Distrik Liquiçá
Liquiçá
Likisá | |
---|---|
Negara | Timor Leste |
Ibu kota | Liquiçá |
Kota | Bazartete, Liquiçá, Maubara |
Luas | |
• Total | 543 km2 (210 sq mi) |
Peringkat | ke-12 |
Populasi (2004) | |
• Total | 54.834 |
• Peringkat | ke-8 |
• Kepadatan | 100/km2 (260/sq mi) |
• Peringkat kepadatan | ke-3 |
Rumah tangga | |
• Jumlah | 11.063 (per 2004) |
• Peringkat | ke-10 |
Zona waktu | UTC+9 |
Kode ISO 3166 | TL-LI |
Liquiçá (Bahasa Tetum: Likisá) adalah salah satu distrik di Timor Leste. Ibu kotanya juga bernama Liquiçá. Kerajaan Liquiçá ada kaitan dengan Suku Bangsa Belu/Tetun, dalam kesatuan ikatan Adat dengan Kerajaan Belu Tasifeto/Fialaran dalam sapaan adat: Torlai Balibo Dirbati Mauubu Bobiknuan Maubara Atsabe Leimea. Perang hebat antara Likusaen dan Wehali karena Wehali telah berlaku jahat dan tidak adil kepada Likisá.
Distrik Liquiçá terletak di pantai utara Timor Leste dan berbatasan dengan distrik Dili (di situ juga terdapat ibu kota negara) di sebelah timur, Aileu di tenggara, Ermera di selatan, dan Bobonaro di barat daya. Di barat lautnya terletak Laut Sabu. Distrik ini berpenduduk 55.058 orang (sensus 2004) dengan wilayah seluas 543 km². Distrik ini identik dengan distrik yang bernama sama di Timor Portugis. Sub-distriknya adalah Bazartete, Liquiçá dan Maubara.
Distrik ini terkenal karena lokasinya yang indah, pemandangan Selat Ombainya yang mempesona yang paling jelas kelihatan bila kita mengemudi dari Dili masuk ke Liquiçá, mengelilingi punggung gunung terakhir sebelum akhirnya menurun ke lembah. Pantainya berbatu-batu karang, seperti juga semua pantai di Timor Leste, tetapi indah sekali. Sungai yang mengalir ke laut dari gunung-gunungnya kering, kecuali pada musim angin muson. Di waktu itu jalan utamanya akan hanyut beberapa kali, tetapi setiap kali diperbaiki oleh penduduk setempat. Sisi buruknya adalah di daerah itu banyak sekali nyamuk yang mengakibatkan penyakit yang mematikan, seperti malaria dan demam berdarah denggi.
Selain bahasa resmi nasional, yaitu bahasa Tetum dan bahasa Portugis, hampir semua penduduk Liquiçá dapat berbicara bahasa Tocodede, sebuah bahasa Melayu-Polinesia.
Bangunan
[sunting | sunting sumber]Pada masa penjajahan Portugis, hanya ada sedikit sekali bangunan di sana selain dari gubuk-gubuk tradisional yang didiami oleh masyarakat Timor Leste setempat. Kebanyakan bagunan di sana dibangun pada masa pendudukan Indonesia, tetapi sebagian besar dihancurkan oleh kerusuhan milisi dan serangan-serangan penuh kekerasan sebelum dan sesudah referendum pada 1999. Sebagian gedung-gedung yang masih utuh adalah bangunan-bangunan Portugis. Banyak dari bangunan-bangunan Indonesia yang masih dapat diperbaiki. Konstruksi dan rancangannya bergaya tradisional Indonesia yang sudah kuno, tetapi artistik dan kreatif.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Banyak cerita yang masih tertinggal tentang seorang kolonel tentara Jepang yang ditembak dan terbunuh dari kejauhan oleh seorang penembak jitu SAS Australia pada Perang Dunia II, di hadapan ratusan saksi mata orang Timor Leste. Tidak seorangpun yang tahu pasti tanggalnya. Orang pun tidak sepenuhnya yakin bahwa itu adalah cerita rakyat, legenda, ataukah benar-benar terjadi. Namun kisah itu adalah ciri khas pengalaman di Liquiçá.
Liquiçá mempunyai sejarah yang indah, tetapi dibayang-bayangi oleh kesedihan dan penderitaan.
Pada awal pendudukan Portugis, sub-distrik Maubara, bagian dari wilayah Liquiçá, direbut oleh Belanda. Benteng Belanda di Maubara di dekat pantai masih dilestarikan dengan baik dan masih memiliki meriam asli yang moncongnya dulu diarahkan ke teluk. Belakangan Portugal berunding dengan Belanda dan menukarnya dengan Pulau Flores, yang saat itu diduduki oleh Portugis. Maubara juga merupakan tempat terbentuknya pertama kali kelompok milisi yang ditakuti, Besi Merah Putih.
Pada masa pendudukan Indonesia, pemerintah Indonesia membangun banyak bangunan di Liquiçá, tetapi setelah referendum 1999 dan selama kampanye milisi hampir semuanya dihancurkan. Yang paling menonjol pula, banyak orang Timor Leste yang dibunuh selama Pembantaian di Gereja Liquiçá pada April 1999. Pada September 1999 seorang perwira polisi Amerika yang bertugas di bawah Polisi Internasional ditembak (meskipun tidak fatal) oleh pasukan-pasukan pro-Indonesia sementara PBB mengevakuasi Liquiçá.
Dari September hingga November 1999, kehidupan kembali normal di Liquiçá, ketika Pasukan Penjaga Perdamaian PBB dari Portugal membangun sebuah basis di Maubara, dan Polisi Internasional membangun markasnya di pusat kota Liquiçá. Mulanya ada 14 orang Polisi Internasional yang ditugasi di Liquiçá. Mereka mewakili Swedia, Kanada, Britania Raya, Ghana, Malaysia, dan Amerika Serikat. Di Liquiçá pulalah perwira Polisi Internasional yang bertugas di Timor Leste tewas akibat demam berdarah denggi; ia berasal dari Ghana. Pada masa ini, Polisi Internasional menduduki kompleks gereja yang sama, di tempat terjadinya Pembantaian di Gereja Liquiçá. Unsur militer Penjaga Perdamaian untuk Liquiçá adalah marinir Portugis.