Babilonia: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
←Mengalihkan ke Kerajaan Babel
Tag: Pengalihan baru
Menghapus pengalihan ke Kerajaan Babel
Tag: Menghapus pengalihan kemungkinan perlu dirapikan Suntingan visualeditor-wikitext pranala ke halaman disambiguasi
Baris 1: Baris 1:
{{redirect|Kerajaan Babel|kota Babel|Babilon|kegunaan lain|Babel (disambiguasi)}}
#ALIH [[Kerajaan Babel]]
{{Infobox former country
|native_name = 𒆳𒆍𒀭𒊏𒆠<br /><span style="font-weight: normal">''Māt Akkadī''</span>
|conventional_long_name = Babilonia
|year_start = 1895 SM
|year_end = 539 SM
|event_end = [[Kejatuhan Babilonia|Dibubarkan]]
|p1 = Sumeria
|p2 = Kekaisaran Akkadia
|s1 = Kerajaan Wangsa Hakhamanis
|s2 =
|image_map = Hammurabi's Babylonia 1.svg
|image_map_alt =
|image_map_caption = Luas wilayah Kerajaan Babilonia pada awal dan akhir masa pemerintahan Hamurabi, sekarang termasuk wilayah negara Kuwait dan Irak
|capital = [[Babilon]]
|official_languages = {{plainlist|
* [[bahasa Akkadia]]
* [[bahasa Sumeria]]
* [[Bahasa Aram]]}}
|common_languages = [[bahasa Akkadia]]<br />[[Bahasa Aram]]
|religion = [[Agama Babilonia]]
|currency =
|title_leader =
|today = {{plainlist|
*{{flag|Irak}}
*{{flag|Suriah}}}}
}}
{{sejarah Irak}}

'''Babilonia''' ({{lang-el| Βαβυλωνία}}, ''Babilonia''), lengkapnya disebut '''Kekaisaran Babilonia''' atau '''Negeri Babilonia''', adalah [[negara (pemerintahan)|negara]] dan [[Konsep daerah kebudayaan|daerah kebudayaan]] [[sejarah kuno|purba]] penutur [[bahasa Akkadia]] yang berlokasi di tengah kawasan selatan [[Mesopotamia]] (sekarang [[Irak]] dan [[Suriah]]). Pada tahun 1894 SM, [[bangsa Amori]] mendirikan sebuah negara kecil dengan wilayah kedaulatan yang juga mencakup kota administratif [[Babilon]].<ref>F. Leo Oppenheim, ''Ancient Mesopotamia''</ref> Pada zaman [[Kekaisaran Akkadia]] (2335–2154 SM), Babilonia hanyalah sebuah kota kecil di salah satu daerah bawahan. Keadaan ini berubah pada zaman [[Dinasti Babilonia Pertama|Kekaisaran Babilonia Lama]]. Babilonia Pada masa pemeritahan [[Hammurabi|Hamurabi]], Babilonia diperbesar dan dijadikan ibu kota. Sepanjang maupun sesudah masa pemerintahan Hamurabi, Babilonia disebut "Negeri Akkadia" ([[bahasa Akkadia]]: ''Māt Akkadī'') untuk mengenang kegemilangan Kerajaan Akkadia yang sudah lampau.<ref>{{Cite web |url=http://www.aliraqi.org/forums/showthread.php?t=69813 |title=Aliraqi - Babylonian Empire |access-date=2015-02-21 |archive-date=2015-02-21 |archive-url=https://archive.is/20150221193358/http://www.aliraqi.org/forums/showthread.php?t=69813 |url-status=dead }}</ref><ref>[https://www.livius.org/articles/place/babylonian-empire/ Kekaisaran Babilonia - Livius]</ref>

Dalam [[Alkitab|Alkitab Kristen]] dan [[Alkitab Ibrani]]/[[Tanakh]], kedua negara Babilonia dan ibu kota [[Babilon]] disebut sebagai '''Babel''', atau lengkapnya '''Negeri Babel'''. Istilah "Babel" ({{lang-he|[[:wikt:בבל|בָּבֶל]]}} ''Bavel'', <small>[[vokalisasi Tiberias|Tib.]]</small>&nbsp;{{lang|he|בָּבֶל}} ''Bāḇel''; {{lang-syc|ܒܒܠ}} ''Bāwēl'', {{lang-arc|בבל}} Bāḇel; dalam {{lang-ar|بَابِل}} ''Bābil'') ditafsirkan dalam [[Kitab Kejadian]] sebagai "kekacaubalauan",<ref>{{Alkitab|Kejadian 11:9}}.</ref> dari kata kerja ''bilbél'' ({{lang|he|[[:wikt:בלבל|בלבל]]}}, "mengacaubalaukan").<ref>Magnus Magnusson, ''BC: The Archaeology of the Bible Lands''. BBC Publications 1977, pp. 198–199.</ref>

Babilonia kerap terlibat persaingan dengan Kerajaan [[Asyur]] di utara dan Kerajaan [[Elam]] di timur. Meskipun tidak bertahan lama, Babilonia sempat menjadi kekuatan utama di kawasan Mesopotamia sesudah Hamurabi ([[floruit|berkiprah]] ''[[circa|ca.]]'' 1792–1752 SM menurut [[kronologi tengah|Kronologi Menengah]] atau ''ca.'' 1696–1654 SM menurut [[Kronologi Pendek]]) sebuah kekaisaran baru, penerus jejak kegemilangan Kekaisaran Akkadia, [[Dinasti Ketiga Ur|Kekaisaran Sumeria Baru]], dan [[Kekaisaran Asyur Lama]]. Tidak lama sesudah Hamurabi mangkat, Kekaisaran Babilonia mengalami kemerosotan dan kembali menjadi kerajaan kecil.

Sama seperti Asyur, Kerajaan Babilonia melestarikan bahasa tulis Akkadia (bahasa masyarakat pribumi) untuk urusan-urusan resmi, meskipun raja-raja pendiri adalah orang-orang Amori penutur bahasa [[Rumpun bahasa Semit Barat Laut|rumpun Semit Barat Laut]] dan raja-raja penerus adalah orang-orang [[bangsa Kass|Kasi]] penutur salah satu [[bahasa isolat|bahasa terasing]]. Kerajaan Babilonia juga melestarikan [[bahasa Sumeria]] untuk urusan-urusan keagamaan (demikian pula Kerajaan Asyur), meskipun bahasa Sumeria tidak lagi menjadi bahasa tutur pada waktu Kerajaan Babilonia didirikan, karena sudah sepenuhnya tergantikan oleh bahasa Akkadia. Adat-istiadat bangsa Akkadia dan bangsa Sumeria dari masa lampau menjadi unsur utama di dalam budaya Babilonia dan budaya Asyur. Wilayah Babilonia pun tetap menjadi pusat utama kebudayaan, bahkan sesudah Kerajaan Babilonia dijajah negara lain.

Peninggalan tertulis paling tua yang menyebut-nyebut keberadaan kota [[Babilon]] adalah sekeping [[lauh tanah liat|loh lempung]] dari masa pemerintahan [[Sargon dari Akkadia|Raja Sargon Agung]] (2334–2279 SM) sekitar abad ke-23 SM. Ketika itu Babilon hanya sebuah kota agama dan budaya, belum menjadi sebuah kota besar apalagi sebuah negara kota merdeka. Kota Babilon ketika itu tunduk kepada Kekaisaran Akkadia, negara yang mempersatukan seluruh masyarakat penutur bahasa Akkadia dan bahasa Sumeria di bawah satu pemerintahan. Sesudah Kekaisaran Akkadia tumbang, kawasan selatan Mesopotamia dikuasai [[orang Guti]] beberapa puluh tahun sebelum berdirinya [[Dinasti Ketiga Ur|Kekaisaran Sumeria Baru]], yang menguasai seluruh Mesopotamia (kecuali kawasan utara wilayah Asyur), termasuk kota Babilon.

== Sejarah ==

=== Zaman Sumeria-Akkadia (Pra-Babilonia) ===
Sejarah Mesopotamia sudah lama bergulir sebelum Babilonia lahir. Peradaban [[Sumeria]] muncul di kawasan itu sekitar tahun 3500 SM, sementara masyarakat penutur bahasa Akkadia muncul pada abad ke-30 SM.{{citation needed|date=July 2018}}

Pada milenium ke-3 SM, terjadi suatu simbiosis kebudayaan yang intim di antara penutur bahasa Sumeria dan penutur bahasa Akkadia, yang mencakup perluasan [[kedwibahasaan]].<ref name="Deutscher">{{Cite book|title=Syntactic Change in Akkadian: The Evolution of Sentential Complementation|author=Deutscher, Guy|author-link=Guy Deutscher (ahli bahasa)|publisher=[[Oxford University Press|Oxford University Press, Amerika Serikat]]|year=2007|isbn=978-0-19-953222-3|pages=20–21|url=https://books.google.com/books?id=XFwUxmCdG94C}}</ref> Pengaruh bahasa Sumeria terhadap bahasa Akkadia maupun sebaliknya tampak jelas di semua segi, mulai dari penyerapan kosa kata secara besar-besaran, sampai dengan perpaduan sintaksis, morfologis, dan fonologis.<ref name="Deutscher"/> Kenyataan ini telah mendorong para sarjana untuk menyebut bahasa Sumeria dan bahasa Akkadia pada milenium ke-3 sebagai sebuah ''[[sprachbund]]''.<ref name="Deutscher"/>

Bahasa Akkadia lambat laun menggantikan bahasa Sumeria sebagai bahasa tutur masyarakat Mesopotamia sekitar peralihan dari milenium ke-3 SM ke milenium ke-2 SM (kerangka waktu yang tepat masih menjadi pokok perdebatan).<ref name="woods">Woods C. 2006 "Bilingualism, Scribal Learning, and the Death of Sumerian". Dalam S.L. Sanders (penyunting) ''Margins of Writing, Origins of Culture'': 91–120 Chicago [http://oi.uchicago.edu/pdf/OIS2.pdf]</ref>

Dari sekitar tahun 3500 SM sampai dengan bangkitnya Kekaisaran Akkadia pada abad ke-24 SM, kawasan Mesopotamia didominasi kota-kota dan negara-negara kota [[Sumeria]], seperti [[Ur]], [[Lagash|Lagaš]], [[Uruk]], [[Kiš]], [[Isin]], [[Larsa]], [[Adab (kota)|Adab]], [[Eridu]], [[Nuzi|Gasur]], [[Assur|Asyur]], [[Hamazi]], [[Akšak]], [[Arbil|Arbela]], dan [[Umma|Uma]], kendati nama-nama Akkadia yang bercorak Semit mulai muncul di dalam daftar-daftar raja dari beberapa di antara kota-kota tersebut (misalnya [[Eshnunna|Esynuna]] dan Asyur) antara abad ke-29 sampai abad ke-25 SM. Pusat keagamaan seantero Mesopotamia dari generasi ke generasi adalah kota [[Nibru|Nipur]], tempat [[Enlil]] dipuja sebagai dewa tertinggi. Keutamaan kota Nipur ini bertahan sampai digeser kota [[Babilon]] pada masa pemerintahan Hamurabi.{{citation needed|date=July 2018}}

Pada zaman Kekaisaran Akkadia (2334–2154 SM), bangsa Akkadia yang berdarah Semit dan bangsa Sumeria yang asli Mesopotamia manunggal di bawah satu kepemimpinan. Bangsa Akkadia mampu sepenuhnya menguasai bangsa Sumeria, dan pada Akhirnya mendominasi sebagian besar kawasan [[Timur Dekat]] purba.

Negara kekaisaran ini pada akhirnya terpecah-belah akibat kemerosotan ekonomi, perubahan iklim, dan perang saudara, disusul serbuan-serbuan orang Guti dari daerah [[Pegunungan Zagros]]. Sumeria kembali bangkit ketika kulawangsa Ur yang ke-3 berkuasa pada abad ke-22 SM, dan mengusir orang Guti dari kawasan selatan Mesopotamia pada tahun 2161 SM, sebagaimana yang disiratkan keterangan dari loh-loh yang sintas maupun simulasi-simulasi astronomis.<ref name=Khalisi2020>{{citation|arxiv=2007.07141|title=The Double Eclipse at the Downfall of Old Babylon|year=2020|last1=Khalisi|first1=Emil}}</ref> Kulawangsa ini tampaknya juga sempat menguasai sebagian besar wilayah kedaulatan raja-raja Asyur berkebangsaan Akkadia di kawasan utara Mesopotamia.

Sesudah Kekaisaran Sumeria sekali lagi runtuh dengan tumbangnya kulawangsa "Ur-III" di tangan bangsa [[Elam]] pada tahun 2002 SM, [[bangsa Amori]] (orang barat), masyarakat [[Rumpun bahasa Semit Barat Laut|penutur bahasa rumpun Semit Barat Laut]], mulai bermigrasi ke kawasan selatan Mesopotamia dari kawasan utara [[Syam]], dan sedikit demi sedikit menguasai sebagian besar kawasan selatan Mesopotamia. Di kawasan itu mereka membentuk sejumlah kerajaan kecil, sementara bangsa Asyur menegakkan kembali kemerdekaannya di kawasan utara. Negara-negara di kawasan selatan tidak mampu membendung sepak terjang bangsa Amori, dan mungkin saja sempat bergantung kepada pertolongan dari rekan sebangsa (bangsa Akkadia) mereka di Asyur.{{citation needed|date=July 2018}}

Raja [[Ilu-syuma]] (''ca.'' 2008–1975 SM) dari Kekaisaran Asyur Lama (2025–1750 SM) menjabarkan sepak terjangnya di kawasan selatan dalam sebuah prasasti sebagai berikut:
{{quote|Kemerdekaan<ref group=n>Kemerdekaan = ''addurāru'' dalam bahasa Akkadia.</ref> bangsa Akkadia dan anak-anaknya aku tegakkan. Tembaganya aku murnikan. Aku niscayakan kemerdekaan mereka dari perbatasan rawa belantara, Ur, dan Nipur, [[Awal]], dan Kis, [[Der]] kepunyaan Dewi [[Ishtar]], sejauh kota ([[Asyur (dewa)|Dewa Asyur]]).<ref name=grayson>{{ cite book | title = Assyrian Royal Inscriptions, Jilid 1 | author = A. K. Grayson | publisher = Otto Harrassowitz | year = 1972 | pages = 7–8 }}</ref>}} Berdasarkan isi prasasti tersebut, para sarjana masa lampau mula-mula memperkirakan bahwa Ilu-syuma mengalahkan bangsa Amori di selatan maupun bangsa Elam di timur, tetapi tidak ada peninggalan tertulis yang menjabarkan keterangan semacam itu secara eksplisit, dan beberapa sarjana yakin bahwa raja-raja Asyur hanya sekadar memberi izin kerjasama perdagangan istimewa kepada orang-orang selatan.

Kebijakan-kebijakan tersebut diteruskan para penggantinya, [[Erisyum I]] dan [[Ikunum]].

Kebijakan ini berubah ketika [[Sargon I]] (1920–1881 SM) naik takhta pada tahun 1920 SM. Sargon menarik orang-orang Asyur dari kawasan selatan, dan mengalihkan perhatiannya ke usaha ekspansi koloni-koloni Asyur di [[Anatolia]] dan Syam, sehingga kawasan selatan Mesopotamia pada akhirnya dikuasai bangsa Amori. Pada abad-abad pertama dalam kurun waktu yang disebut "zaman bangsa Amori", negara-[[negara kota]] terkuat di selatan adalah Isin, Esynuna, dan Larsa, yang berdaulat sezaman dengan Asyur di utara.

=== Dinasti Babilonia Pertama (1894–1595 SM) ===
{{Main|Dinasti Babilonia Pertama}}
[[File:F0182 Louvre Code Hammourabi Bas-relief Sb8 rwk.jpg|thumb|Hamurabi (berdiri) digambarkan menerima tanda-tanda alat-alat kebesaran raja dari [[Utu|Dewa Syamas]] (atau kemungkinan besar [[Marduk|Dewa Marduk]]), posisi tangan di depan mulut mengisyaratkan bahwa Hamurabi sedang berdoa,<ref>{{citation |title=Ancient Iraq |first=Georges |last=Roux |author-link=Georges Roux |chapter=The Time of Confusion |date=27 Agustus 1992 |page=266 |chapter-url=https://books.google.com/books?id=klZX8B_RzzYC&pg=PA266 |publisher=[[Penguin Books]] |isbn=9780141938257}}</ref> relief di ujung tugu prasasti [[undang-undang Hammurabi|undang-undang Hamurabi]]]]
Salah satu kulawangsa Amori mendirikan kerajaan kecil yang bernama [[Kazalu]]. Kota [[Babilon]] sekitar tahun 1894 SM masih merupakan sebuah kota kecil dan termasuk wilayah Kerajaan Kazalu. Kota kecil ini pada akhirnya berhasil menguasai kota-kota lain dan membentuk Kekaisaran Babilonia Lama yang berumur pendek.

Seorang kepala suku Amori bernama [[Sumu-abum]] membeli sebidang tanah yang mencakup kota kecil Babilon dari Kerajaan Kazalu, negara kota yang dikuasai saudara-saudara sebangsanya. Tanah miliknya itu ia jadikan sebuah negara baru. Selama masa pemerintahannya, Sumu-abum sibuk menegakkan kedaulatan kerajaannya di antara sekian banyak negara kota kecil yang menjamur di kawasan selatan Mesopotamia. Meskipun demikian, Sumu-abum sepertinya enggan repot-repot menggelari diri ''Raja Babilonia''. Hal ini menyiratkan bahwa Babilon masih sebuah kota kecil dan belum layak disebut kerajaan.<ref>Robert William Rogers, A History of Babylonia and Assyria, Jilid I, Eaton & Mains, 1900.</ref>

Raja-raja Babilonia sesudah Sumu-abum adalah [[Sumu-la-El]], [[Sabium]], dan [[Apil-Sin]], yang berturut-turut memerintah tanpa mementingkan gelar raja seperti pendahulunya, sebagaima tampak pada peninggalan-peninggalan tertulis dari zaman itu yang tidak menyebut Babilonia sebagai sebuah kerajaan. [[Sin-Mubalit]] adalah penguasa Babilonia pertama yang secara resmi disebut ''Raja Babilonia'', itu pun hanya di dalam satu keping loh lempung. Pada masa pemerintahan raja-raja berkebangsaan Amori ini, kerajaan Babilonia masih merupakan negara kecil dengan wilayah kedaulatan yang sangat terbatas, dan masih dibayang-bayangi kerajaan-kerajaan tetangganya yang lebih tua, lebih besar, dan lebih kuat, seperti Isin, Larsa, Asyur di utara, dan Elam di timur. Bangsa Elam memiliki wilayah kekuasaan yang luas di kawasan selatan Mesopotamia, dan sebagian besar penguasa Amori perdana tunduk kepada Elam.

==== Kekaisaran Hamurabi ====
Babilon tetap menjadi sebuah kota kecil di sebuah negara kecil sampai pada masa pemerintahan raja berkebangsaan Amori yang keenam, [[Hammurabi|Hamurabi]] (1792–1750 SM, atau ''ca.'' 1728–1686 SM menurut [[Kronologi Pendek]]). Ia memprakarsai pembangunan besar-besaran di Babilon, dan mengubahnya dari sebuah kota kecil menjadi kota besar yang pantas diperintah seorang raja. Pemimpin dengan segudang prestasi ini membentuk birokrasi berikut sistem perpajakan dan pemerintahan yang terpusat. Hamurabi memerdekakan Babilonia dari penjajahan Elam, bahkan mengusir bangsa Elam dari kawasan selatan Mesopotamia. Kawasan itu selanjutnya ia taklukkan secara sistematis. Kota-kota yang ditaklukkannya mencakup Isin, Larsa, Esynuna, Kis, [[Lagasy]], Nipur, [[Borsipa]], Ur, Uruk, Uma, Adab, [[Sipar]], [[Rapiqum]], dan Eridu. Aksi-aksi penaklukannya menghadirkan stabilitas di kawasan selatan Mesopotamia yang sebelumnya berkubang dalam kekacauan dan menyatukan sekian banyak negara kecil di kawasan itu menjadi satu bangsa. Pada zaman Hamurabilah kawasan selatan Mesopotamia mulai disebut ''Babilonia'' ({{lang-el|Βαβυλωνία}}, ''Babilonia'').

Hamurabi mengerahkan angkatan bersenjatanya ke timur dan menginvasi kawasan yang seribu tahun kemudian menjadi wilayah negara [[Iran]]. Ia menaklukkan Elam, orang Guti, [[orang Lulubi]], dan orang Kasi. Ke sebelah barat, ia menaklukkan negara-negara orang Amori di Syam (sekarang [[Suriah]] dan [[Yordania]]), termasuk [[Mari, Suriah|Mari]] dan [[Yamhad]], dua kerajaan yang cukup kuat.

Hamurabi selanjutnya berperang melawan Kekaisaran Asyur Lama. Perang perebutan kedaulatan atas Mesopotamia dan kawasan Timur Dekat ini berlangsung berlarut-larut. Asyur sudah menguasai sebagian besar wilayah [[bangsa Hurri|orang Huri]] dan [[suku Hatti|orang Hati]] di kawasan selatan Anatolia sejak abad ke-21 SM, serta mendaulat kawasan timur laut Syam dan kawasan tengah Mesopotamia pada paruh kedua abad ke-20 SM. Sesudah berpuluh-puluh tahun berperang melawan raja-raja besar Asyur, [[Shamshi-Adad I|Syamsyi-Adad I]] dan [[Isme-Dagan I|Isyme-Dagan I]], Hamurabi akhirnya mampu memaksa Raja Asyur berikutnya, [[Mut-Ashkur|Mut-Asykur]], untuk membayar upeti kepada Babilonia sekitar tahun 1751 SM. Keberhasilan ini membuat Babilonia berdaulat atas wilayah orang Hati dan orang Huri di Anatolia yang sudah ratusan tahun dijajah Asyur.<ref>Oppenheim Ancient Mesopotamia</ref>

Salah satu karya besar Hamurabi yang terpenting sekaligus yang terakhir adalah penyusunan [[Hukum Babilonia|undang-undang Babilonia]], penyempurna undang-undang [[Sumeria]], [[Akkad]], maupun Asyur yang sudah ada jauh sebelumnya. Undang-undang tersebut disusun atas perintah Hamurabi sesudah ia berhasil mengusir orang Elam dan mengukuhkan kerajaannya. Pada tahun 1901, sebuah [[tugu prasasti]] yang memuat salinan [[Undang-undang Hammurabi|Undang-Undang Hamurabi]] ditemukan [[Jacques de Morgan]] dan [[Jean-Vincent Scheil]] di [[Susa]], bekas wilayah Elam. Mungkin diboyong dari Babilon ke Elam sebagai jarahan perang. Prasasti ini sekarang tersimpan di museum [[Louvre]].

Dari sebelum tahun 3000 SM sampai pada masa pemerintahan Hamurabi, pusat budaya dan agama yang utama di kawasan selatan Mesopotamia adalah kota [[Nippur|Nipur]], tempat Enlil dipuja sebagai mahadewa. Hamurabi menjadikan kota Babilon sebagai pusat budaya dan agama yang baru, dan menjadikan [[Marduk]] sebagai mahadewa di kawasan selatan Mesopotamia, sementara [[Asyur (dewa)|Dewa Asyur]], dan sampai taraf tertentu juga [[Inanna|Dewi Isytar]], tetap menjadi sesembahan utama bangsa Asyur di kawasan utara Mesopotamia. Kota Babilon mulai dikenal sebagai "kota suci", lokasi wajib bagi penyelenggaraan upacara penobatan semua penguasa sah kawasan selatan Mesopotamia. Hamurabi mengubah kota Babilon dari sebuah kota administrasi kecil menjadi kota besar yang kuat dan berpengaruh, dengan memperluas jangkauan kekuasaan Babilonia ke seluruh kawasan selatan Mesopotamia, dan mendirikan sejumlah bangunan megah di kota itu.

Bangsa Babilonia yang diperintah penguasa berkebangsaan Amori, sebagaimana para leluhurnya pada rezim-rezim terdahulu, berdagang secara teratur dengan negara-negara kota bangsa Amori dan bangsa Kanaan di sebelah barat. Hubungan perdagangan yang terjalin baik ini memungkinkan pejabat-pejabat maupun pasukan-pasukan militer Babilonia kadang-kadang mendatangi Syam maupun Kanaan, dan para saudagar Amori dapat berdagang dengan leluasa di seluruh Mesopotamia. Kedehatan raja-raja Babilonia dengan daerah barat bertahan cukup lama. [[Ammi-Ditana|Ami-Ditana]], cicit Hamurabi, masih menggelari diri "raja negeri orang Amori". Ayah maupun putra Ami-Ditana juga memiliki nama khas Amori, yakni [[Abi-Eshuh|Abi-Esyuh]] dan [[Ammi-Saduqa|Ami-Saduqa]].

==== Kemunduran ====
[[File:Cylinder seal,ca. 18th–17th century B.C. Babylonian.jpg|thumb|upright=1.5|[[segel silinder|Meterai gilas]] dari zaman Babilonia sekitar abad ke-18 sampai abad ke-17 SM]]
Kawasan selatan Mesopotamia tidak memiliki benteng-benteng perbatasan alami yang dapat dijadikan pangkalan pertahanan sehingga mudah dimasuki musuh. Sesudah Hamurabi mangkat, kekaisaran dengan cepat terpecah belah. Pada masa pemerintahan pengganti Hamurabi, [[Samsu-iluna]] (1749–1712 SM), ujung selatan Mesopotamia jatuh ke tangan [[Ilum-ma-ili]], seorang raja pribumi penutur bahasa Akkadia yang menentang kedaulatan raja-raja berkebangsaan Amori di Babilonia. Daerah ujung selatan menjadi [[Kulawangsa Pesisir|Kerajaan Wangsa Pesisir]], negara bangsa pribumi Mesopotamia yang mampu mempertahankan kemerdekaannya dari Babilonia sampai 272 tahun kemudian.<ref name="Georges Roux - Ancient Iraq">Georges Roux, ''Ancient Iraq''</ref>

Sekitar tahun 1740 SM, seorang wali negeri Asyur berkebangsaan Akkadia bernama [[Puzur-Sin]] mengusir bangsa Babilonia dan penguasa-penguasa mereka yang berkebangsaan Amori dari wilayah Asyur ke sebelah utara. Puzur-Zin menganggap Raja Mut-Asykur sebagai orang asing sekaligus mantan budak Babilonia. Sesudah enam tahun lamanya perang saudara melanda Kerajaan Asyur, seorang raja pribumi bernama [[Adasi]] berhasil merebut takhta sekitar tahun 1735 SM, dan selanjutnya mendaulat daerah-daerah bekas jajahan Babilonia dan Amori di kawasan tengah Mesopotamia. Tindakan yang sama juga dilakukan penggantinya, [[Bel-bani]].

Bangsa Amori masih berdaulat atas Babilonia, meskipun wilayahnya sudah menyusut. [[Abi-Esyuh]], pengganti Samsyu-iluna, gagal merebut kembali wilayah yang sudah dikuasai kulawangsa Pesisir, bahkan dikalahkan Raja Damqi-ilisyu II. Pada akhir masa pemerintahannya, Babilonia terpuruk menjadi negara yang kecil dan relatif lemah seperti pada awal kemunculannya, meskipun kota Babilon sudah jauh lebih besar daripada ukurannya sebelum masa pemerintahan Hamurabi.

Abi-Esyuh digantikan oleh Ami-Ditana, yang kemudian digantikan Ami-Saduqa. Baik Ami-Ditana maupun Ami-Saduqa sudah tidak terlalu lemah untuk berusaha merebut kembali daerah-daerah yang lepas dari Babilonia sepeninggal Hamurabi, dan membatasi diri pada kegiatan pembangunan yang dilaksanakan dalam suasana damai.

[[Syamsu-Ditana]] adalah Raja Babilonia terakhir yang berkebangsaan Amori. Pada awal masa pemerintahannya, Babilonia dirongrong bangsa Kasi, masyarakat penutur sebuah [[bahasa isolat|bahasa terpencil]] dari daerah pegunungan yang sekarang termasuk kawasan barat laut wilayah Iran. Pada tahun 1595 SM, Babilonia diserbu [[bangsa Het]], masyarakat [[Indo-European languages|penutur bahasa rumpun India-Eropa]] dari Anatolia. Syamsu-Ditana terguling dari takhta sesudah kota Babilon jatuh ke tangan [[Mursili I]], raja berkebangsaan Het. Bangsa Het tidak lama menguasai Babilonia, tetapi kerusakan yang mereka timbulkan pada akhirnya membuka peluang bagi sekutu-sekutu Kasi mereka untuk merebut kekuasaan.

==== Perebutan kota Babilon dan kronologi Timur Dekat purba ====
Tarikh penjarahan kota Babilonia oleh bangsa Het di bawah pimpinan Raja [[Mursili I]] dianggap penting dalam berbagai perhitungan [[kronologi Timur Dekat Kuno]] yang terdahulu, karena dijadikan waktu-patokan. Rentang waktu perkiraan terjadinya peristiwa tersebut mencapai 230 tahun, sejajar dengan ketidakpastian jangka waktu "Abad Kegelapan" pada zaman [[Kemerosotan Akhir Zaman Perunggu]], sehingga mengakibatkan bergesernya keseluruhan kronologi Zaman Perunggu Mesopotamia berdasarkan [[kronologi Mesir]]. Tarikh-tarikh perkiraan tersebut adalah sebagai berikut:
* Kronologi sangat-pendek: 1499 SM
* Kronologi pendek: 1531 SM
* Kronologi menengah: 1595 SM (kemungkinan besar yang paling umum dipakai, dan kerap dipandang sebagai kronologi dengan dukungan terbanyak)<ref>[[Marc Van de Mieroop|van de Mieroop, M.]] (2007). ''A History of the Ancient Near East, ca. 3000–323 BC''. Malden: Blackwell. {{ISBN|978-0-631-22552-2}}.</ref><ref>[[Mario Liverani|Liverani, Mario]] (2013). ''The Ancient Near East: History, Society and Economy''. Routledge. hlm. 13, Tabel 1.1 "Chronology of the Ancient Near East". {{ISBN|9781134750917}}.</ref><ref>Akkermans, Peter M.M.G.; Schwartz, Glenn M. (2003). ''The Archaeology of Syria. From Complex Hunter-Gatherers to Early Urban Societies (ca. 16,000–300 BC)''. Cambridge: Cambridge University Press. {{ISBN|0-521-79666-0}}.</ref><ref>Sagona, A.; Zimansky, P. (2009). ''Ancient Turkey''. London: Routledge. {{ISBN|978-0-415-28916-0}}.</ref><ref>Manning, S.W.; Kromer, B.; Kuniholm, P.I.; Newton, M.W. (2001). "Anatolian Tree Rings and a New Chronology for the East Mediterranean Bronze-Iron Ages". ''Science''. '''294''' (5551): 2532–2535. [[Doi (identifier)|doi]]:10.1126/science.1066112. [[PMID (identifier)|PMID]] 11743159.</ref><ref>Sturt W. Manning et al., Integrated Tree-Ring-Radiocarbon High-Resolution Timeframe to Resolve Earlier Second Millennium BCE Mesopotamian Chronology, PlosONE July 13 2016</ref>
* Kronologi panjang: 1651 SM (lebih disukai sebagai acuan dalam beberapa rekonstruksi peristiwa astronomis)<ref name=Khalisi2020/>
* Kronologi sangat-panjang: 1736 SM<ref>Eder, Christian., Assyrische Distanzangaben und die absolute Chronologie Vorderasiens, AoF 31, 191–236, 2004.</ref>

=== Kulawangsa Kasi (1595–1155 SM) ===
{{Main|Bangsa Kasi}}
[[File:Kassite Babylonia EN.svg|thumb|upright=1.35|Luas wilayah Kekaisaran babel pada zaman kulawangsa Kasi]]
Cikal bakal kulawangsa Kasi adalah [[Gandasy]] dari Mari. Seperti para penguasa Amori sebelum mereka, para penguasa Kasi juga bukan orang-orang pribumi Mesopotamia. Bangsa Kasi mula-mula muncul di daerah [[Pegunungan Zagros]], yang sekarang termasuk kawasan barat laut wilayah Iran.<!--

The ethnic affiliation of the Kassites is unclear. Still, their language was not [[Semitic languages|Semitic]] or [[Indo-European languages|Indo-European]], and is thought to have been either a language isolate or possibly related to the [[Hurro-Urartian languages|Hurro-Urartian language family]] of Anatolia,<ref name=Schneider>{{cite journal|last=Schneider|first=Thomas|title=Kassitisch und Hurro-Urartäisch. Ein Diskussionsbeitrag zu möglichen lexikalischen Isoglossen|journal=Altorientalische Forschungen|year=2003|issue=30|pages=372–381|language=de}}</ref> although the evidence for its genetic affiliation is meager due to the scarcity of extant texts. That said, several Kassite leaders may have borne [[Indo-European languages|Indo-European names]], and they may have had an [[Proto-Indo-Europeans|Indo-European]] elite similar to the [[Mitanni]] elite that later ruled over the Hurrians of central and eastern Anatolia.<ref>{{cite encyclopedia |url=http://www.britannica.com/EBchecked/topic/285248/India/46842/Early-Vedic-period |title=India: Early Vedic period |encyclopedia=[[Encyclopædia Britannica Online]] |publisher=[[Encyclopædia Britannica, Inc.]] |access-date=8 September 2012}}</ref><ref>{{cite encyclopedia |url=http://www.britannica.com/EBchecked/topic/293553/Iranian-art-and-architecture/37848/Median-period |title=Iranian art and architecture |encyclopedia=[[Encyclopædia Britannica Online]] |publisher=[[Encyclopædia Britannica, Inc.]] |access-date=8 September 2012}}</ref>

The Kassites renamed Babylon [[Karduniaš]] and their rule lasted for 576 years, the longest dynasty in Babylonian history.

This new foreign dominion offers a striking analogy to the roughly contemporary rule of the [[Hyksos]] in [[ancient Egypt]]. Most divine attributes ascribed to the Amorite kings of Babylonia disappeared at this time; the title "god" was never given to a Kassite sovereign. Babylon continued to be the capital of the kingdom and one of the ''holy cities'' of western Asia, where the priests of the [[ancient Mesopotamian religion]] were all-powerful, and the only place where the right to inheritance of the short lived old Babylonian empire could be conferred.{{sfn|Sayce|1911|p=104}}

Babylonia experienced short periods of relative power, but in general proved to be relatively weak under the long rule of the Kassites, and spent long periods under Assyrian and Elamite domination and interference.

It is not clear precisely when Kassite rule of Babylon began, but the Indo-European Hittites from Anatolia did not remain in Babylonia for long after the sacking of the city, and it is likely the Kassites moved in soon afterwards. [[Agum II]] took the throne for the Kassites in 1595 BCE, and ruled a state that extended from Iran to the middle Euphrates; The new king retained peaceful relations with [[Erishum III]], the native Mesopotamian king of Assyria, but successfully went to war with the [[Hittite Empire]], and twenty-four years after, the Hittites took the sacred [[statue of Marduk]], he recovered it and declared the god equal to the [[Kassite deities|Kassite deity]] [[Shuqamuna]].
[[File:Ancient Egypt and Mesopotamia c. 1450 BC.png|thumb|240px|Map of Mesopotamia c. 1450 BC]]

[[Burnaburiash I]] succeeded him and drew up a peace treaty with the Assyrian king [[Puzur-Ashur III]], and had a largely uneventful reign, as did his successor [[Kashtiliash III]].

The [[Sealand Dynasty]] of southern Mesopotamia remained independent of Babylonia and in native Akkadian-speaking hands. [[Ulamburiash]] managed to attack it and conquered parts of the land from ''Ea-gamil'', a king with a distinctly Sumerian name, around 1450 BC, whereupon Ea-Gamil fled to his allies in Elam. The Sealand Dynasty region still remained independent, and the Kassite king seems to have been unable to finally conquer it. Ulamburiash began making treaties with [[ancient Egypt]], which then was ruling southern [[Canaan]], and Assyria to the north. [[Karaindash]] built a bas-relief temple in Uruk and [[Kurigalzu I]] (1415–1390 BCE) built a new capital [[Dur-Kurigalzu]] named after himself, transferring administrative rule from Babylon. Both of these kings continued to struggle unsuccessfully against the Sealand Dynasty.

[[Agum III]] also campaigned against the Sealand Dynasty, finally wholly conquering the far south of Mesopotamia for Babylon, destroying its capital Dur-Enlil in the process. From there Agum III extended farther south still, invading what was many centuries later to be called the [[Arabian Peninsula]] or [[Arabia]], and conquering the ''pre-Arab'' state of [[Dilmun]] (in modern [[Bahrain]]).

[[Karaindash]] strengthened diplomatic ties with the Assyrian king [[Ashur-bel-nisheshu]] and the Egyptian Pharaoh [[Thutmose III]] and protected Babylonian borders with Elam.

[[Kadašman-Ḫarbe I]] succeeded Karaindash, and briefly invaded Elam before being eventually defeated and ejected by its king Tepti Ahar. He then had to contend with the [[Suteans]], [[ancient Semitic-speaking peoples]] from the southeastern Levant who invaded Babylonia and sacked Uruk. He describes having "annihilated their extensive forces", then constructed fortresses in a mountain region called Ḫiḫi, in the desert to the west (modern [[Syria]]) as security outposts, and "he dug wells and settled people on fertile lands, to strengthen the guard".<ref>{{cite book |title=Babylonians |author=H. W. F. Saggs |publisher=British Museum Press |year=2000 |page=117}}</ref>

[[Kurigalzu I]] succeeded the throne, and soon came into conflict with Elam, to the east. When Ḫur-batila, the successor of Tepti Ahar took the throne of Elam, he began raiding the Babylonia, taunting Kurigalzu to do battle with him at [[Dūr-Šulgi]]. Kurigalzu launched a campaign which resulted in the abject defeat and capture of Ḫur-batila, who appears in no other inscriptions. He went on to conquer the eastern lands of Elam. This took his army to the Elamite capital, the city of Susa, which was sacked. After this a puppet ruler was placed on the Elamite throne, subject to Babylonia. Kurigalzu I maintained friendly relations with Assyria, [[Egypt]] and the Hittites throughout his reign. [[Kadashman-Enlil I]] (1374–1360 BC) succeeded him, and continued his diplomatic policies.

[[Burna-Buriash II]] ascended to the throne in 1359 BCE, he retained friendly relations with Egypt, but the resurgent [[Middle Assyrian Empire]] (1365–1050 BCE) to the north was now encroaching into northern Babylonia, and as a symbol of peace, the Babylonian king took the daughter of the powerful Assyrian king [[Ashur-uballit I]] in marriage. He also maintained friendly relations with [[Suppiluliuma I]], ruler of the Hittite Empire.

He was succeeded by [[Kara-hardash|Kara-ḫardaš]] (who was half Assyrian, and the grandson of the Assyrian king) in 1333 BC, a usurper named [[Nazi-Bugash|Nazi-Bugaš]] deposed him, enraging [[Ashur-uballit I]], who invaded and sacked Babylon, slew Nazi-Bugaš, annexed Babylonian territory for the Middle Assyrian Empire, and installed [[Kurigalzu II]] (1345–1324 BCE) as his vassal ruler of Babylonia.

Soon after [[Arik-den-ili]] succeeded the throne of Assyria in 1327 BC, Kurigalzu III attacked Assyria in an attempt to reassert Babylonian power. After some impressive initial successes he was ultimately defeated, and lost yet more territory to Assyria. Between 1307 BCE and 1232 BCE his successors, such as [[Nazi-Maruttash]], [[Kadashman-Turgu]], [[Kadashman-Enlil II]], [[Kudur-Enlil]] and [[Shagarakti-Shuriash]], allied with the empires of the Hittites and the [[Mitanni]], (who were both also losing swathes of territory to the resurgent Assyrians). in a failed attempt to stop Assyrian expansion, which nevertheless continued unchecked.

[[Kashtiliash IV]]'s (1242–1235 BCE) reign ended catastrophically as the Assyrian king [[Tukulti-Ninurta I]] (1243–1207 BCE) routed his armies, sacked and burned Babylon and set himself up as king, ironically becoming the first ''native'' Mesopotamian to rule the state, its previous rulers having all been ''non-Mesopotamian'' Amorites and Kassites.<ref name="Georges Roux - Ancient Iraq" /> Kashtiliash himself was taken to Ashur as a prisoner of war.

An Assyrian governor/king named [[Enlil-nadin-shumi]] was placed on the throne to rule as viceroy to Tukulti-Ninurta I, and [[Kadashman-Harbe II]] and [[Adad-shuma-iddina]] succeeded as Assyrian governor/kings, subject to Tukulti-Ninurta I until 1216 BC.

Babylon did not begin to recover until late in the reign of [[Adad-shuma-usur]] (1216–1189 BCE), as he too remained a vassal of Assyria until 1193 BC. However, he was able to prevent the Assyrian king [[Enlil-kudurri-usur]] from retaking Babylonia, which, apart from its northern reaches, had mostly shrugged off Assyrian domination during a short period of civil war in the Assyrian empire, in the years after the death of Tukulti-Ninurta.

[[Meli-Shipak II]] (1188–1172 BCE) seems to have had a peaceful reign. Despite not being able to regain northern Babylonia from Assyria, no further territory was lost, Elam did not threaten, and the [[Late Bronze Age collapse]] now affecting the Levant, [[Canaan]], [[Egypt]], the [[Caucasus]], Anatolia, [[Mediterranean]], [[North Africa]], northern Iran and [[Balkans]] seemed (initially) to have little impact on Babylonia (or indeed Assyria and Elam).

War resumed under subsequent kings such as [[Marduk-apla-iddina I]] (1171–1159 BCE) and [[Zababa-shuma-iddin]] (1158 BCE). The long reigning Assyrian king [[Ashur-dan I]] (1179–1133 BCE) resumed expansionist policies and conquered further parts of northern Babylonia from both kings, and the Elamite ruler [[Shutruk-Nakhunte]] eventually conquered most of eastern Babylonia. [[Enlil-nadin-ahhe]] (1157–1155 BCE) was finally overthrown and the Kassite dynasty ended after Ashur-dan I conquered yet more of northern and central Babylonia, and the equally powerful Shutruk-Nahhunte pushed deep into the heart of Babylonia itself, sacking the city and slaying the king. Poetical works have been found lamenting this disaster.

Despite the loss of territory, general military weakness, and evident reduction in literacy and culture, the Kassite dynasty was the longest-lived dynasty of Babylon, lasting until 1155 BCE, when Babylon was conquered by Shutruk-Nakhunte of Elam, and reconquered a few years later by the [[Nebuchadnezzar I]], part of the larger Late Bronze Age collapse.

=== Permulaan zaman Besi – pemerintahan pribumi, kulawangsa Isin kedua (1155–1026 SM) ===
The Elamites did not remain in control of Babylonia long, instead entering into an ultimately unsuccessful war with Assyria, allowing [[Marduk-kabit-ahheshu]] (1155–1139 BCE) to establish the [[Fourth Dynasty of Babylon|Dynasty IV of Babylon, from Isin]], with the very first native Akkadian-speaking south Mesopotamian dynasty to rule Babylonia, with Marduk-kabit-ahheshu becoming only the second native Mesopotamian to sit on the throne of Babylon, after the Assyrian king [[Tukulti-Ninurta I]]. His dynasty was to remain in power for some 125 years. The new king successfully drove out the Elamites and prevented any possible Kassite revival. Later in his reign he went to war with Assyria, and had some initial success, briefly capturing the south Assyrian city of [[Ekallatum]] before ultimately suffering defeat at the hands of [[Ashur-Dan I]].

[[Itti-Marduk-balatu]] succeeded his father in 1138 BCE, and successfully repelled Elamite attacks on Babylonia during his 8-year reign. He too made attempts to attack Assyria, but also met with failure at the hands of the still reigning Ashur-Dan I.

[[Ninurta-nadin-shumi]] took the throne in 1137 BCE, and also attempted an invasion of Assyria, his armies seem to have skirted through eastern [[Aramea]] (modern Syria) and then made an attempt to attack the Assyrian city of Arbela (modern [[Erbil]]) from the west. However, this bold move met with defeat at the hands of [[Ashur-resh-ishi I]] who then forced a treaty in his favour upon the Babylonian king.

[[Nebuchadnezzar I]] (1124–1103 BCE) was the most famous ruler of this dynasty. He fought and defeated the Elamites and drove them from Babylonian territory, invading Elam itself, sacking the Elamite capital Susa, and recovering the sacred statue of Marduk that had been carried off from Babylon during the fall of the Kassites. Shortly afterwards, the king of Elam was assassinated and his kingdom disintegrated into civil war. However, Nebuchadnezzar failed to extend Babylonian territory further, being defeated a number of times by [[Ashur-resh-ishi I]] (1133–1115 BCE), king of the [[Middle Assyrian Empire]], for control of formerly Hittite-controlled territories in [[Aram (biblical region)|Aram]] and Anatolia. The Hittite Empire of the northern and western Levant and eastern Anatolia had been largely annexed by the Middle Assyrian Empire, and its heartland finally overrun by invading [[Phrygians]] from the [[Balkans]]. In the later years of his reign, Nebuchadnezzar I devoted himself to peaceful building projects and securing Babylonia's borders against the Assyrians, Elamites and Arameans.

Nebuchadnezzar was succeeded by his two sons, firstly [[Enlil-nadin-apli]] (1103–1100), who lost territory to Assyria. The second of them, [[Marduk-nadin-ahhe]] (1098–1081 BCE) also went to war with Assyria. Some initial success in these conflicts gave way to a catastrophic defeat at the hands of the powerful Assyrian king [[Tiglath-Pileser I]] (1115–1076 BCE), who annexed huge swathes of Babylonian territory, thus further expanding the Assyrian Empire. Following this a terrible famine gripped Babylon, inviting attacks and migrations from the northwest Semitic tribes of [[Aramaeans]] and [[Suteans]] from the Levant.

In 1072 BC [[Marduk-shapik-zeri]] signed a peace treaty with [[Ashur-bel-kala]] (1075–1056 BCE) of Assyria, however, his successor [[Kadašman-Buriaš]] was not so friendly to Assyria, prompting the Assyrian king to invade Babylonia and depose him, placing [[Adad-apla-iddina]] on the throne as his vassal. Assyrian domination continued until c. 1050 BC, with [[Marduk-ahhe-eriba]] and [[Marduk-zer-X]] regarded as vassals of Assyria. After 1050 BCE the Middle Assyrian Empire descended into a period of civil war, followed by constant warfare with the [[Arameans]], [[Phrygians]], [[Neo-Hittite states]] and Hurrians, allowing Babylonia to once more largely free itself from the Assyrian yoke for a few decades.

However, [[East Semitic languages|East Semitic-speaking]] Babylonia soon began to suffer further repeated incursions from [[West Semitic languages|West Semitic]] nomadic peoples migrating from the Levant during the [[Bronze Age collapse]], and during the 11th century BCE large swathes of the Babylonian countryside was appropriated and occupied by these newly arrived [[Arameans]] and [[Suteans]]. Arameans settled much of the countryside in eastern and central Babylonia and the Suteans in the western deserts, with the weak Babylonian kings being unable to stem these migrations.

=== Zaman kekacauan (1026–911 SM) ===
The ruling Babylonian dynasty of [[Nabu-shum-libur]] was deposed by marauding Arameans in 1026 BCE, and the heart of Babylonia, including the capital city itself descended into anarchic state, and no king was to rule Babylon for over 20 years.

However, in southern Mesopotamia (a region corresponding with the old Dynasty of the Sealand), Dynasty V (1025–1004 BC) arose, this was ruled by [[Simbar-shipak]], leader of a Kassite clan, and was in effect a separate state from Babylon. The state of anarchy allowed the Assyrian ruler [[Ashur-nirari IV]] (1019–1013 BCE) the opportunity to attack Babylonia in 1018 BC, and he invaded and captured the Babylonian city of Atlila and some northern regions for Assyria.

The south Mesopotamian dynasty was replaced by another Kassite Dynasty (Dynasty VI; 1003–984 BCE) which also seems to have regained control over Babylon itself. The Elamites deposed this brief Kassite revival, with king [[Mar-biti-apla-usur]] founding Dynasty VII (984–977 BCE). However, this dynasty too fell, when the Arameans once more ravaged Babylon.

Babylonian rule was restored by [[Nabû-mukin-apli]] in 977 BCE, ushering in Dynasty VIII. Dynasty IX begins with [[Ninurta-kudurri-usur II]], who ruled from 941 BCE. Babylonia remained weak during this period, with whole areas of Babylonia now under firm Aramean and Sutean control. Babylonian rulers were often forced to bow to pressure from Assyria and Elam, both of which had appropriated Babylonian territory.

=== Penjajahan Asyur (911–619 SM) ===
Babylonia remained in a state of chaos as the 10th century BCE drew to a close. A further migration of nomads from the Levant occurred in the early 9th century BCE with the arrival of the [[Chaldea]]ns, another nomadic northwest Semitic people described in Assyrian annals as the "Kaldu". The Chaldeans settled in the far southeast of Babylonia, joining the already long extant Arameans and Suteans. By 850 BCE the migrant Chaldeans had established their own land in the extreme southeast of Mesopotamia.

From 911 BCE with the founding of the [[Neo-Assyrian Empire]] (911–605 BCE) by [[Adad-nirari II]], Babylon found itself once again under the domination and rule of its fellow Mesopotamian state for the next three centuries. Adad-nirari II twice attacked and defeated [[Shamash-mudammiq]] of Babylonia, annexing a large area of land north of the [[Diyala River]] and the towns of [[Hīt]] and [[Zanqu]] in mid Mesopotamia. He made further gains over Babylonia under [[Nabu-shuma-ukin I]] later in his reign. [[Tukulti-Ninurta II]] and [[Ashurnasirpal II]] also forced Babylonia into vassalage, and [[Shalmaneser III]] (859–824 BCE) sacked Babylon itself, slew king [[Nabu-apla-iddina]], subjugated the Aramean, Sutean and Chaldean tribes settled within Babylonia, and installed [[Marduk-zakir-shumi I]] (855–819 BCE) followed by [[Marduk-balassu-iqbi]] (819–813 BCE) as his vassals. It was during the late 850's BCE, in the annals of [[Shalmaneser III]], that the [[Chaldea]]ns and [[Arabs]] are first mentioned in the pages of written recorded history.

Upon the death of Shalmaneser II, [[Baba-aha-iddina]] was reduced to vassalage by the Assyrian queen [[Shammuramat]] (known as [[Semiramis]] to the Persians, Armenians and Greeks), acting as regent to his successor [[Adad-nirari III]] who was merely a boy. Adad-nirari III eventually killed Baba-aha-iddina and ruled there directly until 800 BCE until [[Ninurta-apla-X]] was crowned. However, he too was subjugated by Adad-Nirari II. The next Assyrian king, [[Shamshi-Adad V]] then made a vassal of [[Marduk-bel-zeri]].

[[File:Assiri, regno di sennacherib, prisma a sei facce con iscrizione sulle 8 campagne militari del sovrano, 704-681 ac ca. 02.jpg|thumb|upright|Prism of Sennacherib (705–681 BC), containing records of his military campaigns, culminating with [[Siege of Babylon|Babylon's destruction]]. Exhibited at the [[Oriental Institute of the University of Chicago]].]]
Babylonia briefly fell to another foreign ruler when [[Marduk-apla-usur]] ascended the throne in 780 BCE, taking advantage of a period of civil war in Assyria. He was a member of the [[Chaldea]]n tribe who had a century or so earlier settled in a small region in the far southeastern corner of Mesopotamia, bordering the [[Persian Gulf]] and southwestern Elam. [[Shalmaneser IV]] attacked him and retook northern Babylonia, forcing a border treaty in Assyria's favour upon him. However, he was allowed to remain on the throne, and successfully stabilised the part of Babylonia he controlled. [[Eriba-Marduk]], another Chaldean, succeeded him in 769 BCE and his son, [[Nabu-shuma-ishkun]] in 761 BCE. Babylonia appears to have been in a state of chaos during this time, with the north occupied by Assyria, its throne occupied by foreign Chaldeans, and civil unrest prominent throughout the land.

The Babylonian king [[Nabonassar]] overthrew the Chaldean usurpers in 748 BCE, and successfully stabilised Babylonia, remaining untroubled by [[Ashur-nirari V]] of Assyria. However, with the accession of [[Tiglath-Pileser III]] (745–727 BCE) Babylonia came under renewed attack. Babylon was invaded and sacked and Nabonassar reduced to vassalage. His successors [[Nabu-nadin-zeri]], [[Nabu-suma-ukin II]] and [[Nabu-mukin-zeri]] were also in servitude to Tiglath-Pileser III, until in 729 BCE the Assyrian king decided to rule Babylon directly as its king instead of allowing Babylonian kings to remain as vassals of Assyria as his predecessors had done for two hundred years.

It was during this period that [[Eastern Aramaic languages|Eastern Aramaic]] was introduced by the Assyrians as the [[lingua franca]] of the Neo-Assyrian Empire, and Mesopotamian Aramaic began to supplant Akkadian as the spoken language of the general populace of both Assyria and Babylonia.

The Assyrian king [[Shalmaneser V]] was declared king of Babylon in 727 BCE, but died whilst besieging [[Samaria]] in 722 BCE.

Revolt was then fomented against Assyrian domination by [[Marduk-apla-iddina II]], a Chaldean malka (chieftain) of the far southeast of Mesopotamia, with strong Elamite support. Marduk-apla-iddina managed to take the throne of Babylon itself between 721 and 710 BCE whilst the Assyrian king [[Sargon II]] (722–705 BCE) were otherwise occupied in defeating the [[Scythians]] and [[Cimmerians]] who had attacked Assyria's Persian and Median vassal colonies in ancient Iran. Marduk-apla-iddina II was eventually defeated and ejected by [[Sargon II]] of Assyria, and fled to his protectors in Elam. [[Sargon II]] was then declared king in Babylon.

==== Penghancuran Babilonia ====
[[Sennacherib]] (705–681 BCE) succeeded Sargon II, and after ruling directly for a while, he placed his son [[Ashur-nadin-shumi]] on the throne. However, Merodach-Baladan and his Elamite protectors continued to unsuccessfully agitate against Assyrian rule. [[Nergal-ushezib]], an Elamite, murdered the Assyrian prince and briefly took the throne. This led to the infuriated Assyrian king [[Sennacherib]] invading and subjugating Elam and sacking Babylon, laying waste to and largely destroying the city. Sennacherib was soon murdered by his own sons while praying to the god [[Nisroch]] in [[Nineveh]] in 681 BC. A puppet king [[Marduk-zakir-shumi II]] was placed on the throne by the new Assyrian king [[Esarhaddon]]. However, Marduk-apla-iddina returned from exile in Elam, and briefly deposed him, forcing Esarhaddon to attack and defeat him, whereupon he once more fled to his masters in Elam, where he died in exile.

==== Pemugaran dan pembangunan kembali ====
[[Esarhaddon]] (681–669 BCE) ruled Babylon personally, he completely rebuilt the city, bringing rejuvenation and peace to the region. Upon his death, and in an effort to maintain harmony within his vast empire (which stretched from the Caucasus to Egypt and [[Nubia]] and from [[Cyprus]] to Iran), he installed his eldest son [[Shamash-shum-ukin]] as a subject king in Babylon, and his youngest, the highly educated [[Ashurbanipal]] (669–627 BCE), in the more senior position as king of Assyria and overlord of Shamash-shum-ukin.

==== Pemberontakan bangsa Babilonia ====
[[File:Babylonian prisoners under Assyrian guard, reign of Ashurbanipal 668-630 BCE, Nineveh, ME 124788.jpg|thumb|upright=2|Babylonian prisoners under the surveillance of an Assyrian guard, reign of Ashurbanipal 668-630 BCE, Nineveh, [[British Museum]] ME 124788]]
Despite being an Assyrian himself, Shamash-shum-ukin, after decades subject to his brother [[Ashurbanipal]], declared that the city of Babylon (and not the Assyrian city of [[Nineveh]]) should be the seat of the immense empire. He raised a major revolt against his brother, Ashurbanipal. He led a powerful coalition of peoples also resentful of Assyrian subjugation and rule, including Elam, the [[Persian people|Persians]], [[Medes]], the Babylonians, Chaldeans and Suteans of southern Mesopotamia, the Arameans of the Levant and southwest Mesopotamia, the [[Arabs]] and [[Dilmun]]ites of the Arabian Peninsula and the Canaanites-Phoenicians. After a bitter struggle Babylon was sacked and its allies vanquished, Shamash-shum-ukim being killed in the process. Elam was destroyed once and for all, and the Babylonians, Persians, Chaldeans, Arabs, Medes, Elamites, Arameans, Suteans and Canaanites were violently subjugated, with Assyrian troops exacting savage revenge on the rebelling peoples. An Assyrian governor named [[Kandalanu]] was placed on the throne to rule on behalf of the Assyrian king.<ref name="Georges Roux - Ancient Iraq"/> Upon Ashurbanipal's death in 627 BCE, his son [[Ashur-etil-ilani]] (627–623 BCE) became ruler of Babylon and Assyria.

However, Assyria soon descended into a series of brutal internal civil wars which were to cause its downfall. Ashur-etil-ilani was deposed by one of his own generals, named [[Sin-shumu-lishir]] in 623 BCE, who also set himself up as king in Babylon. After only one year on the throne amidst continual civil war, [[Sinsharishkun]] (622–612 BCE) ousted him as ruler of Assyria and Babylonia in 622 BC. However, he too was beset by constant unremitting civil war in the Assyrian heartland. Babylonia took advantage of this and rebelled under [[Nabopolassar]], a previously unknown ''malka'' (chieftain) of the Chaldeans, who had settled in southeastern Mesopotamia by c. 850 BCE.

It was during the reign of Sin-shar-ishkun that Assyria's vast empire began to unravel, and many of its former subject peoples ceased to pay tribute, most significantly for the Assyrians; the Babylonians, Chaldeans, [[Medes]], [[Persian people|Persians]], [[Scythians]], Arameans and [[Cimmerians]].

=== Kekaisaran Babilonia Baru (Kekaisaran Kasdim) ===
{{Main|Neo-Babylonian Empire|Chaldea}}
[[File:Neo-Babylonian Empire under Nabonidus map.png|thumb|upright=1.35|The [[Neo-Babylonian Empire]]]]
[[File:Panorama view of the reconstructed Southern Palace of Nebuchadnezzar II, 6th century BC, Babylon, Iraq.jpg|thumb|upright=1.35|Panorama view of the reconstructed Southern Palace of Nebuchadnezzar II, 6th century BCE, Babylon, Iraq]]
In 620 BC Nabopolassar seized control over much of Babylonia with the support of most of the inhabitants, with only the city of Nippur and some northern regions showing any loyalty to the beleaguered Assyrian king.<ref name="Georges Roux - Ancient Iraq" /> Nabopolassar was unable to utterly secure Babylonia, and for the next four years he was forced to contend with an occupying Assyrian army encamped in Babylonia trying to unseat him. However, the Assyrian king, Sin-shar-ishkun was plagued by constant revolts among his people in [[Nineveh]], and was thus prevented from ejecting Nabopolassar.

The stalemate ended in 615 BCE, when Nabopolassar entered the Babylonians and Chaldeans into alliance with [[Cyaxares]], an erstwhile vassal of Assyria, and king of the [[Iranian peoples]]; the [[Medes]], [[Persia]]ns, [[Sagartians]] and [[Parthia]]ns. Cyaxares had also taken advantage of the Assyrian destruction of the formerly regionally dominant pre-Iranian Elamite and [[Mannean]] nations and the subsequent anarchy in Assyria to free the [[Iranic]] peoples from three centuries of the Assyrian yoke and regional Elamite domination. The [[Scythians]] from north of the [[Caucasus]], and the [[Cimmerians]] from the [[Black Sea]] who had both also been subjugated by Assyria, joined the alliance, as did regional Aramean tribes.

In 615 BCE, while the Assyrian king was fully occupied fighting rebels in both Babylonia and Assyria itself, Cyaxares launched a surprise attack on the Assyrian heartlands, sacking the cities of [[Kalhu]] (the Biblical [[Calah]], [[Nimrud]]) and [[Arrapkha]] (modern [[Kirkuk]]), Nabopolassar was still pinned down in southern Mesopotamia and thus not involved in this breakthrough.

From this point on the coalition of Babylonians, Chaldeans, Medes, Persians, Scythians, Cimmerians and Sagartians fought in unison against a civil war ravaged Assyria. Major Assyrian cities such as Ashur, Arbela (modern [[Irbil]]), [[Guzana]], [[Dur Sharrukin]] (modern [[Khorsabad]]), [[Imgur-Enlil]], [[Nibarti-Ashur]], [[Gasur]], [[Kanesh]], [[Kar Ashurnasipal]] and [[Tushhan]] fell to the alliance during 614 BCE. Sin-shar-ishkun somehow managed to rally against the odds during 613 BCE, and drove back the combined forces ranged against him.

However, the alliance launched a renewed combined attack the following year, and after five years of fierce fighting [[Nineveh]] was sacked in late 612 BCE after a prolonged siege, in which Sin-shar-ishkun was killed defending his capital.

House to house fighting continued in Nineveh, and an Assyrian general and member of the royal household, took the throne as [[Ashur-uballit II]] (612–605 BCE). He was offered the chance of accepting a position of vassalage by the leaders of the alliance according to the [[Babylonian Chronicle]]. However, he refused and managed to successfully fight his way out of Nineveh and to the northern Assyrian city of [[Harran]] in [[Upper Mesopotamia]] where he founded a new capital. The fighting continued, as the Assyrian king held out against the alliance until 607 BCE, when he was eventually ejected by the Medes, Babylonians, Scythians and their allies, and prevented in an attempt to regain the city the same year.

[[File:Nabonidus.jpg|thumb|Stele of [[Nabonidus]] exhibited in the British Museum. The king is shown praying to the [[Moon]], the [[Sun]] and [[Venus]] and is depicted as being the closest to the Moon.]]
The [[Ancient Egypt|Egyptian]] Pharaoh [[Necho II]], whose dynasty had been installed as vassals of Assyria in 671 BCE, belatedly tried to aid Egypt's former Assyrian masters, possibly out of fear that Egypt would be next to succumb to the new powers without Assyria to protect them, having already been ravaged by the [[Scythians]]. The Assyrians fought on with Egyptian aid until what was probably a final decisive victory was achieved against them at [[Carchemish]] in northwestern Assyria in 605 BCE. The seat of empire was thus transferred to Babylonia{{sfn|Sayce|1911|p=105}} for the first time since Hammurabi over a thousand years before.

Nabopolassar was followed by his son [[Nebuchadnezzar II]] (605–562 BCE), whose reign of 43 years made Babylon once more the ruler of much of the civilized world, taking over portions of the former Assyrian Empire, with the eastern and northeastern portion being taken by the Medes and the far north by the [[Scythians]].{{sfn|Sayce|1911|p=105}}

Nebuchadnezzar II may have also had to contend with remnants of the Assyrian resistance. Some sections of the Assyrian army and administration may have still continued in and around [[Dur-Katlimmu]] in northwest Assyria for a time, however, by 599 BCE Assyrian imperial records from this region also fell silent. The fate of Ashur-uballit II remains unknown, and he may have been killed attempting to regain Harran, at Carchemish, or continued to fight on, eventually disappearing into obscurity.

The [[Scythians]] and [[Cimmerians]], erstwhile allies of Babylonia under Nabopolassar, now became a threat, and Nebuchadnezzar II was forced to march into Anatolia and rout their forces, ending the northern threat to his Empire.

The Egyptians attempted to remain in the Near East, possibly in an effort to aid in restoring Assyria as a secure buffer against Babylonia and the Medes and Persians, or to carve out an empire of their own. Nebuchadnezzar II campaigned against the Egyptians and drove them back over the [[Sinai Peninsula|Sinai]]. However, an attempt to take Egypt itself as his Assyrian predecessors had succeeded in doing failed, mainly due to a series of rebellions from the [[Israelite]]s of [[Kingdom of Judah|Judah]] and the former kingdom of [[Israel (northern Kingdom)|Ephraim]], the [[Phoenicians]] of [[Caanan]] and the [[Arameans]] of the Levant. The Babylonian king crushed these rebellions, deposed [[Jehoiakim]], the king of [[Kingdom of Judah|Judah]] and deported a sizeable part of the population to Babylonia. Cities like [[Tyre, Lebanon|Tyre]], [[Sidon]] and [[Damascus]] were also subjugated. The [[Arabs]] and other South Arabian peoples who dwelt in the deserts to the south of the borders of Mesopotamia were then also subjugated.

In 567 BCE he went to war with Pharaoh [[Amasis II|Amasis]], and briefly invaded [[Egypt]] itself. After securing his empire, which included marrying a Median princess, he devoted himself to maintaining the empire and conducting numerous impressive building projects in Babylon. He is credited with building the fabled [[Hanging Gardens of Babylon]].<ref>{{cite web|title=World Wide Sechool |work=History of Phoenicia&nbsp;– Part IV |url=http://www.worldwideschool.org/library/books/hst/ancient/HistoryofPhoenicia/chap22.html |archive-url=https://archive.is/20120918143341/http://www.worldwideschool.org/library/books/hst/ancient/HistoryofPhoenicia/chap22.html |url-status=dead |archive-date=2012-09-18 |access-date=2007-01-09 }}</ref>

[[Amel-Marduk]] succeeded to the throne and reigned for only two years. Little contemporary record of his rule survives, though [[Berossus|Berosus]] later stated that he was deposed and murdered in 560 BCE by his successor [[Neriglissar]] for conducting himself in an "improper manner".

[[Neriglissar]] (560–556 BCE) also had a short reign. He was the son in law of Nebuchadnezzar II, and it is unclear if he was a Chaldean or native Babylonian who married into the dynasty. He campaigned in Aram and Phoenicia, successfully maintaining Babylonian rule in these regions. Neriglissar died young however, and was succeeded by his son [[Labashi-Marduk]] (556 BCE), who was still a boy. He was deposed and killed during the same year in a palace conspiracy.

Of the reign of the last Babylonian king, [[Nabonidus]] (''Nabu-na'id'', 556–539 BCE) who is the son of the [[Assyrian people|Assyrian]] priestess [[Addagoppe of Harran|Adda-Guppi]] and who managed to kill the last Chaldean king, Labashi-Marduk, and took the reign, there is a fair amount of information available. Nabonidus (hence his son, the regent [[Belshazzar]]) was, at least from the mother's side, neither Chaldean nor Babylonian, but ironically Assyrian, hailing from its final capital of [[Harran]] (Kharranu). His father's origins remain unknown. Information regarding Nabonidus is chiefly derived from a chronological tablet containing the annals of Nabonidus, supplemented by another inscription of Nabonidus where he recounts his restoration of the temple of the Moon-god [[Sin]] at Harran; as well as by a proclamation of Cyrus issued shortly after his formal recognition as king of Babylonia.{{sfn|Sayce|1911|p=105}}

A number of factors arose which would ultimately lead to the fall of Babylon. The population of Babylonia became restive and increasingly disaffected under Nabonidus. He excited a strong feeling against himself by attempting to centralize the polytheistic religion of Babylonia in the temple of Marduk at Babylon, and while he had thus alienated the local priesthoods, the military party also despised him on account of his antiquarian tastes. He seemed to have left the defense of his kingdom to his son [[Belshazzar]] (a capable soldier but poor diplomat who alienated the political elite), occupying himself with the more congenial work of excavating the foundation records of the temples and determining the dates of their builders.{{sfn|Sayce|1911|p=105}} He also spent time outside Babylonia, rebuilding temples in the Assyrian city of Harran, and also among his Arab subjects in the deserts to the south of Mesopotamia. Nabonidus and Belshazzar's Assyrian heritage is also likely to have added to this resentment. In addition, Mesopotamian military might had usually been concentrated in the martial state of Assyria. Babylonia had always been more vulnerable to conquest and invasion than its northern neighbour, and without the might of Assyria to keep foreign powers in check and Mesopotamia dominant, Babylonia was ultimately exposed.

It was in the sixth year of Nabonidus (549 BCE) that [[Cyrus the Great]], the Achaemenid Persian "king of [[Anshan (Persia)|Anshan]]" in Elam, revolted against his suzerain [[Astyages]], "king of the Manda" or Medes, at [[Ecbatana]]. Astyages' army betrayed him to his enemy, and Cyrus established himself at Ecbatana, thus putting an end to the empire of the Medes and making the Persian faction dominant among the Iranic peoples.{{sfn|Sayce|1911|pp=105–106}} Three years later Cyrus had become king of all Persia, and was engaged in a campaign to put down a revolt among the Assyrians. Meanwhile, Nabonidus had established a camp in the desert of his colony of Arabia, near the southern frontier of his kingdom, leaving his son [[Belshazzar]] (''Belsharutsur'') in command of the army.

In 539 BCE Cyrus invaded Babylonia. A battle was fought at [[Opis]] in the month of June, where the Babylonians were defeated; and immediately afterwards Sippar surrendered to the invader. Nabonidus fled to Babylon, where he was pursued by [[Gobryas]], and on the 16th day of [[Tammuz (Babylonian calendar)|Tammuz]], two days after the capture of Sippar, "the soldiers of Cyrus entered Babylon without fighting." Nabonidus was dragged from his hiding place, where the services continued without interruption. Cyrus did not arrive until the 3rd of ''Marchesvan'' (October), Gobryas having acted for him in his absence. Gobryas was now made governor of the province of Babylon, and a few days afterwards Belshazzar the son of Nabonidus died in battle. A public mourning followed, lasting six days, and Cyrus' son [[Cambyses]] accompanied the corpse to the tomb.{{sfn|Sayce|1911|p=106}}

One of the first acts of Cyrus accordingly was to allow the Jewish exiles to return to their own homes, carrying with them their sacred temple vessels. The permission to do so was embodied in a proclamation, whereby the conqueror endeavored to justify his claim to the Babylonian throne.{{sfn|Sayce|1911|p=106}}

Cyrus now claimed to be the legitimate successor of the ancient Babylonian kings and the avenger of [[Bel-Marduk]], who was assumed to be wrathful at the impiety of Nabonidus in removing the images of the local gods from their ancestral shrines to his capital Babylon.{{sfn|Sayce|1911|p=106}}

The Chaldean tribe had lost control of Babylonia decades before the end of the era that sometimes bears their name, and they appear to have blended into the general populace of Babylonia even before this (for example, Nabopolassar, Nebuchadnezzar II and their successors always referred to themselves as ''Shar Akkad'' and never as ''Shar Kaldu'' on inscriptions), and during the Persian [[Achaemenid Empire]] the term ''Chaldean'' ceased to refer to a race of people, and instead specifically to a social class of priests educated in classical Babylonian literature, particularly Astronomy and Astrology. By the mid [[Seleucid Empire]] (312–150 BCE) period this term too had fallen from use.

=== Zaman Persia ===
{{Further|Achaemenid Assyria|Kejatuhan Babilonia}}
[[File:Xerxes I tomb Babylonian soldier circa 470 BCE.jpg|thumb|Babylonian soldier of the [[Achaemenid army]], circa 480 BC. Relief of the tomb of [[Xerxes I]].]]
Babylonia was absorbed into the [[Achaemenid Empire]] in 539 BC, becoming the [[satrapy]] of Babirush ({{lang-peo|𐎲𐎠𐎲𐎡𐎽}} ''Bābiruš'').

A year before Cyrus' death, in 529 BCE, he elevated his son [[Cambyses II]] in the government, making him king of Babylon, while he reserved for himself the fuller title of "king of the (other) provinces" of the empire. It was only when [[Darius I]] acquired the Persian throne and ruled it as a representative of the [[Zoroastrianism|Zoroastrian religion]], that the old tradition was broken and the claim of Babylon to confer legitimacy on the rulers of western Asia ceased to be acknowledged.{{sfn|Sayce|1911|p=106}}

Immediately after Darius seized Persia, Babylonia briefly recovered its independence under a native ruler, Nidinta-Bel, who took the name of [[Nebuchadnezzar III]], and reigned from October 522 BCE to August 520 BCE, when Darius took the city by storm, during this period Assyria to the north also rebelled. A few years later, probably 514 BCE, Babylon again revolted under the [[Armenians|Armenian]] king [[Nebuchadnezzar IV]]; on this occasion, after its capture by the Persians, the walls were partly destroyed. The [[Esagila]], the great temple of [[Bel (mythology)|Bel]], however, still continued to be kept in repair and to be a center of Babylonian religious feelings.{{sfn|Sayce|1911|p=106}}

[[Alexander the Great]] conquered Babylon in 333 BCE for the [[ancient Greece|Greeks]], and died there in 323 BCE. Babylonia and Assyria then became part of the Greek [[Seleucid Empire]].{{citation needed|date=April 2017}}
It has long been maintained that the foundation of [[Seleucia]] diverted the population to the new capital of southern Mesopotamia, and that the ruins of the old city became a quarry for the builders of the new seat of government,{{sfn|Sayce|1911|p=106}} but the recent publication of the ''[[Babylonian Chronicles]]'' has shown that urban life was still very much the same well into the [[Parthian Empire]] (150 BC to 226 AD). The Parthian king [[Mithridates I of Parthia|Mithridates]] conquered the region into the Parthian Empire in 150 BCE, and the region became something of a battleground between Greeks and Parthians.

There was a brief interlude of [[Roman Empire|Roman]] conquest (the provinces of [[Assyria (Roman province)|Assyria]] and [[Mesopotamia (Roman province)|Mesopotamia]]; 116–118 AD) under [[Trajan]], after which the Parthians reasserted control.

Daerah ke[[satrap]]an Babilonia disatukan dengan [[Asōristān]] (artinya ''negeri bangsa Asyur'' dalam [[bahasa Persia]]) pada zaman [[Kekaisaran Sasaniyah]] yang bermula pada tahun 226 M. Ketika itulah agama [[kekristenan Suriah|Kristen Suryani]] beramalan [[Ritus Suryani Timur]], yang muncul di Asyur dan daerah Mesopotamia Hulu pada abad pertama Masehi, menjadi agama yang dominan di dalam masyarakat [[Assyrian people|Asyur]]-[[Babilonia]], yang tidak pernah mengadopsi [[Zoroastrianisme|agama Mazda]] maupun [[Hellenistic religion|agama-agama Helenis]] dan bahasa-bahasa para penguasa mereka.

Apart from the small 2nd century BCE to 3rd century AD independent [[Neo-Assyrian]] states of [[Adiabene]], [[Osroene]], [[Assur]], [[Beth Garmai]], [[Beth Nuhadra]] and [[Hatra]] in the north, Mesopotamia remained under largely Persian control until the [[Arab]] [[Muslim conquest of Persia]] in the seventh century AD. Asōristān was dissolved as a geopolitical entity in 637 AD, and the native [[Eastern Aramaic]]-speaking and largely Christian populace of southern and central Mesopotamia (with the exception of the [[Mandeans]]) gradually underwent [[Arabization]] and [[Islamization]] in contrast to northern Mesopotamia where an [[Assyrian continuity]] bertahan sampai sekarang.-->

== Kebudayaan ==
Kebudayaan Mesopotamia dari Zaman Perunggu sampai Zaman Besi Awal kadang-kadang dirangkum dengan sebutan "kebudayaan Asyur-Babilonia" karena eratnya saling ketergantungan etnis, bahasa, dan budaya kedua pusat kekuatan politik itu. Dulunya istilah "Negeri Babilonia" atau "Babilonia", khususnya di dalam karya-karya tulis dari sekitar awal abad ke-20, digunakan dengan makna yang juga mencakup sejarah awal kawasan selatan Mesopotamia pra-Babilonia, dan bukan semata-mata sebagai sebutan bagi negara kota Babilon saja. Di dalam karya-karya tulis termutakhir, pemakaian istilah "Babilonia" sebagai nama kawasan pada umumnya sudah diganti dengan istilah yang lebih tepat, yakni ''Sumeria'' atau ''Sumeria-Akkadia'' yang mengacu kepada peradaban Mesopotamia pra-Asyur-Babilonia.

=== Kebudayaan Babilonia ===
[[File:Cylinder Seal, Old Babylonian, formerly in the Charterhouse Collection 09.jpg|thumb|upright=1.55|[[Hematit]] bertanda [[segel silinder|meterai gilas]] dari zaman Kekaisaran Babilonia Lama, menampilkan gambar raja mengorbankan hewan kepada [[Utu|Dewa Syamas]], kemungkinan besar buatan sebuah bengkel di kota Sipar.<ref>Al-Gailani Werr, L., 1988. Studies in the chronology and regional style of Old Babylonian Cylinder Seals. Bibliotheca Mesopotamica, Jilid 23.</ref>]]

==== Seni rupa dan arsitektur ====
{{Further|Arsitektur Mesopotamia|Seni rupa Mesopotamia}}
[[File:Man and woman, Old-Babylonian fired clay plaque from Southern Mesopotamia, Iraq.jpg|thumb|Sepasang insan, plakat lempung bakar dari zaman Kekaisaran Babilonia Lama, kawasan selatan Mesopotamia, Irak]]
Di Babilonia, kelimpahan [[lempung]] dan kelangkaan [[batu]] menjadi sebab [[bata lumpur]] lebih banyak digunakan. Kuil-kuil bangsa Babilonia, Sumeria, maupun Asyur adalah gedung-gedung raksasa berdinding batu bata kasar yang ditopang [[banir]], dan dilengkapi saringan-saringan pembuangan untuk mengalirkan air hujan. Salah satu saringan pembuangan air yang ditemukan di [[Ur]] terbuat dari [[timbal]]. Pemanfaatan batu bata menjadi pangkal pengembangan [[pilaster|pilar semu]] maupun pilar sejati, [[fresko]]-fresko dan ubin-ubin berlapis email. Dinding-dinding dicat dengan warna mencolok, dan kadang-kadang dilapisi dengan pelat-pelat [[seng]] atau [[emas]], maupun dengan [[ubin]]. Kerucut-kerucut [[terakota]] yang dicat direkatkan ke dinding dengan lepa sebagai tempat menaruh obor. Di Babilonia, sebagai ganti [[relief]], banyak sekali dibuat patung-patung tiga dimensi. Contoh-contoh tertua dari patung-patung semacam itu adalah [[patung-patung Gudea|arca-arca Gudea]], yang terlihat realistis kendati terkesan kikuk. Kelangkaan batu di Babilonia menyebabkan tiap keping batu dinilai tinggi. Pengghargaan terhadap nilai batu inilah yang mendorong bangsa Babilonia mencapai kesempurnaan tingkat tinggi di bidang seni potong batu mulia.{{sfn|Sayce|1911|p=108}}

==== Ilmu falak ====
{{Main|Astronomi Babilonia}}
Loh-loh yang diduga berasal dari zaman [[Dinasti Babilonia Pertama|Kekaisaran Babilonia Lama]] mencatat penerapan ilmu matematika dalam penghitungan variasi waktu siang sepanjang satu tahun surya. Kegiatan mengamati fenomena langit yang sudah berlangsung selama berabad-abad terabadikan di dalam serangkaian loh ber[[aksara paku|aksara baji]] yang dikenal dengan judul ''"Enūma Anu Enlil"''. Loh yang memuat teks astronomi signifikan tertua yang masih ada saat ini adalah ''Enūma Anu Enlil'' Loh 63, yakni loh Venus [[Ammi-Saduqa|Ami-Saduqa]]. Loh ini memuat daftar waktu terbit Venus yang pertama sampai terakhir kali tertangkap mata dalam kurun waktu 21 tahun, dan merupakan bukti tertua yang menunjukkan bahwa fenomena sebuah planet sudah diketahui terjadi secara berkala. [[Astrolab]] persegi panjang tertua diperkirakan berasal dari zaman Babilonia sekitar tahun 1100 SM. Naskah [[MUL.APIN]] memuat daftar bintang dan rasi bintang maupun skema-skema untuk untuk memprakirakan [[kemunculan bintang]] dan terbenamnya planet-planet, panjang waktu siang berdasarkan [[jam air]], [[gnomon]], dan bayang-bayang, serta [[interkalasi (waktu)|interkalasi]].<!-- Naskah GU dari Babilonia menata bintang-bintang pada semacam 'kawat' sepanjang lingkaran yang that lie along declination circles dan dengan demikian mengukur thus measure right-ascensions or time-intervals, and also employs the stars of the zenith, which are also separated by given right-ascensional differences.<ref name=pingree>{{Citation | last=Pingree | first=David | author-link=David Pingree | year=1998 | contribution=Legacies in Astronomy and Celestial Omens | editor-last=Dalley | editor-first=Stephanie | editor-link= Stephanie Dalley | title=The Legacy of Mesopotamia | publisher=Oxford University Press | pages=125–137 | isbn =978-0-19-814946-0}}</ref><ref>{{Citation | last=Rochberg | first=Francesca | year=2004 | title=The Heavenly Writing: Divination, Horoscopy, and Astronomy in Mesopotamian Culture | publisher=Cambridge University Press}}</ref><ref name=practice>{{cite book|title=The History and Practice of Ancient Astronomy|first=James|last=Evans|publisher=Oxford University Press|year=1998|pages=296–297|url=https://books.google.com/books?id=nS51_7qbEWsC&q=babylon+greek+astronomy&pg=PA17
|access-date=2008-02-04|isbn=978-0-19-509539-5}}</ref>

==== Ilmu pengobatan ====
'''Medical diagnosis and prognosis'''
[[File:Medical recipe concerning poisoning. Terracotta tablet, from Nippur, Iraq, 18th century BCE. Ancient Orient Museum, Istanbul.jpg|thumb|Medical recipe concerning poisoning. Terracotta tablet, from Nippur, Iraq, 18th century BC. Ancient Orient Museum, Istanbul]]
{{blockquote|We find [medical semiotics] in a whole constellation of disciplines. ... There was a real common ground among these [Babylonian] forms of knowledge ... an approach involving analysis of particular cases, constructed only through traces, symptoms, hints. ... In short, we can speak about a symptomatic or divinatory [or conjectural] paradigm which could be oriented toward past present or future, depending on the form of knowledge called upon. Toward future ... that was the medical science of symptoms, with its double character, diagnostic, explaining past and present, and prognostic, suggesting likely future. ...|sign=Carlo Ginzburg<ref>{{cite book |last=Ginzburg |first=Carlo |author-link=Carlo Ginzburg |year=1984 |chapter=Morelli, Freud, and Sherlock Holmes: Clues and Scientific Method |pages=[https://archive.org/details/signthreedupinho00sebe/page/n94 81]–118 |editor1-last=Eco |editor1-first=Umberto |editor1-link=Umberto Eco |editor2-last=Sebeok |editor2-first=Thomas |editor2-link=Thomas Sebeok |title=The Sign of Three: Dupin, Holmes, Peirce |url=https://archive.org/details/signthreedupinho00sebe |url-access=limited |location=Bloomington, IN|publisher=History Workshop, Indiana University Press |isbn=978-0-253-35235-4 |lccn=82049207 |oclc=9412985 }} Ginzburg stresses the significance of Babylonian medicine in his discussion of the conjectural paradigm as evidenced by the methods of [[Giovanni Morelli]], [[Sigmund Freud]] and [[Sherlock Holmes]] in the light of [[Charles Sanders Peirce]]'s logic of making educated guesses or [[abductive reasoning]]</ref>}}

The oldest ''Babylonian'' (i.e., Akkadian) texts on [[medicine]] date back to the [[First Babylonian dynasty]] in the first half of the [[2nd millennium BC|2nd millennium BCE]]<ref>{{cite book |title=Ancient Mesopotamia: Portrait of a Dead Civilization |url=https://archive.org/details/ancientmesopotam00aleo |url-access=registration |author=Leo Oppenheim |publisher=University of Chicago Press |year=1977 |page=[https://archive.org/details/ancientmesopotam00aleo/page/290 290]}}</ref> although the earliest medical prescriptions appear in Sumerian during the Third Dynasty of Ur period.<ref>{{cite journal |title=Medicine, Surgery, and Public Health in Ancient Mesopotamia |author=R D. Biggs |journal=Journal of Assyrian Academic Studies |volume=19 |number=1 |year=2005 |pages=7–18}}</ref> The most extensive Babylonian medical text, however, is the ''Diagnostic Handbook'' written by the ''ummânū'', or chief scholar, [[Esagil-kin-apli]] of [[Borsippa]],<ref name="Stol-99"/> during the reign of the Babylonian king [[Adad-apla-iddina]] (1069–1046 BCE).<ref>Marten Stol (1993), ''Epilepsy in Babylonia'', p. 55, [[Brill Publishers]], {{ISBN|90-72371-63-1}}.</ref>

Along with contemporary [[ancient Egyptian medicine]], the Babylonians introduced the concepts of [[medical diagnosis|diagnosis]], [[prognosis]], [[physical examination]], and [[medical prescription|prescriptions]]. In addition, the ''Diagnostic Handbook'' introduced the methods of [[therapy]] and [[aetiology]] and the use of [[empiricism]], [[logic]] and [[rationality]] in diagnosis, prognosis and therapy. The text contains a list of medical [[symptom]]s and often detailed empirical [[observation]]s along with logical rules used in combining observed symptoms on the body of a [[patient]] with its diagnosis and prognosis.<ref>H. F. J. Horstmanshoff, Marten Stol, Cornelis Tilburg (2004), ''Magic and Rationality in Ancient Near Eastern and Graeco-Roman Medicine'', p. 97–98, [[Brill Publishers]], {{ISBN|90-04-13666-5}}.</ref>

The symptoms and diseases of a patient were treated through therapeutic means such as [[bandage]]s, [[Cream (pharmaceutical)|creams]] and [[pill (pharmacy)|pills]]. If a patient could not be cured physically, the Babylonian physicians often relied on [[exorcism]] to cleanse the patient from any [[curse]]s. Esagil-kin-apli's ''Diagnostic Handbook'' was based on a logical set of [[axiom]]s and assumptions, including the modern view that through the examination and inspection of the symptoms of a patient, it is possible to determine the patient's [[disease]], its aetiology and future development, and the chances of the patient's recovery.<ref name="Stol-99">H. F. J. Horstmanshoff, Marten Stol, Cornelis Tilburg (2004), ''Magic and Rationality in Ancient Near Eastern and Graeco-Roman Medicine'', p. 99, [[Brill Publishers]], {{ISBN|90-04-13666-5}}.</ref>

Esagil-kin-apli discovered a variety of illnesses and diseases and described their symptoms in his ''Diagnostic Handbook''. These include the symptoms for many varieties of [[epilepsy]] and related ailments along with their diagnosis and prognosis.<ref>Marten Stol (1993), ''Epilepsy in Babylonia'', p. 5, [[Brill Publishers]], {{ISBN|90-72371-63-1}}.</ref> Later Babylonian medicine resembles early [[Ancient Greek medicine|Greek medicine]] in many ways. In particular, the early treatises of the [[Hippocratic Corpus]] show the influence of late Babylonian medicine in terms of both content and form.<ref>{{cite book|title=West Meets East: Early Greek and Babylonian Diagnosis|author=M. J. Geller|work=Magic and rationality in ancient Near Eastern and Graeco-Roman medicine|editor1=H. F. J. Horstmanshoff |editor2=Marten Stol |editor3=Cornelis Tilburg |publisher=[[Brill Publishers]]|year=2004|volume=27|isbn=978-90-04-13666-3|pages=11–186|pmid=17152166}}</ref>

==== Sastra ====
{{Main|Akkadian literature}}
There were libraries in most towns and temples; an old Sumerian proverb averred that "he who would excel in the school of the scribes must rise with the dawn". Women as well as men learned to read and write,{{sfn|Sayce|1911|p=107}}<ref>Tatlow, Elisabeth Meier ''Women, Crime, and Punishment in Ancient Law and Society: The Ancient Near East'' Continuum International Publishing Group Ltd. (31 March 2005) {{ISBN|978-0-8264-1628-5}} p. 75 [https://books.google.com/books?id=ONkJ_Rj1SS8C&pg=PA75&dq=women+men+literate+babylonia&as_brr=3#PPA75,M1]</ref> and in Semitic times, this involved knowledge of the extinct Sumerian language, and a complicated and extensive [[syllabary]].{{sfn|Sayce|1911|p=107}}

A considerable amount of Babylonian literature was translated from Sumerian originals, and the language of religion and law long continued to be written in the old agglutinative language of Sumer. Vocabularies, grammars, and interlinear translations were compiled for the use of students, as well as commentaries on the older texts and explanations of obscure words and phrases. The characters of the syllabary were all arranged and named, and elaborate lists of them were drawn up.{{sfn|Sayce|1911|p=107}}

There are many Babylonian literary works whose titles have come down to us. One of the most famous of these was the [[Epic of Gilgamesh]], in twelve books, translated from the original Sumerian by a certain Sin-liqi-unninni, and arranged upon an astronomical principle. Each division contains the story of a single adventure in the career of [[Gilgamesh]]. The whole story is a composite product, and it is probable that some of the stories are artificially attached to the central figure .{{sfn|Sayce|1911|p=107}}-->

=== Kebudayaan Babilonia Baru ===
Kebangkitan singkat budaya Babilonia pada abad ke-7 sampai abad ke-6 SM terjadi terjadi bersamaan dengan sejumlah kemajuan kebudayaan yang penting.

==== Astronomi ====
{{Main|Astronomi Babilonia|Kronologi Timur Dekat kuno}}
Dari semua ilmu pengetahuan, [[astronomi]] dan [[astrologi]]lah yang paling diutamakan masyarakat Babilonia. Astronomi adalah ilmu yang sudah lama digeluti di Babilonia. [[Zodiak]] adalah salah satu penemuan bangsa Babilonia pada Abad Kuno, bahkan para ilmuwan Babilonia sudah dapat memperkirakan waktu terjadinya [[gerhana]] [[Matahari]] dan gerhana [[Bulan]].{{sfn|Sayce|1911|p=107}} Ada lusinan catatan beraksara baji mengenai observasi-observasi gerhana yang dilakukan sendiri oleh bangsa Mesopotamia.

Astronomi Babilonia menjadi dasar pengembangan ilmu astronomi [[astronomi Yunani Kuno|Yunani Kuno]], Abad Klasik, [[Kekaisaran Sasaniyah]], [[Kekaisaran Romawi Timur|Bizantin]], Syam, [[Astronomi di dunia Islam pada Abad Pertengahan|Dunia Islam pada Abad pertengahan]], [[Asia Tengah]], dan [[Eropa Barat]].{{sfn|Sayce|1911|p=107}}<ref name=pingree />
Oleh karena itu, ilmu astronomi zaman Kekaisaran Babilonia Baru dapat dianggap sebagai leluhur langsung dari ilmu [[matematika Yunani|matematika]] dan astronomi bangsa Yunani, yang menjadi pangkal [[Revolusi ilmiah|revolusi ilmu pengetahuan]] di Dunia Barat.<ref name="Aaboe, Asger">Aaboe, Asger. "The culture of Babylonia: Babylonian mathematics, astrology, and astronomy". The Assyrian and Babylonian Empires and other States of the Near East, from the Eighth to the Sixth Centuries B.C. John Boardman, I. E. S. Edwards, N. G. L. Hammond, E. Sollberger & C. B. F. Walker (para penyunting). Cambridge University Press, (1991)</ref><!--

During the 8th and 7th centuries BC, Babylonian astronomers developed a new approach to astronomy. They began studying [[philosophy]] dealing with the ideal nature of the early [[universe]] and began employing an [[consistency|internal logic]] within their predictive planetary systems. This was an important contribution to astronomy and the [[philosophy of science]] and some scholars have thus referred to this new approach as the first scientific revolution.<ref name=Brown>D. Brown (2000), ''Mesopotamian Planetary Astronomy-Astrology'', Styx Publications, {{ISBN|90-5693-036-2}}.</ref> This new approach to astronomy was adopted and further developed in Greek and Hellenistic astronomy.

In [[Seleucid Empire|Seleucid]] and Parthian times, the astronomical reports were of a thoroughly scientific character;{{sfn|Sayce|1911|p=107}} how much earlier their advanced knowledge and methods were developed is uncertain. The Babylonian development of methods for predicting the motions of the planets is considered to be a major episode in the [[Assyrian astronomy|history of astronomy]].

The only Babylonian astronomer known to have supported a [[heliocentrism|heliocentric]] model of planetary motion was [[Seleucus of Seleucia]] (b. 190 BC).<ref>[[Otto E. Neugebauer]] (1945). "The History of Ancient Astronomy Problems and Methods", ''Journal of Near Eastern Studies'' '''4''' (1), pp. 1–38.</ref><ref>[[George Sarton]] (1955). "Chaldaean Astronomy of the Last Three Centuries B.C.", ''Journal of the American Oriental Society'' '''75''' (3), pp. 166–173 [169].</ref><ref>William P. D. Wightman (1951, 1953), ''The Growth of Scientific Ideas'', Yale University Press p. 38.</ref> Seleucus is known from the writings of [[Plutarch]]. He supported the heliocentric theory where the [[Earth's rotation|Earth rotated]] around its own axis which in turn revolved around the [[Sun]]. According to [[Plutarch]], Seleucus even proved the heliocentric system, but it is not known what arguments he used.-->

==== Matematika ====
{{Main|Matematika Babilonia}}
Naskah-naskah matematika Babilonia berlimpah ruah dan tersunting rapi.<ref name="Aaboe, Asger" /> Dari segi waktu pembuatan, peninggalan-peninggalan tertulis tersebut terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok naskah dari zaman [[Kekaisaran Babilonia Lama]] (1830–1531 SM), dan kelompok naskah yang sebagian besar merupakan peninggalan [[Kekaisaran Seleukia]] dari abad ke-4 atau abad ke-3 SM. Dari segi isi, kedua kelompok naskah tersebut nyaris tidak berbeda. Oleh karena itu hakikat dan kandungan ilmu matematika Babilonia dapat dibilang berjalan di tempat, karena hanya ada sedikit sekali kemajuan dan inovasi selama hampir dua ribu tahun.{{Dubious|date=April 2010}}<ref name="Aaboe, Asger" />

Sistem matematika Babilonia adalah [[seksagesimal]] atau [[angka-angka Babilonia|sistem bilangan]] dengan 60 angka dasar. Sistem seksagesimal adalah cikal bakal pembagian 1 menit menjadi 60 detik, pembagian 1 jam menjadi 60 menit, dan pembagian 1 lingkaran menjadi 360 (60x6) derajat. Bangsa Babilonia mampu meraih capaian-capaian besar bidang matematika lantaran dua faktor. Yang pertama, bilangan 60 dapat [[pembagi|habis dibagi]] dengan banyak angka lain (2, 3, 4, 5, 6, 10, 12, 15, 20, dan 30), sehingga hitung-hitungan menjadi lebih mudah. Selain itu, tidak seperti bangsa Mesir dan bangsa Romawi, bangsa Babilonia memiliki suatu sistem nilai-tempat sejati. Deret angkanya berurut dari kiri ke kanan, mulai dari yang paling besar sampai yang paling kecil nilainya, sangat mirip dengan sistem desimal yang digunakan sekarang ini (734 = 7×100 + 3×10 + 4×1). Salah satu capaian bangsa Babilonia di bidang matematika adalah menghitung [[akar kuadrat dari 2|akar pangkat dua dari bilangan 2]] dengan benar sampai tujuh angka di belakang koma (loh lempung [[YBC 7289]]). Bangsa Babilonia tampaknya sudah memahami [[Teorema Pythagoras|teorema Pitagoras]] sebelum dicetuskan [[Pitagoras]] sendiri, terbukti dari isi loh lempung dengan pertanggalan kira-kira tahun 1900 SM yang diterjemahkan Dennis Ramsey sebagai berikut:
<blockquote>
Panjangnya sama dengan 4 dan diagonalnya sama dengan 5.
Berapakah lebarnya?
Tidak diketahui ukurannya.
4 kali 4 sama dengan 16 dan 5 kali 5 sama dengan 25.
Kurangkan 16 dari 25 maka tinggal 9 sisanya.
Berapa kali berapa yang sama dengan 9?
3 kali 3 sama dengan 9. Jadi lebarnya sama dengan 3.
</blockquote>

''Ner'' (kelipatan 600) dan ''sar'' (kelipatan 3600) dibentuk dari bilangan 60, berpadanan dengan jarak 1 derajat di [[khatulistiwa]]. Loh-loh berisi perhitungan pangkat dua dan pangkat tiga dari 1 sampai 60 sudah ditemukan di situs [[Senkera]], lagi pula bangsa yang sudah mengenal jam matahari, jam air, tuas, dan katrol mestilah memiliki pengetahuan mekanika yang mumpuni. lensa-lensa dari [[kaca timbal]] yang dibuat menggunakan [[mesin bubut]] ditemukan [[Austen Henry Layard]] di situs [[Nimrud]] bersama-sama dengan bejana-bejana kaca berukir nama Sargon. Lensa-lensa tersebut menjawab misteri aksara-aksara dengan ukuran yang sangat kecil pada beberapa loh keluaran Asyur.{{sfn|Sayce|1911|pp=107–108}}

Bangsa Babilonia mungkin sudah terbiasa menerapkan kaidah-kaidah umum untuk mengukur luas bangun datar. Mereka menghitung panjang keliling lingkaran dengan rumus tiga kali panjang garis tengah, sementara luasnya dihitung dengan rumus seperdua belas kali panjang keliling yang dipangkatkan dua, dan bisa saja benar jika π dianggap sama dengan 3. Volume silinder dihitung dengan rumus luas alas kali tinggi, tetapi volume frustum kerucut atau limas persegi dihitung dengan cara yang keliru, yakni dengan rumus separuh luas alas kali tinggi. Belakangan ini ditemukan sebuah loh yang menggunakan π dengan nilai 3 1/8 (tiga seperdelapan). Bangsa Babilonia juga dikenal karena menghasilkan satuan mil Babilonia, yang kurang lebih sama dengan 11 kilometer (7 mil) sekarang ini. Satuan yang digunakan untuk mengukur jarak ini pada akhirnya diubah menjadi satuan mil-waktu yang dipakai mengukur jarak tempuh matahari, dan oleh karena itu merupakan perhitungan waktu. Bangsa Babilonia juga menggunakan graf ruang waktu untuk menghitung [[kecepatan]] Yupiter. Perhitungan ini merupakan sebuah gagasan yang terbilang sangat modern, yang jejaknya dapat dirunut sampai ke Inggris dan Prancis pada abad ke-14 dan mendahului kalkulus integral.<ref>{{cite journal |last1=Ossendrijver |first1=Mathieu |title=Ancient Babylonian astronomers calculated Jupiter's position from the area under a time-velocity graph |issue=6272 |url=http://science.sciencemag.org/content/351/6272/482.full |journal=Science |volume=351 |pages=482–484 |language=en |doi=10.1126/science.aad8085 |pmid=26823423 |date=29 January 2016|bibcode=2016Sci...351..482O |s2cid=206644971 }}</ref>

==== Filsafat ====
Asal-usul filsafat Babilonia dapat dilacak sampai kepada [[sastra hikmat|kesusastraan hikmat]] Mesopotamia, yang menyarikan filsafat-filsafat hidup tertentu, khususnya [[etika]], dalam bentuk [[dialektika]], [[dialog]], [[wiracarita]], [[cerita rakyat]], [[himne]], [[lirik (lagu)|lirik lagu]], [[prosa]], dan [[peribahasa]]. [[akal|Penalaran]] dan [[rasionalitas]] bangsa Babilonia berkembang di luar observasi [[Empirisisme|empiris]].<ref>Giorgio Buccellati (1981), "Wisdom and Not: The Case of Mesopotamia", ''Journal of the American Oriental Society'' '''101''' (1), hlmn. 35–47.</ref>

Kemungkinan besar filsafat Babilonia juga mempengaruhi [[Filsafat Yunani kuno|filsafat Yunani]], khususnya [[Filsafat Helenistik|filsafat Helenistis]]. Karya tulis Babilonia yang dijuduli ''[[Dialog Pesimisme]]'' menampakkan kemiripan dengan fikrah [[agonis]]tis para filsuf [[Sofisme|sofis]], doktrin kontras para filsuf [[Herakleitos|heraklitan]], dan dialog-dialog [[Plato]]. ''Dialog Pesimisme'' juga merupakan pendahulu dari [[metode Sokrates|metode maieutis]] yang dicetuskan filsuf [[Sokrates]].<ref>Giorgio Buccellati (1981), "Wisdom and Not: The Case of Mesopotamia", ''Journal of the American Oriental Society'' '''101''' (1), hlmn. 35–47 [43].</ref> Filsuf [[Thales|Tales]] yang [[sekolah Miletos|bermazhab Miletos]] diketahui pernah belajar filsafat di Mesopotamia.

== Warisan sejarah ==
Babilonia, teristimewa ibu kotanya, Babilon, sudah lama dijadikan lambang kekuasaan yang bejat dan kelewat batas di dalam agama-[[agama Abrahamik]]. Babilonia kerap disebut-sebut di dalam [[Alkitab]] (sebagai [[Babel]]), baik dalam arti harfiah (historis) maupun dalam arti kias (alegoris). Penyebutan Babel di dalam [[Alkitab Ibrani]] cenderung bersifat historis atau profetis, sementara sebutan apokaliptis [[Pelacur Besar|Pelacur Babel]] di dalam [[Perjanjian Baru]] sepertinya lebih bersifat kiasan, dan mungkin sekali merupakan kata sandi untuk Roma yang pagan atau semacam arketipe lainnya. [[Taman Gantung Babilonia|Taman Gantung Babilonia]] dan [[Menara Babel]] yang legendaris itu masing-masing dipandang sebagai lambang kemewahan dan lambang keangkuhan kekuasaan.

Umat Kristen perdana adakalanya menyebut Roma dengan nama Babel. Rasul [[Santo Petrus|Petrus]] mengakhiri suratnya yang pertama dengan kalimat berikut ini:

{{quote
|Salam kepada kamu sekalian dari kawanmu yang terpilih yang di Babilon, dan juga dari Markus, anakku.<br>
|title=[[Lembaga Alkitab Indonesia]]
|source=[[Terjemahan Baru]] (1974)
|author=''{{Alkitab|1 Petrus 5:13}}''
}}

[[Kitab Wahyu]] memuat kalimat berikut ini:

{{quote
|Dan seorang malaikat lain, malaikat kedua, menyusul dia dan berkata: "Sudah rubuh, sudah rubuh Babel, kota besar itu, yang telah memabukkan segala bangsa dengan anggur hawa nafsu cabulnya."<br>
|title=[[Lembaga Alkitab Indonesia]]
|source=[[Terjemahan Baru]] (1974)
|author=''{{Alkitab|Wahyu 14:8}}''
}}

Contoh-contoh lain adalah {{Alkitab|Wahyu 16:19}} dan {{Alkitab|Wahyu 18:2}}.

Babilonia disebutkan di dalam Alquran pada ayat 102 Surah [[Surah Al-Baqarah]] sebagai berikut:

{{quote
|Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman. Sulaiman itu tidak kafir tetapi setan-setan itulah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babilonia yaitu Harut dan Marut. Padahal keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seseorang sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kafir.” Maka mereka mempelajari dari keduanya (malaikat itu) apa yang (dapat) memisahkan antara seorang (suami) dengan istrinya. Mereka tidak akan dapat mencelakakan seseorang dengan sihirnya kecuali dengan izin Allah. Mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan, dan tidak memberi manfaat kepada mereka. Dan sungguh, mereka sudah tahu, barangsiapa membeli (menggunakan sihir) itu, niscaya tidak akan mendapat keuntungan di akhirat. Dan sungguh, sangatlah buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka tahu.<br>
|title=[[Al-Quran]]
|source=[[Kementerian Agama Republik Indonesia]]
|author=''[[Al-Baqarah]] 102''
}}

== Lihat pula ==
{{Portal|Asia}}
* [[Garis waktu Kekaisaran Asyur]]

== Keterangan ==
{{Reflist|group=n}}

== Rujukan ==
{{Reflist}}

== Kepustakaan ==
* [[Theophilus G. Pinches]], [http://www.sacred-texts.com/ane/rbaa.htm ''The Religion of Babylonia and Assyria'']
* {{Cite EB1911|wstitle=''Babylonian and Assyrian Religion''}}
* {{EB1911 |inline=1 |last=Sayce |first=Archibald Henry |author-link=Archibald Henry Sayce |wstitle=Babylonia and Assyria |volume=3 }}
* {{cite EB9 |last=Sayce |first=Archibald Henry |author-link=Archibald Henry Sayce |wstitle=Babylon–Babylonia |volume=3 |pages=182–194 }}
* {{CathEncy|wstitle=Babylonia}}
* The History Files [http://www.historyfiles.co.uk/MainFeaturesMesopotamia.htm ''Ancient Mesopotamia'']
* [http://fax.libs.uga.edu/BM530xK531l/ ''Legends of Babylon and Egypt in Relation to Hebrew Tradition''] oleh Leonard W. King , 1918
* [http://fax.libs.uga.edu/BL1620xB7/ ''The Babylonian Legends of the Creation''] ''and the Fight between Bel and the Dragon, as told by Assyrian Tablets from Nineveh'' (1921)
* [http://fax.libs.uga.edu/DS71xJ39C/ ''The Civilization of Babylonia and Assyria'']''; its remains, language, history, religion, commerce, law, art, and literature'' oleh Morris Jastrow, Jr.

== Pranala luar ==
* [http://ancientneareast.tripod.com/Old_Kingdom_of_Babylonia.html Zaman Babilonia Lama]
* [https://www.wisdomlib.org/mesopotamian/book/from-under-the-dust-of-ages/index.html ''From under the Dust of Ages''] oleh ''William St. Chad Boscawen''
* [https://www.wisdomlib.org/mesopotamian/book/the-chaldean-account-of-genesis/index.html ''The Chaldean account of Genesis''] oleh ''George Smith''
* [http://www.math.tamu.edu/~don.allen/history/babylon/babylon.html Matematika bangsa Babilonia]
* [http://www-groups.dcs.st-andrews.ac.uk/~history/HistTopics/Babylonian_numerals.html Angka bilangan bangsa Babilonia]
* [http://www.halloran.com/babylon1.htm Ilmu falak/nujum bangsa Babilonia]
* [http://www.staff.science.uu.nl/~gent0113/babylon/babybibl.htm Daftar pustaka ilmu falak/nujum bangsa Babilonia]
* Rekaman-rekaman pembacaan puisi Babilonia oleh para sarjana modern dalam bahasa aslinya ([https://web.archive.org/web/20110716114724/http://www.speechisfire.com/ http://www.speechisfire.com]).

{{Mesopotamia Kuno}}

[[Kategori:Babilonia| ]]
[[Kategori:Sejarah Asia Barat]]
[[Kategori:Bekas kerajaan di Asia]]
[[Kategori:Pendirian milenium ke-2 SM]]

Revisi per 14 November 2021 20.18

Babilonia

𒆳𒆍𒀭𒊏𒆠
Māt Akkadī
1895 SM–539 SM
Luas wilayah Kerajaan Babilonia pada awal dan akhir masa pemerintahan Hamurabi, sekarang termasuk wilayah negara Kuwait dan Irak
Luas wilayah Kerajaan Babilonia pada awal dan akhir masa pemerintahan Hamurabi, sekarang termasuk wilayah negara Kuwait dan Irak
Ibu kotaBabilon
Bahasa resmi
Bahasa yang umum digunakanbahasa Akkadia
Bahasa Aram
Agama
Agama Babilonia
Sejarah 
• Didirikan
1895 SM
539 SM
Didahului oleh
Digantikan oleh
Sumeria
ksrKekaisaran
Akkadia
krjKerajaan
Wangsa Hakhamanis
Sekarang bagian dari
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Babilonia (Yunani: Βαβυλωνία, Babilonia), lengkapnya disebut Kekaisaran Babilonia atau Negeri Babilonia, adalah negara dan daerah kebudayaan purba penutur bahasa Akkadia yang berlokasi di tengah kawasan selatan Mesopotamia (sekarang Irak dan Suriah). Pada tahun 1894 SM, bangsa Amori mendirikan sebuah negara kecil dengan wilayah kedaulatan yang juga mencakup kota administratif Babilon.[1] Pada zaman Kekaisaran Akkadia (2335–2154 SM), Babilonia hanyalah sebuah kota kecil di salah satu daerah bawahan. Keadaan ini berubah pada zaman Kekaisaran Babilonia Lama. Babilonia Pada masa pemeritahan Hamurabi, Babilonia diperbesar dan dijadikan ibu kota. Sepanjang maupun sesudah masa pemerintahan Hamurabi, Babilonia disebut "Negeri Akkadia" (bahasa Akkadia: Māt Akkadī) untuk mengenang kegemilangan Kerajaan Akkadia yang sudah lampau.[2][3]

Dalam Alkitab Kristen dan Alkitab Ibrani/Tanakh, kedua negara Babilonia dan ibu kota Babilon disebut sebagai Babel, atau lengkapnya Negeri Babel. Istilah "Babel" (Ibrani: בָּבֶל Bavel, Tib. בָּבֶל Bāḇel; bahasa Suryani: ܒܒܠ Bāwēl, bahasa Aram: בבל Bāḇel; dalam Arab: بَابِل Bābil) ditafsirkan dalam Kitab Kejadian sebagai "kekacaubalauan",[4] dari kata kerja bilbél (בלבל, "mengacaubalaukan").[5]

Babilonia kerap terlibat persaingan dengan Kerajaan Asyur di utara dan Kerajaan Elam di timur. Meskipun tidak bertahan lama, Babilonia sempat menjadi kekuatan utama di kawasan Mesopotamia sesudah Hamurabi (berkiprah ca. 1792–1752 SM menurut Kronologi Menengah atau ca. 1696–1654 SM menurut Kronologi Pendek) sebuah kekaisaran baru, penerus jejak kegemilangan Kekaisaran Akkadia, Kekaisaran Sumeria Baru, dan Kekaisaran Asyur Lama. Tidak lama sesudah Hamurabi mangkat, Kekaisaran Babilonia mengalami kemerosotan dan kembali menjadi kerajaan kecil.

Sama seperti Asyur, Kerajaan Babilonia melestarikan bahasa tulis Akkadia (bahasa masyarakat pribumi) untuk urusan-urusan resmi, meskipun raja-raja pendiri adalah orang-orang Amori penutur bahasa rumpun Semit Barat Laut dan raja-raja penerus adalah orang-orang Kasi penutur salah satu bahasa terasing. Kerajaan Babilonia juga melestarikan bahasa Sumeria untuk urusan-urusan keagamaan (demikian pula Kerajaan Asyur), meskipun bahasa Sumeria tidak lagi menjadi bahasa tutur pada waktu Kerajaan Babilonia didirikan, karena sudah sepenuhnya tergantikan oleh bahasa Akkadia. Adat-istiadat bangsa Akkadia dan bangsa Sumeria dari masa lampau menjadi unsur utama di dalam budaya Babilonia dan budaya Asyur. Wilayah Babilonia pun tetap menjadi pusat utama kebudayaan, bahkan sesudah Kerajaan Babilonia dijajah negara lain.

Peninggalan tertulis paling tua yang menyebut-nyebut keberadaan kota Babilon adalah sekeping loh lempung dari masa pemerintahan Raja Sargon Agung (2334–2279 SM) sekitar abad ke-23 SM. Ketika itu Babilon hanya sebuah kota agama dan budaya, belum menjadi sebuah kota besar apalagi sebuah negara kota merdeka. Kota Babilon ketika itu tunduk kepada Kekaisaran Akkadia, negara yang mempersatukan seluruh masyarakat penutur bahasa Akkadia dan bahasa Sumeria di bawah satu pemerintahan. Sesudah Kekaisaran Akkadia tumbang, kawasan selatan Mesopotamia dikuasai orang Guti beberapa puluh tahun sebelum berdirinya Kekaisaran Sumeria Baru, yang menguasai seluruh Mesopotamia (kecuali kawasan utara wilayah Asyur), termasuk kota Babilon.

Sejarah

Zaman Sumeria-Akkadia (Pra-Babilonia)

Sejarah Mesopotamia sudah lama bergulir sebelum Babilonia lahir. Peradaban Sumeria muncul di kawasan itu sekitar tahun 3500 SM, sementara masyarakat penutur bahasa Akkadia muncul pada abad ke-30 SM.[butuh rujukan]

Pada milenium ke-3 SM, terjadi suatu simbiosis kebudayaan yang intim di antara penutur bahasa Sumeria dan penutur bahasa Akkadia, yang mencakup perluasan kedwibahasaan.[6] Pengaruh bahasa Sumeria terhadap bahasa Akkadia maupun sebaliknya tampak jelas di semua segi, mulai dari penyerapan kosa kata secara besar-besaran, sampai dengan perpaduan sintaksis, morfologis, dan fonologis.[6] Kenyataan ini telah mendorong para sarjana untuk menyebut bahasa Sumeria dan bahasa Akkadia pada milenium ke-3 sebagai sebuah sprachbund.[6]

Bahasa Akkadia lambat laun menggantikan bahasa Sumeria sebagai bahasa tutur masyarakat Mesopotamia sekitar peralihan dari milenium ke-3 SM ke milenium ke-2 SM (kerangka waktu yang tepat masih menjadi pokok perdebatan).[7]

Dari sekitar tahun 3500 SM sampai dengan bangkitnya Kekaisaran Akkadia pada abad ke-24 SM, kawasan Mesopotamia didominasi kota-kota dan negara-negara kota Sumeria, seperti Ur, Lagaš, Uruk, Kiš, Isin, Larsa, Adab, Eridu, Gasur, Asyur, Hamazi, Akšak, Arbela, dan Uma, kendati nama-nama Akkadia yang bercorak Semit mulai muncul di dalam daftar-daftar raja dari beberapa di antara kota-kota tersebut (misalnya Esynuna dan Asyur) antara abad ke-29 sampai abad ke-25 SM. Pusat keagamaan seantero Mesopotamia dari generasi ke generasi adalah kota Nipur, tempat Enlil dipuja sebagai dewa tertinggi. Keutamaan kota Nipur ini bertahan sampai digeser kota Babilon pada masa pemerintahan Hamurabi.[butuh rujukan]

Pada zaman Kekaisaran Akkadia (2334–2154 SM), bangsa Akkadia yang berdarah Semit dan bangsa Sumeria yang asli Mesopotamia manunggal di bawah satu kepemimpinan. Bangsa Akkadia mampu sepenuhnya menguasai bangsa Sumeria, dan pada Akhirnya mendominasi sebagian besar kawasan Timur Dekat purba.

Negara kekaisaran ini pada akhirnya terpecah-belah akibat kemerosotan ekonomi, perubahan iklim, dan perang saudara, disusul serbuan-serbuan orang Guti dari daerah Pegunungan Zagros. Sumeria kembali bangkit ketika kulawangsa Ur yang ke-3 berkuasa pada abad ke-22 SM, dan mengusir orang Guti dari kawasan selatan Mesopotamia pada tahun 2161 SM, sebagaimana yang disiratkan keterangan dari loh-loh yang sintas maupun simulasi-simulasi astronomis.[8] Kulawangsa ini tampaknya juga sempat menguasai sebagian besar wilayah kedaulatan raja-raja Asyur berkebangsaan Akkadia di kawasan utara Mesopotamia.

Sesudah Kekaisaran Sumeria sekali lagi runtuh dengan tumbangnya kulawangsa "Ur-III" di tangan bangsa Elam pada tahun 2002 SM, bangsa Amori (orang barat), masyarakat penutur bahasa rumpun Semit Barat Laut, mulai bermigrasi ke kawasan selatan Mesopotamia dari kawasan utara Syam, dan sedikit demi sedikit menguasai sebagian besar kawasan selatan Mesopotamia. Di kawasan itu mereka membentuk sejumlah kerajaan kecil, sementara bangsa Asyur menegakkan kembali kemerdekaannya di kawasan utara. Negara-negara di kawasan selatan tidak mampu membendung sepak terjang bangsa Amori, dan mungkin saja sempat bergantung kepada pertolongan dari rekan sebangsa (bangsa Akkadia) mereka di Asyur.[butuh rujukan]

Raja Ilu-syuma (ca. 2008–1975 SM) dari Kekaisaran Asyur Lama (2025–1750 SM) menjabarkan sepak terjangnya di kawasan selatan dalam sebuah prasasti sebagai berikut:

Kemerdekaan[n 1] bangsa Akkadia dan anak-anaknya aku tegakkan. Tembaganya aku murnikan. Aku niscayakan kemerdekaan mereka dari perbatasan rawa belantara, Ur, dan Nipur, Awal, dan Kis, Der kepunyaan Dewi Ishtar, sejauh kota (Dewa Asyur).[9]

Berdasarkan isi prasasti tersebut, para sarjana masa lampau mula-mula memperkirakan bahwa Ilu-syuma mengalahkan bangsa Amori di selatan maupun bangsa Elam di timur, tetapi tidak ada peninggalan tertulis yang menjabarkan keterangan semacam itu secara eksplisit, dan beberapa sarjana yakin bahwa raja-raja Asyur hanya sekadar memberi izin kerjasama perdagangan istimewa kepada orang-orang selatan.

Kebijakan-kebijakan tersebut diteruskan para penggantinya, Erisyum I dan Ikunum.

Kebijakan ini berubah ketika Sargon I (1920–1881 SM) naik takhta pada tahun 1920 SM. Sargon menarik orang-orang Asyur dari kawasan selatan, dan mengalihkan perhatiannya ke usaha ekspansi koloni-koloni Asyur di Anatolia dan Syam, sehingga kawasan selatan Mesopotamia pada akhirnya dikuasai bangsa Amori. Pada abad-abad pertama dalam kurun waktu yang disebut "zaman bangsa Amori", negara-negara kota terkuat di selatan adalah Isin, Esynuna, dan Larsa, yang berdaulat sezaman dengan Asyur di utara.

Dinasti Babilonia Pertama (1894–1595 SM)

Hamurabi (berdiri) digambarkan menerima tanda-tanda alat-alat kebesaran raja dari Dewa Syamas (atau kemungkinan besar Dewa Marduk), posisi tangan di depan mulut mengisyaratkan bahwa Hamurabi sedang berdoa,[10] relief di ujung tugu prasasti undang-undang Hamurabi

Salah satu kulawangsa Amori mendirikan kerajaan kecil yang bernama Kazalu. Kota Babilon sekitar tahun 1894 SM masih merupakan sebuah kota kecil dan termasuk wilayah Kerajaan Kazalu. Kota kecil ini pada akhirnya berhasil menguasai kota-kota lain dan membentuk Kekaisaran Babilonia Lama yang berumur pendek.

Seorang kepala suku Amori bernama Sumu-abum membeli sebidang tanah yang mencakup kota kecil Babilon dari Kerajaan Kazalu, negara kota yang dikuasai saudara-saudara sebangsanya. Tanah miliknya itu ia jadikan sebuah negara baru. Selama masa pemerintahannya, Sumu-abum sibuk menegakkan kedaulatan kerajaannya di antara sekian banyak negara kota kecil yang menjamur di kawasan selatan Mesopotamia. Meskipun demikian, Sumu-abum sepertinya enggan repot-repot menggelari diri Raja Babilonia. Hal ini menyiratkan bahwa Babilon masih sebuah kota kecil dan belum layak disebut kerajaan.[11]

Raja-raja Babilonia sesudah Sumu-abum adalah Sumu-la-El, Sabium, dan Apil-Sin, yang berturut-turut memerintah tanpa mementingkan gelar raja seperti pendahulunya, sebagaima tampak pada peninggalan-peninggalan tertulis dari zaman itu yang tidak menyebut Babilonia sebagai sebuah kerajaan. Sin-Mubalit adalah penguasa Babilonia pertama yang secara resmi disebut Raja Babilonia, itu pun hanya di dalam satu keping loh lempung. Pada masa pemerintahan raja-raja berkebangsaan Amori ini, kerajaan Babilonia masih merupakan negara kecil dengan wilayah kedaulatan yang sangat terbatas, dan masih dibayang-bayangi kerajaan-kerajaan tetangganya yang lebih tua, lebih besar, dan lebih kuat, seperti Isin, Larsa, Asyur di utara, dan Elam di timur. Bangsa Elam memiliki wilayah kekuasaan yang luas di kawasan selatan Mesopotamia, dan sebagian besar penguasa Amori perdana tunduk kepada Elam.

Kekaisaran Hamurabi

Babilon tetap menjadi sebuah kota kecil di sebuah negara kecil sampai pada masa pemerintahan raja berkebangsaan Amori yang keenam, Hamurabi (1792–1750 SM, atau ca. 1728–1686 SM menurut Kronologi Pendek). Ia memprakarsai pembangunan besar-besaran di Babilon, dan mengubahnya dari sebuah kota kecil menjadi kota besar yang pantas diperintah seorang raja. Pemimpin dengan segudang prestasi ini membentuk birokrasi berikut sistem perpajakan dan pemerintahan yang terpusat. Hamurabi memerdekakan Babilonia dari penjajahan Elam, bahkan mengusir bangsa Elam dari kawasan selatan Mesopotamia. Kawasan itu selanjutnya ia taklukkan secara sistematis. Kota-kota yang ditaklukkannya mencakup Isin, Larsa, Esynuna, Kis, Lagasy, Nipur, Borsipa, Ur, Uruk, Uma, Adab, Sipar, Rapiqum, dan Eridu. Aksi-aksi penaklukannya menghadirkan stabilitas di kawasan selatan Mesopotamia yang sebelumnya berkubang dalam kekacauan dan menyatukan sekian banyak negara kecil di kawasan itu menjadi satu bangsa. Pada zaman Hamurabilah kawasan selatan Mesopotamia mulai disebut Babilonia (Yunani: Βαβυλωνία, Babilonia).

Hamurabi mengerahkan angkatan bersenjatanya ke timur dan menginvasi kawasan yang seribu tahun kemudian menjadi wilayah negara Iran. Ia menaklukkan Elam, orang Guti, orang Lulubi, dan orang Kasi. Ke sebelah barat, ia menaklukkan negara-negara orang Amori di Syam (sekarang Suriah dan Yordania), termasuk Mari dan Yamhad, dua kerajaan yang cukup kuat.

Hamurabi selanjutnya berperang melawan Kekaisaran Asyur Lama. Perang perebutan kedaulatan atas Mesopotamia dan kawasan Timur Dekat ini berlangsung berlarut-larut. Asyur sudah menguasai sebagian besar wilayah orang Huri dan orang Hati di kawasan selatan Anatolia sejak abad ke-21 SM, serta mendaulat kawasan timur laut Syam dan kawasan tengah Mesopotamia pada paruh kedua abad ke-20 SM. Sesudah berpuluh-puluh tahun berperang melawan raja-raja besar Asyur, Syamsyi-Adad I dan Isyme-Dagan I, Hamurabi akhirnya mampu memaksa Raja Asyur berikutnya, Mut-Asykur, untuk membayar upeti kepada Babilonia sekitar tahun 1751 SM. Keberhasilan ini membuat Babilonia berdaulat atas wilayah orang Hati dan orang Huri di Anatolia yang sudah ratusan tahun dijajah Asyur.[12]

Salah satu karya besar Hamurabi yang terpenting sekaligus yang terakhir adalah penyusunan undang-undang Babilonia, penyempurna undang-undang Sumeria, Akkad, maupun Asyur yang sudah ada jauh sebelumnya. Undang-undang tersebut disusun atas perintah Hamurabi sesudah ia berhasil mengusir orang Elam dan mengukuhkan kerajaannya. Pada tahun 1901, sebuah tugu prasasti yang memuat salinan Undang-Undang Hamurabi ditemukan Jacques de Morgan dan Jean-Vincent Scheil di Susa, bekas wilayah Elam. Mungkin diboyong dari Babilon ke Elam sebagai jarahan perang. Prasasti ini sekarang tersimpan di museum Louvre.

Dari sebelum tahun 3000 SM sampai pada masa pemerintahan Hamurabi, pusat budaya dan agama yang utama di kawasan selatan Mesopotamia adalah kota Nipur, tempat Enlil dipuja sebagai mahadewa. Hamurabi menjadikan kota Babilon sebagai pusat budaya dan agama yang baru, dan menjadikan Marduk sebagai mahadewa di kawasan selatan Mesopotamia, sementara Dewa Asyur, dan sampai taraf tertentu juga Dewi Isytar, tetap menjadi sesembahan utama bangsa Asyur di kawasan utara Mesopotamia. Kota Babilon mulai dikenal sebagai "kota suci", lokasi wajib bagi penyelenggaraan upacara penobatan semua penguasa sah kawasan selatan Mesopotamia. Hamurabi mengubah kota Babilon dari sebuah kota administrasi kecil menjadi kota besar yang kuat dan berpengaruh, dengan memperluas jangkauan kekuasaan Babilonia ke seluruh kawasan selatan Mesopotamia, dan mendirikan sejumlah bangunan megah di kota itu.

Bangsa Babilonia yang diperintah penguasa berkebangsaan Amori, sebagaimana para leluhurnya pada rezim-rezim terdahulu, berdagang secara teratur dengan negara-negara kota bangsa Amori dan bangsa Kanaan di sebelah barat. Hubungan perdagangan yang terjalin baik ini memungkinkan pejabat-pejabat maupun pasukan-pasukan militer Babilonia kadang-kadang mendatangi Syam maupun Kanaan, dan para saudagar Amori dapat berdagang dengan leluasa di seluruh Mesopotamia. Kedehatan raja-raja Babilonia dengan daerah barat bertahan cukup lama. Ami-Ditana, cicit Hamurabi, masih menggelari diri "raja negeri orang Amori". Ayah maupun putra Ami-Ditana juga memiliki nama khas Amori, yakni Abi-Esyuh dan Ami-Saduqa.

Kemunduran

Meterai gilas dari zaman Babilonia sekitar abad ke-18 sampai abad ke-17 SM

Kawasan selatan Mesopotamia tidak memiliki benteng-benteng perbatasan alami yang dapat dijadikan pangkalan pertahanan sehingga mudah dimasuki musuh. Sesudah Hamurabi mangkat, kekaisaran dengan cepat terpecah belah. Pada masa pemerintahan pengganti Hamurabi, Samsu-iluna (1749–1712 SM), ujung selatan Mesopotamia jatuh ke tangan Ilum-ma-ili, seorang raja pribumi penutur bahasa Akkadia yang menentang kedaulatan raja-raja berkebangsaan Amori di Babilonia. Daerah ujung selatan menjadi Kerajaan Wangsa Pesisir, negara bangsa pribumi Mesopotamia yang mampu mempertahankan kemerdekaannya dari Babilonia sampai 272 tahun kemudian.[13]

Sekitar tahun 1740 SM, seorang wali negeri Asyur berkebangsaan Akkadia bernama Puzur-Sin mengusir bangsa Babilonia dan penguasa-penguasa mereka yang berkebangsaan Amori dari wilayah Asyur ke sebelah utara. Puzur-Zin menganggap Raja Mut-Asykur sebagai orang asing sekaligus mantan budak Babilonia. Sesudah enam tahun lamanya perang saudara melanda Kerajaan Asyur, seorang raja pribumi bernama Adasi berhasil merebut takhta sekitar tahun 1735 SM, dan selanjutnya mendaulat daerah-daerah bekas jajahan Babilonia dan Amori di kawasan tengah Mesopotamia. Tindakan yang sama juga dilakukan penggantinya, Bel-bani.

Bangsa Amori masih berdaulat atas Babilonia, meskipun wilayahnya sudah menyusut. Abi-Esyuh, pengganti Samsyu-iluna, gagal merebut kembali wilayah yang sudah dikuasai kulawangsa Pesisir, bahkan dikalahkan Raja Damqi-ilisyu II. Pada akhir masa pemerintahannya, Babilonia terpuruk menjadi negara yang kecil dan relatif lemah seperti pada awal kemunculannya, meskipun kota Babilon sudah jauh lebih besar daripada ukurannya sebelum masa pemerintahan Hamurabi.

Abi-Esyuh digantikan oleh Ami-Ditana, yang kemudian digantikan Ami-Saduqa. Baik Ami-Ditana maupun Ami-Saduqa sudah tidak terlalu lemah untuk berusaha merebut kembali daerah-daerah yang lepas dari Babilonia sepeninggal Hamurabi, dan membatasi diri pada kegiatan pembangunan yang dilaksanakan dalam suasana damai.

Syamsu-Ditana adalah Raja Babilonia terakhir yang berkebangsaan Amori. Pada awal masa pemerintahannya, Babilonia dirongrong bangsa Kasi, masyarakat penutur sebuah bahasa terpencil dari daerah pegunungan yang sekarang termasuk kawasan barat laut wilayah Iran. Pada tahun 1595 SM, Babilonia diserbu bangsa Het, masyarakat penutur bahasa rumpun India-Eropa dari Anatolia. Syamsu-Ditana terguling dari takhta sesudah kota Babilon jatuh ke tangan Mursili I, raja berkebangsaan Het. Bangsa Het tidak lama menguasai Babilonia, tetapi kerusakan yang mereka timbulkan pada akhirnya membuka peluang bagi sekutu-sekutu Kasi mereka untuk merebut kekuasaan.

Perebutan kota Babilon dan kronologi Timur Dekat purba

Tarikh penjarahan kota Babilonia oleh bangsa Het di bawah pimpinan Raja Mursili I dianggap penting dalam berbagai perhitungan kronologi Timur Dekat Kuno yang terdahulu, karena dijadikan waktu-patokan. Rentang waktu perkiraan terjadinya peristiwa tersebut mencapai 230 tahun, sejajar dengan ketidakpastian jangka waktu "Abad Kegelapan" pada zaman Kemerosotan Akhir Zaman Perunggu, sehingga mengakibatkan bergesernya keseluruhan kronologi Zaman Perunggu Mesopotamia berdasarkan kronologi Mesir. Tarikh-tarikh perkiraan tersebut adalah sebagai berikut:

  • Kronologi sangat-pendek: 1499 SM
  • Kronologi pendek: 1531 SM
  • Kronologi menengah: 1595 SM (kemungkinan besar yang paling umum dipakai, dan kerap dipandang sebagai kronologi dengan dukungan terbanyak)[14][15][16][17][18][19]
  • Kronologi panjang: 1651 SM (lebih disukai sebagai acuan dalam beberapa rekonstruksi peristiwa astronomis)[8]
  • Kronologi sangat-panjang: 1736 SM[20]

Kulawangsa Kasi (1595–1155 SM)

Luas wilayah Kekaisaran babel pada zaman kulawangsa Kasi

Cikal bakal kulawangsa Kasi adalah Gandasy dari Mari. Seperti para penguasa Amori sebelum mereka, para penguasa Kasi juga bukan orang-orang pribumi Mesopotamia. Bangsa Kasi mula-mula muncul di daerah Pegunungan Zagros, yang sekarang termasuk kawasan barat laut wilayah Iran.

Kebudayaan

Kebudayaan Mesopotamia dari Zaman Perunggu sampai Zaman Besi Awal kadang-kadang dirangkum dengan sebutan "kebudayaan Asyur-Babilonia" karena eratnya saling ketergantungan etnis, bahasa, dan budaya kedua pusat kekuatan politik itu. Dulunya istilah "Negeri Babilonia" atau "Babilonia", khususnya di dalam karya-karya tulis dari sekitar awal abad ke-20, digunakan dengan makna yang juga mencakup sejarah awal kawasan selatan Mesopotamia pra-Babilonia, dan bukan semata-mata sebagai sebutan bagi negara kota Babilon saja. Di dalam karya-karya tulis termutakhir, pemakaian istilah "Babilonia" sebagai nama kawasan pada umumnya sudah diganti dengan istilah yang lebih tepat, yakni Sumeria atau Sumeria-Akkadia yang mengacu kepada peradaban Mesopotamia pra-Asyur-Babilonia.

Kebudayaan Babilonia

Hematit bertanda meterai gilas dari zaman Kekaisaran Babilonia Lama, menampilkan gambar raja mengorbankan hewan kepada Dewa Syamas, kemungkinan besar buatan sebuah bengkel di kota Sipar.[21]

Seni rupa dan arsitektur

Sepasang insan, plakat lempung bakar dari zaman Kekaisaran Babilonia Lama, kawasan selatan Mesopotamia, Irak

Di Babilonia, kelimpahan lempung dan kelangkaan batu menjadi sebab bata lumpur lebih banyak digunakan. Kuil-kuil bangsa Babilonia, Sumeria, maupun Asyur adalah gedung-gedung raksasa berdinding batu bata kasar yang ditopang banir, dan dilengkapi saringan-saringan pembuangan untuk mengalirkan air hujan. Salah satu saringan pembuangan air yang ditemukan di Ur terbuat dari timbal. Pemanfaatan batu bata menjadi pangkal pengembangan pilar semu maupun pilar sejati, fresko-fresko dan ubin-ubin berlapis email. Dinding-dinding dicat dengan warna mencolok, dan kadang-kadang dilapisi dengan pelat-pelat seng atau emas, maupun dengan ubin. Kerucut-kerucut terakota yang dicat direkatkan ke dinding dengan lepa sebagai tempat menaruh obor. Di Babilonia, sebagai ganti relief, banyak sekali dibuat patung-patung tiga dimensi. Contoh-contoh tertua dari patung-patung semacam itu adalah arca-arca Gudea, yang terlihat realistis kendati terkesan kikuk. Kelangkaan batu di Babilonia menyebabkan tiap keping batu dinilai tinggi. Pengghargaan terhadap nilai batu inilah yang mendorong bangsa Babilonia mencapai kesempurnaan tingkat tinggi di bidang seni potong batu mulia.[22]

Ilmu falak

Loh-loh yang diduga berasal dari zaman Kekaisaran Babilonia Lama mencatat penerapan ilmu matematika dalam penghitungan variasi waktu siang sepanjang satu tahun surya. Kegiatan mengamati fenomena langit yang sudah berlangsung selama berabad-abad terabadikan di dalam serangkaian loh beraksara baji yang dikenal dengan judul "Enūma Anu Enlil". Loh yang memuat teks astronomi signifikan tertua yang masih ada saat ini adalah Enūma Anu Enlil Loh 63, yakni loh Venus Ami-Saduqa. Loh ini memuat daftar waktu terbit Venus yang pertama sampai terakhir kali tertangkap mata dalam kurun waktu 21 tahun, dan merupakan bukti tertua yang menunjukkan bahwa fenomena sebuah planet sudah diketahui terjadi secara berkala. Astrolab persegi panjang tertua diperkirakan berasal dari zaman Babilonia sekitar tahun 1100 SM. Naskah MUL.APIN memuat daftar bintang dan rasi bintang maupun skema-skema untuk untuk memprakirakan kemunculan bintang dan terbenamnya planet-planet, panjang waktu siang berdasarkan jam air, gnomon, dan bayang-bayang, serta interkalasi.

Kebudayaan Babilonia Baru

Kebangkitan singkat budaya Babilonia pada abad ke-7 sampai abad ke-6 SM terjadi terjadi bersamaan dengan sejumlah kemajuan kebudayaan yang penting.

Astronomi

Dari semua ilmu pengetahuan, astronomi dan astrologilah yang paling diutamakan masyarakat Babilonia. Astronomi adalah ilmu yang sudah lama digeluti di Babilonia. Zodiak adalah salah satu penemuan bangsa Babilonia pada Abad Kuno, bahkan para ilmuwan Babilonia sudah dapat memperkirakan waktu terjadinya gerhana Matahari dan gerhana Bulan.[23] Ada lusinan catatan beraksara baji mengenai observasi-observasi gerhana yang dilakukan sendiri oleh bangsa Mesopotamia.

Astronomi Babilonia menjadi dasar pengembangan ilmu astronomi Yunani Kuno, Abad Klasik, Kekaisaran Sasaniyah, Bizantin, Syam, Dunia Islam pada Abad pertengahan, Asia Tengah, dan Eropa Barat.[23][24] Oleh karena itu, ilmu astronomi zaman Kekaisaran Babilonia Baru dapat dianggap sebagai leluhur langsung dari ilmu matematika dan astronomi bangsa Yunani, yang menjadi pangkal revolusi ilmu pengetahuan di Dunia Barat.[25]

Matematika

Naskah-naskah matematika Babilonia berlimpah ruah dan tersunting rapi.[25] Dari segi waktu pembuatan, peninggalan-peninggalan tertulis tersebut terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok naskah dari zaman Kekaisaran Babilonia Lama (1830–1531 SM), dan kelompok naskah yang sebagian besar merupakan peninggalan Kekaisaran Seleukia dari abad ke-4 atau abad ke-3 SM. Dari segi isi, kedua kelompok naskah tersebut nyaris tidak berbeda. Oleh karena itu hakikat dan kandungan ilmu matematika Babilonia dapat dibilang berjalan di tempat, karena hanya ada sedikit sekali kemajuan dan inovasi selama hampir dua ribu tahun.[diragukan][25]

Sistem matematika Babilonia adalah seksagesimal atau sistem bilangan dengan 60 angka dasar. Sistem seksagesimal adalah cikal bakal pembagian 1 menit menjadi 60 detik, pembagian 1 jam menjadi 60 menit, dan pembagian 1 lingkaran menjadi 360 (60x6) derajat. Bangsa Babilonia mampu meraih capaian-capaian besar bidang matematika lantaran dua faktor. Yang pertama, bilangan 60 dapat habis dibagi dengan banyak angka lain (2, 3, 4, 5, 6, 10, 12, 15, 20, dan 30), sehingga hitung-hitungan menjadi lebih mudah. Selain itu, tidak seperti bangsa Mesir dan bangsa Romawi, bangsa Babilonia memiliki suatu sistem nilai-tempat sejati. Deret angkanya berurut dari kiri ke kanan, mulai dari yang paling besar sampai yang paling kecil nilainya, sangat mirip dengan sistem desimal yang digunakan sekarang ini (734 = 7×100 + 3×10 + 4×1). Salah satu capaian bangsa Babilonia di bidang matematika adalah menghitung akar pangkat dua dari bilangan 2 dengan benar sampai tujuh angka di belakang koma (loh lempung YBC 7289). Bangsa Babilonia tampaknya sudah memahami teorema Pitagoras sebelum dicetuskan Pitagoras sendiri, terbukti dari isi loh lempung dengan pertanggalan kira-kira tahun 1900 SM yang diterjemahkan Dennis Ramsey sebagai berikut:

Panjangnya sama dengan 4 dan diagonalnya sama dengan 5. Berapakah lebarnya? Tidak diketahui ukurannya. 4 kali 4 sama dengan 16 dan 5 kali 5 sama dengan 25. Kurangkan 16 dari 25 maka tinggal 9 sisanya. Berapa kali berapa yang sama dengan 9? 3 kali 3 sama dengan 9. Jadi lebarnya sama dengan 3.

Ner (kelipatan 600) dan sar (kelipatan 3600) dibentuk dari bilangan 60, berpadanan dengan jarak 1 derajat di khatulistiwa. Loh-loh berisi perhitungan pangkat dua dan pangkat tiga dari 1 sampai 60 sudah ditemukan di situs Senkera, lagi pula bangsa yang sudah mengenal jam matahari, jam air, tuas, dan katrol mestilah memiliki pengetahuan mekanika yang mumpuni. lensa-lensa dari kaca timbal yang dibuat menggunakan mesin bubut ditemukan Austen Henry Layard di situs Nimrud bersama-sama dengan bejana-bejana kaca berukir nama Sargon. Lensa-lensa tersebut menjawab misteri aksara-aksara dengan ukuran yang sangat kecil pada beberapa loh keluaran Asyur.[26]

Bangsa Babilonia mungkin sudah terbiasa menerapkan kaidah-kaidah umum untuk mengukur luas bangun datar. Mereka menghitung panjang keliling lingkaran dengan rumus tiga kali panjang garis tengah, sementara luasnya dihitung dengan rumus seperdua belas kali panjang keliling yang dipangkatkan dua, dan bisa saja benar jika π dianggap sama dengan 3. Volume silinder dihitung dengan rumus luas alas kali tinggi, tetapi volume frustum kerucut atau limas persegi dihitung dengan cara yang keliru, yakni dengan rumus separuh luas alas kali tinggi. Belakangan ini ditemukan sebuah loh yang menggunakan π dengan nilai 3 1/8 (tiga seperdelapan). Bangsa Babilonia juga dikenal karena menghasilkan satuan mil Babilonia, yang kurang lebih sama dengan 11 kilometer (7 mil) sekarang ini. Satuan yang digunakan untuk mengukur jarak ini pada akhirnya diubah menjadi satuan mil-waktu yang dipakai mengukur jarak tempuh matahari, dan oleh karena itu merupakan perhitungan waktu. Bangsa Babilonia juga menggunakan graf ruang waktu untuk menghitung kecepatan Yupiter. Perhitungan ini merupakan sebuah gagasan yang terbilang sangat modern, yang jejaknya dapat dirunut sampai ke Inggris dan Prancis pada abad ke-14 dan mendahului kalkulus integral.[27]

Filsafat

Asal-usul filsafat Babilonia dapat dilacak sampai kepada kesusastraan hikmat Mesopotamia, yang menyarikan filsafat-filsafat hidup tertentu, khususnya etika, dalam bentuk dialektika, dialog, wiracarita, cerita rakyat, himne, lirik lagu, prosa, dan peribahasa. Penalaran dan rasionalitas bangsa Babilonia berkembang di luar observasi empiris.[28]

Kemungkinan besar filsafat Babilonia juga mempengaruhi filsafat Yunani, khususnya filsafat Helenistis. Karya tulis Babilonia yang dijuduli Dialog Pesimisme menampakkan kemiripan dengan fikrah agonistis para filsuf sofis, doktrin kontras para filsuf heraklitan, dan dialog-dialog Plato. Dialog Pesimisme juga merupakan pendahulu dari metode maieutis yang dicetuskan filsuf Sokrates.[29] Filsuf Tales yang bermazhab Miletos diketahui pernah belajar filsafat di Mesopotamia.

Warisan sejarah

Babilonia, teristimewa ibu kotanya, Babilon, sudah lama dijadikan lambang kekuasaan yang bejat dan kelewat batas di dalam agama-agama Abrahamik. Babilonia kerap disebut-sebut di dalam Alkitab (sebagai Babel), baik dalam arti harfiah (historis) maupun dalam arti kias (alegoris). Penyebutan Babel di dalam Alkitab Ibrani cenderung bersifat historis atau profetis, sementara sebutan apokaliptis Pelacur Babel di dalam Perjanjian Baru sepertinya lebih bersifat kiasan, dan mungkin sekali merupakan kata sandi untuk Roma yang pagan atau semacam arketipe lainnya. Taman Gantung Babilonia dan Menara Babel yang legendaris itu masing-masing dipandang sebagai lambang kemewahan dan lambang keangkuhan kekuasaan.

Umat Kristen perdana adakalanya menyebut Roma dengan nama Babel. Rasul Petrus mengakhiri suratnya yang pertama dengan kalimat berikut ini:

Salam kepada kamu sekalian dari kawanmu yang terpilih yang di Babilon, dan juga dari Markus, anakku.

Kitab Wahyu memuat kalimat berikut ini:

Dan seorang malaikat lain, malaikat kedua, menyusul dia dan berkata: "Sudah rubuh, sudah rubuh Babel, kota besar itu, yang telah memabukkan segala bangsa dengan anggur hawa nafsu cabulnya."

Contoh-contoh lain adalah Wahyu 16:19 dan Wahyu 18:2.

Babilonia disebutkan di dalam Alquran pada ayat 102 Surah Surah Al-Baqarah sebagai berikut:

Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman. Sulaiman itu tidak kafir tetapi setan-setan itulah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babilonia yaitu Harut dan Marut. Padahal keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seseorang sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kafir.” Maka mereka mempelajari dari keduanya (malaikat itu) apa yang (dapat) memisahkan antara seorang (suami) dengan istrinya. Mereka tidak akan dapat mencelakakan seseorang dengan sihirnya kecuali dengan izin Allah. Mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan, dan tidak memberi manfaat kepada mereka. Dan sungguh, mereka sudah tahu, barangsiapa membeli (menggunakan sihir) itu, niscaya tidak akan mendapat keuntungan di akhirat. Dan sungguh, sangatlah buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka tahu.

Lihat pula

Keterangan

  1. ^ Kemerdekaan = addurāru dalam bahasa Akkadia.

Rujukan

  1. ^ F. Leo Oppenheim, Ancient Mesopotamia
  2. ^ "Aliraqi - Babylonian Empire". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-02-21. Diakses tanggal 2015-02-21. 
  3. ^ Kekaisaran Babilonia - Livius
  4. ^ Kejadian 11:9.
  5. ^ Magnus Magnusson, BC: The Archaeology of the Bible Lands. BBC Publications 1977, pp. 198–199.
  6. ^ a b c Deutscher, Guy (2007). Syntactic Change in Akkadian: The Evolution of Sentential Complementation. Oxford University Press, Amerika Serikat. hlm. 20–21. ISBN 978-0-19-953222-3. 
  7. ^ Woods C. 2006 "Bilingualism, Scribal Learning, and the Death of Sumerian". Dalam S.L. Sanders (penyunting) Margins of Writing, Origins of Culture: 91–120 Chicago [1]
  8. ^ a b Khalisi, Emil (2020), The Double Eclipse at the Downfall of Old Babylon, arXiv:2007.07141alt=Dapat diakses gratis 
  9. ^ A. K. Grayson (1972). Assyrian Royal Inscriptions, Jilid 1. Otto Harrassowitz. hlm. 7–8. 
  10. ^ Roux, Georges (27 Agustus 1992), "The Time of Confusion", Ancient Iraq, Penguin Books, hlm. 266, ISBN 9780141938257 
  11. ^ Robert William Rogers, A History of Babylonia and Assyria, Jilid I, Eaton & Mains, 1900.
  12. ^ Oppenheim Ancient Mesopotamia
  13. ^ Georges Roux, Ancient Iraq
  14. ^ van de Mieroop, M. (2007). A History of the Ancient Near East, ca. 3000–323 BC. Malden: Blackwell. ISBN 978-0-631-22552-2.
  15. ^ Liverani, Mario (2013). The Ancient Near East: History, Society and Economy. Routledge. hlm. 13, Tabel 1.1 "Chronology of the Ancient Near East". ISBN 9781134750917.
  16. ^ Akkermans, Peter M.M.G.; Schwartz, Glenn M. (2003). The Archaeology of Syria. From Complex Hunter-Gatherers to Early Urban Societies (ca. 16,000–300 BC). Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0-521-79666-0.
  17. ^ Sagona, A.; Zimansky, P. (2009). Ancient Turkey. London: Routledge. ISBN 978-0-415-28916-0.
  18. ^ Manning, S.W.; Kromer, B.; Kuniholm, P.I.; Newton, M.W. (2001). "Anatolian Tree Rings and a New Chronology for the East Mediterranean Bronze-Iron Ages". Science. 294 (5551): 2532–2535. doi:10.1126/science.1066112. PMID 11743159.
  19. ^ Sturt W. Manning et al., Integrated Tree-Ring-Radiocarbon High-Resolution Timeframe to Resolve Earlier Second Millennium BCE Mesopotamian Chronology, PlosONE July 13 2016
  20. ^ Eder, Christian., Assyrische Distanzangaben und die absolute Chronologie Vorderasiens, AoF 31, 191–236, 2004.
  21. ^ Al-Gailani Werr, L., 1988. Studies in the chronology and regional style of Old Babylonian Cylinder Seals. Bibliotheca Mesopotamica, Jilid 23.
  22. ^ Sayce 1911, hlm. 108.
  23. ^ a b Sayce 1911, hlm. 107.
  24. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama pingree
  25. ^ a b c Aaboe, Asger. "The culture of Babylonia: Babylonian mathematics, astrology, and astronomy". The Assyrian and Babylonian Empires and other States of the Near East, from the Eighth to the Sixth Centuries B.C. John Boardman, I. E. S. Edwards, N. G. L. Hammond, E. Sollberger & C. B. F. Walker (para penyunting). Cambridge University Press, (1991)
  26. ^ Sayce 1911, hlm. 107–108.
  27. ^ Ossendrijver, Mathieu (29 January 2016). "Ancient Babylonian astronomers calculated Jupiter's position from the area under a time-velocity graph". Science (dalam bahasa Inggris). 351 (6272): 482–484. Bibcode:2016Sci...351..482O. doi:10.1126/science.aad8085. PMID 26823423. 
  28. ^ Giorgio Buccellati (1981), "Wisdom and Not: The Case of Mesopotamia", Journal of the American Oriental Society 101 (1), hlmn. 35–47.
  29. ^ Giorgio Buccellati (1981), "Wisdom and Not: The Case of Mesopotamia", Journal of the American Oriental Society 101 (1), hlmn. 35–47 [43].

Kepustakaan

Pranala luar