Lompat ke isi

Tuhan pribadi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tuhan pribadi, atau dewa-dewi pribadi, adalah Tuhan yang dapat dikaitkan sebagai sebuah pribadi,[1] alih-alih sebagai kekuatan impersonal, seperti "Yang Mutlak", "Segalanya", atau "Dasar Keberadaan".

Dalam kitab suci agama-agama Abrahamik, Tuhan digambarkan sebagai pencipta pribadi, berbicara sebagai orang pertama dan menunjukkan emosi seperti kemarahan dan kebanggaan, dan kadang-kadang muncul dalam bentuk antropomorfik. Misalnya dalam Taurat, Tuhan berbicara dengan dan memberi petunjuk kepada para nabi-Nya dan memiliki kehendak, emosi (seperti kemarahan, kesedihan dan kebahagiaan), niat, dan atribut lain yang menjadi karakteristik pribadi manusia. Hubungan pribadi dengan Tuhan dapat digambarkan dengan cara yang sama seperti hubungan manusia, seperti Bapa, seperti dalam Kristen, atau Sahabat seperti dalam tasawuf.[2]

Sebuah survei pada tahun 2019 oleh Pew Research Center melaporkan bahwa, dari orang dewasa AS, 70% memandang bahwa "Tuhan adalah pribadi yang dengannya manusia dapat menjalin hubungan", sementara 15% percaya bahwa "Tuhan adalah kekuatan impersonal."[3] Sementara survei tahun 2019 oleh National Opinion Research Center melaporkan bahwa 77,5% orang dewasa AS percaya pada Tuhan pribadi.[4] Survei Lanskap Agama 2014 yang dilakukan oleh Pew melaporkan bahwa 77% orang dewasa AS percaya pada Tuhan pribadi.[5]

Pandangan agama

[sunting | sunting sumber]

Agama Abrahamik

[sunting | sunting sumber]

Teologi Yahudi menyatakan bahwa Tuhan bukanlah suatu pribadi. Pandangan ini juga ditentukan beberapa kali dalam Perjanjian Lama, yang dianggap oleh orang Yahudi sebagai otoritas yang tak terbantahkan untuk iman mereka (Hosea 11 9: "Akulah Tuhan, dan bukan manusia". Bilangan 23 19: "Tuhan bukan manusia.", bahwa Ia harus berdusta". 1 Samuel 15 29: "yang mulia israel tidak berdusta dan tidak menyesal sebab ia bukanlah manusia"). Namun, sering ada referensi tentang karakteristik antropomorfik Tuhan dalam Alkitab Ibrani seperti "Tangan Tuhan." Yudaisme berpendapat bahwa hal ini harus dianggap hanya sebagai kiasan. Tujuan mereka adalah untuk membuat Tuhan lebih dapat dipahami oleh pembaca manusia. Karena Tuhan berada di luar pemahaman manusia, ada berbagai cara untuk menggambarkannya. Dia dikatakan sebagai pribadi (dalam arti kemampuan orang untuk berdoa kepada Tuhan) dan impersonal (dalam arti ketidakmampuan orang untuk mencapai Tuhan): Dia memiliki hubungan dengan ciptaannya tetapi melampaui semua hubungan.[6]

Dalam kasus kepercayaan Kristen pada Trinitas, apakah Roh Kudus itu impersonal atau pribadi,[7] adalah subyek perdebatan,[8] para ahli pneumatologi masih memperdebatkan masalah tersebut. Yesus (atau Allah Anak) dan Allah Bapa diyakini sebagai dua pribadi atau aspek dari tuhan yang sama. Yesus adalah ousia atau substansi yang sama dengan Allah Bapa, dimanifestasikan dalam tiga hipostasis atau pribadi (Bapa, Anak, dan Roh Kudus). Orang Kristen nontrinitarian membantah bahwa Yesus adalah "hipostasis" atau pribadi Allah.

Islam menolak doktrin Inkarnasi dan gagasan tentang Tuhan pribadi antropomorfik, karena dianggap merendahkan transendensi Tuhan. Al-Qur'an menetapkan kriteria transendental mendasar dalam ayat berikut: "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia" [Qur'an 42:11]. Oleh karena itu, Islam dengan tegas menolak semua bentuk antropomorfisme dan antropopatisme dari konsep Tuhan, dan dengan demikian dengan tegas menolak konsep Kristen tentang Trinitas atau pembagian pribadi dalam Ketuhanan.[9][10][11]

Baháʼí

[sunting | sunting sumber]

Dalam Iman Baháʼí, Tuhan digambarkan sebagai "Tuhan yang berpribadi, tidak dapat diketahui, tidak dapat diakses, sumber dari semua Wahyu, abadi, Maha Tahu, Maha Hadir dan Maha Kuasa".[12][13] Meskipun transenden dan tidak dapat diakses secara langsung, citranya tercermin dalam ciptaannya. Tujuan penciptaan adalah agar ciptaan memiliki kemampuan untuk mengenal dan mencintai penciptanya.[14] Tuhan mengkomunikasikan kehendak dan tujuan-Nya kepada umat manusia melalui perantara, yang dikenal sebagai Manifestasi Tuhan, yang merupakan para nabi dan rasul yang telah mendirikan agama-agama dari zaman prasejarah hingga saat ini.[15]

Agama dharmik

[sunting | sunting sumber]

Buddhisme Theravāda

[sunting | sunting sumber]

Sang Buddha menolak Tuhan pribadi Yang Maha Kuasa sebagai pencipta dan pengatur alam semesta (Pāli: issara; Sanskerta: īśvara).[16] Buddhisme menyatakan bahwa alam semesta diatur oleh Niyāma, yaitu suatu hukum alam impersonal yang berjalan tanpa pribadi pengatur tertinggi. Penolakan Buddha atas Tuhan pribadi sebagai pencipta tertuang dalam Titthāyatana Sutta, Aṅguttara Nikāya 3.61. Kepercayaan terhadap Tuhan personal merupakan pandangan salah yang harus dihindari. Menurut Sang Buddha, orang yang menganut pandangan tersebut tidak memahami sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan sehingga berpikiran kacau, tidak menjaga diri mereka sendiri, dan tidak pantas disebut sebagai petapa.[17]

Buddhisme Mahāyāna

[sunting | sunting sumber]

Salah satu subaliran Mahāyāna mengembangkan konsep Adi Buddha. Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1988),[18] Adi Buddha dan tradisi yang menggunakan istilah ini dijelaskan sebagai berikut:

“Adi‐Buddha adalah salah satu sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Buddha. Sebutan ini berasal dari tradisi Aisvarika dalam aliran Mahayana di Nepal, yang menyebar lewat Benggala, hingga dikenal pula di Jawa. Sedangkan Aisvarika adalah sebutan bagi para penganut paham Ketuhanan dalam agama Buddha. Kata ini berasal dari ‘Isvara’ yang berarti ‘Tuhan’, ‘Maha Buddha’, atau ’Yang Maha Kuasa’; dan ‘ika’ yang berarti ‘penganut’ atau ‘pengikut’.”

“Istilah ini hidup di kalangan agama Buddha aliran Svabhavavak yang ada di Nepal. Aliran ini merupakan salah satu percabangan dari aliran Tantrayana yang tergolong Mahayana. Sebutan bagi Tuhan Yang Maha Esa dalam aliran ini adalah Adi‐Buddha. Paham ini kemudian juga menyebar ke Jawa, sehingga pengertian Adi‐Buddha dikenal pula dalam agama Buddha yang berkembang di Jawa pada zaman Sriwijaya dan Majapahit. Para ahli sekarang mengenal pengertian ini melalui karya tulis B.H. Hodgson. Ia adalah seorang peneliti yang banyak mengkaji hal keagamaan di Nepal.”

“Menurut paham ini, seseorang dapat menyatu (moksa) dengan Adi‐Buddha atau Isvara melalui upaya yang dilakukannya dengan jalan bertapa (tapa) dan bersemadi (dhyana).”

Hinduisme

[sunting | sunting sumber]

Dalam teks-teks Hindu era abad pertengahan, tergantung pada aliran Hinduisme, Ishvara berarti Tuhan, Makhluk Tertinggi, Tuhan pribadi, atau Atma khusus.[19][20][21] Dalam aliran Saiwa, Ishvara adalah julukan dari Siwa.[22][23][24][25] Dalam aliran Waisnawa, Ishvara sinonim dengan Wisnu, seperti julukannya pada Venkateswara.[26] Dalam gerakan Bhakti tradisional, Ishvara merujuk kepada satu atau lebih dewa favorit sesuai pilihan seseorang (Istadewata) dari kanon dewa-dewi politeistik Hindu. Dalam gerakan sektarian zaman modern seperti Arya Samaj dan Brahmoism, Ishvara diwujudkan sebagai Tuhan yang monoteistik.[27] Dalam aliran Yoga, Ishvara adalah "dewa pribadi" atau "inspirasi spiritual" apa pun.[28] Dalam aliran Adwaita Vedanta, Ishvara adalah bentuk manifestasi dari Brahman.[29]

Waisnawa dan Saiwa,[30] aliran-alliran dari agama Hindu, meyakini sifat pribadi Tuhan yang hakiki. Teks suci Wisnu Sahasranama[31] menyatakan pribadi Wisnu sebagai Paramatma (jiwa tertinggi) dan Parameswara (Tuhan tertinggi) sementara Rudram menggambarkan hal yang sama tentang Siwa. Dalam teologi yang berpusat pada Kresna (Kresna dipandang sebagai perwujudan Wisnu oleh sebagian besar orang, kecuali gerakan aliran Gaudiya Waisnawa) gelar Swayam Bhagawan digunakan secara eksklusif untuk merujuk kepada Kresna dalam fitur pribadinya,[32][33] istilah tersebut digunakan oleh aliran Gaudiya Waisnawa, Nimbarka Sampradaya, dan pengikut Wallabha, sementara pribadi Wisnu dan Narayana kadang-kadang disebut sebagai dewa pribadi tertinggi dalam aliran Waisnawa lainnya.[34][35]

  1. ^ "Stanford Encyclopedia of Philosophy's concepts of God". Plato.stanford.edu. Diakses tanggal 2018-04-16. 
  2. ^ "The man who realizes God as a friend is never lonely in the world, neither in this world nor in the hereafter. There is always a friend, a friend in the crowd, a friend in the solitude; or while he is asleep, unconscious of this outer world, and when he is awake and conscious of it. In both cases the friend is there in his thought, in his imagination, in his heart, in his soul." Inayat Khan, quoted from The Sufi Message of Hazrat Inayat Khan
  3. ^ "Chapter 1: Religious Beliefs and Practices". U.S. Religious Landscape Survey: Religious Beliefs and Practices. Pew Research Center's Religion & Public Life Project. 1 June 2008. II. Religious Beliefs: God. 
  4. ^ Smith, Tom W. (18 April 2012). "Beliefs about God across Time and Countries" (PDF). NORC at the University of Chicago. Table 3: Believing in a Personal God (2019). 
  5. ^ "Most Christians Believe in a Personal God, Others Tend to See God as Impersonal Force". U.S. Public Becoming Less Religious. Pew Research Center's Religion & Public Life Project. 29 October 2015. 
  6. ^ "Judaism 101: The Nature of G-d". Jewfaq.org. Diakses tanggal 2018-04-16. 
  7. ^ Fairchild, Mary. "Who Is the Holy Spirit? Third Person of the Trinity". Christianity.about.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-27. Diakses tanggal 2018-04-16. 
  8. ^ "Is the Holy Spirit a Person or an Impersonal Force?". Spotlightministries.org.uk. 1973-12-08. Diakses tanggal 2018-04-16. 
  9. ^ Zulfiqar Ali Shah (2012). Anthropomorphic Depictions of God: The Concept of God in Judaic, Christian, and Islamic Traditions: Representing the Unrepresentable. International Institute of Islamic Thought (IIIT). hlm. 48–56. ISBN 9781565645837. 
  10. ^ Zafar Isha Ansari; Isma'il Ibrahim Nawwab, ed. (2016). The Different Aspects of Islamic Culture: The Foundations of Islam. 1. UNESCO Publishing. hlm. 86–87. ISBN 9789231042584. 
  11. ^ Ali Ünal. "The Qur'an with Annotated Interpretation in Modern English [Qur'an 112:4]". mquran.org. Tughra Books. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-06-04. Diakses tanggal 2021-10-14. 
  12. ^ Smith, Peter (2008). An Introduction to the Baháʼí Faith. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 106. ISBN 978-0-521-86251-6. 
  13. ^ Effendi, Shoghi (1944). God Passes By. Wilmette, Illinois, USA: Baháʼí Publishing Trust. hlm. 139. ISBN 0-87743-020-9. 
  14. ^ Smith, Peter (2008). An Introduction to the Baháʼí Faith. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 111. ISBN 978-0-521-86251-6. 
  15. ^ Effendi, Shoghi (1991). The World Order of Bahá'u'lláh. Wilmette, Illinois, USA: Baháʼí Publishing Trust. hlm. 113–114. ISBN 0-87743-231-7. 
  16. ^ Nasiman, Nurwito. 2017 (III). Pendidikan Agama Budha dan Budi Pekerti untuk SMA Kelas X. pp. 175-176. ISBN 978-602-427-074-2. "Dengan memahami bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini semata-mata hasil dari proses hukum kosmis, kita diharapkan dapat meninggalkan konsep yang salah tentang penciptaan bahwa dunia ini diciptakan oleh sosok pencipta yang disebut brahma, Tuhan, atau apa pun sebutannya."
  17. ^ Anggara, Indra. "AN 3.61: Titthāyatanasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  18. ^ Ensiklopedi Nasional Indonesia (1988). Jakarta: Cipta Adi Pustaka
  19. ^ Dale Riepe (1961, Reprinted 1996), Naturalistic Tradition in Indian Thought, Motilal Banarsidass, ISBN 978-8120812932, pages 177–184, 208–215
  20. ^ Ian Whicher, The Integrity of the Yoga Darsana, State University of New York press, ISBN 978-0791438152, pages 82–86
  21. ^ Mircea Eliade (2009), Yoga: Immortality and Freedom, Princeton University Press, ISBN 978-0691142036, pages 73–76
  22. ^ "Monier-Williams Sanskrit-English Dictionary". IITS Koeln. hlm. 171. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 March 2023. Diakses tanggal 13 January 2021. 
  23. ^ James Lochtefeld, "Ishvara", The Illustrated Encyclopedia of Hinduism, Vol. 1: A–M, Rosen Publishing. ISBN 0-8239-2287-1, page 306
  24. ^ Lord Śiva's Song: the Īśvara Gītā. Andrew J. Nicholson, Laurie Searl. 2014. ISBN 978-1-4384-5102-2. OCLC 880450730. 
  25. ^ Roshen Dalal (2010). Hinduism: An Alphabetical Guide. Penguin Books. hlm. 235, 379–380. ISBN 978-0-14-341421-6. 
  26. ^ Oliver Leaman (2000), Eastern Philosophy: Key Readings, Routledge, ISBN 978-0415173582, page 251
  27. ^ RK Pruthi (2004), Arya Samaj and Indian Civilization, ISBN 978-8171417803, pages 5–6, 48–49
  28. ^ Lloyd Pflueger, Person Purity and Power in Yogasutra, in Theory and Practice of Yoga (Editor: Knut Jacobsen), Motilal Banarsidass, ISBN 978-8120832329, pages 38–39
  29. ^ Bahm, Archie J. (1992). The World's Living Religions (dalam bahasa Inggris). Jain Publishing Company. ISBN 978-0-87573-000-4. 
  30. ^ Satguru Sivaya, Subramuniyaswami. "Dancing with Shiva". Himalayan Academy. Diakses tanggal 17 June 2011. 
  31. ^ "Sri Vishnu Sahasaranama - Transliteration and Translation of Chanting". Swami-krishnananda.org. Diakses tanggal 2018-04-16. 
  32. ^ Gupta, Ravi M. (2007). Caitanya Vaisnava Vedanta of Jiva Gosvami. Routledge. ISBN 978-0-415-40548-5. 
  33. ^ Gupta, Ravi M. (2004). Caitanya Vaisnava Vedanta: Acintyabhedabheda in Jiva Gosvami's Catursutri tika. University of Oxford. 
  34. ^ Delmonico, N. (2004). "The History of Indic Monotheism And Modern Chaitanya Vaishnavism". The Hare Krishna Movement: The Postcharismatic Fate of a Religious Transplant. Columbia University Press. ISBN 978-0-231-12256-6. Diakses tanggal 2008-04-12. 
  35. ^ Elkman, S.M.; Gosvami, J. (1986). Jiva Gosvamin's Tattvasandarbha: A Study on the Philosophical and Sectarian Development of the Gaudiya Vaishnava Movement. Motilal Banarsidass Pub. 

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]