Lompat ke isi

Perang Barito

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Perang Barito adalah perang yang berlangsung di daerah Barito yang merupakan rangkaian Perang Banjar yang dipimpin Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah.

Hasil pertemuan bulan September 1859 antara Pangeran Hidayatullah, Pangeran Antasari, Kiai Demang Lehman dan tokoh perjuangan lainnya di daerah Kandangan menetapkan bahwa Pangeran Antasari memperkuat pertahanan di daerah Dusun Atas, sedangkan Tumenggung Jalil memperkuat pertahanan di Banua Lima, bersama Pangeran Hidayatullah. Di daerah Martapura dibawah pimpinan Demang Lehman dan tokoh-tokoh pimpinan masyarakat lainnya. Dalam perkembangannya medan pertempuran Perang Banjar berlangsung dari wilayah sungai Kapuas, Tanah Dayak (Kalteng) di sebelah barat sampai Tanah Bumbu (Kalsel) di sebelah timur, dari Tanah Laut (Kalsel) di sebelah selatan sampai Tanah Dusun (Kalteng) di sebelah utara. Perlawanan panjang di Kalimatan Selatan dan Kalimantan Tengah yang dipimpin oleh keturunan Pangeran Antasari dan Tumenggung Surapati berlangsung sampai tahun 1906 dengan meninggalnya Gusti Berakit bin Sultan Muhammad Seman pada 06 Agustus 1906. ( dalam Koentowijoyo, 2008:151).[1]

26 Desember 1859

[sunting | sunting sumber]

Pangeran Antasari bermukim di daerah suku Dayak Siang di Dusun Atas mendampingi Pimpinan suku Dayak Siang Tumenggung Surapati. Komandan kapal Onrust, Van del Velde mengantarkan Surapati melihat-lihat meriam, begitu pula anak buah Surapati diajak melihat-lihat kapal perang itu. Menurut kesaksian Haji Muhammad Talib yang selamat dengan melarikan diri bersembunyi menceritakan bahwa kejadian terjadi pada siang hari 26 Desember 1859. Serdadu Belanda tidak merasa curiga dan mereka tidak mempunyai senjata, kecuali Van del Velde yang memiliki pedang tetap di pinggangnya. Letnan Bangert juga tidak bersenjata. Anak buah Surapati sudah tidak sabar lagi dan ketika Gusti Lias dengan perahu berada di sisi kapal, Ibon putera Tumenggung Surapati menghunus mandaunya sambil berteriak teriakan perang dan ini berarti perang amuk dimulai. Mandau Ibon mengenai Letnan Bangert dan jatuh tersungkur. Surapati menghunus mandaunya terhadap Van der Velde dan pertarungan pun terjadi dan berakhir dengan menjadi mayat Van der Velde. Selanjutnya kesaksian Haji Muhammad Thalib mengatakan bahwa teriakan perang itu menyebabkan anak buah Surapati berdatangan dengan perahunya mendekati kapal Onrust. Dalam waktu sekejab sekitar 400-500 orang anak buah Tumenggung Surapati telah berada di atas kapal dan pergumulan perkelahian terjadi. Dalam hal ini meriam dan senapan tidak berbunyi karena perkelahian terjadi dalam jarak dekat. Para pemimpin perang lainnya seperti Tumenggung Aripati, Tumenggung Mas Anom, Tumenggung Kertapati ikut mengamuk di atas kapal Onrust tersebut. Perkelahian itu berlangsung hampir satu jam. Semua opsir dan serdadu Belanda yang berjumlah 90 orang berhasil ditewaskan dan kapal perang Onrust berhasil ditenggelamkan. Kemudian diketahui selamat adalah penghubung perundingan Haji Muhammad Thalib yang kemudian menceritakan apa yang terjadi atas kapal Onrust dan baru 31 Desember 1859 sampai Banjarmasin. Semua isi kapal perang itu sebelum ditenggelamkan diangkut, senapan, lila, meriam dan mesiu yang kemudian digunakan Tumenggung Surapati dan Pangeran Antasari untuk menembaki kapal-kapal Belanda yang lewat. Menurut catatan perang Belanda, bahwa kerugian yang paling besar diderita Belanda adalah dalam Perang Banjar, karena kapal perang berisi senjata beserta serdadunya terkubur bersama-sama ke dasar sungai Barito. Tenggelamnya kapal perang “Onrust” sangat mengejutkan dan menggemparkan pihak Belanda, sebaliknya menimbulkan semangat juang yang tinggi.

Peranan Tumenggung Surapati

[sunting | sunting sumber]

Tumenggung Surapati adalah seorang putera suku Dayak Siang dilahirkan dilembah Sungai Kahayan, sekarang termasuk wilayah Kalimantan Tengah. Sebagai seorang kepala suku, dia terkenal dengan gelar Kiai Tumenggung Pati Jaya Raja. Tumenggung Surapati berjuang bersama-sama Pangeran Antasari dan dibantu oleh tokoh-tokoh pejuang lainnya seperti Tumenggung Singapati, Tumenggung Kartapati, Tumenggung Mangkusari dalam perang Barito untuk menghancurkan kekuasaan kolonialisme Belanda di daerah itu. Merekalah tokoh-tokoh pejuang yang menggerakkan rakyat Barito melawan Belanda dalam Perang Barito (1865-1905).

Tumenggung Surapati dengan anak buahnya suku Dayak Siang telah memeluk agama Islam. Kedua tokoh pimpinan perjuangan ini diikat dalam hubungan kekeluargaan dengan mengawinkan putera Tumenggung Surapati yang bernama Tumenggung Jidan dengan cucu Pangeran Antasari. Tumenggung Surapati dengan anak buahnya bersama Pangeran Antasari telah mengangkat sumpah bersama-sama berjuang menghalau penjajah Belanda. Mereka akan berjuang tanpa pamrih dan tanpa kompromi dengan tekad: Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing (pantang menyerah seperti baja sampai ke ujung/akhir). Belanda berusaha dengan segala taktik liciknya untuk memikat hati Tumenggung Surapati agar Tumenggung ini tidak melakukan perlawanan terhadap Belanda dan bersedia membantu Belanda untuk menangkap Pangeran Antasari. Tumenggung Surapati sebagaimana suku Dayak lainnya sangat setia pada sumpah yang telah diucapkannya dan apapun yang akan terjadi mereka tidak akan mengkhianati sumpah tersebut. Siasat licik Belanda akan dibalas dengan siasat licik pula, dimikian tekad Tumenggung Surapati dengan anak buahnya. Belanda mempunyai keyakinan bahwa siasatnya berhasil apalagi Tumenggung Surapati telah bersahabat dengan Belanda sebelumnya. Tumenggung Surapati pernah menjamu dengan segala kebesaran dan penuh keramahan terhadap rombongan Civiel Gezaghebber dan Komandan Serdadu Marabahan Letnan I. Bangert dan stuurman kapal Cipanas JJ. Meyer pada tahun 1857 dua tahun sebelum terjadinya Perang Banjar. Persahabatan dengan Belanda ini menimbulkan kebencian yang mendalam di hati Tumenggung Surapati setelah serdadu Belanda membakar rumah dan kebun rakyat yang tidak berdosa setelah terjadi Perang Banjar. Kebaikan hati Belanda hanya tipu muslihat untuk memikat rakyat agar berpihak pada penjajah. Perang Barito terjadi di sepanjang Sungai Barito dan sekitarnya. Perang ini merupakan bukti kebencian seluruh rakyat dalam wilayah Kerajaan Banjar terhadap penjajah Belanda.

Penyerbuan Gudang Garam Belanda 24 Agustus 1859

[sunting | sunting sumber]
Desa Lalutong Tuwur, Barito Utara, Kalimantan Tengah
Litografi Kapal Onrust ketika berada di sungai Barito, Desa Lalutong Tuwur

Perang ini adalah Perang Banjar yang terjadi di sepanjang sungai Barito, dan diawali dengan penyerbuan gudang garam Belanda di Pulau Petak, sebelah hulu dari Kuala Kapuas. Gudang Pulau Petak terletak di tepi sungai sedikit lebih tinggi dari kampung di sekitarnya. Gudang garam ini dijaga oleh Letnan Bichon dengan 60 orang serdadu Belanda. Kapal perang Monterado ikut berjaga-jaga di sungai. Pada malam tanggal 23 ke 24 Agustus 1859 Pulau Petak diserbu oleh Tumenggung Surapati dan Pembakal Sulil. Letnan Bichon tewas kena tobak dalam penyerangan ini. Belanda berusaha membujuk Tumenggung Surapati agar membantu Belanda menangkap Pangeran Antasari. Setelah usaha pertama gagal, pada bulan Desember 1859 kembali kapal Onrust menuju Muara Teweh. Kapal Onrust berhenti di Lalutong Tuwur sekitar 3 km sebelum sampai Muara Teweh, dan dari sini Belanda mengirim utusan agar Tumenggung Surapati berkenan datang di kapal Onrust.

26 Desember 1859

[sunting | sunting sumber]

Pada tanggal 26 Desember 1859 dengan sebuah perahu besar dan diiringi dengan beberapa perahu kecil, perahu-perahu tersebut tidak beratap. Tumenggung Surapati dengan 15 orang pengiring yang terdiri dari keluarga dan panakawan. Perahu-perahu lainnya berlabuh di sebelah hulu dari kapal Onrust. Tumenggung Surapati disambut oleh Letnan Bangert yang sudah lama kenal karena pernah menjadi tamu Tumenggung Surapati pada tahun 1857. Tumenggung Surapati masuk ke dalam kamar untuk berunding disertai 4 orang anak dan menantunya. Sepuluh panakawan lainnya beramah tamah bersama para opsir di atas dek kapal. Dalam perundingan itu Belanda menjanjikan hadiah-hadiah antara lain memperlihatkan surat pengangkatan sebagai Pangeran. Keramah-tamahan yang diperlihatkan dan sikap yang meyakinkan menyebabkan Letnan Bangert merasa puas akan keberhasilan misinya. Dalam perundingan itu Letnan Bangert didampingi oleh Haji Muhammad Thalib sebagai juru runding dan perantara yang menghubungkan pihak Belanda dengan Tumenggung Surapati. Haji Muhammad Thalib sebelumnya sudah curiga dengan perahu-perahu yang ditumpangi Tumenggung Surapati dengan pengikutnya. Perahu-perahu tersebut tidak memakai atap, sedangkan kebiasaannya perahu mempunyai atap. Tetapi pihak Belanda tidak mengerti dengan kebiasaan orang-orang Dayak dengan perahu tanpa atap tersebut, karena Tumenggung Surapati dengan pengikutnya memperlihatkan keramah tamahannya. Perahu tanpa atap suatu pertanda sikap permusuhan dan sangat menggembirakan bagi seluruh rakyat yang berjuang melawan Belanda.

Pertempuran di Leogong 11 Ferbruari 1860

[sunting | sunting sumber]

Akibat kekalahan yang sangat memalukan ini pihak Belanda mengirim serdadu sebagai ekspedisi dengan perintah bunuh semua Orang Dayak dan Melayu (Banjar) yang membantu menenggelamkan kapal perang Onrust. Untuk keperluan ini, Gustave Verspijck memberangkatkan kapal perang Suriname, Boni dan beberapa kapal pembantu pada tanggal 27 Januari 1860. Kapal ini membawa 300 serdadu bersenjata lengkap, diantaranya 10 serdadu Eropa, beberapa pucuk meriam dan mortir. Pimpinan ekspedisi Letnan Laut De Haes melaksanakan perintah dengan membabi buta, membakar semua kampung yang dilewati dan membunuh rakyat yang ditemukan. Ketika sampai di Lalutong Tuwur ternyata kampung itu telah dikosongkan penduduk. Kapal terus berlayar ke arah hulu sambil menembaki tempat-tempat yang dicurigai. Kapal Suriname dan Boni melewati kampung Leogong yang letaknya agak rendah. Dengan tidak diduga Belanda, meriam yang beratnya 30 pond menembak ke arah lambung kapal Suriname. Korbanpun berjatuhan. Kapal itupun miring karena tembakan itu mengenai kedua ketel (boiler) sehingga mesin kapalpun mati. Baru menjelang tengah malam barulah kapal itu dihanyutkan dan ekspedisi itu pulang tanpa membawa hasil apa-apa. Pertempuran di Leogong ini terjadi pada 11 Februari 1860.

22 Februari 1860

[sunting | sunting sumber]
Kapal uap Celebes berperang melawan benteng rakit apung yang disebut Kotamara dikemudikan orang Dayak pada tanggal 6 Agustus 1859 di pulau Kanamit, sungai Barito.

Pada 22 Februari 1860, kembali kapal perang Celebes dan Monterado dikirim menyerang benteng Leogong. Benteng ini dikepung dengan dua buah kapal perang di hulu dan disebelah hilir serta 200 serdadu didaratkan. Pertempuran sengit pun terjadi sepanjang sungai Barito. Menyadari terhadap pengepungan ini Pangeran Antasari dan Tumenggung Surapati melakukan siasat mundur untuk menghindarkan banyaknya jatuh korban. Perang ini berakhir tanpa hasil yang memuaskan bagi Belanda. Untuk mengantisipasi kapal-kapal perang Belanda, Tumenggung Surapati dan Pangeran Antasari mengerahkan beratus-ratus perahu dengan sebuah perahu komando yang besar. Pada perahu besar ini dipancangkan bendera kuning. Armada perahu ini disertai pula dengan beberapa buah lanting kotta-mara (katamaran) semacam panser terapung. Bentuk kotta-mara ini sangat unik karena dibuat dari susunan bambu yang membentuk sebuah benteng terapung. Kotta-mara dilengkapi dengan beberapa pucuk meriam dan lila. Selain kapal perang Onrust yang berhasil ditenggelamkan pada 26 Desember 1859, sebelumnya yaitu pada bulan Juli 1859 juga ditenggelamkan kapal perang Cipanas dalam pertempuran di sepanjang Barito di sekitar pulau Kanamit.

Peran Suku Dayak terhadap Perang Banjar

[sunting | sunting sumber]
Penyerangan benteng Gunung Tongka oleh Belanda (gambar oleh G. Kepper)

Perang Banjar yang terjadi di Barito, memberikan posisi penting terhadap keberpihakan Dayak. Seperti juga masyarakat Banjar maka masyarakat Dayak juga terbelah, sebagian memihak Belanda karena mereka diangkat oleh Belanda sebagai bagian dari pemerintahan Sultan Tamjidullah II yang didukung Belanda. Kiai Raden Adipati Danu Raja sebagai gubernur Banua Lima berada di pihak Sultan Tamjidullah II dan Belanda, demikian kepala-kepala pemerintahan di negeri Tanah Bumbu dan Sultan Kutai yang berada di bawah tekanan Belanda. Begitu pulaSuta Ono yang berasal dari desa Telang (Paju Epat) seorang kepala suku Dayak Maanyan dan Temanggung Nikodemus Jaya Negara seorang kepala suku Dayak Ngaju.[2] Pangeran Antasari dan pengikutnya serta keturunannya menghadapi tekanan yang berat dari saudara sebangsa baik dari suku Banjar, Dayak, Bugis, Kutai yang sudah berada dalam genggaman kolonialisme Belanda. Sultan Kutai membantu Belanda menangkap Pangeran Perbatasari (Sultan Muda) yang akhirnya diasingkan ke Kampung Jawa Tondano. Keturunan Tumenggung Surapati yang tertangkap diasingkan ke Bengkulu.

Untuk menghadapi perang ini sebanyak 142 militer Belanda diterjunkan ditambah pasukan Dayak yang disiapkan Belanda berjumlah 426 terdiri:[3]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]