Haya, Tehoru, Maluku Tengah
Haya Mae Na Hanue Yamano | |
---|---|
Negara | Indonesia |
Provinsi | Maluku |
Kabupaten | Maluku Tengah |
Kecamatan | Tehoru |
Luas | ... km² |
Jumlah penduduk | ... jiwa |
Kepadatan | ... jiwa/km² |
Haya adalah sebuah negeri di Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Etimologi
[sunting | sunting sumber]Terdapat tiga versi mengrnai asal-usul nama negeri Haya. Masing-masing versi tersebut merupakan hasil cerita tutur masyarakat yang masih rancu keabsahannya.
- Terdapat keyakinan bahwa Haya berasal dari kata حي hayya dalam bahasa Arab yang berarti 'marilah'. Asal kata ini dipandang sebagai 'panggilan suci' untuk mengajak orang bergabung menjadi satu dan memeluk agama Islam. Namun, pandangan ini sangat diragukan, mengingat pada masa itu, wilayah tersebut hanya dihuni oleh beberapa perkampungan kecil, serta kemungkinan agama Islam belum masuk kesana.
- Terdapat juga penafsiran bahwa nama Haya berasal dari kata hayae dalam bahasa lokal yang berarti 'mari pikul'. Dalam sejarah tercatat sebuah peristiwa penting saat pendirian sebuah masjid di Waesahuruto (negeri tua), tepatnya di Bukit Tanjong Tohia. Tiang Alif pada masjid itu, konon, dipikul secara bersama-sama oleh kaum lelaki tua dan muda dari berbagai matarumah.
- Dalam salah satu versi yang banyak disepakati, nama negeri Haya diambil dari nama fam Haya atau kampung dari kekuasaan fam Haya. Wilayahnya mencakup kampung-kampung dari Hahan hingga Kotalu. Keberadaan fam Haya diceritakan memiliki kontribusi besar dalam pembentukan dan perkembangan pemukiman penduduk. Tradisi dan praktik adat yang dilaksanakan hingga saat ini menunjukkan keberadaan yang berkelanjutan dari masyarakat sebelumnya yang membentuk negeri Haya.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Dari Manusela ke Pesisir Pantai Seram Selatan
Pada awal abad ke-14, kawasan Gunung Binaya menjadi tempat tinggal bagi berbagai suku yang hidup secara nomaden. Mereka menjalani kehidupan yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain selama berabad-abad. Hal ini terlihat dari keberadaan suku Alifuru di Manusela, yang terdiri dari berbagai kelompok seperti Ipanota, Tehesia, Mamuweka, Iputia, Kaela, Supulaka, dan Moniaka. Mereka memiliki perkampungan tersendiri di pegunungan dan sebagian tersebar di sekitar pesisir Seram Selatan.
Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa penyebaran penduduk ke Pulau Ambon, Pulau Haruku, dan Pulau Saparua berasal dari Pulau Seram. Pintu gerbang menuju Seram Selatan terletak di Negeri Haya, Kecamatan Tehoru. Legenda dan cerita rakyat yang tersebar dari mulut ke mulut mengenai transformasi penyebaran penduduk tersebut secara umum berkisar pada kawasan Manusela yang kemudian turun ke pesisir Seram Selatan melalui Negeri Haya.
Pada awal abad ke-14, proses urbanisasi mulai terjadi dari pegunungan Manusela ke pesisir Seram Selatan. Pada sekitar tahun 1320, beberapa perkampungan besar telah terbentuk di pesisir tersebut, dihuni oleh berbagai marga, baik yang berasal dari Manusela maupun pendatang dari Seram Timur.
Dalam perjalanan migrasi dari Manusela ke pesisir Seram Selatan, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi arah dan kecepatan perpindahan penduduk:
1. Kebutuhan akan Sumber Daya Alam: Pegunungan Manusela menyediakan lingkungan yang kaya akan sumber daya alam, namun pada saat yang sama, keterbatasan lahan dan tekanan populasi memaksa masyarakat untuk mencari wilayah baru untuk dihuni. Pesisir Seram Selatan menawarkan alternatif yang menarik dengan potensi perikanan yang melimpah, serta kemungkinan untuk pertanian pantai yang lebih produktif.
2. Faktor Ekonomi: Pertumbuhan perdagangan antar-pulau memainkan peran penting dalam mempengaruhi arus migrasi. Aktivitas perdagangan yang semakin berkembang memperkuat hubungan antara kawasan pesisir dengan pelabuhan-pelabuhan di sekitarnya, seperti pelabuhan di Saparua dan Haruku.
3. Perubahan Sosial dan Budaya: Transformasi sosial dan budaya di Manusela memengaruhi dinamika migrasi. Kehadiran agama Islam dan perubahan dalam struktur sosial mempengaruhi pola pemukiman dan hubungan antar-marga.
4. Kontak dengan Pendatang Baru: Interaksi dengan masyarakat pendatang, baik dari Seram Timur maupun wilayah lain, membawa perubahan signifikan dalam budaya dan identitas lokal. Campur tangan dari luar memperkaya keragaman budaya yang ada dan membentuk pola-pola baru dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, dalam perjalanan migrasi tersebut, terbentuklah perkampungan-perkampungan yang menjadi cikal bakal Negeri Haya, yang mencerminkan dinamika sosial, budaya, dan politik yang berkembang di masa itu:
1. **Kampung Monia:** Dihuni oleh empat marga utama, yaitu Tuahan, Somalua, Ainsa, dan Peysama. Nama "Monia" berasal dari bahasa setempat yang berarti "Orang Besar", mencerminkan pentingnya perkampungan ini sebagai salah satu pemukiman awal di pesisir Seram Selatan.
2. **Kampung Ailatu:** Penyebutan "Ailatu" berasal dari kata "Ai" yang berarti kayu dan "Latu" yang berarti damar. Kampung ini dihuni oleh tiga marga utama, yaitu Souwahu, Suweiselano, dan Samalehu, yang kemudian bertambah dengan kedatangan marga Hatuluayo dan Latua dari Amar Sekaru, Seram Timur.
3. **Kampung Hiaolu (Monia Hiau):** Dihuni oleh marga Namakule, Louhatu, dan Supale’e. Nama "Hiaolu" atau "Monia Hiau" merujuk pada kampung kecil ini yang sering menjadi titik transit bagi penduduk migran dari Manusela ke Seram Selatan.
4. **Kampung Lesilala Hatu Pue:** Awalnya dihuni oleh lima marga utama, yaitu Pia, Yamanokuan, Lesipela, Makayaino, dan Peysama. Kemudian, datanglah marga Waelo dari Bagdad, Irak, yang membawa ajaran Islam ke kampung ini dan menetap untuk menyebarkan dakwah Islam di sekitar wilayah tersebut.
5. **Kampung Mutuluilu:** Dihuni oleh marga Looy dan Pelaino, meskipun marga Pelaino kini telah tidak ada lagi.
6. **Kampung Hatuputih Yanlua:** Dihuni oleh marga Nanuayo dan Ponlohy, dengan kedatangan marga Namakule putio dari Seram Timur dalam perkembangannya.
7. **Kampung Hahan (Kotalu):** Dihuni oleh marga Haya.
8. **Kampung Sialana (Italana):** Dihuni oleh marga Hatapayo, Wakano, dan Yapono.
9. **Kampung Salaiku:** Dihuni oleh marga Hatapayo, Toiyo, Samalo, dan Yapono. Marga Toiyo kemudian berpindah ke Teluk Telutih dan membentuk negeri Laimu, sedangkan marga Samalo berpindah ke Tamilouw.
Pembentukan perkampungan-perkampungan ini menjadi landasan bagi terbentuknya Negeri Haya, yang menggambarkan keragaman etnis, budaya, dan agama yang menjadi ciri khas masyarakat Seram Selatan pada masa itu.
*Bagian 5)**
### Menelusuri Negeri Haya (Oleh Ali Tuahan: Episode 4)
Dari Manusela ke Pesisir Pantai Seram Selatan (Bagian 3)
Dalam perjalanan sejarah berikutnya, tersebarlah kabar di Manusela tentang terbentuknya perkampungan besar di Seram Selatan, yang didukung oleh alam sekitarnya yang melimpah. Kabar ini mendorong penduduk Manusela lainnya untuk mencari saudara mereka yang telah lebih dulu menetap di pesisir Seram Selatan, sehingga bertambahlah perkampungan-perkampungan baru sebagai berikut:
1. **Kampung Wapatola:** Dihuni oleh marga Lailosa. Sebagian marga Lailosa kemudian hijrah ke Seram Selatan Bagian Barat, membentuk negeri Waraka, sementara yang tetap di Wapatola mengganti marga menjadi Wakano. Ada juga yang mengubahnya menjadi marga Tehuayo Uma Guru, yang menyebar ke negeri Tehua Kecamatan Telutih.
2. **Kampung Deng Pandang:** Dihuni oleh marga Hayoto dan Mahu.
3. **Kampung Waisouw:** Dihuni oleh beberapa keluarga marga Ilela dan Ilela Potoa. Beberapa keluarga dari Waisouw kemudian hijrah ke Kampung Maya (Mayapada), dan sekarang menetap di negeri Salamahu Kecamatan Tehoru.
4. **Kampung Huakaolu:** Dihuni oleh beberapa keluarga yang kemudian hijrah ke Seram Selatan Bagian Tengah, dan membentuk negeri Haruru Kecamatan Amahai.
Selain perkampungan tersebut, juga terdapat Kampung Yamano (Puncak Tanjong Tohia), yang dihuni oleh marga Namutilo, yang berasal dari Kerajaan Mataram. Dengan demikian, pada masa itu terdapat 14 perkampungan di daerah tersebut.
### Menelusuri Negeri Haya (Oleh Ali Tuahan: Episode 5)
### Sistem Pemerintahan Kepala Marga, Uma Taun, & Ukuo Taun
a. **Pemerintahan Kepala Marga (1325 – 1340):** Setiap marga mengatur rumah tangganya sendiri. Kepala Marga, biasanya yang paling tua dan dihormati, bertanggung jawab atas kepemimpinan. Namun, ketika jumlah penduduk bertambah, sulitnya menyelesaikan perselisihan antarmarga memicu perubahan.
b. **Pemerintahan Uma Taun (1340 - 1355):** Uma Taun, yang artinya "Rumah Besar yang Penuh", menggabungkan beberapa marga dalam kepemimpinan bersama. Dipimpin oleh tokoh-tokoh terkemuka, pemerintahan Uma Taun mencerminkan musyawarah mufakat dari masing-masing marga.
c. **Pemerintahan Ukuo Taun (1355 – 1380):** Merupakan masa penggabungan berbagai marga dan kampung dalam satu kepemimpinan. Meskipun demikian, sistem kepemimpinan marga dan Uma Taun masih berjalan untuk mengurus rumah tangga masing-masing. Ukuo Taun terbagi menjadi dua: Heiyale (timur) dan Heiyoho (barat), masing-masing dengan kepemimpinan yang terpusat di Monia-Ailatu dan Lesilala.
Keselarasan antara marga dan kepemimpinan ini membantu menjaga kedamaian serta mempererat ikatan persaudaraan dan kekeluargaan antarwarga. Pada prinsipnya, perkampungan di Heiyale dan Heiyoho selalu mengikuti petunjuk dan nasihat Kapitan dari Monia dan Ailatu, serta Lesilala, untuk memastikan harmoni dan kebersamaan yang berkelanjutan.
agian 6)**
### Kepemimpinan Latu / Raja I: Namutilo
Pada sekitar tahun 1438, semua perkampungan dalam kedua Ukuo Taun Heiyale dan Heiyoho dikuasai oleh Kapitan Mahyudin Namutilo, yang berasal dari Ukuo Taun Heiyoho dan berpusat di Kampung Lesilala. Namutilo sebelumnya tinggal di Yamano (Puncak Tanjong Tohia).
Sebagai sosok yang sangat dihormati dan kharismatik, Namutilo memiliki pengaruh yang kuat. Pada masa itu, kekuasaan dipertahankan oleh yang terkuat, sehingga dengan dukungan beberapa Kapitan, ia menyatakan dirinya sebagai Latu / Raja. Dukungan pertama datang dari Kapitan Pia Patikaihatu, yang memimpin Ukuo Taun Heiyoho di Lesilala. Kemudian, Kapitan Pia Patikaihatu dan Pemerintah Kepala Marga Nanuayo bekerja sama dengan beberapa Kapitan dari Heiyale, antara lain Kapitan Souwahu, Tuahan, Ainsa, Somalua, Supale’e, Samalehu Ailatu, dan Pemerintah Kepala Marga Haya. Dukungan terakhir datang dari Pemerintah Kepala Marga Yamanokuan, Suwe’iselano, dan Ponlohi.
Dengan persetujuan semua pihak, Namutilo resmi diangkat sebagai Latu / Raja, dan prosesi pengukuhan dilakukan oleh Kapitan Pia Patikaihatu, yang memiliki kekuasaan penuh di Ukuo Taun Heiyoho di Lesilala. Masyarakat yang masih memegang teguh prinsip pemerintahan kepala marga menyambut baik pengangkatan Namutilo sebagai Latu / Raja.
Kepemimpinan Namutilo menyatukan kedua Ukuo Taun menjadi satu pemerintahan yang kuat di bawah satu komando. Selain itu, sistem adat yang terwarisi dari masa lalu juga mulai terbentuk. Meskipun demikian, kepemimpinan Namutilo hanya berlangsung sekitar satu tahun.
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- (Indonesia) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 050-145 Tahun 2022 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, dan Pulau tahun 2021
- (Indonesia) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan
- (Indonesia) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan