bahwa bubarnya mereka dimulai, "dengan suatu hati yang sedih, bukan oleh hukuman yang pasti, tapi oleh persetujuan gereja."

Dokumen ini diikuti dengan bulla kepausan Ad providam pada tanggal 2 Mei 1312 yang menyerahkan semua tanah dan kekayaan Ordo Bait ALlah kepada kaum Hospitaller agar tujuan awalnya bisa dicapai, tidak menuruti harapan Raja Philip IV agar tanah-tanah di Prancis diserahkan kepadanya. Philip menguasai beberapa tanah tersebut hingga tahun 1318, dan di Inggris raja dan bangsawan menguasai sebagian besar tanah itu hingga tahun 1338; di banyak tempat di Eropa tanah-tanah ini tidak pernah diserahkan kepada Kesatria Hospitaller, melainkan diambil-alih oleh kaum bangsawan dan kerajaan sebagai usaha untuk mengurangi pengaruh Gereja dan ordo-ordonya di wilayah mereka.

Dari para Kesatria Ordo Bait Allah yang tidak terbukti bersalah, atau mereka yang telah terbukti bersalah tapi telah diampuni oleh Gereja, beberapa di antaranya bergabung dengan Ordo Hospitaller (bahkan tinggal bersama di dalam rumah Templar yang sama); beberapa yang lain bergabung dengan rumah-rumah Ordo Augustinian dan Ordo Sistersian; dan sisanya kembali ke kehidupan awam dengan uang pensiun. Di Portugal dan Kerajaan Aragon, Tahta Suci menganugerahkan tanah milik Ordo Bait Allah kepada dua ordo baru: Ordo Kristus dan Ordo Montesa, di mana anggota keduanya sebagian besar adalah Kesatria Ordo Bait Allah di kedua kerajaan tersebut. Dalam bulla yang sama, Sri Paus mendorong mereka yang telah mengaku bersalah diperlakukan "sesuai dengan tegasnya keadilan."

Dua orang Kesatria Ordo Bait Allah dibakar hidup-hidup, dari manuskrip Prancis abad ke-15.

Pada akhirnya, hanya tiga orang saja yang dituduh melakukan ajaran sesat secara langsung oleh komisi kepausan: Jacques de Molay, Pemimpin Agung Ordo Bait Allah, dan dua orang bawahannya langsung; mereka akan menyatakan menolak ajaran sesat mereka secara publik ketika de Molay memperoleh kembali keberaniannya dan menyatakan ketidak-bersalahan ordo dan dirinya bersama-sama dengan Geoffrey de Charney. Kedua orang ini ditangkap oleh aparat Prancis sebagai para pengikut ajaran sesat kambuhan dan dijatuhi hukuman dibakar hidup-hidup pada tahun 1314. Abu mereka kemudian dihaluskan dan dibuang di Sungai Seine supaya tidak meninggalkan relik apapun.

Di Inggris pihak kerajaan juga berutang banyak kepada Kesatria Ordo Bait Allah, dan mungkin atas dasar hal itu para Kesatria Ordo Bait Allah juga ditindas di sana, tanah-tanah mereka dirampas dan diambil-alih oleh pihak lain (tanah milik Ordo Bait Allah terakhir adalah tanah milik Hugh le Despenser, seorang rekan dekat Raja Edward II). Banyak Kesatria Ordo Bait Allah di Inggris dibunuh; beberapa di antaranya melarikan diri ke Skotlandia dan tempat-tempat lain.[29] Di Prancis, Raja Philip IV, yang juga kebetulan berhutang sangat besar kepada Ordo Bait Allah mungkin adalah penindas yang lebih agresif. Karena sangat besarnya ketidak-adilan dari kemarahan Philip terhadap Ordo Bait Allah sampai-sampai "Kutukan Ordo Bait Allah" menjadi suatu legenda: Konon diucapkan oleh Sang Pemimpin Agung Jacques de Molay saat diikat di tiang tempat ia akan dibakar hidup-hidup, ia berkata: "Dalam waktu satu tahun, Tuhan akan memanggil Klemens dan Philip untuk diadili oleh-Nya atas tindakan-tindakan ini." Kenyataan bahwa kedua penguasa meninggal dunia dalam waktu satu tahun, seperti yang diprediksi sebelumnya, hanya memperkuat skandal di seputar penindasan Ordo Bait Allah. Sumber legenda ini tidak berasal dari waktu sekitar hukuman mati Jacques de Molay.[30]

Chinon dan Pengampunan

[sunting | sunting sumber]

Pada bulan September 2001, Barbara Frale menemukan sebuah salinan dari Kertas Kulit Chinon bertanggalkan 17-20 Agustus 1308 di Arsip Rahasia Vatikan, sebuah dokumen yang mengindikasikan bahwa Paus Klemens V memberikan pengampunan pada para pemimpin Ordo Bait Allah pada tahun 1308. Frale menerbitkan penemuannya di Jurnal Sejarah Abad Pertengahan pada tahun 2004[26] Pada tahun 2007, Vatikan menerbitkan Kertas Kulit Chinon sebagai bagian dari edisi terbatas 799 salinan Processus Contra Templarios.[31] Kertas kulit Chinon lainnya bertanggal 20 Agustus 1308 ditujukan kepada Raja Philip IV dari Prancis, yang sangat dikenal oleh para sejarawan,[32][33][34] menyatakan bahwa pengampunan telah diberikan kepada semua Kesatria Ordo Bait Allah yang telah mengaku atas kejahatan ajaran sesat "dan mengembalikan mereka ke dalam sakramen dan persatuan dengan gereja".[35][36]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "The Knights Templar | In Praise Of The New Knighthood". www.templarhistory.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-03-26. Diakses tanggal 2011-06-13. 
  2. ^ Janetta Rebold Benton, Materials, methods, and masterpieces of medieval art, page 257 (Greenwood Publishing Group, 2009). ISBN 978-0-275-99418-1
  3. ^ Knights Templar: Protectors of the Holy Grail, video documentary on the National Geographic Channel, February 22, 2006, written by Jesse Evans
  4. ^ Richard the Lionheart and the Knights Templar Charles Greenstreet Addison, The History of the Knights Templars, 1842, pp. 141–149.
  5. ^ Kahn, David (1996). The Codebreakers. Scribner. hlm. 823. ISBN 978-0-684-83130-5. 
  6. ^ Probst-Biraben, J.H.; Maitrot de la Motte-Capron, A. (1939-08-01). "Les Templiers et leur Alphabet Secret". Mercure de France (dalam bahasa French). CCXCIII. hlm. 513–532 at 522, 530.  (referenced in Kahn's Codebreakers)
  7. ^ Gunon, Ren (2005). Studies in Freemasonry and Compagnonnage. Diterjemahkan oleh Fohr, Henry D. Sophia Perennis. hlm. 237. ISBN 0900588519. Diakses tanggal 2008-07-19. 
  8. ^ Gary Lachman, Politics and the Occult: The Left, the Right, and the Radically Unseen, page 41 (Quest Books, 2008). ISBN 978-0-8356-0857-2
  9. ^ a b c Lost Worlds: Knights Templar, July 10, 2006, video documentary on The History Channel
  10. ^ a b Sean Martin, The Knights Templar: History & Myths, 2005. ISBN 1-56025-645-1
  11. ^ A History of the Inquisition of the Middle Ages Vol. III by Henry Charles Lea, NY: Hamper & Bros, Franklin Sq. 1888 p. 252, lines 1–4. Not in copyright
  12. ^ A History of the Inquisition of the Middle Ages, Vol III, by Henry Charles Lea, NY: Hamper & Bros, Franklin Sq. 1888 p. 324 Not in Copyright
  13. ^ a b The History Channel, Decoding the Past: The Templar Code, video documentary, November 7, 2005, written by Marcy Marzuni
  14. ^ Martin, p. 118.
  15. ^ Malcolm Barber, The Trial of the Templars, 2nd edn. (Cambridge, 2006), pp. 2, 217–58; also see Anne Gilmour-Bryson, The Trial of the Templars in Cyprus, (Leiden, 1998).
  16. ^ Gordon Napier, The Rise and Fall of the Knights Templar, 2003. ISBN 1-86227-199-2
  17. ^ Martin, p. 141
  18. ^ Processus Cypricus (SchottmiiUcr, II. 379, 382, 383).*Procfes, L 404 ; IL 260, 281, 284, 295, 299, 338, 354, 356, 363, 389, 390, 395,407.—Bini, pp. 468, 488
  19. ^ Edgeller, Johnathan (2010). Taking the Templar Habit: Rule, Initiation Ritual, and the Accusations against the Order (PDF). Texas Tech University. hlm. 42–75. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-01-12. Diakses tanggal 2011-08-28. 
  20. ^ Norman Cohn, Europe's Inner Demons – The Demonization of Christians In Medieval Christendom. (Pimlico, revised 1993 edition ISBN 0-7126-5757-6).
  21. ^ Barber, Trial of the Templars, pp. 209–213.
  22. ^ Charles Raymond Dillon, Templar Knights and the Crusades, page 164 (iUniverse Books, 2005). ISBN 978-0-595-34946-3
  23. ^ Karen Ralls, Knights Templar Encyclopedia: The Essential Guide to The People, Places, Events, and Symbols of The Order of The Temple, page 153 (The Career Press, Inc., 2007). ISBN 978-1-56414-926-8
  24. ^ Karen Ralls, page 154
  25. ^ Evelyn Lord, The Templar's Curse, page 137 (Pearson Education Limited, 2008). ISBN 978-1-4058-4038-5
  26. ^ a b Barbara Frale, 'The Chinon Chart: Papal Absolution to the last Templar, Master Jacques de Molay', Journal of Medieval History, 30 (2004), 127.
  27. ^ Karen Ralls, Knights Templar Encyclopedia: The Essential Guide to the People, Places, Events, and Symbols of the Order of the Temple (New Page Books, 2007).
  28. ^ Hugh J. Schonfield, The Essene Odyssey. Longmead, Shaftesbury, Dorset SP7 8BP, England: Element Books Ltd., 1984; 1998 paperback reissue, p.164.
  29. ^ The History of the Knights Templar, Temple Church and the Temple, by Charles G. Addison, Esq., London, P, 196, 350, not in copyright, available thru the Internet Archives gateway. .
  30. ^ Malcolm Barber, The New Knighthood: A History of the Order of the Temple (Cambridge University Press, 1993).
  31. ^ Processus Contra Templarios, Exemplaria Praetiosa, published on 25 October 2007.
  32. ^ Charles d' Aigrefeuille, Histoire de la ville de Montpellier, Volume 2, page 193 (Montpellier: J. Martel, 1737-1739).
  33. ^ Sophia Menache, Clement V, page 218, 2002 paperback edition ISBN 0-521-59219-4 (Cambridge University Press, originally published in 1998).
  34. ^ Germain-François Poullain de Saint-Foix, Oeuvres complettes de M. De Saint-Foix, Historiographe des Ordres du Roi, page 287, Volume 3 (Maestricht: Jean-Edme Dupour & Philippe Roux, Imprimeurs-Libraires, associés, 1778).
  35. ^ Étienne Baluze, Vitae Paparum Avenionensis, 3 Volumes (Paris, 1693).
  36. ^ Pierre Dupuy, Histoire de l'Ordre Militaire des Templiers (Foppens, Brusselles, 1751).

Bacaan lainnya

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]