Lompat ke isi

Budaya pengenyahan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Budaya pengenyahan, budaya penolakan, atau boikot massal (bahasa Inggris: cancel culture, call-out culture) adalah sebuah bentuk ostrakisme modern di mana seseorang dikeluarkan dari lingkaran sosial atau profesional baik secara daring di media sosial, di dunia nyata, atau keduanya. Mereka yang menjadi subjek pada ostrakisme ini dianggap "dienyahkan".[1] Merriam-Webster, dalam mendiskusikan sejarah istilah ini, mencatat bahwa cancel (secara harfiah bermakna "batal"), seperti yang digunakan dalam istilah ini berarti "berhenti memberi dukungan kepada orang itu,"[2] sementara Dictionary.com, dalam kamus budaya populernya, mendefinisikan cancel culture sebagai "menarik (mengenyahkan) dukungan untuk figur publik dan perusahaan setelah mereka melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap tidak pantas atau menyinggung".[3] Ungkapan "cancel culture" sebagian besar berkonotasi negatif dan biasanya digunakan dalam debat tentang kebebasan berbicara dan penyensoran.

Gagasan cancel culture adalah variasi dari istilah call-out culture dan merupakan bentuk boikot yang melibatkan individu (biasanya selebritas) yang dianggap telah bertindak atau berbicara dengan cara - cara yang tidak dapat diterima atau kontroversial.[2][4][5][6][7]

Bagi mereka yang menjadi subjek budaya pengenyahan, konsekuensinya dapat mengakibatkan perlakuan dikucilkan, diboikot, dijauhi, dipecat atau diserang hingga hilangnya reputasi dan pendapatan yang sulit untuk dipulihkan.[8]

Ungkapan "budaya pengenyahan" atau "cancel culture" sebagian besar berkonotasi negatif dan biasanya digunakan dalam perdebatan tentang kebebasan berbicara dan penyensoran.[9][10]

Mantan Presiden AS Barack Obama memperingatkan budaya pengenyahan di media sosial dengan mengatakan "Orang yang melakukan hal-hal yang benar-benar baik juga memiliki kekurangan. Orang yang Anda lawan mungkin mencintai anak-anak mereka dan, anda tahu, membagikan hal-hal tertentu dengan Anda."[11] Sementara Donald Trump mengkritik budaya pengenyahan dalam pidatonya pada Juli 2020, membandingkannya dengan totalitarianisme dan mengklaim hal ini sebagai senjata politik yang digunakan untuk menghukum dan mempermalukan para pembangkang dengan mengusir mereka dari pekerjaan dan menuntut kepatuhan.[12]

Asal Muasal

[sunting | sunting sumber]

Jika disimak kembali, ada sebuah album dari sebuah kelompok musik bernama Chic pada tahun1981bertajuk Take it off yang di dalamnya terdapat sebuah lagu berjudul "Your Love Is Cancelled". Lagu ini dianggap menyejajarkan perpisahan dengan pembatalan sebuah acara televisi. Ditulis oleh Nile Rodgers yang mengalami pengalaman buruk saat berkencan dengan seorang perempuan yang memanfaatkan ketenaran Nile demi keuntungan si pacar.

Lagu Your Love is cancelled juga menginspirasi seorang penulis skenario bernama Barry Michael Cooper untuk memasukkan peran seorang perempuan yang ditolak alih-alih dibatalkan dalam sebuah film di tahun 1991 yang berjudul New Jack City

Opini publik Amerika

[sunting | sunting sumber]

Jajak pendapat daftar pemilih tetap Amerika Serikat yang dilakukan pada Juli 2020 menunjukkan bahwa budaya pengenyahan, yang didefinisikan sebagai "praktik menarik (atau mengenyahkan) dukungan untuk figur publik dan perusahaan setelah mereka melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap tidak pantas atau menyinggung", adalah hal yang umum: 40% responden mengatakan mereka telah menarik dukungan dari figur publik dan perusahaan, termasuk di media sosial, karena mereka telah melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap tidak pantas atau menyinggung, 8% pernah terlibat dalam hal ini. Perilaku berbeda menurut usia, dengan mayoritas (55%) pemilih berusia 18 hingga 34 tahun mengatakan bahwa mereka telah turut serta dalam budaya pengenyahan, sementara hanya sekitar sepertiga (32%) pemilih di atas 65 tahun mengatakan mereka telah bergabung dengan pile-on di media sosial.[13] Sikap terhadap praktik ini beragam, dengan 44% responden menyatakan tidak setuju dengan budaya pengenyahan, 32% menyatakan setuju, dan 24% yang tidak tahu atau tidak memiliki pendapat. Selain itu, 46% percaya budaya pengenyahan telah bertindak terlalu jauh (keterlaluan), dengan hanya 10% yang menganggapnya belum keterlaluan. Namun, mayoritas (53%) percaya bahwa orang harus bersiap dengan konsekuensi sosial jika mengungkapkan pendapat yang tidak populer pada publik, terutama yang dapat dianggap sangat menyinggung orang lain.[14]

Nick Buckley, pendiri dan CEO dari organisasi amal Mancunian Way, mengajukan petisi untuk menentang dan akhirnya dipecat karena mengkritik gerakan Black Lives Matter, sebelum akhirnya dipekerjakan kembali lima minggu kemudian.[15]

Olivia Pierson, seorang blogger dan penulis Selandia Baru sayap kanan, mengklaim bahwa dia adalah korban dari "cancel culture" setelah pengecer Mighty Ape menghapus bukunya Western Values Defended: A Primer sebagai tanggapan atas tweetnya yang mengejek tatto wajah Menteri Luar Negeri yang baru ditunjuk Nanaia Mahuta. Rekan bloggernya Cameron Slater mengklaim Mighty Ape munafik karena membiarkan buku yang diterbitkan oleh Oswald Mosley dan Joseph Goebbels.[16]

Dalam budaya populer

[sunting | sunting sumber]

Serial televisi animasi Amerika South Park meledek budaya pengenyahan dengan kampanye "#CancelSouthPark"-nya sendiri dalam promosi musim kedua puluh dua acara tersebut.[17][18][19][20] Dalam episode ketiga musim ini, "The Problem with a Poo", ada referensi ke film dokumenter The Problem with Apu, "pengenyahan" Roseanne setelah tweet kontroversial oleh aktris eponim dari acara itu, dan sidang konfirmasi dari Hakim Agung Brett Kavanaugh.[21][22] Baik Dixie Chicks dan Bill Maher mengklaim mereka adalah korban budaya pengenyahan.

Pada tahun 2019, budaya pengenyahan ditampilkan sebagai tema utama dalam acara komedi stand-up Sticks & Stones oleh Dave Chappelle[23] dan Paper Tiger oleh Bill Burr.[24]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ McDermott, John (November 2, 2019). "Those People We Tried to Cancel? They're All Hanging Out Together". The New York Times. Diakses tanggal August 3, 2020. 
  2. ^ a b "What It Means to Get 'Canceled'". www.merriam-webster.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal June 18, 2020. Diakses tanggal July 4, 2020. 
  3. ^ "What Does Cancel Culture Mean?". dictionary.com. Diakses tanggal August 19, 2020. 
  4. ^ Sills, Sophie; Pickens, Chelsea; Beach, Karishma; Jones, Lloyd; Calder-Dawe, Octavia; Benton-Greig, Paulette; Gavey, Nicola (March 23, 2016). "Rape culture and social media: young critics and a feminist counterpublic". Feminist Media Studies. 16 (6): 935–951. doi:10.1080/14680777.2015.1137962. 
  5. ^ Munro, Ealasaid (August 23, 2013). "Feminism: A Fourth Wave?". Political Insight. 4 (2): 22–25. doi:10.1111/2041-9066.12021. Diarsipkan dari versi asli tanggal December 10, 2019. Diakses tanggal April 29, 2020. 
  6. ^ Yar, Sanam; Bromwich, Jonah Engel (October 31, 2019). "Tales From the Teenage Cancel Culture". The New York Times. ISSN 0362-4331. Diarsipkan dari versi asli tanggal June 1, 2020. Diakses tanggal July 4, 2020. 
  7. ^ Bromwich, Jonah Engel (June 28, 2018). "Everyone Is Canceled". The New York Times. ISSN 0362-4331. Diarsipkan dari versi asli tanggal August 13, 2019. Diakses tanggal July 4, 2020. 
  8. ^ "What is the cost of 'cancel culture'?". BBC News (dalam bahasa Inggris). 2020-10-08. Diakses tanggal 2021-01-06. 
  9. ^ Brown, Dalvin. "Twitter's cancel culture: A force for good or a digital witchhunt? The answer is complicated". USA TODAY (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal July 24, 2020. Diakses tanggal July 24, 2020. 
  10. ^ "Where Did Cancel Culture Come From?". Dictionary.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal June 30, 2020. Diakses tanggal July 28, 2020. 
  11. ^ "Obama laid into young people being 'politically woke' and 'as judgmental as possible' in a speech about call-out culture". Business Insider. October 30, 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal July 23, 2020. Diakses tanggal July 23, 2020. 
  12. ^ Daniel Dale. "A list of people and things Donald Trump tried to get canceled before he railed against 'cancel culture'". CNN. Diarsipkan dari versi asli tanggal July 28, 2020. Diakses tanggal August 1, 2020. 
  13. ^ Lizza, Ryan (July 22, 2020). "Americans tune in to 'cancel culture' — and don't like what they see". POLITICO (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal July 23, 2020. Diakses tanggal July 22, 2020. 
  14. ^ Morning Consult; Politico (July 2020). "National tracking poll, July 17-19, 2020". Politico.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal July 22, 2020. 
  15. ^ 2020 Sept. 25. Interview: “‘Cancellers are cowards – their beliefs are built on sand’.” Spiked.
  16. ^ Brookes, Emily (4 November 2020). "New Zealand author dropped by online retailer Mighty Ape after she made derisive comments about Nanaia Mahuta's moko". Stuff. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 November 2020. Diakses tanggal 4 November 2020. 
  17. ^ Andrews, Travis M. (17 October 2018). "How 'South Park' became the ultimate #bothsides show". The Washington Post. Diakses tanggal 31 December 2018. 
  18. ^ Edwards, Chris (20 November 2018). "Post-outrage TV: how South Park is surviving the era of controversy". The Guardian. Diakses tanggal 31 December 2018. 
  19. ^ Mathews, Liam (11 October 2018). "South Park Just Trolled The Simpsons Really Hard, but Why?". TV Guide. Diakses tanggal 31 December 2018. 
  20. ^ Joho, Jess (12 October 2018). "Why the latest season of 'South Park' feels like a total game-changer". Mashable. Diakses tanggal 31 December 2018. 
  21. ^ Parker, Ryan (10 October 2018). "'South Park' Goes After Roseanne Barr, 'Simpsons' Apu Character". The Hollywood Reporter (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 11 October 2018. 
  22. ^ Barsanti, Sam (9 October 2018). "South Park will somehow tackle both Brett Kavanaugh and The Problem With Apu simultaneously". The A.V. Club. Diakses tanggal 10 October 2018. 
  23. ^ "Concerning Consent, Chappelle, and Canceling Cancel Culture". Wired (dalam bahasa Inggris). ISSN 1059-1028. Diakses tanggal 2020-10-19. 
  24. ^ Placido, Dani Di. "Bill Burr's 'Paper Tiger' Exposes The Myth Of Outrage Culture". Forbes (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-10-19.