Lompat ke isi

Kekacauan informasi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kekacauan informasi (“information disorder”) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan fenomena penyebaran informasi yang salah, menyesatkan, atau sengaja dipalsukan yang menyebabkan kerancuan dalam memahami fakta. Dalam era digital, kekacauan informasi menjadi semakin kompleks karena kecepatan dan jangkauan distribusinya yang tak tertandingi melalui media sosial dan platform daring lainnya. Fenomena ini memiliki dampak signifikan terhadap masyarakat, mulai dari menurunkan kepercayaan publik hingga memengaruhi proses demokrasi.

Jenis Kekacauan Informasi

[sunting | sunting sumber]

Menurut Wardle dan Derakhshan (2017), kekacauan informasi dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori utama:

  1. Misinformasi: Informasi yang salah tetapi disebarkan tanpa niat untuk merugikan atau terjadi ketika informasi palsu disebarkan, tetapi tidak dimaksudkan untuk menimbulkan bahaya.[1]
  2. Disinformasi: Informasi yang salah yang sengaja diciptakan dan disebarkan untuk menyesatkan atau merugikan atau terjadi ketika informasi palsu secara sadar dibagikan untuk menimbulkan kerugian. [1]
  3. Malinformasi: Informasi yang benar tetapi digunakan secara tidak tepat untuk merugikan individu atau kelompok.[2]

Penyebab Kekacauan Informasi

[sunting | sunting sumber]
  1. Kemajuan Teknologi. Algoritma media sosial dirancang untuk memprioritaskan konten yang menarik perhatian, sehingga informasi sensasional atau salah lebih mungkin menyebar luas.[3]
  2. Kurangnya Literasi Digital. Banyak individu kesulitan membedakan antara sumber informasi yang kredibel dan yang tidak. Hal ini memperparah penyebaran informasi salah.
  3. Motivasi Ekonomi dan Politik. Kekacauan informasi sering kali dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi (klikbait) atau memengaruhi opini publik dalam konteks politik (propaganda).
  4. Efek Viral. Konten yang emosional atau mengejutkan cenderung lebih mudah viral, bahkan jika konten tersebut tidak berdasarkan fakta.

Dampak Kekacauan Informasi

[sunting | sunting sumber]
  1. Erosi Kepercayaan. Kekacauan informasi dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi, media, dan bahkan ilmu pengetahuan.[2]
  2. Polarisasi Sosial. Penyebaran informasi salah dapat memperparah polarisasi politik dan sosial, menciptakan ketegangan antara kelompok masyarakat.[3]
  3. Kerugian Kesehatan Publik. Dalam konteks pandemi COVID-19, misinformasi tentang vaksin dan pengobatan alternatif telah menyebabkan ketidakpercayaan terhadap protokol kesehatan dan vaksinasi.[4]
  4. Gangguan Demokrasi. Disinformasi sering digunakan untuk memanipulasi opini publik selama pemilu atau referendum, yang dapat mengancam proses demokrasi.[2]

Mengatasi Kekacauan Informasi

[sunting | sunting sumber]

Peningkatan Literasi Digital

[sunting | sunting sumber]

Pendidikan literasi digital adalah tentang cara memverifikasi informasi dan mengenali sumber yang kredibel sangat penting untuk memerangi kekacauan informasi. Menurut Jones dan Sheridan, literasi digital dapat membantu individu mengenali pola-pola disinformasi yang umum.[5] Masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mengevaluasi informasi secara kritis. Program seperti Gerakan Nasional Literasi Digital (Siberkreasi) bertujuan meningkatkan kecakapan digital masyarakat Indonesia.[6]

Kolaborasi Platform Digital

[sunting | sunting sumber]

Perusahaan teknologi harus bertanggung jawab dalam mengurangi penyebaran informasi salah dengan mengembangkan algoritma yang memprioritaskan konten faktual. Studi oleh Newton dan Bright (2020) menunjukkan bahwa pengaturan algoritma dapat mengurangi penyebaran konten menyesatkan.

Kerja Sama Multistakeholder

[sunting | sunting sumber]

Mengatasi kekacauan informasi memerlukan kerja sama antara pemerintah, perusahaan teknologi, akademisi, dan masyarakat sipil.[7]

Strategi Komunikasi Publik yang Efektif

Pemerintah dan organisasi perlu mengembangkan strategi komunikasi yang adaptif terhadap perkembangan teknologi dan media sosial. Kerangka kerja seperti RESIST yang dikembangkan oleh Government Communication Service International (GCSI) Inggris dapat menjadi acuan. Kerangka ini mencakup enam langkah: mengenali misinformasi dan disinformasi, peringatan dini, pemahaman situasi, analisis dampak, komunikasi strategis, dan efektivitas penanganan.[7]

Penguatan Peran Praktisi Humas Pemerintah

[sunting | sunting sumber]

Praktisi hubungan masyarakat pemerintah harus mampu membangun strategi komunikasi yang efektif dan berperan sebagai penjernih informasi di tengah kekacauan informasi. Hal ini termasuk adaptasi terhadap disrupsi teknologi dan peran media sosial yang meningkat.[7]

Pemahaman Budaya Digital

[sunting | sunting sumber]

Masyarakat perlu memahami budaya digital yang berdasarkan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Pemahaman ini dapat membantu mengatasi kekacauan informasi dan memperkuat nilai-nilai kebangsaan.[8]

Penggunaan Teknologi untuk Memerangi Disinformasi

[sunting | sunting sumber]

Pemanfaatan teknologi seperti sistem kearsipan digital dan teknologi pengenalan teks (OCR) dapat membantu mengelola dan mengamankan informasi secara efisien. Selain itu, teknologi dapat digunakan untuk memantau dan menindak konten berbahaya di internet.[9]

Kolaborasi dengan Platform Media Sosial

[sunting | sunting sumber]

Kerja sama antara pemerintah dan platform media sosial penting untuk menangkal disinformasi. Platform seperti Facebook dan Twitter telah berkomitmen untuk memblokir disinformasi terkait pandemi COVID-19 dan mengarahkan pengguna ke sumber resmi seperti WHO.[10]

Contoh Kekacauan Informasi

[sunting | sunting sumber]

Hoaks tentang Bencana Alam

[sunting | sunting sumber]

Ketika terjadi bencana alam seperti gempa bumi atau tsunami, sering kali muncul klaim palsu tentang jumlah korban, penyebab bencana, atau prediksi bencana lanjutan. Informasi ini dapat menyebabkan kepanikan massal dan menghambat penanganan bencana yang efektif.[11]

Disinformasi tentang Vaksinasi

[sunting | sunting sumber]

Gerakan anti-vaksin sering menyebarkan informasi palsu yang menghubungkan vaksin dengan autisme, infertilitas, atau efek samping berbahaya lainnya. Akibatnya, tingkat vaksinasi menurun dan wabah penyakit yang sebenarnya dapat dicegah meningkat di berbagai wilayah.[12]

  1. ^ a b "Information Disorder - Freedom of Expression - www.coe.int". Freedom of Expression (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-19. 
  2. ^ a b c Wardle, C., & Derakhshan, H. (2017). Information disorder: Toward an interdisciplinary framework for research and policy making. Council of Europe. Council of Europe. 
  3. ^ a b Vosoughi, Soroush; Roy, Deb; Aral, Sinan (2018-03-09). "The spread of true and false news online". Science. 359 (6380): 1146–1151. doi:10.1126/science.aap9559. 
  4. ^ "Immunizing the public against misinformation". 2020. Diakses tanggal 2024-12-12. 
  5. ^ Jones, K., & Sheridan, M. (2021). "Digital literacy and disinformation resistance: A meta-analysis". Journal of Media Studies: 14(3), 45–62. 
  6. ^ Yusuf (2020-09-11). "Tiga Strategi Kominfo dalam Tangani Hoaks dan Misinformasi". Ditjen Aptika (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-12. 
  7. ^ a b c antaranews.com (2024-03-06). "Wamenkominfo kemukakan strategi atasi kekacauan informasi". Antara News. Diakses tanggal 2024-12-12. 
  8. ^ "Pemahaman Literasi Budaya di Masyarakat Bisa Mengatasi Kekacauan Informasi". wartaekonomi.co.id. Rabu, 05 Oktober 2022, 14:00 WIB. Diakses tanggal 2024-12-12. 
  9. ^ LPKN, Admin (2023-12-25). "7 Langkah Mengatasi Semrawutnya Dokumen di Lingkungan Pemerintah Daerah". Diklat Pemerintah. Diakses tanggal 2024-12-12. 
  10. ^ tularnalar (2021-06-13). "Infodemi Covid-19 di Media Sosial dan Tiga Langkah untuk Menangkalnya". TularNalar (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-12. 
  11. ^ Houston, J. Brian; Hawthorne, Joshua; Perreault, Mildred F.; Park, Eun Hae; Goldstein Hode, Marlo; Halliwell, Michael R.; Turner McGowen, Sarah E.; Davis, Rachel; Vaid, Shivani (2015). "Social media and disasters: a functional framework for social media use in disaster planning, response, and research". Disasters (dalam bahasa Inggris). 39 (1): 1–22. doi:10.1111/disa.12092. ISSN 1467-7717. 
  12. ^ Kata, Anna (2010-02-17). "A postmodern Pandora's box: anti-vaccination misinformation on the Internet". Vaccine. 28 (7): 1709–1716. doi:10.1016/j.vaccine.2009.12.022. ISSN 1873-2518. PMID 20045099.