Lompat ke isi

Demang Lehman

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Infobox orangDemang Lehman

Edit nilai pada Wikidata
Biografi
Kelahiran(bjn) Idies Edit nilai pada Wikidata
1832 Edit nilai pada Wikidata
Martapura Edit nilai pada Wikidata
Kematian27 Februari 1864 Edit nilai pada Wikidata (31/32 tahun)
Martapura Edit nilai pada Wikidata
Penyebab kematianHanging (en) Terjemahkan Edit nilai pada Wikidata
Kegiatan
Pekerjaanassistant (en) Terjemahkan Edit nilai pada Wikidata
Lain-lain
Gelar bangsawanMangkunegara Galat: Kedua parameter tahun harus terisi! Edit nilai pada Wikidata

Demang Lehman yang bergelar Adhipattie Mangko Nagara (Adipati Mangku Negara)[1] (lahir di Martapura tahun 1832[2][3] - meninggal di Martapura tanggal 27 Februari 1864 pada umur 32 tahun) adalah salah seorang panglima perang dalam Perang Banjar.[4][5][6] Dia terlahir dengan nama Idris[2][7] Gelar Kiai Demang merupakan gelar untuk pejabat yang memegang sebuah lalawangan (distrik) di Kesultanan Banjar. Demang Lehman semula merupakan seorang panakawan (ajudan) dari Pangeran Hidayatullah II sejak tahun 1857. Oleh karena kesetiaan dan kecakapannya dan besarnya jasa sebagai panakawan dari Pangeran Hidayatullah II, dia diangkat menjadi Kiai sebagai lalawangan/kepala Distrik Riam Kanan (tanah lungguh Pg. Hidayatullah II).[7] Demang Lehman memegang pusaka kasultanan Banjar yaitu Keris Singkir dan sebuah tombak bernama Kaliblah yang berasal dari Sumbawa.[8][9]

Pada awal tahun 1859 Nyai Ratu Komala Sari, permaisuri almarhum Sultan Adam, telah menyerahkan surat kepada Pangeran Hidayatullah II, bahwa kesultanan Banjar diserahkan kepadanya, sesuai dengan surat wasiat Sultan Adam. Selanjutnya Pangeran Hidayat mengadakan rapat-rapat untuk menyusun kekuatan dan memberi bantuan kepada Tumenggung Abdul Jalil (Kiai Adipati Anom Dinding Raja) berupa 20 pucuk senapan. Sementara itu Pangeran Antasari dan Demang Lehman mendapat tugas yang lebih berat yaitu mengerahkan kekuatan dengan menghubungi Tumenggung Surapati dan Pambakal Sulil atau Sulaiman di daerah Barito (Tanah Dusun), Kiai Langlang, dan Syaikh Buya Yasin di daerah Tanah Laut.

Perlawanan rakyat terhadap Belanda berkobar di daerah-daerah di bawah pimpinan Pangeran Antasari yang berahsil menghimpun pasukan sebanyak 3.000 orang dan menyerbu pos-pos Belanda. Pos-pos Belanda di Martapura dan Pengaron diserang oleh pasukan Antasri pada tanggal 28 April 1859. Di samping itu, kawan-kawan seperjuangan Pangeran Antasari juga telah mengadakan penyerangan terhadap pasukan-pasukan Belanda yang dijumpai. Pada saat pangeran Antasari mengepung benteng Belanda di Pengaron, Kiai Demang Lehman dengan pasukannya telah bergerak disekitar Riam Kiwa dan mengancam benteng Belanda di Pengaron. Bersama-sama dengan Haji Nasrun, pada tanggal 30 Juni 1859, kiai Demang Leman menyerbu pos Belanda yang berada di istana Martapura. Dalam bulan Agustus 1859 bersama Syaikh Buya Yasin dan Kiai Langlang, Kiai Demang Lehman berhasil merebut benteng Belanda di Tabanio.

Pada tanggal 27 September 1859 pertempuran terjadi juga di benteng Gunung Lawak yang dipertahankan oleh Kiai Demang Lehman dan kawan-kawan. Dalam pertempuran ini kekuatan pasukan Kiai Demang Leman ternyata lebih kecil dibandingkan dengan kekuatan musuh sehingga ia terpaksa mengundurkan diri. Karena rakyat berkali-kali melakukan penyerangan gerilya, Belanda setalah beberapa waktu lamanya menduduki benteng tersebut, kemudian merusak dan meninggalkannya. Sewaktu meninggalkan benteng, pasukan Belanda mendapat serangan dari pasukan Kiai Demang Lehman yang masih aktif melakukan perang gerilya di daerah sekitarnya.

Upaya dan proses penangkapan Demang Lehman ini diungkapkan dalam Persidangan Pengadilan Demang Lehman, oleh para saksi. Mereka yang menjadi saksi adalah Brahim (Ibrahim) dan tahanan yang bernama Sambarani dan Singoprojo serta komplotannya.

Mereka mengungkapkan bahwa pada hari yang ditetapkan mereka mereka mendapat tugas khusus. Mereka telah menerima panggilan dari Kepala Wilayah Batu Licin (Syarif Hamid bin Pangeran Syarif Ali) agar melakukan segala upaya dengan tujuan untuk menangkap dan menyerahkan tersangka Demang Lehman yang berbahaya dalam kondisi hidup.

Pada sumber versi lain yang berbeda, dituliskan bahwa Demang Lehman yang merasa kecewa dengan tipu muslihat Belanda berusaha mengatur kekuatan kembali di daerah Gunung Pangkal, Negeri Batulicin, Tanah Bumbu. Waktu itu ia bersama Tumenggung Aria Pati bersembunyi di gua Gunung Pangkal dan hanya memakan daun-daunan. Oleh seorang yang bernama Pembarani diajak menginap di rumahnya.

Karena tergiur imbalan gulden dari Belanda, seseorang bernama Pembarani bekerjasama dengan Syarif Hamid bin Pangeran Syarif Ali dan anak buahnya yang sudah menyusuri Gunung Lintang dan Gunung Panjang untuk mencari Demang Lehman atas perintah Belanda. Demang Lehman tidak mengetahui bahwa Belanda sedang mengatur perangkap terhadapnya.

Oleh orang yang menginginkan hadiah dan tanda jasa sehabis dia melakukan salat Subuh dan dalam keadaan tidak bersenjata, dia ditangkap. Ia sempat sendirian melawan puluhan orang yang mengepungnya. Atas keberhasilan penangkapan ini Syarif Hamid bin Pangeran Syarif Ali Sebamban akan diangkat sebagai raja (Pangeran) tetap di Batulicin. [10]

Bulan April 1859

[sunting | sunting sumber]

Pada awal Perang Banjar yaitu sekitar akhir bulan April 1859 Demang Lehman memimpin kekuatan dan penggempuran di sekitar Martapura dan Tanah Laut, bersama-sama Kiai Langlang dan Penghulu Haji Buya Yasin, adapun tanah laut kota baru disarahkan kepada Haji Syafi'i. Selanjutnya Demang Lehman diperintahkan mempertahankan kota Martapura, karena pusat pemerintahan Kerajaan oleh Pangeran Hidayat dipindahkan ke kota Karang Intan. Bersama-sama Pangeran Antasari, Demang Lehman menempatkan pasukan di sekitar Masjid Martapura dengan kekuatan 500 orang dan sekitar 300 orang di sekitar Keraton Bumi Selamat.

Benteng Munggu Dayor

[sunting | sunting sumber]

Pada akhir tahun 1859 pasukan rakyat yang dipimpin oleh Demang Lehman, Pangeran Antasari, Tumenggung Antaluddin berkumpul di benteng Munggu Dayor. Demang Lehman terlibat dalam pertempuran sengit di sekitar Munggu Dayor. Belanda menilai tentang Demang Lehman sebagai musuh yang paling ditakuti dan paling berbahaya dan menggerakkan kekuatan rakyat sebagai tangan kanan dari Pangeran Hidayatullah. Demang Lehman menyerbu Martapura dan melakukan pembunuhan terhadap pimpinan militer Belanda di kota Martapura.

Serbuan terhadap Belanda di Keraton Bumi Selamat 30 Agustus 1859

[sunting | sunting sumber]

Pada tanggal 30 Agustus 1859 Demang Lehman berangkat menuju Keraton Bumi Selamat dengan 3000 kekuatan dan secara tiba-tiba mengejutkan Belanda karena melakukan serangan secara tiba-tiba, menyebabkan Belanda kebingungan menghadapinya, hingga hampir menewaskan Letnan Kolonel Boon Ostade. Dalam serangan tiba-tiba ini Demang Lehman menunggang kuda dengan gagah berani mengejar Letnan Kolonel Boon Ostade. Serbuan ke Keraton Bumi Selamat ini gagal karena berhadapan dengan pasukan Belanda yang sedang berkumpul melakukan inspeksi senjata. Pertempuran sengit terjadi, sehingga anggota Demang Lehman kehilangan 10 orang yang menjadi Syahid, begitu pula pihak Belanda berpuluh-puluh yang jatuh Korban.

Pertempuran di Benteng Tabanio

[sunting | sunting sumber]

Sementara itu kapal perang Bone dikirim Belanda ke Tanah Laut untuk merebut kembali benteng Tabanio yang telah dikuasai Demang Lehman dalam sebuah pertempuran yang mengerikan Belanda. Ketika pasukan Letnan Laut Cronental menyerbu benteng Tabanio, 9 orang serdadu Belanda tewas, dan terpaksa pasukan Belanda sisanya mengundurkan diri dengan menderita kekalahan. Serangan kedua oleh Belanda dilakukan, tetapi benteng itu dipertahankan dengan gagah berani oleh Demang Lehman, Kiai Langlang, dan Penghulu Syeikh Haji Buya Yasin dan tokoh lainya. Karena serangan serdadu Belanda didukung oleh angkatan laut yang menembakkan meriam dari kapal perang, sedangkan pasukan darat menyerbu benteng Tabanio, Demang Lehman berserta Habib Shohibul Bahasyim besarta pasukannya lolos dengan tidak meninggalkan korban. Belanda menilai bahwa kemenangan terhadap benteng Tabanio ini tidak ada artinya, kalau diperhitungkan dengan jumlah sarana yang dikerahkan 15 buah meriam, dan sejumlah senjata yang mengkilap, ternyata tidak berhasil melumpuhkan kekuatan Demang Lehman.

Pertempuran di Benteng Gunung Lawak 27 September 1859

[sunting | sunting sumber]

Selanjutnya Demang Lehman, memusatkan kekuatannya di benteng pertahanan Gunung Lawak di Tanah Laut. Benteng itu terletak di atas bukit, di setiap sudut benteng dipersenjatai dengan meriam. Pertempuran memperebutkan benteng ini terjadi pada tanggal 27 September 1859. Dalam pertempuran yang sengit dan pasukan Demang Lehman mempertahankan benteng Gunung Lawak dengan gagah berani, akhirnya mengorbankan lebih dari 100 gugur dalam pertempuran ini. Belanda sangat bangga dengan kemenangannya ini sehingga dilukiskannya sebagai salah satu pertempuran yang indah pada tahun 1859. Kekalahan ini tidak melemahkan semangat pasukan Demang Lehman, sebab mereka yakin bahwa berperang melawan Belanda adalah perang sabil, dan mati dalam perang adalah mati syahid. Bahkan pasukan yang dipimpin Kolonel Augustus Johannes Andresen banyak korban dalam perjalanan naik perahu ketika menuju ke Banjarmasin, bahkan A.J. Andresen sendiri hampir tewas dalam serangan mendadak ini.

Mendatangkan senjata

[sunting | sunting sumber]

Pangeran Antasari dan Demang Lehman mencoba mendatangkan senjata dengan cara mengirim utusan ke Kesultanan Kutai, Paser dan Pagatan. Tetapi rupanya sudah diketahui oleh Belanda, sehingga Belanda menekan semua raja-raja yang membantu Pangeran Antasari dan Demang Lehman. Meskipun demikian Demang Lehman memperoleh sebanyak 142 pucuk senapan dan beberapa buah meriam kecil (lila), tetapi sayang ketika senjata ini dalam perjalanan diangkut dengan perahu dirampas oleh Belanda di tengah laut.

Tiga lokasi pertempuran

[sunting | sunting sumber]

Pada akhir tahun 1859 medan pertempuran terpencar dalam 3 lokasi, yaitu di sekitar Banua Lima, sekitar Martapura dan Tanah Laut dan di sepanjang Sungai Barito. Medan pertempuran di sekitar Banua Lima dibawah pimpinan Tumenggung Abdul Jalil Kiai Adipati Anom, Dinding Raja, medan yang kedua dibawah pimpinan Demang Lehman dan Syarif Shohibul Bahasyim sedangkan medan ketiga dibawah pimpinan Pangeran Antasari dan Syarif Ali Al-Akbar Al-Aidid.

Pertemuan Para Pejuang di Kandangan

[sunting | sunting sumber]

Pada bulan September 1859 Demang Lehman, bersama pimpinan lainnya seperti Pangeran Muhammad Aminullah,[11] Tumenggung Abdul Jalil Habib Shohibul Bahasyim, berangkat menuju Kandangan untuk merundingkan bentuk perlawanan terhadap Belanda dan sikap serta siasat yang ditempuh selanjutnya. Pertemuan ini dihadiri oleh tokoh-tokoh pejuang dari segala seluruh pelosok bumi kalimantan. Dari pertemuan itu menghasilkan kesepakatan, bahwa pimpinan-pimpinan perang menolak tawaran Belanda untuk berunding. Pertemuan menghasilkan pula bentuk perlawanan yang terarah dan meluas dengan cara:

  1. Pemusatan kekuatan di daerah Amuntai. Pahuluan
  2. Membuat dan memperkuat pertahanan di daerah Tanah Laut Kota Baru, Martapura, Rantau dan Kandangan.
  3. Pangeran Antasari, Habib Shohibul Bahasyim Serta Yang Lainya memperkuat pertahanan di wilayah Dusun Atas.
  4. Mengusahakan tambahan senjata.

Suatu sikap yang keras telah diambil bahwa para pejuang tersebut bersumpah mengusir penjajah Belanda dari bumi Banjar. Mereka akan berjuang tanpa kompromi Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing, berjuang sampai titik darah yang penghabisan.

Belanda Mendirikan Benteng

[sunting | sunting sumber]

Untuk melumpuhkan perjuangan rakyat Belanda mendirikan benteng-benteng. Di daerah Tapin, diperkuat Belanda benteng Munggu Thayor yang telah direbutnya dari pasukan Demang Lehman. Di daerah Kandangan, didirikan pula benteng dikenal sebagai benteng Amawang. Demang Lehman dan pasukannya merencanakan untuk menyerang benteng Belanda di Amawang ini. Demang Lehman berhasil menyelundupkan dua orang kepercayaannya ke dalam benteng sebagai pekerja Belanda. Informasi dari kedua pekerja ini Demang Lehman bertekad akan menyerbu benteng Belanda tersebut. Pihak Belanda memperoleh informasi bahwa rakyat telah berkumpul di Sungai Paring hendak menyerbu benteng Amawang. Dengan dasar informasi ini, pasukan Belanda dibawah pimpinan Munters membawa 60 orang serdadu dan sebuah meriam menuju Sungai Paring. Saat pasukan tersebut keluar dan diperkirakan sudah mencapai Sungai Paring, Demang Lehman menyerbu benteng Amawang pada sekitar jam 02.00 siang hari tanggal 31 Maret 1860, dengan 300 orang pasukannya Demang Lehman menyerbu benteng tersebut. Ketika pasukan Demang Lehman menyerbu, kedua orang kepercayaan yang menjadi buruh dalam benteng tersebut mengamuk dan menjadikan serdadu Belanda menjadi kacau dibuatnya. Kedua orang yang mengamuk tersebut tewas dalam benteng dan sementara itu pertempuran sengit terjadi. Pasukan Munters ternyata kembali ke benteng sebelum sampai di Sungai Paring. Datangnya bantuan kekuatan ini, menyebabkan Demang Lahman dan pasukannya mundur. Demang Lehman mundur di sekitar Sungai Kupang dan Tabihi bersama Pangeran Muhammad Aminullah dan Tuan Said. Pasukan Belanda menyusul ke Tabihi dan terjadi pertempuran. dalam pertempuran itu komandan pasukan Belanda Van Dam van Isselt tewas dan beberapa orang serdadu menjadi korban keganasan perang.

Demang Lehman meneruskan ke daerah Barabai membantu pertahanan Pangeran Hidayatullah dan pengiringnya. Gustave Marie Verspijck berusaha keras untuk menghancurkan kekuatan Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman yang berkedudukan di sekitar Barabai. Gustave Verspijck mengerahkan serdadu dari infantri batalyon ke 7, batalyon ke 9 dan batalyon ke 13. Batalyon ke 13 berjumlah 210 orang serdadu dibawah pimpinan Kapten Bode dan Rhode. Pasukan ini diikutkan pula 100 orang perantaian yang bertugas membawa perlengkapan perang dan makanan. Pengepungan terhadap kedudukan Pangeran Hidayatullah ini disertai pula kapal-kapal perang Suriname, Bone, Bennet dan beberapa kapal kecil. Kapal-kapal perang ini pada tanggal 18 April 1850 telah memasuki Sungai Ilir Pamangkih. Karena banyak rintangan yang dibuat, maka kapal-kapal perang tidak dapat memasukinya, serdadu Belanda terpaksa menggunakan perahu-perahu. Iringan perahu ini mendapat serangan dari kelompok Haji Sarodin yang menggunakan lila dan senapan lantakan. Dalam pertempuran ini Habib Sabaruddin Azmatkhan dan Habib Safaruddin Abu Numai Al-Hasani mati Syahid, tetapi beliau berhasil menewaskan banyak serdadu Belanda.

Pertempuran terjadi pula di Walangku dan Kasarangan dan Pantai Hambawang. Dengan teriakan Allahu Akbar, rakyat yang dipimpin Habib Shohibul Bahasyim, Pambakal Sulaiman dan Tuan Guru Abdullah serta tokoh lainya menyerbu serdadu Belanda yang bersenjata lengkap. Mereka tidak takut mati, karena mereka yakin mati dalam perang melawan Belanda adalah mati syahid. Demang Lehman dan Pangeran Hidayatullah berusaha keras dan penuh keberanian menahan serangan serdadu Belanda. Tetapi karena jumlah personel Belanda lebih besar dan perlengkapan perang lebih unggul, maka diambil suatu siasat mundur. Pangeran Hidayatullah mengundurkan diri ke Aluwan, sedangkan Demang Lehman bertahan di kampung Pajukungan. Akhirnya Belanda berhasil menduduki Barabai setelah meninggalkan banyak korban. Belanda berusaha keras untuk memutuskan hubungan Pangeran Hidayat yang berada di Aluwan dengan pasukan Demang Lehman yang berada di sekitar Amawang. Usaha Belanda untuk melemahkan kekuatan rakyat ternyata tidak berhasil, karena rakyat menggunakan taktik gerilya dalam serangannya.

Belanda berusaha memikat Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman dengan segala cara agar menghentikan perlawanannya terhadap Belanda. Belanda kemudian menempuh jalan untuk menangkap kedua tokoh pejuang itu hidup atau mati, dan mengeluarkan pengumuman kepada seluruh rakyat agar dapat membantu Belanda menangkap kedua tokoh itu dengan imbalan yang menggiurkan. Imbalan yang dijanjikan adalah dengan mengeluarkan pengumuman harga kepala terhadap tokoh pejuang yang melawan Belanda. Harga kepala Pangeran Hidayatullah adalah sebesar f10.000,- dan Demang Lehman sebesar f2.000,- Nilai uang sebesar itu dapat memikat hati setiap orang yang menginginkan kekayaan. Bagi pejuang yang memegang sumpah Haram manyarah, waja sampai kaputing, tidak tergoyah hatinya mendengar janji-janji seperti itu, kecuali bagi mereka yang mengingkari sumpah, menghianati perjuangan bangsa dan yang lemah imannya terhadap prinsip perang sabil.

Meskipun segala usaha telah gagal, Belanda tetap berusaha untuk menangkapnya dengan cara apapun. Pemerintah Belanda mengutus Haji Isa seorang yang dekat dengan dan tahu Pangeran ini berada. Tugas Haji Isa adalah menyampaikan keinginan pemerintah Belanda terhadap Pangeran ini. Haji Isa tidak berhasil menemukan Pangeran Hidayat, tetapi dia bertemu dengan Demang Lehman. Ketika Haji Isa menyampaikan tugas misinya terhadap Demang Lehman. Demang Lehman langsung menjawab menolak segala macam perundingan dan akan terus berjuang sampai akhirnya memperoleh kemenangan. Laporan Haji Isa ini menimbulkan semangat Belanda untuk mengatur siasat baru. Mayor Koch Asisten Residen di Martapura mengatur dan mengadakan hubungan dengan Demang Lehman atas perintah Residen Verspijck. Pertemuan dengan Demang Lehman menghasilkan kesepakatan bahwa Demang Lehman bersedia menemui Pangeran Hidayat asal Belanda berjanji mendudukkan Pangeran Hidayat sebagai Raja di Martapura. Demang Lehman selalu merasa curiga dengan keinginan Belanda untuk mendudukkan Pangeran Hidayat sebagai raja di Martapura, karena itu Demang Lehman mengkonsolidasi pasukannya. Setelah terjadi hubungan surat menyurat antara Demang Lehman dengan Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang, Demang Lehman bersedia turun ke Martapura. Pada tanggal 2 Oktober 1861 Demang Lehman turun ke Martapura bersama tokoh-tokoh pejuang disertai 250 orang pasukannya. Anggota pasukannya ini akan menyusup ke seluruh pelosok Martapura dan akan mengamuk kalau Belanda menipu dan menangkap Demang Lehman. Tokoh-tokoh pejuang yang mengiringi Demang Lehman adalah: Kiai Darma Wijaya, Kiai Raksa Pati, Kiai Mas Cokroyudo, Kiai Puspa Yuda Negara, Gusti Pelanduk, Pambakal Ahmad, Kiai Jaya Surya, Kiai Setro Wijaya, Kiai Muda Kencana, Kiai Surung Rana ( Habib Shohibul Bahasyim) , Pambakal Nabil, Pambakal Yunus, Tumenggung Umar, Tumenggung Pambakal Syarif Ali Al-Akbar Al-Aidid dan masih banyak lain-lainnya.

6 Oktober 1861

[sunting | sunting sumber]

Tanggal 6 Oktober 1861 Demang Lehman memasuki kota Martapura disertai 15 orang pemimpin lainnya. Haji Isa menyambut rombongan ini dan langsung ke rumah Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang. Dalam pertemuan empat mata dengan Demang Lehman, Residen berusaha memikat Demang Lehman dengan janji akan memberikan jaminan hidup setiap bulan kepadanya asal Demang Lehman berjanji menentap di Martapura, di Banjarmasin atau Pelaihari dan mengajak kepada seluruh rakyat kembali ke kampung mereka masing-masing dan bekerjsama seperti semula. Janji Residen itu tidak menarik perhatiannya, tetapi kesetiannya kepada perjuangan dan sumpah perjuangan lebih tinggi nilainya daripada kepentingan diri sendiri. Disamping itu Demang Lehman tegas mengatakan bahwa mereka akan berjuang terus sampai Pangeran Hidayat dapat duduk kembali di Martapura memangku Kerajaan Banjar. Semboyan mereka huruf “Mim” (huruf Arab mim) yang berarti Martapura atau mati karenanya. Hasil pertemuan dengan Residen memaksa Demang Lehman mencari tempat persembunyian Pangeran Hidayat dan akan merundingkannya dengan lebih teliti dan segala akibatnya nanti.

9 Oktober 1861

[sunting | sunting sumber]

Tanggal 9 Oktober 1861 Demang Lehman berangkat ke Karang Intan dan kepergiannya ini memakan waktu hampir sebulan. Kepergian Demang Lehman ini mengkhawatirkan Belanda dan meminta agar Demang Lehman kembali ke Martapura. Tanggal 30 Desember 1861 Residen G.M. Verspyck tiba di Martapura dan perundingan dengan Demang Lehman dilangsungkan. Residen berjanji bahwa Pangeran Hidayat boleh tinggal dengan keluarganya di Martapura selama perundingan berlangsung dan jikalau perundingan gagal Pangeran Hidayat boleh kembali ke pusat pertahanannya dalam tempo sepuluh hari dengan aman. Tanggal 3 Januari 1862 Demang Lehman kembali berangkat mencari Pangeran Hidayat menuju Muara Pahu di daerah antara Riam Kanan dan Riam Kiwa. Pada tanggal 14 Januari 1862 Demang Lehman bertemu dengan Pangeran Hidayat di Muara Pahu. Demang Lehman menyampaikan surat Residen dan surat Regent Martapura Pangeran Jaya Pamenang. Dalam perjanjian itu Ratu Siti ibu Pangeran Hidayat dijemput dari tempatnya di Paau Sungai Pinang, begitu pula keluarga Pangeran Hidayatullah yang masih menetap di Tamunih.

Perundingan 30 Januari 1862

[sunting | sunting sumber]

Pada 22 Januari 1862, rombongan Pangeran Hidayatullah berangkat dari Muara Pahu dengan rakit dan perahu, melewati Mangapan dan 3 hari kemudian sampai di Awang Bangkal dan baru tanggal 28 Januari 1862 tiba di Martapura. Rombongan ini disambut rakyat dengan suka hati di Martapura. Rombongan langsung menuju tempat Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang yang masih hubungan paman dari Pangeran Hidayat. Regent Martapura adalah jabatan yang dibentuk Hindia Belanda pasca penghapusan Kesultanan Banjar, kemudian Regent Martapura dihapus pada tahun 1884. Perundingan dilangsungkan pada tanggal 30 Januari 1862, dimulai pada jam 10.30 pagi. Pihak Belanda terdiri dari:

  1. Letkol Residen G.M. Verspijck
  2. Mayor C.F. Koch, Assisten Residen di Martapura
  3. Lettu Johannes Jacobus Wilhelmus Eliza Verstege, Controleur afdeeling Kuin
  4. Lettu A.H. Schadevan, ajudan Koch
  5. Pangeran Jaya Pemanang, Regent Martapura
  6. Kiai Patih Tajuddin, Kepala Distrik Martapura
  7. Kiai Patih Khairuddin, Kepala Distrik Riam Kanan
  8. Haji Isa
  9. Tumenggung Jaya Leksana

Pihak Pangeran Hidayatullah terdiri dari 25 orang diantaranya adalah:

  1. Pangeran Hidayatullah
  2. Kiai Demang Lehman
  3. Pangeran Sasra Kasuma, anak Pangeran Hidayat
  4. Pangeran Saleh, anak Pangeran Hidayat
  5. Pangeran Abdurrahman, anak Pangeran Hidayat
  6. Pangeran Kasuma Indra (suami Ratu Kasuma Indra binti Pangeran Hidayat), putera Pangeran Husen bin Sultan Sulaiman
  7. Gusti Isa bergelar Pangeran Muhammad Ali Bassa (suami Ratu Sholehah binti Pangeran Hidayatullah) - putera Goesti Shafiah.
  8. Raden Tuyong dengan gelar Pangeran Jaya Kasuma (suami Ratu Rampit/Ratu Jaya Kasuma), ipar Pangeran Hidayat
  9. Gusti Muhammad Tarip

Surat Pemberitahuan Yang terpaksa Ditandatangani Pangeran Hidayat 31 Januari 1862

[sunting | sunting sumber]

Dalam perundingan itu Belanda mengatur siasat yang licik berpura berbaik hati dengan tujuan untuk menangkap dan mengasingkan Pangeran Hidayat keluar dari Bumi Selamat (Martapura). Tujuan menghalalkan cara itulah yang dilakukan Belanda. Dalam situasi yang terjepit dan kondisi yang tidak memungkinkan Pangeran Hidayat terpaksa menandatangani Surat Pemberitahuan yang ditujukan kepada rakyat Banjar, yang sudah disiapkan Belanda sebelumnya. Surat Pemberitahuan itu ditandatangani Pangeran Hidayat dengan cap Pangeran tertanggal 31 Januari 1862. Surat Pemberitahuan itu selengkapnya berbunyi:

  1. Surat ini tidak berisikan perintah, karena saya telah meletakkan dengan sukarela hak itu. (hak sebagai Mangkubumi).
  2. Karena mendengarkan nasihat yang salah, saudara-saudara memberontak terhadap pemerintah Belanda, saudara menempuh jalan yang salah.
  3. Saudara telah melihat bahwa Pemerintah Belanda lebih kuat dari kita, bahwa ia tidak hanya mementingkan kemakmuran rakyat yang baik, tapi juga bersikap lembut dan satria terhadap musuh-musuhnya.
  4. Kepada rakyat Banjar saya mohon supaya menghentikan segala permusuhan, saudara-saudara yang masih melawan kembalilah ke rumah saudara-saudara dan carilah mata pencaharian yang damai dan jujur, sehingga drama pembunuhan dan permusuhan dapat dihentikan.
  5. Letakkan senjata saudara, mohonkan ampun dengan sungguh-sungguh dan saya yakin bahwa Pemerintah Belanda akan memberinya dengan jiwa besar.
  6. Jangan sekali-kali mendengarkan perintah pemimpin-pemimpin yang terus berkeras meneruskan peperangan, baik perintah dari Pangeran Antasari, Pangeran Aminullah dan orang jahat lainnya.
  7. Saya mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak mengerti kepentingan saudara-saudara, dan kepentingan mereka sendiri dan saudara-saudara untuk keselamatan saudara-saudara sendiri dan demi kecintaan kepada saya, berkewajiban untuk menangkapi dan menyerahkan pemimpin rakyat yang jahat itu kepada Gubernurmen.
  8. Saya sendiri memberi saudara contoh penyerahan diri itu, saudara-saudara melihat bagaimana yang saya dapatkan.
  9. Saya sudah mencoba supaya mereka yang masih melawan mau menyerah.
  10. Semakin cepat bekas-bekas perang yang mencelakakan ini dapat dihilangkan, semakin cepat saudara-saudara mendapatkan pengampunan dari Allah Yang Maha Tinggi untuk bencana yang selama lebih dua tahun melanda penduduk Banjar.
  11. Allah Yang Maha Tinggi dan arwah-arwah nenek moyang (raja-raja) dan kuburnya akan mengutuk kalian, terutama pemimpin-pemimpin rakyat yang masih melawan, apabila permintaan saya yang terakhir ini tidak dipenuhi.

Pangeran Hidayat Lolos dari penipuan I ke Batavia

[sunting | sunting sumber]

Pangeran sangat terperanjat dengan ucapan Verspijck yang bertindak sebagai Wakil Tertinggi dari Pemerintah Belanda di daerah Selatan dan Timur Borneo dan dia berwenang memberi pengampunan dan melupakan apa yang terjadi pada masa lampau dengan syarat bahwa Pangeran Hidayat harus berangkas ke Batavia dalam tempo 8 hari. Kepada Pangeran diperkenankan membawa keluarga yang disukainya dan sebelum berangkat harus menyebarluaskan Surat Pemberitahuan yang sudah dibubuhi cap dan tanda tangan Pangeran. Ketika Pangeran mengajukan keberatan atas kepergian ke pulau Jawa tersebut, Residen menjawab bahwa bagi Pangeran perlu menikmati istirahat.

Demang Lehman yang merasa tertipu, sangat kecewa terhadap sikap Belanda untuk memberangkatkan Pangeran Hidayat ke pulau Jawa. Demang Lehman berusaha mengajak Mufti dan Pangeran Penghulu Pambakal untuk memohon kepada Residen agar keputusan pemberangkatan Pangeran Hidayat dibatalkan. Demang Lehman berusaha untuk menggagalkan keberangkatan ini dan ketika rombongan Pangeran berangkat pada pagi hari tanggal 3 Februari 1862, Demang Lehman telah siap dengan pasukannya untuk menggagalkannya. Perahu yang membawa Pangeran dibelokkan ke rakit batang pohon pada rumah yang dulu pernah dijadikan tempat tinggal Demang Lehman, dan disambut dengan gegap gempita oleh rakyat. Pangeran terus dilarikan. Belanda tidak dapat bertindak apa-apa, dan baru setelah Pangeran dilarikan ke luar kampung Pasayangan, Residen mengerahkan kekuatannya untuk menangkap Pangeran. Seluruh kampung Pasayangan sampai kampung Kertak Baru dibakar Belanda. Masjid Martapura yang indah yang dibangun lebih dari 140 tahun yang lalu digempur dan dibakar Belanda. Ini terjadi pada 4 Februari 1862 merupakan saksi kebengisan dan kebrutalan penjajah Belanda terhadap rakyat Banjar yang tidak berdosa.

Penipuan 2 Maret 1862

[sunting | sunting sumber]

Penipuan itu dimulai dengan ditangkapnya Ratu Siti, Ibu Sultan Hidayatullah, kemudian Pihak Belanda menulis surat atas nama Ratu Siti kepada Sultan, agar mengunjungi dia sebelum dihukum gantung oleh Pihak Belanda. Surat tersebut tertera cap Ratu Siti…, padahal semua itu hanya rekayasa & tipuan tanpa pernah Ratu Siti membuat surat tersebut. Ketika bertemu dengan Ibu Ratu Siti ditangkaplah Sultan Hidayatullah dan diasingkan ke Cianjur. Penangkapannya dilukiskan pihak Belanda:

Pada tanggal 3 Maret 1862 diberangkatkan ke Pulau Jawa dengan kapal perang ‘Sri Baginda Maharaja Bali’ seorang Raja dalam keadaan sial yang dirasakannya menghujat dalam, menusuk kalbu karena terjerat tipu daya. Seorang Raja yang pantas dikasihani daripada dibenci dan dibalas dendam, karena dia telah terperosok menjadi korban fitnah dan kelicikan yang keji setelah selama tiga tahun menentang kekuasaan kita (Hindia Belanda) dengan perang yang berkat kewibawaanya berlangsung gigih, tegar dan dahsyat mengerikan. Dialah Mangkubumi Kesultanan Banjarmasin yang oleh rakyat dalam keadaan huru-hara dinobatkan menjadi Raja Kesultanan yang sekarang telah dihapuskan (oleh kerajaan Hindia Belanda), bahkan dia sendiri dinyatakan sebagai seorang buronan dengan harga f 10.000,- diatas kepalanya.

Hanya karena keberanian, keuletan angkatan darat dan laut (Hindia Belanda) dia berhasil dipojokan dan terpaksa tunduk.

Itulah dia yang namanya :

Pangeran Hidajat Oellah

Anak resmi Sultan muda Abdul Rachman dst, dst, dst…..

( Buku Expedities tegen de versteking van Pangeran Antasarie, gelegen aan de Montallatrivier. Karya J.M.C.E. Le Rutte halaman 10).

Baru tanggal 2 Maret 1862 Pangeran Hidayat setelah kembali tertipu kemudian diangkut dengan kapal Van OS berangkat dari Martapura keesokan harinya dan terus merapat ke kapal Bali untuk selanjutnya diangkut ke Batavia. Pangeran Hidayat di buang ke kota Cianjur disertai sejumlah keluarga besar kerajaan yang terdiri dari: seorang permaisuri Ratu Mas Bandara, sejumlah anak kandung dari permaisuri, menantu-menantu, saudara-saudara sebapak, ipar-ipar, ibu Pangeran sendiri, panakawan-panakawan beserta isteri dan anak buahnya, budak laki-laki dan perempuan, semua berjumlah 64 orang.

Demang Lehman digantung

[sunting | sunting sumber]

Demang Lehman yang merasa kecewa dengan tipu muslihat Belanda berusaha mengatur kekuatan kembali di daerah Gunung Pangkal, negeri Batulicin, Tanah Bumbu. Waktu itu ia bersama Tumenggung Aria Pati bersembunyi di gua Gunung Pangkal dan hanya memakan daun-daunan. Oleh seorang yang bernama Pembarani diajak menginap di rumahnya. Karena tergiur imbalan gulden dari Belanda, Pembarani bekerjasama dengan Syarif Hamid Al-Idrus bin Pangeran Syarif Ali Al-Idrus Sabamban dan anak buahnya yang sudah menyusuri Gunung Lintang dan Gunung Panjang untuk mencari Demang Lehman atas perintah Belanda. Demang Lehman tidak mengetahui bahwa Belanda sedang mengatur perangkap terhadapnya. Oleh orang yang menginginkan hadiah dan tanda jasa sehabis dia melakukan salat Subuh dan dalam keadaan tidak bersenjata, dia ditangkap. Ia sempat sendirian melawan puluhan orang yang mengepungnya. Atas keberhasilan penangkapan ini Syarif Hamid akan diangkat sebagai raja tetap di Batulicin. Kemudian Demang Lehman diangkut ke Martapura. Pemerintah Belanda menetapkan hukuman gantung terhadap pejuang yang tidak kenal kompromi ini. Dia menjalani hukuman gantung sampai mati di Martapura, sebagai pelaksanaan keputusan Pengadilan Militer Belanda tanggal 27 Februari 1864.[2] Pejabat-pejabat militer Belanda yang menyaksikan hukuman gantung ini merasa kagum dengan ketabahannya menaiki tiang gantungan tanpa mata ditutup.Urat mukanya tidak berubah menunjukkan ketabahan yang luar biasa. Tiada ada satu keluarganyapun yang menyaksikannya dan tidak ada keluarga yang menyambut mayatnya. Setelah selesai digantung dan mati, kepalanya dipotong oleh Belanda dan dibawa oleh Konservator Rijksmuseum van Volkenkunde Leiden. Kepala Demang Lehman disimpan di Museum Leiden di Negeri Belanda, sehingga mayatnya dimakamkan tanpa kepala.[12]

        • Narasumber tidak jelas, paragrap di bawah ini merupakan kutipan dari sebuah buku terbitan, perlu kajian fakta lebih lanjut****

Wasiat Demang Lehman:
Dangar-dangar barataan! Banua Banjar lamun kahada lakas dipalas lawan banyu mata darah, marikit dipingkuti Walanda!(Dengarkan semua! Tanah Banjar apabila tidak dibayar dengan air mata darah, selamanya akan digenggam Belanda)[13]

Orang-orang yang tidak mendapat pengampunan dari pemerintah Kolonial Hindia Belanda:[14][15]

  1. Antasari dengan anak-anaknya
  2. Demang Lehman
  3. Amin Oellah
  4. Soero Pati dengan anak-anaknya
  5. Kiai Djaya Lalana
  6. Goesti Kassan dengan anak-anaknya

Hidayatullah sebagai Sultan Banjar

[sunting | sunting sumber]

Di dalam Hikayat Banjar Adipati terdapat istilah Dipati dan Pangeran Dipati, misalnya Dipati Sukadana sebutan untuk penguasa kerajaan Sukadana, Dipati Sambas sebutan untuk penguasa kerajaan Sambas, Dipati Martapura Sultan Hidayatullah HalilIllah Pada tanggal 3 September 1859 Sultan Hidayatullah HalilIllah dinobatkan oleh para panglima perang kiai Adipati Lehman Mangku Negara - Mangkoe Boemi Idris Adhipattie Mangkoe Nagara (Adipati Mangku Negara) Adhipattie Mangkoe Boemi (Adipati Mangkubumi) legitimasi (Adipati Mangku Negara) Adhipattie Mangkoe Boemi ( Adipati Mangkubumi) memegang pusaka kasultanan Banjar yaitu adalah kiai Adipati Lehman Mangku Negara - Mangkoe Boemi Idris yang lahir di Martapura tahun 1832 dan meninggal di Martapura pada tanggal 27 Februari 1864 pada usia 32 tahun. Adipati sebutan untuk penguasa kerajaan Martapura, Dipati Ngganding seorang adipati Kotawaringin, Pangeran Dipati Anta-Kasuma, Pangeran Dipati Tuha, Pangeran Dipati Anom dan lain-lain.Pada masa Sultan Adam, dilantik seorang keponakan permaisurinya yaitu Kiai Adipatie Danoe Radja, untuk memimpin Banua Lima, yang merupakan suatu wilayah keadipatian dari Kesultanan Banjar yang merupakan gabungan dari lima lalawangan/distrik/katamanggungan. Pada masa kolonial Hindia Belanda, Kiai Adipati Danu Raja tetap memimpin wilayah yang sama dan dilantik sebagai wali penguasa dengan gelar Raden Adipati Danu Raja.Lalawangan yaitu suatu wilayah yang dipimpin Kiai Tumenggung (setara dengan jabatan bupati di Jawa).


Sultan Hidayatullah HalilIllah Pada tanggal 3 September 1859 Sultan Hidayatullah HalilIllah dinobatkan oleh para panglima perang kiai Adipati Lehman Mangku Negara - Mangkoe Boemi Idris Adhipattie Mangkoe Nagara (Adipati Mangku Negara) Adhipattie Mangkoe Boemi (Adipati Mangkubumi) legitimasi (Adipati Mangku Negara) Adhipattie Mangkoe Boemi ( Adipati Mangkubumi) memegang pusaka kasultanan Banjar yaitu adalah kiai Adipati Lehman Mangku Negara - Mangkoe Boemi Idris yang lahir di Martapura tahun 1832 dan meninggal di Martapura pada tanggal 27 Februari 1864 pada usia 32 tahun.sementara Tagab Wajir dilantik menjadi Kiai Singapati.Setelah proklamasi mengadakan rapat-rapat untuk menyusun kekuatan.Sultan Hidayatullah HalilIllah dan kiai Adipati Lehman Mangku Negara - Mangkoe Boemi Idris berunding dengan para Mufti di daerah Martapura. Perundingan pertama diadakan di Kalampayan dan yang kedua di kampung Dalam Pagar. Dalam perundingan itu disepakati rencana untuk melakukan serangan umum terhadap kota Banjarmasin. Beberapa tokoh yang hadir dan mendukung penobatan ini antara lain Rekan-rekan setia sehidup semati satu Seperjuangan dengan kiai Adipati Lehman Mangku Negara - Mangkoe Boemi Idris , Rekan-rekan seperjuangan kiai Adipati Lehman Mangku Negara - Mangkoe Boemi Idris :

- Kiai Derma Wijaya
- Kiai Raksa Wati
- Kiai Mas Cakra Yuda
- Kiai Puspa Yuda Negara
- Gusti Pelanduk Putera
- Pangeran Isa
- Pambakal Awang
- Kiai Jaya Surna
- Kiai Setro Wijaya
- Kiai Derma Yuda
- Kiai Muda Kencana
- Kiai Guma Wijaya
- Kiai Surung Rana
- Pambakal Noto
- Pangeran Moeda
- Pambakal Nasir, juga disebut Kia Moerta Djaja
- Kiai Narang Baija
- Said Sambas (nama asli Syarif Sa'id As-Sambasi)
- Kiai Poerbaja
- Pambakal Ahmad Zaini Dahlan
- Kiai Pati Jaya Kasuma
- Kiai Derma Lelana
- Kiai Yuda Wijaya
- Kiai Wira Yuda
- Pambakal Yunus
- Tumenggung Gamar alias Tumenggung Cakra Yuda
- Tuan Saaban
- Kiai Wira Karsa
- Kiai Jaya Pati
- Andin Ahmad Mangun Yuda
- Kiai Singa Pati
- Kiai Guru Perang Jaya Wanton
- Kiai Puspa Wira Yuda
- Rumi Jaya
- Pambakal Ulak
- Yasin
- Pangeran Sasra Kasuma
- Pangeran Saleh
- Pangeran Abdurrahman
- Pangeran Kasuma Indra
- Pangeran Muhammad Ali Bassa
- Pangeran Jaya Kasuma
- Gusti Muhammad Tarip
- Amin Oellah
- Soero Pati dengan anak-anaknya
- Kiai Djaya Lalana
- Goesti Kassan dengan anak-anaknya

kiai Adipati Lehman Mangku Negara - Mangkoe Boemi Idris Adhipattie Mangkoe Nagara (Adipati Mangku Negara) Adhipattie Mangkoe Boemi (Adipati Mangkubumi) merupakan gelar berganda yang menjabat sebagai Pangeran Mangkubumi Radja Bitjara Sultan Bicara Rijksbestierder, Wali Pangeran Ratu, Wali Putera Mahkota, Wali Sultan Muda, Wali Sultan. Pangeran yang menjabat Pangeran Mangkubumi menyandang gelar Dewan Senior Mahkota, Pangeran Bendahara, Adipati, Raden Dipati, Pangeran Dipati, Pangeran Dipati Anom, Pangeran Perabu Anum, Pangeran Ratu Anum, Pangeran Ratu Anom, Perdana Menteri, Wajir Mu'adlam.sebagai Sultan Banjar Pangeran Hidayat dan sebagai Mangkubumi adalah Adhipattie Mangkoe Nagara (Adipati Mangku Negara) Adhipattie Mangkoe Boemi ( Adipati Mangkubumi) Adhipattie Mangkoe Nagara (Adipati Mangku Negara) Adhipattie Mangkoe Boemi Demang Lehman.Sultan Hidayatullah HalilIllah dan kiai Adipati Lehman Mangku Negara - Mangkoe Boemi Idris Pada tanggal 10 Desember 1860, Sultan Hidayatullah HalilIllah melantik Gamar dengan gelar Tumenggung Cakra Yuda sebagai panglima perang Sabil terhadap Belanda dan menjadikan Gunung Pamaton sebagai basis pertahanannya. Rakyat di Gunung Pamaton menyambut kedatangannya dan mulai membuat benteng pertahanan sebagai usaha menghalau tentara Belanda yang akan menangkapnya.

Sultan Hidayatullah Pada bulan Juni 1861, serangan umum direncanakan untuk dilakukan pada tanggal 20 Juni 1861, namun rencana itu bocor ke pihak Belanda. Untuk menghadapi serangan umum pasukan Banjar terhadap Martapura, Asisten Residen Mayor Koch meminta bantuan kepada Residen Gustave Verspijck di Banjarmasin yang segera mengirimkan bantuan dengan mengirimkan kapal perang "Van Os" yang mengangkut meriam dan perlengkapan perang lainnya.[16] Penobatan Sultan Hidayatullah HalilIllah ini menjadikan dirinya sebagai satu-satunya pemimpin rakyat Banjar antara tahun 3 september1859 sampai 3 maret 1862 Pada 5 Februari 1860 kolonial Hindia Belanda mengumumkan bahwa Mencopot jabatan Pangeran Mangkubumi Mangkoe Boemi Kencana Martapura Hidayatullah HalilIllah dan kiai Adipati Lehman Mangku Negara - Mangkoe Boemi Idris- Pada Tanggal 5 Februari 1860. pemerintah Martapoera Pangeran Mangkubumi Hidayatullah HalilIllah di Martapura Sebagai Vazal Tandingan di Banjarmasin Pangeran Sorie Mataram,Pangeran Muhammad Tambak anyar , dan Pangeran Mangkubumi Wira kasoema al-Watsiq Billah di Banjarmasin Dan kolonial Hindia Belanda mencopot jabatan Pangeran Mangkubumi Mangkoe Boemi Kencana Martapura Hidayatullah HalilIllah dan kiai Adipati Lehman Mangku Negara - Mangkoe Boemi Idris- Selanjutnya,Pangeran Achmit Sebelumnya Pangeran Achmid merupakan salah seorang anggota dari 10 orang anggota Komisi Kerajaan (pasca pembubaran Kesultanan Banjar oleh kolonial Belanda). Ia merupakan putera Raja Banjar Sultan Sulaiman al-Mu'tamidullah/Sultan Sulaiman Saidullah 2 dan saudara sepihak (sebapak) dengan Raja Banjar Sultan Adam.10 orang anggota Komisi Kerajaan (pasca pembubaran Kesultanan Banjar oleh kolonial Belanda) menandatangani pada tanggal 11 Juni 1860, Kesultanan Banjar dibubarkan dari daftar kerajaan Nusantara oleh pemerintah Hindia Belanda, sebagaimana diumumkan oleh DE RESIDENT VAN SOERACARTA, GOUVERNEMENTS COMMISSARIS IN DE Z. & O. AFDEELING VAN BORNEO,F. N. NIEU WENHUIJZEN (Surat Bepernyatan dari Residen Surakarta, Komisaris Gubernemen untuk Afdeeling Selatan dan Timur Borneo Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen)[17]

PROCLAMATIE.

Mengumumkan melalui surat berpernyataan di bawah: Surat Bepernyatan dari Residen Surakarta, Komisaris Gubernemen untuk Afdeeling Selatan dan Timur Borneo, Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen[17]

PROCLAMATIE.

SURAT BEPERNJATAAN.

Daripada kita Sri Paduka Tuan Rasidin Surakarta Komisaris Gubernemen Hindia Nederland ditanah sebelah selatan dan timur pulau Kalimantan kepada sekalian radja2 mantri2 pambakal2 mukti2 penghulu2 hadji2 dan segala rakjat dari keradjaan Bandjermasin jang sudah dilalukan.

Maka pada penghabisan hari daripada bulan April tahun jang lalu adalah berdurhaka membuat rusuh didalam keradjaan Bandjermasin jang dahulu serta kemawannja siapa jang sudah ma-ada-akan dan jang sudah turut didalam itu karusuhan mesri dekatkan jang dia terada maatur dangan tentu tetapi sipatannja jang utama jaitu perintahan Sri Paduka Baginda Maharadja Nederlan didalam ini bahgian tanah Kalimantan dan menghendaki umur dan barang2nja dari berapa banjak hambanja jang sudah berdamai dan jang tinggal dangan diam2 sadja dan jang memberi kehasilan dan kauntungan kepada itu keradjaan dangan mendjadikan usaha2. Maka perbuatan bunuh jang kidji oleh karena dilakukan dangan tipu dan menhianat disertakan dangan dhalim sudah dilakukan kepada itu hamba2 Sri Paduka Baginda Maharadja Nederlan jaitu dilakukan oleh dan dangan perintah orang2 jang djahat dan jang durhaka jang mengerdjakan itu perbuatan dangan pura2 berkelahi dari sebab igama jaitu pura2 perang sabil. Tetapi sebetulnja malanggar aturan igama jang begitu tentu dan terang bunjinja dan dangan menjampaikan kainginan dan mentjari kehormatan dirinja sudah merusakkan kesenangan dan kesentosaan dari satu negeri.

Maka sekalian hal ichwal itu mendjadikan gupernemen Hindia Nederlan jang senantiasa sabar didalam hal orang jang sesat ingatan tetapi jang selamanja biasa menundjukkan kekerasannja jang tiada boleh ditegahkan dimana orang mendjatuhkan tangannja jang salah kepada haknja dan kepada kesentosaannja hamba rakjatnja.

Ma-angkat sendjata akan mengerdjakan dan mahukumkan orang2 mana jang sutalalu salah kepadanja.Maka apa jang sudah djadi jaitu angkau semuanja sudah tahu. Pada segala tempat jaitu kebetulan sudah menang atas kesalahan dan dia orang mana jang sudah ma-ada-akan pikiran membuat rusuh dan jang turut djadi kepalanja berandal sekarang ini mengambara didalam hutan dan rimba seperti rusa jang diburu dan orang ketjil jang kena tjilaka tipu daja oleh karena itu orang2 djahat punja tipu daja dan perkataan dusta mulanja terikut sama itu orang2 djahat sekarang ini dangan bentjana berpaling dari dia orang. Maka sementalah itu dilakukanlah langkah jang pertama sehingga beroleh kedjadian jang sudah meninggalkan tahta keradjaan Bandjarmasin.

Maka sasudahnja itu ditimbanglah baik2 apa itu tahta keradjaan akan dikasih lagi kepada satu radja Melaju dan djikalau boleh dikasih sama siapa akan dikasihkan. Tetapi kasihan2nja timbangan itu jaitu didalam jang Gupernemen Hindia Nederlan tiada suka akan menambahi daerah tanah pigangannja jang sudah begitu luas adalah kemustian kepadanja akan memasukkan kedalam pigangannja sekalijan tanah jang masuk bilangan keradjaan Bandjarmasin. Sebab tiadalah boleh diharap jang dangan djalan jang lain itu keradjaan jang sudah beberapa tahun lamanja ada didalam kasakitan dan jang banjak tersangsara oleh karena rusuh nanti akan boleh dibetulkan kembali dangan pemeliharaan kasentosaan dan aturan sehingga ada ketentuan dan ada tanggungan jang hari kemudian akan sedjahteranja dan tiada berbahaja lagi.

Maka dari sebab itulah Sri Paduka Jang Dipertuan Basar Gupernur Djenderal dari tanah Hindia Nederlan sudah menentukan sebagaimana sudah diberi tahu kepada sekalian orang pada surat bepernjataan kita dari hari ini jaitu jang keradjaan Bandjarmasin pada sekarang ini djuga dan selama2nja tiada akan dipindjamkan dan diberi pegang lagi kepada satu radja Melaju dan oleh karena itu dangan menanti penerimaan Sri Paduka Jang Dipertuan Besar Gupernur Djenderal dari tanah Hindia Nederlan kita sabdakan jang keradjaan Bandjarmasin jang diperintahkan sendirinja sekarang ini diberhentikan keadaannja itu dan sekalian tanah jang mana mendjadi itu keradjaan jang sudah dilalukan daripada sekarang ini djuga akan masuk bilangan tanah jang diperintah oleh Gubernemen Hindia Nederlan didalam bahagian sebelah selatan dan timur pulau Kalimantan dangan memberhentikan kakuasaannja dan perintahnja komisi jang sudah diberi pegang keradjaan Bandjarmasin sasudahnja Sri Paduka Tuan Sulthan Tamdjid Illah dangan kasukaannja sudah turun dari tahta keradjaan Bandjarmasin pada perkara dua dari surat bepernjataan dari Sri Paduka tuan kolonil adjudan daripada Sri Paduka Baginda Maharadja Nederlan didalam pekerdjaan jang utama serta komisaris Gubernemen dan kepala dari tentara peperangan didalam bahagian tanah sebelah selatan dan timur pulau Kalimantan daripada tanggal dua puluh hari bulan Juni tahun seribu dalapan ratus lima puluh sembilan.

Maka daripada sasa’at ini djuga berhentilah sekalian orang daripada kaharusan dan kamustian menurut parintahan taturunan radja2 jang sudah memegang keradjaan Bandjarmasin hanja akan harus mengebakti dan musti menurut perintahan punggawa2 orang kulit putih dan punggawa2 Melaju jang kita sudah tentukan memerintah angkau dan perintahan kepala2 kampung ditempat kediamanmu. Adapun itu kepala2 kampung kita tetapkan didalam kaadaannja sekarang ini. Maka perbuatan dan sipatan pemerintahan baru jang ditaruh kaatasmu jaitu akan menambahi keselamatanmu dan akan mengeraskan kebetulan dan aturan dan kesentosaan.

Maka dangan karena itulah satu padjar jang baru sudah terbit bagimu dan kita berani harap jang angkau dangan menhormati kepada siapa jang kita tentukan memerintah kepadamu didalam mendjadi kauntungan kepada dirimu sendiri akan melandjur-akan dan mendjadikan itu pengharapan kita daripada itu padjar serta jang gupernemen tiada akan dimustikan lagi akan memberi rasa tangannja jang menghadjar dan mehukum kepadamu.

Maka igamamu akan senantiasa dihormati tetapi didalam itu angkau patut mahormati djua orang lain punja igama. Maka barangsiapa jang tiada menurut seperti ini dan mengatakan jang oleh sebab mengeraskan igama ma-ada-akan kagemparan atawa ma-ada-akan kasusahan jang lain jaitu dangan tiada boleh tiada hanja dangan kekerasan jang tiada tepermanai nanti akan dihukumkan dangan hukuman jang paling tjela sekali. Maka kehendak Sri Paduka Baginda Maharadja jang tertentu sekali jang satu2 hamba rakjat Sri Paduka Baginda Maharadja akan diberikan didalam igama jang diturutnja dan sekali2 tiada boleh diganggu diketjualikan pemeliharaan dari mata sahabat dan orang2nja daripada melanggar aturan jang sedjati atas kebetulan hukum. Maka demikian itulah harus angkau membawa kelakuanmu karena kehendak radja jang tiada menghendaki dan menjipat lain daripada kasentosaannja dan kauntungannja dari sekalian orang tiada satu orang jang boleh tiada membilang apalagi melanggar. Maka sekalian charadjat seperti uang kepala dan bea dan apa djuga namanja jang tempo keradjaan Bandjarmasin sudah kebiasaan orang membajar jaitu pada setempo ini akan ditetapkan seperti dahulu djuga.

Tetapi sementalah itu kita akan ma-ichtiar-akan sehingga itu charadjat mana2 jang pada timbangan kita mahalangi atas kasentosaanmu diberhentikan dan diganti dangan lain jaitu jang lebih rata beratnja.

Maka sebelumnja kita akan sedia dangan aturan itu jaitu dari pasal pekerdjaan jang musti diangkat oleh orang2 negeri mengganti pekerdjaan jang sebagaimana kaadatan dahulunja dari pasal ini. Kita tentukan jang orang2 negeri harus bekerdja dangan tiada mendapat bajaran sekalian pekerdjaan jang tersebut dibawah ini jaitu :

Bekerdja didalam kampung2nja jang ditundjukkan oleh siapa jang memegang jaitu jang djadi kepala kampung,
Mendjaga didalam rumah2 djaga jang didirikan ditempat jang diperintahkan oleh kepala negeri mendjaga dan membawa orang tutupan atawa tawanan,
Membikin dan memelihara djalanan dan djembatan2 dan rumah djaga dan pasanggrahan pakai punggawa2 dan tentara peperangan jang berdjalan,

Maka pekerdjaan jang dapat bajaran jaitu :

Membawa orang2 jang berdjalanan dan membawa barang2 bekerdja mendjadi kuli mengerdja rumah dan lain2 pekerdjaan guperneman.

Maka radja2 jang ada mendapat kurniaan kahasilan tanah daripada jang ganti berganti mendjadi radja dari keradjaan Bandjarmasin jang sudah dilalukan jaitu ia ditetapkan boleh memungut itu hasil dangan bernanti karidha'annja Sri Paduka Jang Dipertuan Besar Gupernur Djenderal dari tanah Hindia Nederlan tetapi jang tiada boleh dapat apa2 jaitu mana2 jang sudah turut tjampur didalam rusuh dan oleh sebab itu sudah hilang haknja atas kemurahan gupernemen. Maka ditentukan lagi jang adalah harus kepada gupernemen djikalau dikehendaki olehnja akan memberhentikan itu radja2 maambil kahasilannja itu tanah2 dangan memberi kepadanja gantian karugian dangan uang satimbang dangan itu kahasilan adanja. Termaktub dinegeri Bandjarmasin kepada hari bulan Djuni 1860.

DE RESIDENT VAN SOERACARTA, GOUVERNEMENTS COMMISSARIS IN DE Z. & O. AFDEELING VAN BORNEO,
F. N. NIEU WENHUIJZEN}}

  • Van Rees WA. 1865. De Bandjarmasinsche Krijg van 1859-1863, Arnhem: Thieme.
  • M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ (Indonesia)Kiai Bondan, Amir Hasan (1953). Suluh Sedjarah Kalimantan. Bandjarmasin: Fadjar. 
  2. ^ a b c (Indonesia)Rosa, Helvy Tiana (2008). Bukavu. PT Mizan Publika. ISBN 9789791367332.  Hapus pranala luar di parameter |title= (bantuan) 791-367-33-7
  3. ^ (Indonesia) Tamar Djaja, Pustaka Indonesia: riwajat hidup orang-orang besar tanah air, Jilid 2, Bulan Bintang, 1965
  4. ^ (Indonesia)Indonesia, Departemen Penerangan (1955). Republik Indonesia: Kalimantan. Kementerian Penerangan. 
  5. ^ (Indonesia)Widjaya, Roebaie (1962). Merdeka: tjerita rakjat. Djajamurni. 
  6. ^ van Rees, Willem Adriaan (1865). De bandjermasinsche krijg van 1859-1863: met portretten, platen en een terreinkaart (dalam bahasa Belanda). 2. Arnhem: D. A. Thieme. 
  7. ^ a b (Indonesia)Usman, M. Gazali (1994). Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam. Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press. 
  8. ^ (Belanda) "Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde". 14. Perpustakaan Negeri Bavarian. 1864: 503. 
  9. ^ G. Kolff (1866). "Notulen van de algemeene en directie-vergaderingen" (dalam bahasa Belanda). 3: 80. 
  10. ^ (Indonesia) Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1992). Sejarah nasional Indonesia: Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19. PT Balai Pustaka. hlm. 280. ISBN 9794074101. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-22. Diakses tanggal 2014-05-22. ISBN 978-979-407-410-7
  11. ^ menantu Raja Muda Pangeran Prabu Anom bin Sultan Adam
  12. ^ (Belanda)Verzameling der merkwaardigste vonnissen gewezen door de Krijgsraden te velde in de Zuid- en Ooster-afdeeling van Borneo gedurende de jaren 1859-1864: bijdrage tot de geschiedenis van den opstand in het Rijk van Bandjermasin. Ter Landsdrukkerij. 1865. 
  13. ^ Diucapkan Demang Lehman menjelang eksekusi di tiang gantungan di tanah lapang Martapura 27 Februari 1864. Lihat Anggraini Antemas, ibid., hal. 54
  14. ^ (Belanda) de Heere, G. A. N. Scheltema (1863). Staatsblad van Nederlandisch Indië. Ter Drukkerij van A. D. Schinkel. hlm. 118. 
  15. ^ (Belanda) Dutch East Indies, Dutch East Indies (1815). De Indo-Nederlandsche wetgeving: Staatsbladen van Nederlandsch Indie. 4. Netherlands (Kingdom). hlm. 118. 
  16. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama :8
  17. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Bandjermasin (Sultanate)

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]