Lompat ke isi

Inersia kognitif

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Inersia kognitif atau kelambanan kognitif adalah kecenderungan untuk orientasi tertentu dalam cara individu berpikir tentang suatu isu, keyakinan ataupun strategi untuk menolak perubahan. Dalam literatur klinis dan ilmu saraf dapat didefinisikan sebagai kurangnya motivasi untuk menghasilkan proses kognitif yang berbeda yang diperlukan untuk mengatasi masalah atau isu. Sebuah pilihan atau preferensi pada orang dengan inersia kognitif akan menjadi sebuah kebiasaan. Jadi, apabila orang tersebut harus memilih suatu hal, maka dia akan memilih pilihan yang sama dan menjadi kebiasaan.[1] Penggunaan istilah dalam fisika, yakni inersia, dimaksudkan untuk memberi penekanan pada kecenderungan untuk menolak perubahan terhadap keadaan, seperti metode pemrosesan kognitif terdahulu yang digunakan dalam jangka waktu yang lama. Inersia kognitif berbeda dengan keteguhan keyakinan. Pada inersia kognitif, terdapat kesulitan dalam mengubah cara menginterpretasikan informasi. Namun pada keteguhan keyakinan, hal yang sulit diubah adalah keyakinan itu sendiri. Misalnya, dalam ilmu manajemen dan organisasi, konsep "inersia kognitif" menggambarkan fenomena di mana manajer mungkin gagal mengevaluasi kembali situasi bahkan ketika terjadi perubahan besar.[2]

Secara kausal, inersia kognitif berkaitan dengan variasi pekerjaan agar orang dengan ancaman orang tersebut kembali waspada yang akan datang karena harus membiasakan diri dari pekerjaan berbeda. Seperti, ketika seseorang melakukan pekerjaan yang sama secara terus-menerus dalam waktu yang lama, maka orang itu akan merasa ahli dan kurang berhati-hati, dan di situlah bahayanya. Fenomena inersia kognitif di bidang psikolog ekonomi dan industri menjelaskan betapa sukarnya untuk mengubah pilihan merek pada seseorang, sukar untuk menerima perubahan saat curah pendapat, dan sukar untuk mengubah strategi bisnis.[3]

Penggunaan di bidang klinis, inersia kognitif dapat digunakan sebagai peralatan diagnostik untuk penyakit neurodegeneratif, depresi, mapun kecemasan. Gangguan depresi merupakan gangguan psikis umum, siapapun dapat mengalami. Gangguan pada fungsi kognitif dikenal juga sebagai gangguan degenerasi yang ditemukan sejak puluhan tahun lalu. Bahkan seetelah degenerasi remisi, gangguan kognitif ini masih tetap ada.[4] Para kritikus menyatakan istilah ini terlampau menyederhanakan terjadinya resistensi terhadap suatu hal hanya melibatkan proses di balik proses berpikir. Mereka menyarankan pendekatan yang lebih menyeluruh yang melibatkan faktor motivasi, emosi, dan perkembangan seseorang.

Sejarah dan metode

[sunting | sunting sumber]

Awal mula

[sunting | sunting sumber]

Konsep awal mengenai inersia kognitif dapat ditemukan dalam Dialog Sokrates yang ditulis oleh Plato. Socrates membangun argumennya dengan menggunakan kepercayaan kritikus sebagai premis kesimpulan argumennya. Dengan melakukan hal itu, Socrates mengemukakan sesat pikir dari pengkritiknya memaksa pengkritiknya mengubah pikiran mereka atau menerima kenyataan bahwa proses pemikiran mereka memilki kontradiksi sebagai pengambil keputusan dalam menilai tindakan alternatif.[5][6] Cara untuk memerangi kebebalan proposisi kognitif juga terlihat dalam metode silogistik Aristoteles yang menggunakan konsistensi logis dari premis untuk meyakinkan individu tentang validitas kesimpulan.[7]

Pada awal abad kedua puluh, dua pakar paling awal dalam psikolog eksperimental yakni Müller dan Pilzecker, mengemukakan bahwa ketekunan pemikiran sebagai "kecenderungan gagasan, setelah sekali memasuki kesadaran, untuk kesadaran yang bangkit kembali secara bebas". Müller menggambarkan ketekunan sebagai ketidakmampuannya sendiri untuk menghambat strategi kognitif lama dengan fungsi pergantian suku kata, sementara istrinya dengan mudah beralih dari satu strategi ke strategi berikutnya. Salah satu psikologi kepribadian paling awal, W. Lankes, mendefinisikan ketekunan secara lebih luas sebagai "terbatas pada sisi kognitif" dan mungkin "dilawan oleh kemauan yang kuat". Ide awal ketekunan ini adalah pendahulu bagaimana istilah inersia kognitif akan digunakan untuk mempelajari gejala tertentu pada pasien dengan gangguan neurodegeneratif, ruminasi dan depresi.[8][9]

Awalnya pengusulan psikolgi kognitif oleh William J. McGuire pada tahun 1960, teori inersia kognitif dibangun di atas teori-teori yang muncul dalam psikologi sosial dan psikologi kognitif yang berpusat di sekitar konsistensi kognitif,[10] termasuk teori keseimbangan Fritz Heider[11] dan disonansi kognitif Leon Festinger.[12][13] McGuire menggunakan istilah inersia kognitif untuk menjelaskan penolakan awal untuk mengubah cara suatu ide diproses setelah informasi baru diperoleh.[10]

Dalam studi pendahuluan McGuire yang melibatkan inersia kognitif, para peserta mengungkapkan pendapat mereka tentang kemungkinan bahwa mereka percaya pada berbagai topik. Seminggu kemudian, mereka kembali membaca berita terkait topik yang mereka komentari. Berita disajikan secara nyata dan mengubah pandangan peserta tentang kemungkinan subjek secara tepat sasaran. Segera setelah membaca pesan tersebut, dan seminggu kemudian, para peserta dinilai kembali mengenai kemungkinan mereka mempercayai topik tersebut. McGuire meyakini peserta akan termotivasi untuk mengubah penilaiannya menjadi lebih konsisten dengan informasi faktual ketika peserta merasa tidak nyaman dengan tidak konsistennya antara informasi yang disajikan dengan penilaian awal pada topik tersebut.[14] Namun, pendapat peserta tidak langsung berubah setelah diberikan informasi baru. Justru perubahan pendapat menuju yang sesuai dengan informasi terjadi seiring berjalannya waktu dan semakin mantap setelah beberapa lama kemudian. Hal ini disebut sebagai "rembesan" informasi.[15] Lambatnya perubahan tersebut disebabkan karena adanya keteguhan proses pemikiran seseorang yang menghambat kemampuan untuk mengevaluasi kembali pendapat awal seseorang. McGuire menyebut hal ini inersia kognitif.[10]

Teori peluang

[sunting | sunting sumber]

Inersia kognitif memliki banyak keterkaitan dengan teori konsistensi secara konsepsinya, McGuire menggunakan metode unik yakni teori peluang dan logika untuk mendukung hipotesisnya tentang perubahan dan ketekunan dalam kognisi.[16][17] Dengan menggunakan kerangka silogistik, McGuire mengusulkan bahwa jika tiga isu (a, b dan c) begitu saling terkait sehingga pendapat individu mendukung sepenuhnya masalah a dan b maka pendapat mereka tentang masalah c akan didukung sebagai kesimpulan logis.[10][7] Selanjutnya, McGuire mengusulkan jika keyakinan individu pada peluang (p) dari isu pendukung (a atau b) diubah, maka tidak hanya isu (c) yang dinyatakan secara eksplisit berubah, tetapi isu implisit terkait (d) dapat diubah demikian juga. Lebih formal:

perubahan yang dibutuhkan ( ) pada c diperlukan untuk menjaga konsistensi logis antara pendapat adalah

p(c) = p(a & b)

yang, dengan asumsi bahwa a dan b adalah peristiwa independen yaitu, bahwa p(a & b) = p(a) p(b) menjadi

p(c) = p(a) p(b) + p(a) p(b) + p(a) p(b)

di mana p(a) dan p(b) mengacu pada pendapat awal, sebelum komunikasi menyebabkan perubahan.

Rumus ini digunakan oleh McGuire untuk menunjukkan bahwa efek dari pesan persuasif pada topik (d) yang terkait, tetapi tidak disebutkan, membutuhkan waktu untuk meresap. Asumsinya adalah bahwa topik d didasarkan pada masalah a dan b, mirip dengan masalah c, jadi jika individu setuju dengan masalah c maka mereka juga harus setuju dengan masalah d. Namun, dalam studi awal McGuire, pengukuran langsung mengenai masalah d, setelah sepakat tentang masalah a, b, dan c, hanya berubah setengah dari jumlah yang diharapkan agar dapat dikatakan konsisten secara logika. Tindak lanjut pada satu minggu kemudian menunjukkan bahwa pergeseran pendapat tentang masalah d dapat dikatakan cukup konsisten secara logika dengan masalah a, b, dan c, yang tidak hanya mendukung teori konsistensi kognitif, tetapi juga rintangan awal inersia kognitif.[10]

Model ini didasarkan pada peluang untuk mengungkapkan gagasan bahwa individu tidak selalu menganggap setiap masalah 100% mungkin terjadi, tetapi justru terdapat kemungkinan masalah terjadi dan pendapat individu mengenai kemungkinan tersebut akan bergantung pada kemungkinan masalah lain yang saling berkaitan.[16]

Kesehatan masyarakat

[sunting | sunting sumber]

Kelambanan atau inersia (kognitif) kelompok, bagaimana sekelompok individu memandang dan memproses suatu masalah, dapat memiliki efek yang merugikan pada bagaimana masalah lama dan baru harus dihadapi.[18] Untuk menggambarkan sikap sebagian besar warga Amerika Serikat yang bodoh amat terhadap ancaman flu Spanyol tahun 1918, sejarawan Tom Dicke berpendapat bahwa inersia kognitif menjadi penyebab banyak orang tidak menganggap penyakit flu tersebut secara serius. Pada saat itu, kebanyakan orang Amerika mengenal flu musiman, mengira itu adalah iritasi, sering diobati, infeksi ringan, cepat menghilang, komplikasi jarang terjadi, dan jarang menyebabkan kematian. Namun, pandangan flu seperti itu justru membahayakan persiapan, pencegahan, dan pengobatan terhadap flu Spanyol karena menular dengan cepat dan bersifat virulen. Sampai semuanya telah terlambat dan menjadi pandemi paling mematikan sepanjang sejarah.[19]

Kontemporer

[sunting | sunting sumber]

Pada periode yang lebih modern, muncul posisi bahwa penyangkalan perubahan iklim antropogenik adalah semacam inersia kognitif. Terlepas dari bukti yang diberikan oleh penemuan ilmiah, masih ada orang – termasuk negara – yang menyangkal kejadiannya demi pola pembangunan yang ada.[20]

Friedman dan Brown menanyakan peserta mengenai posisi garis lintang yang mereka yakini dari beberapa negara dan kota. untuk memperoleh pemahaman terhadap cara individu menyimpan dan mengintegrasikan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang ada. Kemudian setelah diberikan informasi yang tepat, peserta tersebut diuji lagi dengan kota dan negara yang berbeda. Mayoritas peserta dapat menggunakan informasi yang benar untuk memperbarui pemahaman kognitif mereka tentang lokasi geografis dan menempatkan lokasi baru lebih dekat ke lokasi garis lintang yang benar, yang mendukung gagasan bahwa pengetahuan baru tidak hanya memengaruhi informasi langsung tetapi juga informasi terkait. Namun, ada efek kecil dari inersia kognitif karena beberapa area tidak terpengaruh oleh informasi yang benar, yang menurut para peneliti adalah karena kurangnya keterkaitan pengetahuan dalam informasi yang benar dan lokasi baru yang disajikan.[21]

Keanggotaan grup

[sunting | sunting sumber]

Keanggotaan dan ideologi kelompok politik mampu bertahan disebabkan oleh inersia terhadap bagaimana individu mengelompokkan ide dari waktu tertentu. Individu mungkin menerima sesuatu yang bertentangan dengan perspektif yang benar, tetapi tidak cukup jika memproses keseluruhan subjek secara seimbang.[17]

Organisasi pemerintah sering kali dapat menjadi resisten atau sangat lambat untuk berubah seiring dengan transformasi sosial dan teknologi. Bahkan ketika bukti malfungsi jelas, bentuk inersia institusional ini dapat bertahan. Ilmuwan politik Francis Fukuyama telah menegaskan bahwa manusia menanamkan nilai intrinsik pada aturan yang mereka buat dan ikuti, terutama di lembaga masyarakat yang lebih besar yang menciptakan ketertiban dan stabilitas.[22] Terlepas dari perubahan sosial yang cepat dan meningkatnya masalah kelembagaan, nilai yang ditempatkan pada sebuah lembaga dan aturannya dapat menutupi seberapa baik sebuah lembaga berfungsi serta bagaimana lembaga itu dapat ditingkatkan. Ketidakmampuan untuk mengubah pola pikir institusional didukung oleh teori keseimbangan bersela, periode panjang kebijakan pemerintah yang merusak diselingi oleh saat-saat kerusuhan sipil. Setelah beberapa dekade kemerosotan ekonomi, referendum Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa dilihat sebagai contoh gerakan dramatis setelah periode kelambanan pemerintah yang panjang.[23]

Peran antarpribadi

[sunting | sunting sumber]

Persepsi orang yang tak tergoyahkan tentang peran yang dimainkan orang dalam hidup kita dianggap sebagai inersia kognitif. Ketika ditanya tentang perasaan teman sekelas mereka tentang menikahi orang tua mereka, banyak mahasiswa mengatakan bahwa mereka tidak dapat memperlakukan teman sekelas sebagai ayah/ibu tiri. Beberapa mahasiswa bahkan mengatakan bahwa hubungan tersebut mungkin terasa seperti inses.[24]

Inersia peran juga terkait dengan pernikahan dan kemungkinan perceraian. Penelitian pada pasangan yang hidup bersama sebelum menikah menunjukkan bahwa mereka lebih mungkin untuk bercerai daripada pasangan yang tidak hidup bersama. Pengaruh ini terutama muncul pada beberapa pasangan yang hidup bersama, tanpa terlebih dahulu transparan tentang harapan pernikahan mereka di masa depan. Seiring waktu, inersia peran kognitif mengambil alih, dan pasangan menikah tanpa mencapai keputusan sepenuhnya, seringkali dengan salah satu atau kedua pasangan tidak sepenuhnya berkomitmen pada gagasan tersebut. Kurangnya kemampuan untuk memecahkan masalah dan komitmen dalam hubungan dapat menyebabkan peningkatan kejadian stres, pertengkaran, ketidakpuasan, dan perceraian.[25]

Kelambanan atau inersia kognitif sering disebutkan dalam bisnis dan manajemen untuk merujuk pada penggunaan produk yang berkelanjutan oleh konsumen, kurangnya ide-ide baru selama sesi curah pendapat (brainstorming) kelompok, dan kurangnya perubahan dalam strategi bersaing.[26][27][28] Konsumen dengan tingkat inersia yang tinggi cenderung mengulangi perbuatannya. Ketika orang telah merasakan manfaat dan biaya dari bisnisnya, orang cenderung akan menghadapi dan akan menjadikan itu sebagai kebiasaan. Umumnya orang dengan tingkat inersia yang tinggi cenderung memiliki tingkat loyalitas yang tinggi pula. Selain itu, inersia juga dapat mengurangi dampak kepuasan terhadap loyalitas.[29]

Loyalitas merek

[sunting | sunting sumber]

Memperoleh dan mempertahankan pelanggan baru adalah bagian penting dari kesuksesan awal bisnis. Untuk mengevaluasi layanan, produk, atau kemungkinan retensi pelanggan, banyak perusahaan mengundang pelanggan untuk menyelesaikan survei kepuasan segera setelah membeli produk atau layanan. Namun, kecuali jika survei kepuasan diselesaikan segera setelah pembelian, respons pelanggan biasanya didasarkan pada pandangan dia mengenai perusahaan saat ini daripada kualitas pengalaman yang sebenarnya. Kecuali produk atau layanan sangat negatif atau positif, inersia kognitif yang terkait dengan persepsi pelanggan terhadap perusahaan tidak akan hilang, bahkan jika produk atau layanan di bawah standar. Survei kepuasan ini mungkin tidak memiliki informasi yang dibutuhkan perusahaan untuk meningkatkan layanan atau produk agar dapat bertahan dalam persaingan.[30]

Curah pendapat

[sunting | sunting sumber]

Inersia kognitif berperan dalam kurangnya ide yang dihasilkan selama sesi curah pendapat. Hal ini karena individu dalam kelompok akan sering mengikuti lintasan ide, yang berarti mereka mempersempit lingkup ide berdasarkan ide pertama yang diusulkan dalam sesi curah pendapat. Lintasan ide ini menghambat terciptanya ide-ide baru yang merupakan tujuan utama adanya curah pendapat.[26][31]

Untuk memerangi inersia kognitif dalam curah pendapat kelompok, peneliti meminta mahasiswa bisnis untuk menggunakan pendekatan dialog tunggal atau multidialog untuk curah pendapat. Dalam pendekatan dialog tunggal, semua mahasiswa bisnis membuat daftar dialog dari ide-ide mereka, sedangkan dalam pendekatan multidialog, ide-ide ditempatkan dalam subkelompok dengan memilih apa yang ingin dimasukan dan didiskusikan, sehingga memudahkan ke subkelompok lainnya. Pendekatan multidialog mampu melawan inersia kognitif dengan memungkinkan ide-ide yang berbeda untuk dihasilkan secara bersamaan dalam subkelompok, dan setiap kali seorang individu pindah ke subkelompok lain, dia harus mengubah cara dia bekerja, memproses ide untuk menghasilkan ide yang lebih baru dan berkualitas lebih baik.[31]

Strategi kompetitif

[sunting | sunting sumber]

Mengadaptasi strategi kognitif untuk mengubah iklim bisnis seringkali merupakan bagian integral dari apakah bisnis berhasil atau gagal selama masa tekanan ekonomi.[32] Pada akhir 1980-an di Inggris, strategi kompetitif kognitif agen real estat tidak berubah dengan tanda-tanda pasar real estat yang semakin tertekan, meskipun mereka mampu mengenali tanda-tanda penurunan.[28]

Kelambanan kognitif pada tingkat individu dan perusahaan telah diusulkan sebagai alasan mengapa perusahaan tidak mengadopsi strategi baru untuk memerangi penurunan bisnis yang terus meningkat atau memanfaatkan potensi. General Mills yang tetap mengoperasikan pabrik walau sebenarnya sudah tidak dibutuhkan adalah contoh ketika perusahaan menolak untuk mengubah pola pikir tentang bagaimana perusahaan harus beroperasi.[28]

Lebih terkenal, inersia kognitif dalam petinggi di Polaroid diusulkan menjadi salah satu faktor utama mengapa strategi kompetitif untuk perusahaan tidak diperbarui. Manajemen sangat yakin bahwa konsumen menginginkan salinan fisik berkualitas tinggi dari foto mereka dan di situlah perusahaan akan menghasilkan uang. Terlepas dari penelitian dan pengembangan besar Polaroid ke pasar digital, ketidakmampuannya untuk memfokuskan kembali strateginya ke penjualan perangkat keras alih-alih film akhirnya menyebabkan keruntuhan mereka.[33]

Perencanaan skenario telah menjadi salah satu saran untuk memerangi kelambanan kognitif ketika membuat keputusan strategis untuk meningkatkan operasi bisnis. Individu menawarkan strategi yang berbeda dan menjelaskan bagaimana situasi mungkin terjadi, dengan mempertimbangkan berbagai cara hal itu bisa terjadi. Perencanaan skenario memungkinkan untuk mendengarkan berbagai macam ide serta luasnya setiap skenario, yang dapat membantu memerangi ketergantungan pada metode yang ada dan alternatif pemikiran yang tidak realistis.[34]

Pengelolaan

[sunting | sunting sumber]

Dalam tinjauan baru-baru ini tentang arketipe perusahaan yang mengarah pada kegagalan perusahaan, Habersang, Küberling, Reihlen, dan Seckler menyatakan "si lamban" sebagai orang menggantungkan pada kejayaan perusahaan. Mereka percaya bahwa kesuksesan di masa lalu mampu melindung perusahaan dari kegagalan. Alih-alih beradaptasi dengan perubahan di pasar, mereka yang "si lamban" berasumsi bahwa strategi yang membawa kesuksesan di masa lalu akan membawa kesuksesan juga di masa yang akan datang. Lambannya dalam mengubah jalannya perusahaan menyebabkan identitas perusahaan semakin kaku. Seperti Polaroid, terdapat konflik internal dalam hal adaptasi perubahan ketika penjualan anjlok dan sumber daya tak dapat dialihkan. Dalam kasus Kodak, alih-alih mengalokasikan uang untuk strategi produk atau layanan baru, mereka memotong biaya produksi dan meniru pesaing yang mengarah ke produk berkualitas lebih rendah dan akhirnya bangkrut.[32]

Sebuah tinjauan terhadap 27 perusahaan yang mengintegrasikan penggunaan analisis mahadata menemukan inersia kognitif menghambat implementasi yang meluas, dengan manajer dari sektor yang tidak fokus pada teknologi digital melihat perubahan itu sebagai tidak perlu dan mahal biaya.[35]

Manajer yang memiliki fleksibilitas kognitif tinggi dan mampu mengubah pola pemrosesan kognitif mereka agar sesuai dengan situasi saat ini seringkali lebih berhasil dalam memecahkan masalah baru dan mengikuti perubahan keadaan.[36] Menariknya, perubahan pola pikir ketika terjadi krisis di dalam perusahaan lebih sering ditemui pada bawahan dan kemudian petinggi memilih untuk mengikuti karyawannya dalam cara untuk menghadapi krisis, bukan sebaliknya. Telah dikemukakan bahwa para pemimpin dapat dibutakan oleh kekuatan mereka dan terlalu mudah mengabaikan mereka yang berada di garis depan masalah yang menyebabkan mereka menolak ide-ide cemerlang.[37]

Penerapan

[sunting | sunting sumber]

Ketidakmampuan untuk mengubah cara berpikir tentang suatu situasi terkait dengan salah satu penyebab depresi. Ruminasi, atau terlalu sering memikirkan hal negatif, sering kali berkorelasi dengan tingkat keparahan depresi dan kecemasan. Orang dengan tingkat ruminasi yang tinggi memiliki tingkat flesiblitas kognitif yang rendah dan memiliki masalah dalam mengubah proses berpikir ketika terdapat masalah, bahkan ketika telah ditunjukkan fakta yang bertentangan dengan proses berpikir mereka.[9]

Dalam pemaparan yang menjelaskan strategi efektif untuk memerangi depresi, metode Socrates diusulkan untuk mengatasi inersia kognitif. Dengan menghadirkan keyakinan pasien yang tidak konsisten dari dekat dan dengan pasien menilai proses pemikiran mereka di balik keyakinan tersebut, terapis dapat membantu mereka memahami berbagai hal dari berbagai perspektif.[38]

Diagnostik klinis

[sunting | sunting sumber]

Dalam literatur ilmiah tentang gejala atau gangguan apatis, praktisi telah menggunakan inersia kognitif sebagai salah satu dari tiga kriteria diagnostik utama. Deskripsi inersia kognitif berbeda dari penggunaannya dalam psikologi kognisi dan psikologi karena kurangnya peranan motivasi. Sebagai kriteria diagnostik dalam bidang klinis, Thant dan Yager menggambarkannya sebagai "gangguan kemampuan untuk menguraikan dan mempertahankan tujuan dan rencana tindakan, untuk mengubah set mental, dan menggunakan memori kerja".[39] Definisi apatis ini umumnya diterapkan pada timbulnya apatis akibat gangguan neurodegeneratif seperti penyakit Alzheimer dan penyakit Parkinson, tetapi juga berlaku untuk individu yang pernah mengalami trauma atau pelecehan.[40][41][42]

Anatomi saraf dan korelasinya

[sunting | sunting sumber]

Inersia kognitif telah dikaitkan dengan penurunan penggunaan fungsi eksekutif, terutama di korteks prefrontal, yang membantu dalam fleksibilitas proses kognitif saat beralih tugas. Respons yang tertunda pada tugas asosiasi implisit dan tugas stroop telah dikaitkan dengan ketidakmampuan untuk memerangi inersia kognitif, karena peserta kesulitan untuk beralih dari satu aturan kognitif ke aturan kognitif berikutnya untuk mendapatkan pertanyaan yang benar.[43]

Sebelum ikut serta dalam sesi brainstorming elektronik, para peserta disuguhi dengan gambaran yang memotivasi pencapaian untuk memerangi inersia kognitif. Dalam pencapaian, subjek/peserta yang telah mendapat perlakuan awal dapat menghasilkan lebih banyak ide baru yang berkualitas tinggi dan lebih banyak menggunakan area korteks frontal kanan yang terkait dengan pengambilan keputusan dan kreativitas.[44]

Inersia kognitif umumnya digunakan sebagai salah satu dimensi kunci dari apatis klinis, digambarkan sebagai kurangnya motivasi untuk menguraikan rencana untuk perilaku yang diarahkan pada tujuan atau pemrosesan otomatis.[40] Pasien Parkinson yang apatisnya diukur menggunakan dimensi inersia kognitif menunjukkan kontrol fungsi eksekutif yang lebih sedikit dibandingkan pasien Parkinson tanpa apatis, mungkin menunjukkan lebih banyak kerusakan pada korteks frontal.[8] Selain itu, lebih banyak kerusakan pada ganglia basal di Parkinson, Huntington, dan gangguan neurodegeneratif lainnya telah ditemukan pada pasien yang menunjukkan inersia kognitif tentang apatis bila dibandingkan dengan mereka yang tidak. Pasien dengan lesi korteks prefrontal dorsolateral telah menunjukkan penurunan motivasi untuk mengubah strategi kognitif dan bagaimana mereka memandang situasi, mirip dengan individu yang mengalami apatis dan inersia kognitif setelah trauma parah atau jangka panjang.[41]

Konektivitas fungsional

[sunting | sunting sumber]

Pasien demensia panti jompo ditemukan mengalami penurunan konektivitas fungsional otak yang lebih besar, terutama di korpus luteum, yang penting untuk komunikasi antar hemisfer.[40] Inersia kognitif pada pasien neurodegeneratif juga telah dikaitkan dengan penurunan koneksi korteks prefrontal dorsolateral dan area korteks parietal posterior dengan area subkortikal termasuk korteks cingulate anterior dan ganglia basal.[45] Kedua temuan tersebut disarankan untuk menurunkan motivasi untuk mengubah proses berpikir seseorang atau menciptakan perilaku baru yang diarahkan pada tujuan.[40][45]

Teori alternatif

[sunting | sunting sumber]

Beberapa peneliti telah membantah perspektif kognitif inersia kognitif dan menyarankan pendekatan yang lebih holistik yang memperhitungkan motivasi, emosi dan sikap yang memperkuat kerangka acuan yang ada.[46]

Paradigma alternatif

[sunting | sunting sumber]

Penalaran termotivasi

[sunting | sunting sumber]

Teori penalaran termotivasi diusulkan untuk didorong oleh motivasi individu untuk berpikir dengan cara tertentu, seringkali untuk menghindari berpikir negatif tentang diri sendiri. Bias kognitif dan emosional individu biasanya digunakan untuk membenarkan pemikiran, keyakinan, atau perilaku. Tidak seperti inersia kognitif di mana orientasi individu dalam memproses informasi tetap tidak berubah baik karena informasi baru tidak sepenuhnya diserap atau diblokir oleh bias kognitif, penalaran termotivasi sebenarnya dapat mengubah orientasi atau tetap sama tergantung pada apakah orientasi itu menguntungkan individu.[46]

Dalam studi daring yang ekstensif, pendapat peserta dikumpulkan setelah dua kali membaca tentang berbagai isu kebijakan untuk menilai peran inersia kognitif. Peserta memberikan pendapat mereka setelah pembacaan pertama dan kemudian menerima pembacaan kedua dengan informasi baru. Setelah diinstruksikan untuk membaca informasi lain tentang hal yang membenarkan atau menyangkal pendapat asli mereka, sebagian besar pendapat peserta tetap tidak berubah. Ketika ditanya tentang informasi yang mereka baca untuk kedua kalinya, mereka yang tidak mengubah pendapat mereka menilai informasi yang mendukung pandangan asli mereka lebih kuat daripada informasi yang bertentangan dengan pendapat awal mereka. Konsistensi tentang bagaimana partisipan mempersepsikan informasi yang masuk didasarkan pada motif mereka untuk menjadi benar pada sudut pandang aslinya, bukan berdasarkan kebebalan perspektif kognitif yang ada.[47]

Fleksibilitas sosio-kognitif

[sunting | sunting sumber]

Dari perspektif psikologi sosial, individu terus-menerus membentuk keyakinan dan sikap tentang dunia di sekitar mereka berdasarkan interaksi dengan orang lain. Informasi apa yang diperhatikan individu didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan sebelumnya tentang dunia. Inersia kognitif tidak hanya dilihat sebagai malfungsi dalam memperbarui cara informasi diproses, tetapi asumsi tentang dunia dan cara kerjanya dapat menghambat fleksibilitas kognitif.[48]

Kegigihan gagasan keluarga inti telah diusulkan sebagai inersia kognitif sosial (sosio-kognitif). Terlepas dari perubahan tren dalam struktur keluarga, termasuk multigenerasi, pengasuhan tunggal, pengasuhan campuran, dan homoseksualitas, konsepsi normatif keluarga yang berpusat pada pertengahan abad kedua puluh adalah konsep keluarga inti (yaitu ibu, ayah, dan anak-anak). Berbagai pengaruh sosial telah disarankan untuk melanggengkan kelambanan ini, termasuk representasi di media, kelembaman peran gender kelas pekerja, dan peran keluarga, tidak berubah meskipun ibu yang bekerja dan tekanan keluarga untuk menyesuaikan diri.[49]

Fenomena inersia kognitif dalam curah pendapat kelompok telah diperdebatkan karena efek psikologis lainnya seperti takut tidak setuju dengan figur otoritas dalam kelompok, takut pendapat baru disangkal, dan sebagian besar pembicaraan dikaitkan dengan anggota kelompok minoritas.[50] Kelompok curah pendapat berbasis internet telah ditemukan untuk menghasilkan lebih banyak ide berkualitas tinggi karena mengatasi masalah berbicara dan ketakutan akan penolakan ide.[31]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Inter-American Development Bank (2016). Saving for Development: How Latin America and the Caribbean Can Save More and Better. US: Palgrave Macmillan. hlm. 226. ISBN 9781349949281. 
  2. ^ Alós-Ferrer, Carlos; Hügelschäfer, Sabine; Li, Jiahui (2016). "Inertia and Decision Making" (PDF). Journal Frontiers in Psychology. 7: 1. doi:10.3389/fpsyg.2016.00169. PMC 4754398alt=Dapat diakses gratis. PMID 26909061. 
  3. ^ Jost, John T.; Sidanius, Jim. Key Readings in Social Psychology: Political Psychology (PDF). New York: Psychology Press. hlm. 1. ISBN 1-84169-069-4. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-12-14. Diakses tanggal 2021-12-14. 
  4. ^ "Pentingnya Fungsi Kognitif". news.unair.ac.id. UNAIR News. 2021. Diakses tanggal 2021-12-18. 
  5. ^ Overholser, James C. (2011). "Collaborative Empiricism, Guided Discovery, and the Socratic Method: Core Processes for Effective Cognitive Therapy". Clinical Psychology: Science and Practice. 18 (1): 62–66. doi:10.1111/j.1468-2850.2011.01235.x. ISSN 0969-5893. 
  6. ^ Jones, Jean G.; Simmons, Herbert W. (2017). Persuasion in society (PDF). New York, NY: Routledge. hlm. 12. ISBN 9781138825659. OCLC 975176277. 
  7. ^ a b Rapp, Christof (2012). "Chapter 22: Aristotle on the Moral Psychology of Persuasion". Dalam Sheilds, Christopher. The Oxford Handbook of Aristotle (PDF). Oxford University Press. hlm. 589–610. doi:10.1093/oxfordhb/9780195187489.013.0022. ISBN 9780195187489. 
  8. ^ a b Santangelo, Gabriella; D'Iorio, Alfonsina; Maggi, Gianpaolo; Cuoco, Sofia; Pellecchia, Maria Teresa; Amboni, Marianna; Barone, Paolo; Vitale, Carmine (2018). "Cognitive correlates of "pure apathy" in Parkinson's disease". Parkinsonism & Related Disorders. 53: 101–104. doi:10.1016/j.parkreldis.2018.04.023. ISSN 1353-8020. PMID 29706433. 
  9. ^ a b Koval, Peter; Kuppens, Peter; Allen, Nicholas B.; Sheeber, Lisa (2012). "Getting stuck in depression: The roles of rumination and emotional inertia". Cognition & Emotion. 26 (8): 1412–1427. doi:10.1080/02699931.2012.667392. ISSN 0269-9931. PMID 22671768. 
  10. ^ a b c d e McGuire, William J. (1960). "Cognitive consistency and attitude change". The Journal of Abnormal and Social Psychology. 60 (3): 345–353. doi:10.1037/h0048563. 
  11. ^ Izuma, K. (2015). "Balance Theory: Social Cognitive Neuroscience, Cognitive Neuroscience, Clinical Brain Mapping". sciencedirect.com. Diakses tanggal 2021-12-18. 
  12. ^ "Cognitive dissonance of Leon Festinger". britannica.com. Diakses tanggal 2021-12-18. 
  13. ^ McGuire, William J. (2013). "An Additional Future for Psychological Science". Perspectives on Psychological Science (dalam bahasa Inggris). 8 (4): 414–423. doi:10.1177/1745691613491270. ISSN 1745-6916. PMID 26173120. 
  14. ^ McGuire, William J. (1966). "The Current Status of Cognitive Consistency Theories". Dalam Feldman, Shel. Cognitive Consistency: Motivational Antecedents and Behavioral Consequents (PDF). Academic Press Inc. hlm. 1–46. ISBN 0122526503. 
  15. ^ Cook, Thomas D.; Burd, John R.; Talbert, Terence L. (1970). "Cognitive, Behavioral and Temporal Effects of Confronting a Belief with Its Costly Action Implications". Sociometry. 33 (3): 358–369. doi:10.2307/2786163. ISSN 0038-0431. JSTOR 2786163. 
  16. ^ a b Cameron, Kenzie A. (2008). "A practitioner's guide to persuasion: An overview of 15 selected persuasion theories, models and frameworks". Patient Education and Counseling. 74 (3): 309–317. doi:10.1016/j.pec.2008.12.003. ISSN 0738-3991. PMID 19136229. 
  17. ^ a b Jost, John T.; Hardin, Curtis D. (2010-11-12). "On the Structure and Dynamics of Human Thought: The Legacy of William J. McGuire for Social and Political Psychology". Political Psychology. 32 (1): 21–58. doi:10.1111/j.1467-9221.2010.00794.x. ISSN 0162-895X. 
  18. ^ Zárate, Michael A.; Reyna, Christine; Alvarez, Miriam J. (2019), "Cultural inertia, identity, and intergroup dynamics in a changing context", Advances in Experimental Social Psychology, Elsevier, hlm. 175–233, doi:10.1016/bs.aesp.2018.11.001, ISBN 9780128171677 
  19. ^ Dicke, T. (2014-06-22). "Waiting for the Flu: Cognitive Inertia and the Spanish Influenza Pandemic of 1918-19". Journal of the History of Medicine and Allied Sciences. 70 (2): 195–217. doi:10.1093/jhmas/jru019. ISSN 0022-5045. PMC 7313928alt=Dapat diakses gratis. PMID 24957069. 
  20. ^ Bellamy, Brent Ryan (2017). "Chapter 8: The Inertia of Energy". Dalam Huebener, Paul; O'Brien, Susie; Porter, Anthony R. D.; Stockdale, Liam P. D.; Zhou, Yanqiu Rachel. Time, Globalization and Human Experience: Interdisciplinary Explorations (PDF). New York, NY: Routledge. hlm. 145–159. ISBN 9781138697331. 
  21. ^ Friedman, Alinda; Brown, Norman R. (2000). "Updating geographical knowledge: Principles of coherence and inertia". Journal of Experimental Psychology: Learning, Memory, and Cognition. 26 (4): 900–914. doi:10.1037//0278-7393.26.4.900. ISSN 0278-7393. PMID 10946370. 
  22. ^ Fukuyama, Francis (1999). "Social Capital and Civil Society". imf.org. Diakses tanggal 2021-12-18. 
  23. ^ Zantvoort, Bart (2016-10-02). "Political inertia and social acceleration". Philosophy & Social Criticism (dalam bahasa Inggris). 43 (7): 707–723. doi:10.1177/0191453716669195. ISSN 0191-4537. 
  24. ^ Catton, William R. (1969). "What's in a Name? A Study of Role Inertia". Journal of Marriage and Family. 31 (1): 15–18. doi:10.2307/350001. ISSN 0022-2445. JSTOR 350001. 
  25. ^ Stanley, Scott M.; Rhoades, Galena Kline; Markman, Howard J. (2006). "Sliding Versus Deciding: Inertia and the Premarital Cohabitation Effect*". Family Relations (dalam bahasa Inggris). 55 (4): 499–509. doi:10.1111/j.1741-3729.2006.00418.x. ISSN 1741-3729. 
  26. ^ a b Jablin, Fredric M.; Seibold, David R. (1978). "Implications for problem‐solving groups of empirical research on 'brainstorming': A critical review of the literature". Southern Speech Communication Journal. 43 (4): 327–356. doi:10.1080/10417947809372391. ISSN 0361-8269. 
  27. ^ Han, Heesup; Kim, Yunhi; Kim, Eui-Keun (2011). "Cognitive, affective, conative, and action loyalty: Testing the impact of inertia". International Journal of Hospitality Management. 30 (4): 1008–1019. doi:10.1016/j.ijhm.2011.03.006. ISSN 0278-4319. 
  28. ^ a b c Narayanan, V.K.; Zane, Lee J.; Kemmerer, Benedict (2010-10-13). "The Cognitive Perspective in Strategy: An Integrative Review". Journal of Management. 37 (1): 305–351. doi:10.1177/0149206310383986. ISSN 0149-2063. 
  29. ^ Suhari, Yohanes; Redjeki, Rara Sri Artati; Tri Handoko, Widiyanto (2012). "Perilaku Konsumen Online (Pengaruh Nilai, Kepuasan, dan Inersia Terhadap Loyalitas)" (PDF). Jurnal Teknologi Informasi DINAMIK. 17 (1): 46–58. doi:10.35315/dinamik.v17i1.1617. ISSN 0854-9524. 
  30. ^ Mattila, Anna S. (2003-06-01). "The Impact of Cognitive Inertia on Postconsumption Evaluation Processes". Journal of the Academy of Marketing Science. 31 (3): 287–299. doi:10.1177/0092070303031003006. ISSN 0000-0000. 
  31. ^ a b c Dennis, Alan R.; Valacich, Joseph S.; Carte, Traci A.; Garfield, Monica J.; Haley, Barbara J.; Aronson, Jay E. (1997). "Research Report: The Effectiveness of Multiple Dialogues in Electronic Brainstorming". Information Systems Research. 8 (2): 203–211. doi:10.1287/isre.8.2.203. ISSN 1047-7047. 
  32. ^ a b Habersang, Stefanie; Küberling, Jill; Reihlen, Markus; Seckler, Christoph (2019). "A Process Perspective on Organizational Failure: A Qualitative Meta-Analysis". Journal of Management Studies. 56 (1): 19–56. doi:10.1111/joms.12341alt=Dapat diakses gratis. 
  33. ^ Tripsas, Mary; Gavetti, Giovanni (2000). "Capabilities, Cognition, and Inertia: Evidence From Digital Imaging". Strategic Management Journal. 21 (10/11): 1147–1161. doi:10.1002/1097-0266(200010/11)21:10/11<1147::aid-smj128>3.0.co;2-r. 
  34. ^ Wright, George; Goodwin, Paul (1999). "Future-focused thinking: combining scenario planning with decision analysis". Journal of Multi-Criteria Decision Analysis. 8 (6): 311–321. doi:10.1002/1099-1360(199911)8:6<311::aid-mcda256>3.0.co;2-t. ISSN 1057-9214. 
  35. ^ Mikalef, Patrick; van de Wetering, Rogier; Krogstie, John (2018), "Big Data Enabled Organizational Transformation: The Effect of Inertia in Adoption and Diffusion" (PDF), Business Information Systems, Springer International Publishing, hlm. 135–147, doi:10.1007/978-3-319-93931-5_10, ISBN 9783319939308 
  36. ^ Laureiro‐Martínez, Daniella; Brusoni, Stefano (2018-03-15). "Cognitive flexibility and adaptive decision‐making: Evidence from a laboratory study of expert decision makers". Strategic Management Journal. 39 (4): 1031–1058. doi:10.1002/smj.2774. ISSN 0143-2095. 
  37. ^ Carrington, David J.; Combe, Ian A.; Mumford, Michael D. (2019). "Cognitive shifts within leader and follower teams: Where consensus develops in mental models during an organizational crisis". The Leadership Quarterly. 30 (3): 335–350. doi:10.1016/j.leaqua.2018.12.002alt=Dapat diakses gratis. ISSN 1048-9843. 
  38. ^ Overholser, James C. (2011). "Collaborative Empiricism, Guided Discovery, and the Socratic Method: Core Processes for Effective Cognitive Therapy". Clinical Psychology: Science and Practice. 18 (1): 62–66. doi:10.1111/j.1468-2850.2011.01235.x. ISSN 0969-5893. 
  39. ^ Thant, Thida; Yager, Joel (2019). "Updating Apathy: Using Research Domain Criteria to Inform Clinical Assessment and Diagnosis of Disorders of Motivation". The Journal of Nervous and Mental Disease (dalam bahasa Inggris). 207 (9): 707–714. doi:10.1097/NMD.0000000000000860. ISSN 0022-3018. PMID 30256334. 
  40. ^ a b c d Agüera-Ortiz, Luis; Hernandez-Tamames, Juan A.; Martinez-Martin, Pablo; Cruz-Orduña, Isabel; Pajares, Gonzalo; López-Alvarez, Jorge; Osorio, Ricardo S.; Sanz, Marta; Olazarán, Javier (2016-07-18). "Structural correlates of apathy in Alzheimer's disease: a multimodal MRI study". International Journal of Geriatric Psychiatry. 32 (8): 922–930. doi:10.1002/gps.4548. ISSN 0885-6230. PMID 27428560. 
  41. ^ a b Leach, John (2018). "'Give-up-itis' revisited: Neuropathology of extremis". Medical Hypotheses. 120: 14–21. doi:10.1016/j.mehy.2018.08.009. ISSN 0306-9877. PMID 30220334. 
  42. ^ Pagonabarraga, Javier; Kulisevsky, Jaime; Strafella, Antonio P; Krack, Paul (2015). "Apathy in Parkinson's disease: clinical features, neural substrates, diagnosis, and treatment". The Lancet Neurology. 14 (5): 518–531. doi:10.1016/s1474-4422(15)00019-8. hdl:10609/92806alt=Dapat diakses gratis. ISSN 1474-4422. PMID 25895932. 
  43. ^ Messner, Claude; Vosgerau, Joachim (2010). "Cognitive Inertia and the Implicit Association Test". Journal of Marketing Research. 47 (2): 374–386. doi:10.1509/jmkr.47.2.374. ISSN 0022-2437. 
  44. ^ Minas, Randall K.; Dennis, Alan R.; Potter, Robert F.; Kamhawi, Rasha (2017-11-06). "Triggering Insight: Using Neuroscience to Understand How Priming Changes Individual Cognition during Electronic Brainstorming". Decision Sciences. 49 (5): 788–826. doi:10.1111/deci.12295. ISSN 0011-7315. 
  45. ^ a b Pagonabarraga, Javier; Kulisevsky, Jaime; Strafella, Antonio P; Krack, Paul (2015). "Apathy in Parkinson's disease: clinical features, neural substrates, diagnosis, and treatment". The Lancet Neurology. 14 (5): 518–531. doi:10.1016/s1474-4422(15)00019-8. hdl:10609/92806alt=Dapat diakses gratis. ISSN 1474-4422. PMID 25895932. 
  46. ^ a b Kunda, Ziva (1990). "The case for motivated reasoning". Psychological Bulletin (dalam bahasa Inggris). 108 (3): 480–498. doi:10.1037/0033-2909.108.3.480. ISSN 1939-1455. PMID 2270237. 
  47. ^ Stanley, Matthew L.; Henne, Paul; Yang, Brenda W.; De Brigard, Felipe (2019-01-16). "Resistance to Position Change, Motivated Reasoning, and Polarization". Political Behavior (dalam bahasa Inggris). 42 (3): 891–913. doi:10.1007/s11109-019-09526-z. ISSN 1573-6687. 
  48. ^ Stein, Johan (1997-09-01). "How Institutions Learn: A Socio-Cognitive Perspective". Journal of Economic Issues. 31 (3): 729–740. doi:10.1080/00213624.1997.11505962. ISSN 0021-3624. 
  49. ^ Uhlmann, Allon J. (2005). "The Dynamics of Stasis: Historical Inertia in The Evolution of the Australian Family". The Australian Journal of Anthropology. 16 (1): 31–46. doi:10.1111/j.1835-9310.2005.tb00108.x. ISSN 1035-8811. 
  50. ^ Dillehay, Ronald C.; Insko, Chester A.; Smith, M. Brewster (1966). "Logical consistency and attitude change". Journal of Personality and Social Psychology. 3 (6): 646–654. doi:10.1037/h0023286. ISSN 1939-1315. PMID 5939001.