Lompat ke isi

Bonus demografi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Bonus Demografi (bahasa Inggris: Demographic Dividend), berdasarkan istilah dari Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Population Fund (UNFPA)), adalah potensi pertumbuhan ekonomi yang tercipta akibat perubahan struktur umur penduduk, dimana proporsi usia kerja (15-65 tahun) lebih besar daripada proporsi bukan usia kerja (0-14 tahun dan >65 tahun).[1] Kondisi ini dapat terjadi ketika angka kelahiran dan angka kematian menurun pada suatu negara, dimana hal ini menyebabkan usia non-produktif (0-14 tahun) menurun dan penduduk usia kerja dapat hidup lebih lama untuk menghasilkan potensi pertumbuhan ekonomi.[2] Secara angka, terjadinya Bonus Demografi dapat diukur dengan menurunnya rasio ketergantungan di suatu negara yang berarti proporsi usia produktif di negara tersebut meningkat.

Namun, Bonus Demografi tidak dapat serta merta terjadi ketika jumlah penduduk usia produktif besar, melainkan harus diiringi dengan peningkatan produktivitas dari penduduk usia kerja tersebut.[3] UNFPA menyatakan bahwa suatu negara dapat menikmati bonus demografi ketika setiap orang menikmati kesehatan yang baik, pendidikan yang berkualitas, pekerjaan yang layak, dan kemandirian anak muda. Kondisi ini dapat terjadi ketika suatu negara yang memiliki potensi jumlah penduduk tersebut juga memiliki kebijakan yang baik.[1]

Setiap negara pasti melalui era Bonus Demografi dan ini hanya terjadi sekali dalam sejarah suatu bangsa.[4] Apabila suatu negara tidak siap dalam menghadapi bonus demografi, maka yang terjadi justru adalah bencana demografi, salah satunya angka pengangguran yang tinggi dimana dapat menimbulkan potensi konflik sosial.[4][5] Negara-negara di Asia, termasuk Indonesia, saat ini sedang berada dalam era Bonus Demografi.

Bonus Demografi di Indonesia

[sunting | sunting sumber]
Rasio Ketergantungan Penduduk Indonesia[3]

Terciptanya Bonus Demografi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pemerintah pada tahun 1970-an, yaitu Keluarga Berencana (KB). Keberhasilan kebijakan KB berhasil menrunkan angka kelahiran, bersamaan dengan penurunan angka kematian melalui kebijakan peningkatan kualitas kesehatan. Sejak kebijakan tersebut, Indonesia mengalami transisi demografi atau perubahan struktur umur penduduk, dimana proporsi anak-anak usia 15 tahun ke bawah menurun dengan cepat, diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk usia kerja dan peningkatan perlahan penduduk lansia. Dengan demikian, sejak sekitar tahun 1980-an, Indonesia masuk dalam era Bonus Demografi yang puncaknya akan terjadi sekitar tahun 2030, yang disebut sebagai jendela peluang (window of opportunity). Pada tahun 2030 tersebut, proposi penduduk usia 15-64 tahun di Indonesia mencapai angka 68,1% dan angka rasio ketergantungan sebesar 46,9.[3]

Prof. Sri Moertiningsih Adioetomo, yang merupakan dosen dan peneliti Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, mencetuskan istilah bonus demografi dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar ilmu kependudukan.[4] Sejak saat itu, konsep bonus demografi dimasukkan dalam perencanaan pembangunan pemerintah. Beliau menyarankan konsep pembangunan manusia berdasarkan daur hidup untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, demi tercapainya bonus demografi. Pembangunan hidup manusia ini harus diperhatikan untuk setiap tahapan daur hidup manusia, yaitu dimulai dengan seribu hari pertama kehidupan, pendidikan usia dini, pendidikan formal, masa remaja, transisi menuju dunia kerja, pada usia produktif dan masa kerja, perkawinan, dan lanjut usia.[3]

Pemerintahan Presiden Joko Widodo mengadopsi konsep ini ke dalam kebijakan pembangunannya. Dalam pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia dalam rangka Hari Ulang Tahun ke-74 Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 2019 pada Sidang Bersama DPR-RI dan DPD-RI, Presiden Joko Widodo menyampaikan keoptimisannya dalam ketercapaian Bonus Demografi. Presiden menyatakan bahwa pemerintahannya akan fokus untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dengan menekankan pentingnya akses dan kualitas pendidikan serta kesehatan.[6]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b "Demographic dividend". www.unfpa.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-25. 
  2. ^ "Fact Sheet: Attaining the Demographic Dividend – Population Reference Bureau" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-25. 
  3. ^ a b c d Adioetimo, Sri Moertiningsih (Maret 2018). Memetik Bonus Demografi: Membangun Manusia Sejak Dini. Depok: PT RajaGrafindo Persada. ISBN 978-602-425-241-0. 
  4. ^ a b c Hidayat, Reja. ""Bonus Demografi Berpotensi Memunculkan Konflik Sosial"". tirto.id. Diakses tanggal 2020-04-26. 
  5. ^ Hidayat, Reja. "Pedang Bermata Dua Bernama Bonus Demografi". tirto.id. Diakses tanggal 2020-04-26. 
  6. ^ developer, mediaindonesia com (2019-08-16). "Presiden Optimistis Bonus Demografi Jadi Lompatan Kemajuan Bangsa". mediaindonesia.com. Diakses tanggal 2020-04-25. 

7. https://news.detik.com/kolom/d-4120734/kepemimpinan-kaum-muda-dalam-pemerintahan. Opini viral dan menjadi rujukan pada tahun 2018 yang memaparkan pentingnya generasi muda milenial menjadi menteri di pemerintahan atau jabatan strategis di pemerintah ( staf khusus dan sejenisnya ) karena perubahan struktur kependudukan yang sering di sebut dengan fenomena bonus demografi. Pada akhirnya pemerintah menunjuk salah satu menteri milenial Nadiem Makarim ( 34 tahun ) dan beberapa staf khusus.

8. https://www.buatbuku.com/book/daya-ungkit-bonus-demografi-indonesia Salah satu buku pertama yang membahas isu bonus demografi di Indonesia dengan lengkap. Buku ini berisi ide-ide progresif dengan bahasa yang mudah di pahami dan sebagai pengantar di tulis oleh bapak Ir. Sarwono Kusumaatmadja yang pernah menjabat sebagai menteri 3 kali di 2 pemerintahan berbeda (Sarwono Kusumaatmadja)