Weling
Weling
| |
---|---|
Bungarus candidus | |
Status konservasi | |
Risiko rendah | |
IUCN | 192238 |
Taksonomi | |
Galat Lua: callParserFunction: function "Template" was not found. | |
Spesies | Bungarus candidus Linnaeus, 1758 |
Tata nama | |
Sinonim takson | Coluber candidus Linnaeus, 1758[1] Bungarus javanicus Kopstein, 1932[2] |
Weling (Bungarus candidus) adalah spesies katang yang endemik di Asia Tenggara. Selain "weling", ular ini juga disebut ular belang, nama yang juga digunakan untuk kerabatnya yang lebih besar, yaitu welang (B. fasciatus). Di daerah Jawa Barat, ular ini disebut Ular warakas. Nama umum ular ini dalam bahasa Inggris adalah Malayan krait atau Blue krait.
Pengenalan
[sunting | sunting sumber]Panjang tubuh weling mencapai 155 cm (1.55 meter).[3] Ekornya meruncing, tidak tumpul seperti pada welang. Kepala bagian atas hingga leher atas (tengkuk) berwarna hitam, sedangkan bagian bawahnya berwarna putih. Tubuh bagian atas berwarna belang-belang hitam dan putih hingga ekor. Semakin ke ekor, belang-belang hitamnya semakin sempit. Bagian bawah tubuhnya berwarna putih.[4] Selain varian belang hitam-putih polos, terdapat varian weling yang berwarna belang hitam-putih, yang memiliki noda-noda hitam pada belang putihnya. Ada juga varian yang cenderung berwarna kehitaman, terutama spesimen-spesimen yang ditemukan di daerah Cirebon, Jabar serta di sekitar perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Spesimen berwarna kehitaman ini sempat dideskripsikan sebagai Bungarus javanicus oleh Felix Kopstein pada tahun 1932, tetapi kemudian diketahui sebagai varian hitam (melanistik) dari spesies ini (B. candidus).[2]
Susunan sisik (scalation) pada tubuh weling terdiri dari sisik dorsal yang tersusun sebanyak 15 deret daan sisik vertebral (paling atas) berukuran lebih besar dari sisik dorsal lainnya, sisik ventral sebanyak 209 sampai 219 buah, sisik subkaudal sebanyak 40 sampai 50 buah dan tunggal seluruhnya, sisik anal tunggal (tak berbagi), sisik perisai labial atas berjumlah 7 buah dan sebagian terletak di tepian mata.[4]
Penyebaran
[sunting | sunting sumber]Weling tersebar di Asia Tenggara. Sebaran geografisnya meliputi Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia (Sumatra, Jawa, Bali, dan Sulawesi).[5][6].
Ekologi dan perilaku
[sunting | sunting sumber]Weling hidup di dataran rendah hingga ketinggian 1.200 meter dpl. Habitat utamanya adalah hutan, hutan mangrove, semak belukar, perkebunan, dan lahan pertanian. Ular ini juga kerap ditemukan di sekitar permukiman. Ular ini sering kali berkelana di dekat sumber air.[3]
Weling adalah hewan nokturnal (aktif pada malam hari) dan berkelana di atas tanah, walaupun juga sering terlihat di siang hari.[3] Makanan utamanya adalah ular jenis lain yang berukuran lebih kecil darinya. Selain ular kecil, weling juga memangsa kadal, tikus, dan beberapa hewan kecil lainnya. Jika merasa terganggu atau terancam, ular ini akan menyembunyikan kepalanya di bawah gulungan badannya.[7]
Weling berkembangbiak dengan bertelur (ovipar). Jumlah telur yang dihasilkan sebanyak 4 sampai 10 butir. Masing-masing bayi ular yang baru menetas berukuran panjang antara 27 sampai 29 cm.[7]
Galeri
[sunting | sunting sumber]-
Weling, spesimen dari Karawang, Jawa barat
-
Close up kepala
-
Tubuh atas (dorsal) berwarna belang hitam-putih, dan tubuh bawah (ventral) berwarna putih
-
Foto grayscale dari koleksi Tropen Museum, Belanda
Bisa
[sunting | sunting sumber]Seperti jenis katang lainnya, weling adalah ular berbisa yang sangat mematikan. Bisa ular ini bersifat neurotoksin atau mampu melumpuhkan jaringan saraf. Gejala yang timbul pada korban gigitan, salah satunya adalah kesulitan bernapas.[8] Tingkat kematian (Untreated Mortality Rate) akibat gigitan weling pada manusia sebesar 60 sampai 70%.[9]
Catatan taksonomis
[sunting | sunting sumber]Pada 1932, naturalis Felix Kopstein menetapkan takson Bungarus javanicus sebagai nama ilmiah dari spesimen tunggal yang sangat mirip B. candidus, tetapi berwarna dominan kehitaman pada tubuh atasnya (dorsal).[2] Spesimen ini ditemukan di kampung Matanghaji, Kecamatan Sumber, Cirebon. Warga setempat menyebutnya "ular warakas". Setelah beberapa waktu, Kopstein memperoleh dua spesimen lagi tetapi dengan pewarnaan yang berbeda, di mana salah satunya mirip B. candidus asli tetapi belang putihnya samar-samar. Hal ini membuat Kopstein mulai ragu dengan nama ilmiah yang ditetapkannya.
Walaupun begitu, kalangan masyarakat ilmiah terlanjur memahami bahwa ular ini adalah spesies baru yang endemik di pulau Jawa, dengan sebaran geografis terbatas di sekitar Cirebon. Kemudian, ilmuwan bernama Joseph B. Slowinski pada tahun 1994 mempublikasikan tulisan tentang hal ini, dan secara ringkas menyatakan bahwa B. javanicus sebenarnya adalah varian hitam (melanistik) dari B. candidus yang umumnya berwarna belang hitam-putih.[10]
Pada tahun 2007, dua orang ilmuwan bernama Ulrich Kuch dan Dietrich Mebs melakukan analisis morfologis dan genetik. Analisis tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa B. javanicus adalah sinonim (tepatnya junior subjective synonym) dari B. candidus. Selain itu, ditemukan pula spesimen dengan warna yang cenderung dominan keputihan. Diketahui pula bahwa varian melanistik ini ditemukan dalam wilayah sebaran yang lebih luas, tidak hanya di sekitar Cirebon tetapi juga di sepanjang perbatasan Jawa Barat dan Jawa tengah, termasuk Purwokerto dan Cilacap.[11]
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ Linne, C. 1758. Systema Naturae, 10th Ed., 1: 223.
- ^ a b c Kopstein, F. 1932. Herpetologische Notizen V. "Bungarus javanicus, eine neue Giftschlange von Java". Treubia, 14: 73–77.
- ^ a b c David, P. & G. Vogel. 1997. The Snakes of Sumatra: an annotated checklist and key with natural history notes. Edition Chimaira, Frankfurt am Main. Pp. 142-143. ISBN 3-930612-08-9
- ^ a b Tweedie, M.W.F. 1983. The Snakes of Malaya. 3rd Ed. Singapore Nat. Printers. Pp. 108-109.
- ^ Bungarus candidus di Reptarium.cz Reptile Database
- ^ Manthey, U. & W. Grossmann. 1997. Amphibien & Reptilien Südostasiens. Natur und Tier – Verlag, Münster. Pp. 416-417. ISBN 3-931587-12-6
- ^ a b Ular Asli Indonesia: Ular Weling (Bungarus candidus)
- ^ Reid, H.A. Snakebite, a chapter in Tweedie, M.W.F. op cit. Pp. 142-149.
- ^ "Clinical Toxinology-Bungarus candidus". Clinical Toxinology Resources. University of Adelaide.
Mortality rate:70%
- ^ Slowinski, J.B. 1994. A phylogenetic analysis of Bungarus (Elapidae) based on morphological characters[pranala nonaktif permanen]. Journal of Herpetology, 28: 440–446.
- ^ Kuch, U. & D. Mebs. 2007. The identity of the Javan Krait, Bungarus javanicus Kopstein, 1932 (Squamata: Elapidae): evidence from mitochondrial and nuclear DNA sequence analyses and morphology Diarsipkan 2017-08-14 di Wayback Machine.. Zootaxa, 1426: 1–26.
- Chanhome, L., O. Khow, S. Puempunpanich, V. Sitprija, and N. Chaiyabutr. 2009. Biological characteristics of the Bungarus candidus venom due to geographical variation. J. Cell and Anim. Biol., 3(6): 093-100.
- Kuch, U., B.E. Molles, T. Omori-Satoh, L. Chanhome, Y. Samejima, & D. Mebs. 2003. Identification of alpha-bungarotoxin (A31) as the major postsynaptic neurotoxin, and complete nucleotide identity of a genomic DNA of Bungarus candidus from Java with exons of the Bungarus multicinctus alpha-bungarotoxin (A31) gene. abstract. Toxicon, 42(4): 381–390.
- Laothong, C. & V. Sitprija. 2001. Decreased parasympathetic activities in Malayan krait (Bungarus candidus) envenoming. abstract. Toxicon, 39(9): 1353–1357.
- Nirthanan, S., E. Charpantier, P. Gopalakrishnakone, M.C.E. Gwee, H.E. Khoo, L.S. Cheah, D. Bertrand, & R.M. Kini. 2002. Candoxin, a Novel Toxin from Bungarus candidus, Is a Reversible Antagonist of Muscle (αβγδ) but a Poorly Reversible Antagonist of Neuronal α7 Nicotinic Acetylcholine Receptors. J. Biol. Chem., 277: 17811-17820.
- Nirthanan, S., E. Charpantier, P. Gopalakrishnakone, M.C.E. Gwee, H.E. Khoo, L.S. Cheah, R.M. Kini, & D. Bertrand. 2003. Neuromuscular effects of candoxin, a novel toxin from the venom of the Malayan krait (Bungarus candidus). British J. Pharm., 139(4): 832–844.
- Tan, N.H., C.H. Poh, & C.S. Tan. 1989. The lethal and biochemical properties of Bungarus candidus (Malayan krait) venom and venom fractions. abstract. Toxicon, 27(9): 1065–1070.
- Torres, A.M., R.M. Kini, N. Selvanayagam, & P.W. Kuchel. 2001. NMR structure of bucandin, a neurotoxin from the venom of the Malayan krait (Bungarus candidus). Biochem. J., 360(3): 539–548.
- Trinh, K.X., Q.L. Khac, L.X. Trinh, & D.A. Warrell. 2010. Hyponatraemia, rhabdomyolysis, alterations in blood pressure and persistent mydriasis in patients envenomed by Malayan kraits (Bungarus candidus) in southern Viet Nam. abstract. Toxicon, 56(6): 1070–1075.
- Warrell, D.A., S. Looareesuwan, N.J. White, R. David, G. Theakston, M.J. Warrell, W. Kosakarn, & H.A. Reid. 1983. Severe neurotoxic envenoming by the Malayan krait Bungarus candidus (Linnaeus): response to antivenom and anticholinesterase. British Med. J., 286: 678-680.
- Bungarus candidus di Reptarium.cz Reptile Database
- FOBI: Bungarus candidus (Linnaeus, 1758)[pranala nonaktif permanen]. (Foto-foto)
- Siam Info: Genus: Bungarus (Kraits) Diarsipkan 2012-06-07 di Wayback Machine.
- Thailand Snakes!: Bungarus candidus