Tri Soka
Tri Soka atau Paguyuban Ngolah Rasa Tri Soka (bahasa Jawa: ꦠꦿꦶꦱꦺꦴꦏ, translit. Tri Soka) adalah aliran penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa yang saat ini berpusat di Pedukuhan Parangrejo, Kalurahan Girijati, Kapanéwon Purwosari, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ajaran organisasi ini berawal dari kiprah Ki Rambat yang sering memberikan pengobatan kepada masyarakat di rumahnya.
Orang pertama yang berobat kepadanya adalah Hardjosasmito, yang di kemudian hari dianggap sebagai pendahulu dari orang-orang yang menuntut wewarah (ajaran). Pada 5 Agustus 1981, anggotanya kemudian menggunakan nama Tri Soka untuk melestarikan ajaran yang diberikan oleh Ki Rambat dan Hardjosasmito. Para anggota organisasi ini memiliki berbagai cara dalam menghayati kepercayaannya, baik menyangkut hubungan pribadi dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, dan alam semesta.
Asal-usul
[sunting | sunting sumber]Ajaran organisasi ini berawal dari kiprah Ki Rambat yang sering memberikan pengobatan kepada masyarakat di rumahnya yang berada di Kapanéwon Kasihan. Selain memberikan pengobatan, dia juga sering kali bertapa di puncak Gunung Sempu dan bukit yang berada di Pedukuhan Parangrejo. Hal tersebut dilakukannya untuk mencari petunjuk alam agar dapat dipertemukan dengan seorang yang akan menjadi "orang tua" sejatinya.[1]
Pada 22 Maret 1934, dia memperoleh petunjuk bekal perjalanan hidup ketika melakukan laku spiritual, yaitu kewajiban untuk menyayangi sesama manusia. Malam berikutnya, dia mendapatkan kembali petunjuk yang maknanya dapat ditafsirkan jika kehidupan alam semesta tidak dapat dipisahkan dari adanya matahari, bulan, dan bintang atau disebut dengan surya kartika candra. Kehidupan manusia juga tidak dapat dilepaskan dari permasalahan ngolah rasa, kautaman, lan kasucian (mengolah rohani, keutamaan, dan kesucian). Terakhir, pada 25 Maret 2934, dia menerima tuntutan untuk menjaga ketenangan dan ketenteraman karena kehidupan manusia dapat terbina dengan dasar tresna, welas asih, lan eman (cinta, belas kasih, dan dan sayang). Selain itu, manusia seharusnya juga dapat memahami arti kodrat pesthi (hukum alam).[1]
Ketika memberikan pengobatan, orang pertama yang datang kepadanya adalah Hardjosasmito yang berasal dari Brontokusuman. Dia meminta pertolongan agar disembuhkan dari suatu penyakit[a] yang telah lama dideritanya.[2] Lama-kelamaan, penyakit itu akhirnya dapat disembuhkan dan dia semakin sering datang ke rumah Ki Rambat untuk meminta penjelasan mengenai ajarannya. Kedatangannya selanjutnya lantas disertai dengan istri, kerabat, dan teman-temannya. Orang-orang tersebut di kemudian hari menganggap Hardjosasmito sebagai pendahulu dari orang-orang yang menuntut ilmu ajaran Tri Soka.[3]
Sejak 1959, para anggotanya mengatur pertemuan di rumah Hardjosasmito setiap hari Sabtu Pon mulai pukul 20.00–24.00 WIB, dikarenakan jumlahnya semakin bertambah. Saat itu, Hardjosasmito bertindak sebagai pemberi wewarah dan perkumpulan itu belum berbentuk organisasi. Para anggotanya pun belum memiliki ikatan tanggung jawab, hak, dan kewajiban.[3]
Pada 1966, Hardjosasmito meninggal dunia dan perkumpulan itu berjalan sendiri sesuai dengan petunjuk yang telah diberikannya. Selanjutnya, pada Juni 1968 para anggotanya bersepakat menunjuk Martopratomo dari Parangtritis untuk memimpin perkumpulan ini. Pada 5 Agustus 1981, anggotanya kemudian mendirikan Sanggar Pasar Anyar Katimuruh yang berada di Pedukuhan Parangrejo dan menggunakan nama Tri Soka untuk melestarikan ajaran yang diberikan oleh Ki Rambat dan Hardjosasmito. Tanggal tersebut ditetapkan secara resmi sebagai pendirian organisasi tersebut.[3]
Susunan anggota
[sunting | sunting sumber]Organisasi ini tercatat di Sistem Informasi Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat dengan nomor inventaris I.253/F3/N.1.1/1984 Keputusan Kementerian Hukum dan HAM No. AHU-0003373.AH.01.07 Tahun 2021.[4][5] Berdasarkan catatan dari Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tahun 2010, anggota organisasi ini berjumlah 95 orang. Namun demikian, tidak sedikit yang menyatakan sebagai warga simpatisan dengan ketentuan tidak terikat oleh peraturan organisasi. Sementara itu, mereka yang terikat oleh peraturan merasa memiliki ikatan batin dan rasa kebersamaan, sehingga satu sama lain tetap terjalin rasa persatuan dan kebersamaan dengan semangat satu wadah, keyakinan, dan pembimbing.[6]
Lambang organisasi tersebut secara keseluruhan berbentuk lingkaran dengan rincian sebagai berikut.
- Lingkaran merupakan lambang kebulatan tekad dalam kehidupan.
- Gunung merupakan lambang kekuatan yang tidak tergoyahkan oleh berbagai suasana yang melanda kehidupan.
- Warna hitam merupakan lambang cinta kasih dan ketakwaan kepada Tuhan.
- Warna biru merupakan lambang keluhuran budi pekerti manusia.
- Warna putih merupakan lambang dasar kehidupan manusia.
- Bilangan tiga gunung merupakan lambang tiga unsur manusia, yaitu sukma, nyawa, dan raga.[6]
Susunan pengurus organisasi ini sebagai berikut.
- Sesepuh/Ketua I: Budhiasih Suparno.
- Ketua II: Mulyodihardjo.
- Penulis I: Dani Hardiyanto.
- Penulis II: Bambang Susanto.
- Keuangan I: Bariatun.
- Keuangan II: Sri Sanon.
- Seksi pendidikan: Dwi Sunu Prapto.
- Seksi pemuda: Sunu Purwono Kuncoro.
- Pembantu umum: Dasuki Triwidodo.[6]
Ajaran
[sunting | sunting sumber]Para anggota organisasi ini memiliki berbagai cara dalam menghayati kepercayaannya, baik menyangkut hubungan pribadi dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, dan alam semesta.[7] Dalam hubungannya dengan Tuhan, anggotanya diajarkan untuk mempunyai kewajiban terhadap Tuhan dengan selalu tunduk dan patuh terhadap kekuasaan-Nya. lnilah yang disebut dengan sifat pribadi atau olah kesucian. Selain itu, mereka juga diajarkan untuk memelihara, menjaga, serta merawat jasmani dan rohani karena rasa adalah tempat cahaya berada. Inilah yang disebut dengan olah rasa.[3]
Para anggota aliran penghayat, seperti halnya Tri Soka, beranggapan jika Tuhan memiliki tiga aspek. Pertama, sangkan paraning dumadi, yaitu pencipta alam semesta, bersifat mutlak dan sumber segala kehidupan yang bimbingan-Nya selalu dibutuhkan manusia agar kembali kepada sumber hidupnya. Kedua, memayu hayuning bawana, yaitu tuntunan untuk menghormati kehidupan alam sekitar. Ketiga, manunggaling kawula gusti, yaitu mempunyai kesadaran seutuhnya terkait peran dan fungsinya sebagai ciptaan Tuhan.[8]
Sementara itu, dalam hubungannya dengan diri sendiri, anggotanya diajarkan untuk selalu mawas diri dengan tujuan menghayati dirinya sendiri. Bagi siapa saja yang menyadari kehidupannya dengan rasa hening dan ikhlas, berarti dirinya telah menemukan warna hidupnya sendiri. Dengan demikian, dia akan mudah menerima sinar keagungan Tuhan dan memiliki perilaku tepa slira (tenggang rasa), sabar, ramah, dan hormat kepada orang lain.[9]
Dalam hubungannya dengan sesama manusia, anggotanya diajarkan berpikir dan bertindak untuk kepentingan sesama dengan menggunakan akal budi yang hening dan sehat. Mereka harus menciptakan suasana rukun, damai, tenteram, dan sejahtera atas kekuasaan dan keagungan Tuhan.[10]
Terakhir, dalam hubungannya dengan alam, anggotanya diajarkan untuk berhati-hati dalam melaksanakan kehidupannya. Mereka harus sadar tempatnya berpijak dan berlindung demi kelangsungan hidupnya. Dengan demikian, manusia dapat handarbeni (merasa memiliki) tanah kelahirannya. Alam tempat manusia berpijak sangat berarti karena dari sanalah manusia memetik hasil bumi dan sebagai tempat berlindung, sehingga mereka harus sadar bahwa hubungannya dengan alam tidak dapat dipisahkan, keduanya saling membutuhkan.[10]
Menurut Endraswara dalam bukunya berjudul Agama Jawa: Ajaran, Amalan, dan Asal-Usul Kejawen, upaya menemukan ketenteraman sejati selalu dilakukan oleh para anggota aliran penghayat, termasuk Tri Soka. Ketenteraman jika hidup itu cakra manggilingan (selalu berputar) dilakukan oleh anggota organisasi ini dalam bentuk ritus bersama yang disebut dengan merti jiwa.[11] Merti jiwa berarti upaya pembersihan jiwa agar tidak ternodai akibat kontak kehidupan sehari-hari.[12]
Kegiatan ini dilakukan dalam bentuk semadi. Semadi tersebut berawal dari lana brata (perjalanan malam) penemu ajaran menuju suatu tempat yang wingit. Para anggotanya menjalankan semadi untuk memohon keselamatan di Padepokan Gunung Sempu.[13] Tanah padepokan itu merupakan pemberian dari Sri Sultan Hamengku Buwana IX.[14]
Pamungkas menyebut jika merti jiwa merupakan sebuah kegiatan yang disebut dengan meditasi. Orang Jawa seperti anggota organisasi ini banyak menjalankan meditasi, sampai ada yang mencapai tataran ngraga suksma (proyeksi astral). Ketika meditasi berlangsung, sesuatu yang diolah adalah batin (rasa) agar semakin jernih. Hal ini dikarenakan di dalamnya terdapat proses introspeksi diri untuk mengenal jati dirinya. Lebih lanjut, Pamungkas menyatakan bahwa merti jiwa menjadi suatu kegiatan yang terlihat sakral dan berbagai upaya gaib.[15]
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Catatan
[sunting | sunting sumber]- ^ Para anggotanya tidak dapat menyebutkan penyakit tersebut.
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ a b "Tri Soka". Condong Widagdo. Diakses tanggal 8 September 2023.
- ^ Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (2010), hlm. 387–388
- ^ a b c d Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (2010), hlm. 388
- ^ "Tri Soka". Sistem Informasi Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat. Diakses tanggal 7 September 2023.
- ^ "Persebaran Organisasi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa Tingkat Pusat Per Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia (Data Per Bulan Juli 2018)" (PDF). Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Diakses tanggal 7 September 2023.
- ^ a b c Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (2010), hlm. 387
- ^ Zuhdi, Kalangie & Imawan (2022), hlm. 33–34
- ^ "Gema Pakti Berjuang untuk Regenerasi Penghayat Kepercayaan". Pers Mahasiswa Poros Universitas Ahmad Dahlan. Diakses tanggal 8 September 2023.
- ^ Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (2010), hlm. 388–389
- ^ a b Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (2010), hlm. 389
- ^ Endraswara (2015), hlm. 126
- ^ Endraswara (2011), hlm. 8
- ^ Endraswara (2011), hlm. 7
- ^ Endraswara (2015), hlm. 127
- ^ Pamungkas (2006), hlm. 11–28
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]Buku
- Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (2010). Ensiklopedia Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa (PDF). Jakarta: Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa.
- Endraswara, Suwardi (2015). Agama Jawa: Ajaran, Amalan, dan Asal-Usul Kejawen. Yogyakarta: Narasi-Lembu Jawa.
- Pamungkas, Ragil (2006). Lelaku dan Tirakat. Yogyakarta: Narasi.
Esai
- Endraswara, Suwardi (Maret 2011). "Klenikologi: World Charm and Fine Dissident Among Javanist Received by Trust" (PDF). Paper for International Seminar on Exploring Noble Values of Local Wisdom and Prime Javanese Culture to Strengthen the Nation Identity UNS Surakarta.
Jurnal
- Zuhdi, Muhammad Bayu; Kalangie, Daniel; Imawan, Satria Aji (Juni 2022). "Religious Freedom of Indigenous Beliefs in Yogyakarta, Indonesia". Jurnal Shahih. 7 (1). ISSN 2527-8126.