Asmuni (ulama): Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k #1Lib1Ref
k →‎Keluarga: #1Lib1Ref
Baris 16: Baris 16:


Selain ke Bangil, Guru Danau juga berkunjung ke sejumlah wilayah di Pulau Jawa seperti [[Kota Pasuruan|Pasuruan]], [[Kabupaten Jember|Jember]], [[Malang Raya|Malang]], [[Kabupaten Wonosobo|Wonosobo]], [[Purwokerto (kota)|Purwokerto]], [[Kota Surakarta|Surakarta]], dan [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]] untuk memperoleh keberkahan ilmu, amalan dan tarekat tertentu dari beberapa menemui ulama dan habaib yang ada di sana, seperti [[Abdul Hamid Pasuruan|K.H. Abdul Hamid Pasuruan]], [[Sholeh bin Muhsin al-Hamid Tanggul|Habib Sholeh al-Hamid Jember]], Mbah Malik Purwokerto, Kyai Syakur Wonosobo, [[Abdullah Bilfaqih|Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih Malang]], [[Anis bin Alwi al-Habsyi|Habib Anis al-Habsyi Solo]], Habib Ahmad Bafaqih Tempel Yogyakarta, dan lain-lain.<ref name=":12" />
Selain ke Bangil, Guru Danau juga berkunjung ke sejumlah wilayah di Pulau Jawa seperti [[Kota Pasuruan|Pasuruan]], [[Kabupaten Jember|Jember]], [[Malang Raya|Malang]], [[Kabupaten Wonosobo|Wonosobo]], [[Purwokerto (kota)|Purwokerto]], [[Kota Surakarta|Surakarta]], dan [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]] untuk memperoleh keberkahan ilmu, amalan dan tarekat tertentu dari beberapa menemui ulama dan habaib yang ada di sana, seperti [[Abdul Hamid Pasuruan|K.H. Abdul Hamid Pasuruan]], [[Sholeh bin Muhsin al-Hamid Tanggul|Habib Sholeh al-Hamid Jember]], Mbah Malik Purwokerto, Kyai Syakur Wonosobo, [[Abdullah Bilfaqih|Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih Malang]], [[Anis bin Alwi al-Habsyi|Habib Anis al-Habsyi Solo]], Habib Ahmad Bafaqih Tempel Yogyakarta, dan lain-lain.<ref name=":12" />

== Perjalanan Dakwah ==

=== Membuka pengajian di Bitin ===
Pada tahun 1980, Guru Danau membuka majelis taklim di [[Bitin, Danau Panggang, Hulu Sungai Utara|Desa Bitin]], Danau Panggang. Kemudian, pada tahun 1981, dia kembali mengajar di kampung halamannya sendiri, [[Danau Panggang, Danau Panggang, Hulu Sungai Utara|Danau Panggang]]. Sewaktu dia ingin membuka majelis taklim di daerahnya, dia terlebih dahulu meminta izin kepada Guru Sekumpul untuk membuka majelis taklim. Guru Sekumpul memberikan izin dengan syarat bahwa mereka tidak boleh ''bapintaan'' (meminta uang dari masyarakat), harus memakai ''halat'' (dinding yang membedakan laki-laki dan perempuan), dan harus ikhlas. Seorang guru harus memiliki kemandirian finansial agar mereka dapat mengajar dengan ikhlas. Dengan memiliki kemandirian finansial, mereka dapat berkonsentrasi pada mengajar dan berdakwah tanpa mengharapkan kompensasi finansial.<ref name=":12" />

Pada tahun-tahun awal, peserta pengajian Guru Danau di Bitin dan Danau Panggang tidak banyak. Namun lama kelamaan jumlahnya semakin meningkat hingga mencapai ribuan orang. Pengajian di Bitin dan Danau Panggang dihadiri jamaah sekitar 3 hingga 6 ribuan. Pengajian di Bitin dilaksanakan pada Sabtu malam (malam Minggu) sedang di Danau Panggang dilaksanakan pada Senin Malam. Di Bitin, pusat pengajian bertempat di rumah Guru Danau di sekitar Pasar Bitin. Karena tidak ada lapangan yang luas, ribuan jamaah pengajian menempati teras dan halaman rumah penduduk sekitar. Banyak dari mereka yang duduk berbaris di pinggir-pinggir jalan hingga mencapai beberapa kilometer. Hal serupa juga terjadi pada pengajian di Danau Panggang. Pusat pengajian bertempat di Mushalla Darul Aman (nama yang sama dengan Langgar Darul Aman tempat Guru Ijai mengajar) yang tepat berada di samping rumah Guru Danau.

=== Membangun pondok pesantren ===
Selain mengasuh kedua pengajian besar di atas Guru Danaujuga mendirikan dan membina beberapa pesantren. Pada tahun 1982, ia mendirikan pesantren Darul Aman di Kecamatan Babirik (Hulu Sungai Utara). Nama Darul Aman sendiri mengikuti nama Langgar Darul Aman di Keraton tempat Guru Ijai mengajar. Guru Danau juga menamai mushalla di samping rumahnya dengan nama Darul Aman, sama dengan nama langgar gurunya di Keraton Martapura. Pesantren lain yang dibinanya adalah Pesantren Raudatus Sibyan di Desa Longkong Kecamatan Danau Panggang dan Pesantren Ar Raudah I di Jaro Tabalong dan Ar Raudah II di Pangkalanbun.

=== Membuka majelis taklim di Mabuun ===
Pada dekade 1990-an (sekitar 1998), seiring dengan semakin meluasnya pengaruh dan popularitasnya, Guru Danau kembali membuka pengajian di Mabuun Tanjung (Kabupaten Tabalong). Menurut cerita Guru Danau, pada awalnya, Mabuun merupakan sarang pelacuran dan perjudian. Guru Danau berusaha memberantas penyakit sosial ini dengan cara menghubungi pihakpihak berwenang untuk menutupnya. Namun usaha ini tidak berhasil. Dia mengubah strategi. Dia tidak lagi mengharapkan aparat, tetapi membuka pengajian di tempat itu. Dengan adanya pengajian yang dihadiri oleh ribuan jamaah ini, praktik pelacuran dan perjudian itu tidak mendapat tempat dan berhenti dengan sendirinya. Dengan cara ini, lokasi yang asalnya menjadi tempat maksiat berubah menjadi komplek pengajian.

Pengajian di Mabuun, pengajian ketiga yang diasuh oleh Guru Danau, kemudian menjadi pengajian Guru Danau yang terbesar karena dihadiri oleh puluhan ribu jamaah, ada yang menyebutnya mencapai 40 ribuan jamaah. Kuantitas jamaah yang hadir di tempat ini jauh lebih besar dibanding pengajian di Danau Panggang dan Bitin. Hal ini didukung oleh Komplek pengajian Guru Danau di Mabuun yang memiliki area yang lebih luas dan lebih baik kondisinya dibanding pengajian di Bitin dan Danau Panggang sehingga memungkinkan menampung puluhan ribu jamaah. Dengan kuantitas jamaah yang mencapai puluhan ribu jamaah ini, Pengajian Guru Danau di Mabuun disebut-sebut sebagai pengajian terbesar di kawasan Banua Anam. Pengajian di Mabuun dilaksanakan pada malam Rabu setiap setengah bulan sekali. Guru Danau menyatakan, jarak setengah bulan sekali dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada jamaah pengajian untuk mengumpulkan uang untuk keperluan transportasi mendatangi tempat pengajian. Jamaah yang bertempat tinggal di kawasan Amuntai, Paringin, atau yang berada di kawasan Kalimantan Tengah memiliki persiapan yang lebih luas untuk menghadiri pengajian di Mabuun. Jarak waktu pengajian yang ditetapkan oleh Guru Danau ini cukup membantu sebagian jamaah pengajiannya yang merupakan orang-orang yang memiliki tingkat ekonomi yang rendah. Bagi murid-muridnya yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas, mendatangi pengajian di Mabuun bukan merupakan persoalan karena mereka memiliki kendaraan pribadi yang dapat digunakan setiap saat. Karena itu, tidak mengherankan, jika sekitar pengajian Guru Danau di Mabuun berjejer mobil dengan jumlah mencapai ratusan buah.

=== Kitab yang diajarkan ===
Materi pengajian yang disampaikan oleh Guru Danau di beberapa pengajiannya meliputi materi tauhid, fiqih, tasawuf, hadis, tafsir, kisah-kisah dan lainnya. Dari beberapa kitab yang dikaji, materi tasawuf tampaknya lebih dominan. Beberapa kitab yang pernah diajarkan oleh Guru Danau di pengajiannya, diantaranya adalah Irsyad al-‘Ibad (Zainuddin al-Malibari), Nasha`ih al-‘Ibad (Nawawi al-Bantani), Muraqi al-‘Ubudiyyah (Nawawi al-Bantani), Risalah al-Mu’awanah (Abdullah al-Haddad), Nasha`ih al-Diniyyah (Abdullah al-Haddad), Tuhfah al-Raghibin (Muhammad Arsyad al-Banjari), Syarah Sittin (Ahmad Ramli), Tanqih al-Qawl (Nawawi al-Bantani). Dilihat dari daftar kitab yang digunakan, Guru Danau lebih banyak menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab daripada kitab Arab-Melayu. Walaupun begitu, pengajiannya tetap mudah diikuti oleh jamaah karena isi kitab-kitab itu diterjemahkan dan diberi penjelasan yang ‘ringan’ oleh Guru Danau.

Cara penyampaian Guru Danau dalam pengajian maupun ceramahnya cukup unik. Guru Danau termasuk ulama yang sangat humoris. Dalam setiap ceramah atau pengajiannya dia selalu menyampaikan cerita-cerita lucu, joke-joke, pantun-pantun, dan singkatan yang diplesetkan yang memancing tawa. Bahkan, Guru Danau tidak segan bercanda dengan murid-muridnya yang berada pada baris depan. Baginya, humor itu penting disisipkan dalam ceramah pengajian agar orang awam dan orang tua dapat terus mengikuti pengajian tanpa merasa bosan dan berat. Dalam menyajikan isi kitab pengajian, Guru Danau hanya membaca beberapa baris saja. Tetapi penjelasannya cukup luas dan terkadang tidak selalu terfokus dan relevan dengan substansi kitab atau teks yang dibaca karena banyak disisipi oleh cerita, humor, ilustrasi, canda dan sebagainya. Teknik seperti ini tampaknya sangat disukai oleh jamaahnya. Selain mendapat tuntunan, mereka juga mendapat ‘hiburan’ yang menyenangkan. Teknik ini merupakan salah satu daya tarik orang untuk menghadiri pengajian Guru Danau.

Cara penyampaian Guru Danau juga didukung oleh bahasa yang dominan digunakannya, yaitu bahasa Banjar. Bahasa ini merupakan bahasa yang digunakan mayoritas jamaahnya. Penggunaan bahasa lokal ini kemudian dibumbui dengan contoh-contoh dan Ilustrasi-ilustrasi yang pas dengan kondisi lokalitas sosiobudaya dan keseharian masyarakat sekitar sehingga isi ceramahnya sangat merakyat. Dengan cara seperti ini materi yang disampaikannya mudah dipahami oleh jamaahnya yang berasal dari berbagai lapisan sosial. Walaupun penyampaian materi dakwahnya sederhana dan mudah dipahami tidak lantas dia dinilai sebagai ulama biasa. Sebagai ulama yang lahir dari lulusan pesantren ternama seperti Pesantren Darussalam yang diakui kualitasnya dalam memproduksi ulama, dia juga merupakan produk dari sejumlah ulama besar, seperti Guru Ijai dan Guru Bangil yang otoritas keulamaannya diakui dan memiliki pengaruh besar. Apalagi, Guru Danau sendiri merupakan salah satu murid Guru Ijai yang dikader untuk meneruskan tradisi keulamaan gurunya di kawasan Hulu Sungai. Karena itu, tidaklah mengheran jika beberapa gaya berceramah dan tradisi pengajian Guru Danau seperti pembacaan Maulid al-Habsyi menjelang pengajian merupakan hasil ‘peniruan’ dari tradisi Guru Ijai. Ketika Guru Ijai wafat, para jamaah pengajiannya di kawasan Hulu Sungai segera mendapat figur pengganti yang mewarisi sebagian kharisma Guru Ijai, yaitu Guru Danau.

=== Berwirausaha ===
Meski mengasuh 3 pengajian besar dan 4 pesantren, dan sibuk berdakwah di mana-mana, Guru Danau bukanlah tuan guru yang hanya terpaku pada aktivitas mengajar dan berdakwah. Guru Danau merupakan sosok ulama yang aktif bekerja dan berbisnis. Sejak muda ia sudah sibuk bekerja. Berbagai usaha telah beliau lakukan, seperti bertani, berdagang dan bisnis lainnya. Dengan kegigihannya berbisnis, beliau dikenal juga sebagai ulama yang memiliki kekayaan dan penghasilan besar dari beberapa usaha bisnisnya. Dari beberapa bisnis Guru Danau yang terpenting adalah usaha emas dan sarang burung walet di daerah Tanjung. Usaha ini terutama usaha sarang burung walet mendatangkan keuntungan besar. Dari usaha sarang burung walet Guru Danau dapat meraih keuntungan milyaran rupiah. Usaha burung walet ini dipelajarinya dari seorang habib di Jawa. Usaha lainnya adalah membeli tanah sebagai investasi. Tanah itu bisa dijual suatu saat.

Dengan pendapatan yang besar dari bisnisnya, wajar jika Guru Danau menjadi orang kaya. Dia memiliki banyak rumah dan memiliki beberapa mobil mewah (Alphard). Dengan mobil Alphard yang dimilikinya, dia dapat bepergian ke mana-mana dengan nyaman. Walaupun memiliki ini semua, Guru Danau tetap berpenampilan sederhana dan bersahaja. Rezeki yang cukup berlimpah ini tidak digunakan untuk bermegah-megah. Tetapi digunakannya untuk kepentingan dakwah Islam. Menurutnya, mereka yang mengurusi akhirat tidak seharusnya kalah dengan mereka yang mengurusi masalah dunia. Ulama yang memiliki usaha dan kekayaan sendiri akan lebih ikhlas dalam berdakwah dan mengajar karena tidak memiliki kepentingan untuk mendapat bayaran dari jamaahnya.

Dengan kemandirian dan kekayaan yang dimilikinya, Guru Danau dapat membiaya semua pembangunan komplek pengajian dan pesantren yang didirikannya tanpa bantuan pihak lain. Dia tidak mau meminta bantuan dana dari masyarakat (bapintaan) karena khawatir ada yang tidak ikhlas. Demikian juga dia tidak mau menerima dana yang berasal dari pemerintah dan partai politik. Menurutnya, jika satu kali saja mendapat bantuan pemerintah, ulama tidak bisa lagi untuk menasihati penguasa. Bahkan cenderung untuk dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki kepentingan tertentu. Kemandirian inilah yang membuat dirinya tidak bisa diintervensi dan didikte oleh penguasa dan partai politik.

Menjadi ulama yang kaya dan mandiri pada figur Guru Danau tidak hanya disebabkan oleh faktor kegigihannya dalam berusaha, tetapi juga terinspirasi oleh sosok gurunya, Guru Ijai, yang juga menjadi ulama yang kaya. Guru Danau termasuk salah satu murid Guru Ijai yang berhasil meniru gurunya pada sisi ini. Tidak banyak murid Guru Ijai yang dapat mengikuti jejaknya seperti Guru Danau.


== Keluarga ==
== Keluarga ==
Pada tahun 1980, Guru Danau menikah dengan Hj. Jamilah binti Maskur yang berasal dari Bitin. Dari perkawinannya itu, beliau memperoleh tiga belas orang anak (tujuh putra dan enam putri). Nama anak-anaknya adalah Wahid, Ladaniah, Musanna, Mufidah, Muktiah, Noor’Ainah, Noorhasanah, Haudi, Syahli, Mujiburrahman, Mujahidah, Syamsuddin dan M. Naseh.
Pada tahun 1980, Guru Danau menikah dengan Hj. Jamilah binti Maskur yang berasal dari Bitin. Dari perkawinannya itu, beliau memperoleh tiga belas orang anak (tujuh putra dan enam putri). Nama anak-anaknya adalah Wahid, Ladaniah, Musanna, Mufidah, Muktiah, Noor’Ainah, Noorhasanah, Haudi, Syahli, Mujiburrahman, Mujahidah, Syamsuddin dan M. Naseh.

== Kiprah ==
Guru Danau membuka pengajian agama di Desa Bitin pada tahun 1980 dan mengajar di Pesantren Salatiah. Pada tahun 1981, dia kembali membuka pengajian di kampung halamannya sendiri, Danau Panggang. Guru Danau menceritakan, ketika ingin membuka pengajian, Guru Danau terlebih dahulu meminta izin kepada Guru Ijai. Sang Guru mengizinkan dengan syarat tidak boleh ''bapintaan'' (meminta dana dari masyarakat), harus memakai ''halat'' (dinding) yang memisahkan laki-laki dan perempuan, dan harus ikhlas. Agar seorang guru dapat ikhlas mengajar, dia harus memiliki kemandirian ekonomi. Dengan kemandirian ini, seorang guru dapat berkonsentrasi mengajar dan berdakwah tanpa mengharap imbalan uang.


==== '''<big>Pembuatan Masjid Dan Wafat</big>''' ====
==== '''<big>Pembuatan Masjid Dan Wafat</big>''' ====

Revisi per 3 Februari 2024 15.35

Infobox orangAsmuni
Biografi
Kelahiran1955
Danau Panggang
Kematian2 Februari 2024 (68/69 tahun)
Danau Panggang
Data pribadi
AgamaIslam
Kegiatan
Pekerjaanulama

K.H. Asmuni bin H. Masuni (meninggal pada 2 Februari 2024) adalah seorang ulama yang berasal dari Danau Panggang, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Bagi para jamaahnya, dia sering disapa "Guru Danau" karena dia memiliki majelis taklim di daerahnya, yaitu Danau Panggang.[1][2]

Kelahiran

Guru Danau dilahirkan pada tahun 50-an di Danau Panggang. Ada yang menulis tahun 1951, tahun 1955, dan adapula yang menulis tahun 1957 sebagai tahun kelahirannya[2]. Sewaktu kecil, dia bernama Zarkasyi. Lalu, namanya berganti menjadi Asmuni oleh seorang Habib yang bernama Habib Salim. Nama Asmuni berarti "berharga", dimana dia hidup di lingkungan keluarga yang sederhana dan taat beragama.[1]

Ayahnya bernama Haji Masuni yang berasal dari daerah Danau Panggang dan ibunya bernama Hajjah Masjubah yang berasal dari suku Dayak Bakumpai di Marabahan yang pindah ke Danau Panggang. Dari garis ibunya, Guru Danau merupakan keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari melalui Datu Tuan Guru Haji Abdussamad. Dari hasil pernikahannya, mereka dikaruniai delapan orang anak, dimana Guru Danau merupakan anak yang ketiga.[1][2]

Pendidikan

Meskipun orang tuanya bekerja sebagai buruh kapal atau buruh angkut dengan pendapatan yang pas-pasan, karena memiliki kehidupan yang sederhana dan taat beragama, mereka mampu membiayai pendidikan Guru Danau hingga belajar ke daerah Martapura dan Pulau Jawa.[1]

Guru Danau menempuh pendidikan tingkat dasar atau ibtidaiah sampai tahun 1971 dan menengah atau tsanawiyah sampai tahun 1974 di Pesantren Mu’alimin Danau Panggang. Setelah itu, sampai tahun 1977, dia meneruskan studinya di tingkat aliyah/ulya atau atas di Pondok Pesantren Darussalam Martapura. Selama belajar di Pesantren Darussalam, Guru Danau juga belajar dengan sejumlah ulama di wilayah Martapura, diantaranya adalah Tuan Guru Semman Mulya, Tuan Guru Royani dan Tuan Guru Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru Sekumpul. Bahkan setelah memilik pengajian dan pesantren sendiri, secara rutin Guru Danau tetap mengikuti pengajian Guru Sekumpul di Martapura baik ketika masih di Keraton (Musala Darul Aman) maupun setelah pindah ke Sekumpul (Musala Ar-Raudhah) sampai sang guru meninggal dunia pada tahun 2005.[2]

Setelah menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren Darussalam, Guru Danau sempat pulang ke kampung halamannya. Namun pada tahun 1978, atas anjuran Guru Sekumpul, dia berangkat ke Bangil, Pasuruan, Jawa Timur untuk memperoleh bimbingan spiritual (suluk) dan belajar secara khusus kepada Kyai Haji Muhammad Syarwani Abdan, seorang ulama keturunan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang mendirikan Pondok Pesantren Datuk Kalampayan di sana selama beberapa waktu.[2]

Selain ke Bangil, Guru Danau juga berkunjung ke sejumlah wilayah di Pulau Jawa seperti Pasuruan, Jember, Malang, Wonosobo, Purwokerto, Surakarta, dan Yogyakarta untuk memperoleh keberkahan ilmu, amalan dan tarekat tertentu dari beberapa menemui ulama dan habaib yang ada di sana, seperti K.H. Abdul Hamid Pasuruan, Habib Sholeh al-Hamid Jember, Mbah Malik Purwokerto, Kyai Syakur Wonosobo, Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih Malang, Habib Anis al-Habsyi Solo, Habib Ahmad Bafaqih Tempel Yogyakarta, dan lain-lain.[2]

Perjalanan Dakwah

Membuka pengajian di Bitin

Pada tahun 1980, Guru Danau membuka majelis taklim di Desa Bitin, Danau Panggang. Kemudian, pada tahun 1981, dia kembali mengajar di kampung halamannya sendiri, Danau Panggang. Sewaktu dia ingin membuka majelis taklim di daerahnya, dia terlebih dahulu meminta izin kepada Guru Sekumpul untuk membuka majelis taklim. Guru Sekumpul memberikan izin dengan syarat bahwa mereka tidak boleh bapintaan (meminta uang dari masyarakat), harus memakai halat (dinding yang membedakan laki-laki dan perempuan), dan harus ikhlas. Seorang guru harus memiliki kemandirian finansial agar mereka dapat mengajar dengan ikhlas. Dengan memiliki kemandirian finansial, mereka dapat berkonsentrasi pada mengajar dan berdakwah tanpa mengharapkan kompensasi finansial.[2]

Pada tahun-tahun awal, peserta pengajian Guru Danau di Bitin dan Danau Panggang tidak banyak. Namun lama kelamaan jumlahnya semakin meningkat hingga mencapai ribuan orang. Pengajian di Bitin dan Danau Panggang dihadiri jamaah sekitar 3 hingga 6 ribuan. Pengajian di Bitin dilaksanakan pada Sabtu malam (malam Minggu) sedang di Danau Panggang dilaksanakan pada Senin Malam. Di Bitin, pusat pengajian bertempat di rumah Guru Danau di sekitar Pasar Bitin. Karena tidak ada lapangan yang luas, ribuan jamaah pengajian menempati teras dan halaman rumah penduduk sekitar. Banyak dari mereka yang duduk berbaris di pinggir-pinggir jalan hingga mencapai beberapa kilometer. Hal serupa juga terjadi pada pengajian di Danau Panggang. Pusat pengajian bertempat di Mushalla Darul Aman (nama yang sama dengan Langgar Darul Aman tempat Guru Ijai mengajar) yang tepat berada di samping rumah Guru Danau.

Membangun pondok pesantren

Selain mengasuh kedua pengajian besar di atas Guru Danaujuga mendirikan dan membina beberapa pesantren. Pada tahun 1982, ia mendirikan pesantren Darul Aman di Kecamatan Babirik (Hulu Sungai Utara). Nama Darul Aman sendiri mengikuti nama Langgar Darul Aman di Keraton tempat Guru Ijai mengajar. Guru Danau juga menamai mushalla di samping rumahnya dengan nama Darul Aman, sama dengan nama langgar gurunya di Keraton Martapura. Pesantren lain yang dibinanya adalah Pesantren Raudatus Sibyan di Desa Longkong Kecamatan Danau Panggang dan Pesantren Ar Raudah I di Jaro Tabalong dan Ar Raudah II di Pangkalanbun.

Membuka majelis taklim di Mabuun

Pada dekade 1990-an (sekitar 1998), seiring dengan semakin meluasnya pengaruh dan popularitasnya, Guru Danau kembali membuka pengajian di Mabuun Tanjung (Kabupaten Tabalong). Menurut cerita Guru Danau, pada awalnya, Mabuun merupakan sarang pelacuran dan perjudian. Guru Danau berusaha memberantas penyakit sosial ini dengan cara menghubungi pihakpihak berwenang untuk menutupnya. Namun usaha ini tidak berhasil. Dia mengubah strategi. Dia tidak lagi mengharapkan aparat, tetapi membuka pengajian di tempat itu. Dengan adanya pengajian yang dihadiri oleh ribuan jamaah ini, praktik pelacuran dan perjudian itu tidak mendapat tempat dan berhenti dengan sendirinya. Dengan cara ini, lokasi yang asalnya menjadi tempat maksiat berubah menjadi komplek pengajian.

Pengajian di Mabuun, pengajian ketiga yang diasuh oleh Guru Danau, kemudian menjadi pengajian Guru Danau yang terbesar karena dihadiri oleh puluhan ribu jamaah, ada yang menyebutnya mencapai 40 ribuan jamaah. Kuantitas jamaah yang hadir di tempat ini jauh lebih besar dibanding pengajian di Danau Panggang dan Bitin. Hal ini didukung oleh Komplek pengajian Guru Danau di Mabuun yang memiliki area yang lebih luas dan lebih baik kondisinya dibanding pengajian di Bitin dan Danau Panggang sehingga memungkinkan menampung puluhan ribu jamaah. Dengan kuantitas jamaah yang mencapai puluhan ribu jamaah ini, Pengajian Guru Danau di Mabuun disebut-sebut sebagai pengajian terbesar di kawasan Banua Anam. Pengajian di Mabuun dilaksanakan pada malam Rabu setiap setengah bulan sekali. Guru Danau menyatakan, jarak setengah bulan sekali dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada jamaah pengajian untuk mengumpulkan uang untuk keperluan transportasi mendatangi tempat pengajian. Jamaah yang bertempat tinggal di kawasan Amuntai, Paringin, atau yang berada di kawasan Kalimantan Tengah memiliki persiapan yang lebih luas untuk menghadiri pengajian di Mabuun. Jarak waktu pengajian yang ditetapkan oleh Guru Danau ini cukup membantu sebagian jamaah pengajiannya yang merupakan orang-orang yang memiliki tingkat ekonomi yang rendah. Bagi murid-muridnya yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas, mendatangi pengajian di Mabuun bukan merupakan persoalan karena mereka memiliki kendaraan pribadi yang dapat digunakan setiap saat. Karena itu, tidak mengherankan, jika sekitar pengajian Guru Danau di Mabuun berjejer mobil dengan jumlah mencapai ratusan buah.

Kitab yang diajarkan

Materi pengajian yang disampaikan oleh Guru Danau di beberapa pengajiannya meliputi materi tauhid, fiqih, tasawuf, hadis, tafsir, kisah-kisah dan lainnya. Dari beberapa kitab yang dikaji, materi tasawuf tampaknya lebih dominan. Beberapa kitab yang pernah diajarkan oleh Guru Danau di pengajiannya, diantaranya adalah Irsyad al-‘Ibad (Zainuddin al-Malibari), Nasha`ih al-‘Ibad (Nawawi al-Bantani), Muraqi al-‘Ubudiyyah (Nawawi al-Bantani), Risalah al-Mu’awanah (Abdullah al-Haddad), Nasha`ih al-Diniyyah (Abdullah al-Haddad), Tuhfah al-Raghibin (Muhammad Arsyad al-Banjari), Syarah Sittin (Ahmad Ramli), Tanqih al-Qawl (Nawawi al-Bantani). Dilihat dari daftar kitab yang digunakan, Guru Danau lebih banyak menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab daripada kitab Arab-Melayu. Walaupun begitu, pengajiannya tetap mudah diikuti oleh jamaah karena isi kitab-kitab itu diterjemahkan dan diberi penjelasan yang ‘ringan’ oleh Guru Danau.

Cara penyampaian Guru Danau dalam pengajian maupun ceramahnya cukup unik. Guru Danau termasuk ulama yang sangat humoris. Dalam setiap ceramah atau pengajiannya dia selalu menyampaikan cerita-cerita lucu, joke-joke, pantun-pantun, dan singkatan yang diplesetkan yang memancing tawa. Bahkan, Guru Danau tidak segan bercanda dengan murid-muridnya yang berada pada baris depan. Baginya, humor itu penting disisipkan dalam ceramah pengajian agar orang awam dan orang tua dapat terus mengikuti pengajian tanpa merasa bosan dan berat. Dalam menyajikan isi kitab pengajian, Guru Danau hanya membaca beberapa baris saja. Tetapi penjelasannya cukup luas dan terkadang tidak selalu terfokus dan relevan dengan substansi kitab atau teks yang dibaca karena banyak disisipi oleh cerita, humor, ilustrasi, canda dan sebagainya. Teknik seperti ini tampaknya sangat disukai oleh jamaahnya. Selain mendapat tuntunan, mereka juga mendapat ‘hiburan’ yang menyenangkan. Teknik ini merupakan salah satu daya tarik orang untuk menghadiri pengajian Guru Danau.

Cara penyampaian Guru Danau juga didukung oleh bahasa yang dominan digunakannya, yaitu bahasa Banjar. Bahasa ini merupakan bahasa yang digunakan mayoritas jamaahnya. Penggunaan bahasa lokal ini kemudian dibumbui dengan contoh-contoh dan Ilustrasi-ilustrasi yang pas dengan kondisi lokalitas sosiobudaya dan keseharian masyarakat sekitar sehingga isi ceramahnya sangat merakyat. Dengan cara seperti ini materi yang disampaikannya mudah dipahami oleh jamaahnya yang berasal dari berbagai lapisan sosial. Walaupun penyampaian materi dakwahnya sederhana dan mudah dipahami tidak lantas dia dinilai sebagai ulama biasa. Sebagai ulama yang lahir dari lulusan pesantren ternama seperti Pesantren Darussalam yang diakui kualitasnya dalam memproduksi ulama, dia juga merupakan produk dari sejumlah ulama besar, seperti Guru Ijai dan Guru Bangil yang otoritas keulamaannya diakui dan memiliki pengaruh besar. Apalagi, Guru Danau sendiri merupakan salah satu murid Guru Ijai yang dikader untuk meneruskan tradisi keulamaan gurunya di kawasan Hulu Sungai. Karena itu, tidaklah mengheran jika beberapa gaya berceramah dan tradisi pengajian Guru Danau seperti pembacaan Maulid al-Habsyi menjelang pengajian merupakan hasil ‘peniruan’ dari tradisi Guru Ijai. Ketika Guru Ijai wafat, para jamaah pengajiannya di kawasan Hulu Sungai segera mendapat figur pengganti yang mewarisi sebagian kharisma Guru Ijai, yaitu Guru Danau.

Berwirausaha

Meski mengasuh 3 pengajian besar dan 4 pesantren, dan sibuk berdakwah di mana-mana, Guru Danau bukanlah tuan guru yang hanya terpaku pada aktivitas mengajar dan berdakwah. Guru Danau merupakan sosok ulama yang aktif bekerja dan berbisnis. Sejak muda ia sudah sibuk bekerja. Berbagai usaha telah beliau lakukan, seperti bertani, berdagang dan bisnis lainnya. Dengan kegigihannya berbisnis, beliau dikenal juga sebagai ulama yang memiliki kekayaan dan penghasilan besar dari beberapa usaha bisnisnya. Dari beberapa bisnis Guru Danau yang terpenting adalah usaha emas dan sarang burung walet di daerah Tanjung. Usaha ini terutama usaha sarang burung walet mendatangkan keuntungan besar. Dari usaha sarang burung walet Guru Danau dapat meraih keuntungan milyaran rupiah. Usaha burung walet ini dipelajarinya dari seorang habib di Jawa. Usaha lainnya adalah membeli tanah sebagai investasi. Tanah itu bisa dijual suatu saat.

Dengan pendapatan yang besar dari bisnisnya, wajar jika Guru Danau menjadi orang kaya. Dia memiliki banyak rumah dan memiliki beberapa mobil mewah (Alphard). Dengan mobil Alphard yang dimilikinya, dia dapat bepergian ke mana-mana dengan nyaman. Walaupun memiliki ini semua, Guru Danau tetap berpenampilan sederhana dan bersahaja. Rezeki yang cukup berlimpah ini tidak digunakan untuk bermegah-megah. Tetapi digunakannya untuk kepentingan dakwah Islam. Menurutnya, mereka yang mengurusi akhirat tidak seharusnya kalah dengan mereka yang mengurusi masalah dunia. Ulama yang memiliki usaha dan kekayaan sendiri akan lebih ikhlas dalam berdakwah dan mengajar karena tidak memiliki kepentingan untuk mendapat bayaran dari jamaahnya.

Dengan kemandirian dan kekayaan yang dimilikinya, Guru Danau dapat membiaya semua pembangunan komplek pengajian dan pesantren yang didirikannya tanpa bantuan pihak lain. Dia tidak mau meminta bantuan dana dari masyarakat (bapintaan) karena khawatir ada yang tidak ikhlas. Demikian juga dia tidak mau menerima dana yang berasal dari pemerintah dan partai politik. Menurutnya, jika satu kali saja mendapat bantuan pemerintah, ulama tidak bisa lagi untuk menasihati penguasa. Bahkan cenderung untuk dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki kepentingan tertentu. Kemandirian inilah yang membuat dirinya tidak bisa diintervensi dan didikte oleh penguasa dan partai politik.

Menjadi ulama yang kaya dan mandiri pada figur Guru Danau tidak hanya disebabkan oleh faktor kegigihannya dalam berusaha, tetapi juga terinspirasi oleh sosok gurunya, Guru Ijai, yang juga menjadi ulama yang kaya. Guru Danau termasuk salah satu murid Guru Ijai yang berhasil meniru gurunya pada sisi ini. Tidak banyak murid Guru Ijai yang dapat mengikuti jejaknya seperti Guru Danau.

Keluarga

Pada tahun 1980, Guru Danau menikah dengan Hj. Jamilah binti Maskur yang berasal dari Bitin. Dari perkawinannya itu, beliau memperoleh tiga belas orang anak (tujuh putra dan enam putri). Nama anak-anaknya adalah Wahid, Ladaniah, Musanna, Mufidah, Muktiah, Noor’Ainah, Noorhasanah, Haudi, Syahli, Mujiburrahman, Mujahidah, Syamsuddin dan M. Naseh.

Pembuatan Masjid Dan Wafat


Pada Abad 21 KH Asmuni Mendirikan Masjid Bernama Masjid Guru Danau Yang Cukup Besar Terletak Di Maburai Tanjung Tabalong

Pada Tanggal 2 Febuari 2024 Jam 16.30 WITA Beliau Meninggalkan Dunia Ini Di Rumah Beliau. Banyak Pelayat Yang Menuju Rumah KH Asmuni Degan Jalan Kaki Karena Saking Macetnya Jalan

Referensi

  1. ^ a b c d Akbar, Muhammad (2 Februari 2024). "Asal Mula KH Asmuni Disebut Guru Danau, Begini Ceritanya". Radar Banjarmasin. Diakses tanggal 3 Februari 2024. 
  2. ^ a b c d e f g Tim MUI Kalsel; Tim LP2M UIN Antasari Banjarmasin (2019). Ulama Banjar dari Masa ke Masa (Edisi Revisi). Banjarmasin: Antasari Press. ISBN 9786237665052.