Kurnianingrat: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Glorious Engine (bicara | kontrib)
Glorious Engine (bicara | kontrib)
Baris 45: Baris 45:


[[File:Rijstuitdeling in Solo en Djocja spoedig na de bezetting, Bestanddeelnr 2659.jpg|thumb|Para penduduk Yogyakarta sedang menunggu pengiriman beras saat penipisan makanan usai Belanda menyerang kota tersebut pada tahun 1948.]]
[[File:Rijstuitdeling in Solo en Djocja spoedig na de bezetting, Bestanddeelnr 2659.jpg|thumb|Para penduduk Yogyakarta sedang menunggu pengiriman beras saat penipisan makanan usai Belanda menyerang kota tersebut pada tahun 1948.]]
Pada 1947, Kurnianingrat terpilih menjadi jurutulis untuk delegasi Indonesia untuk [[Perjanjian Renville]] dengan Belanda yang dinaungi oleh [[Perserikatan Bangsa-Bangsa]].{{sfn|Zainu'ddin|1994|p=118}} Setelah pasukan Belanda melanggar perjanjian [[gencatan senjata]] dan [[Operasi Kraai|merebut Yogyakarta]] pada 1948, ia membantu [[Revolusi Nasional Indonesia|perjuangan Indonesia]] dengan mengijinkan para pejuang [[gerilya]] untuk memakai rumahnya sebagai depot suplai.{{sfn|Zainu'ddin|1994|p=118}} Karena serangan tersebut menimbulkan penyusutan pangan di kota tersebut, ia dan wanita lainnya mengoperasikan "[[dapur sup|dapur nasi]]" untuk memberi makan para keluarga yang tak memiliki persediaan pangan.{{sfn|Kahin|2003a|p=396–397}} Ia juga tetap mengajar para murid secara diam-diam dengan para guru perguruan tinggi lainnya dan juga melakukan pekerjaan administratif untuk [[Palang Merah Indonesia]].{{sfn|Zainu'ddin|1997|p=184}} Meskipun para prajurit [[Pemerintahan Sipil Hindi Belanda]] memeriksa rumahnya, kegiatan rahasianya tak pernah terbongkar. Pada 1949, serangan tersebut telah membuat warga dunia menentang Belanda, yang kemudian terpaksa membebaskan para pemimpin Indonesia yang ditangkap dan mengadakan [[Konferensi Meja Bundar]] yang berujung pada pengkuan kedaulatan Indonesia pada bulan Desember.{{sfn|Zainu'ddin|1997|p=185}}
Pada 1947, Kurnianingrat terpilih menjadi jurutulis untuk delegasi Indonesia untuk [[Perjanjian Renville]] dengan Belanda yang dinaungi oleh [[Perserikatan Bangsa-Bangsa]].{{sfn|Zainu'ddin|1994|p=118}} Setelah pasukan Belanda melanggar perjanjian [[gencatan senjata]] dan [[Operasi Kraai|merebut Yogyakarta]] pada 1948, ia membantu [[Revolusi Nasional Indonesia|perjuangan Indonesia]] dengan mengijinkan para pejuang [[gerilya]] untuk memakai rumahnya sebagai depot suplai.{{sfn|Zainu'ddin|1994|p=118}} Karena serangan tersebut menimbulkan penyusutan pangan di kota tersebut, ia dan wanita lainnya mengoperasikan "[[dapur sup|dapur nasi]]" untuk memberi makan para keluarga yang tak memiliki persediaan pangan.{{sfn|Kahin|2003a|p=396–397}} Ia juga tetap mengajar para murid secara diam-diam dengan para guru perguruan tinggi lainnya dan juga melakukan pekerjaan administratif untuk [[Palang Merah Indonesia]].{{sfn|Zainu'ddin|1997|p=184}} Meskipun para prajurit [[Pemerintahan Sipil Hindia Belanda]] memeriksa rumahnya, kegiatan rahasianya tak pernah terbongkar. Pada 1949, serangan tersebut telah membuat warga dunia menentang Belanda, yang kemudian terpaksa membebaskan para pemimpin Indonesia yang ditangkap dan mengadakan [[Konferensi Meja Bundar]] yang berujung pada pengkuan kedaulatan Indonesia pada bulan Desember.{{sfn|Zainu'ddin|1997|p=185}}


=== Belajar ke luar negeri dan pulang ke Indonesia ===
=== Belajar ke luar negeri dan pulang ke Indonesia ===

Revisi per 8 April 2023 06.46

Raden Ajeng
Kurnianingrat Sastrawinata
Kurnianingrat, c. 1950
LahirKoernia[1]
(1919-09-04)4 September 1919
Ciamis, Hindia Belanda
Meninggal18 Oktober 1993(1993-10-18) (umur 74)
Jakarta, Indonesia
AlmamaterCornell University (MA)
Dikenal atas
Suami/istri
(m. 1970; meninggal 1975)
Orang tua

Raden Ajeng Kurnianingrat Sastrawinata (4 September 1919 – 18 Oktober 1993), atau lebih dikenal dengan nama Kurnianingrat,[a] merupakan seorang edukator dan perintis dari kurikulum pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Ia pernah menjabat sebagai wakil kepala Inspeksi Pengajaran Bahasa Inggris (IPBI), sebuah institusi di bawah Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia, dari tahun 1953 hingga 1956. Kemudian, ia menjabat sebagai kepala Program Studi Inggris di Universitas Indonesia.

Lahir dari keluarga aristrokasi Sunda—ayahnya adalah bupati Ciamis, Jawa Barat (saat itu masih bagian dari koloni Hindia Belanda) dan ibunya merupakan seorang guru di Garut—Kurnianingrat mengenyam pendidikan di sekolah berbahasa Belanda dan tinggal di bersama-sama dengan keluarga Belanda dan Indo-Eropa. Setelah sekolah menengah, ia menamati sekolah pelatihan keguruan dan memperoleh diploma pendidikan, dengan spesialisasi di psikologi. Tugas mengajar pertamanya, pada 1938, adalah di Batavia (sekarang Jakarta), dimana ia pertama kali mengetahui tentang perkembangan kebangkitan nasional Indonesia. Selama dan segera setelah pendudukan Jepang di Hindia Belanda, ia bekerja dan tinggal di Yogyakarta dan menjadi saksi sekaligus partisipan dari Revolusi Nasional Indonesia. Disana, ia bertemu dengan perdana menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo, yang nantinya ia nikahi pada tahun 1970. Dua muridnya, Daoed Joesoef dan Nugroho Notosusanto, menjadi menteri pendidikan.

Kurnianingrat menghabiskan waktu di luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya, pertama, pendidikan selama satu tahun di Sydney untuk mempelajari sistem edukasi Australia, lalu dua tahun di Universitas Cornell di Amerika Serikat untuk menyelesaikan magister di bidang literatur Inggris. Ia berteman dengan sejumlah akademisi asing di Indonesia, terbasuk Herbert Feith dan istrinya, Betty, Ailsa Thomson Zainuddin, dan George McTurnan Kahin. Berkat pengalamannya bekerja bersama Feiths dan Zainuddin, yang merupakan salah satu sukarelawan Australia pertama yang mengerjakan tugas dari pemerintah Indonesia, ia menjadi pendukung awal dari program sukarelawan internasional Australia.

Biografi

Kehidupan awal, keluarga dan pendidikan

Alun-alun Ciamis, c. 1925–1933. Kurnianingrat dan ibunya tinggal di sebuah rumah sederhana dekat masjid di sebelah kanan, di belakang barisan pohon.[2]

Kurnianingrat lahir di Ciamis, sebuah kota dekat perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah, pada 4 September 1919.[b] Ayahnya adalah Raden Adipati Aria Sulaeman Sastrawinata, seorang praiyayi Sunda yang diangkat menjadi bupati Ciamis oleh pemerintahan koloni Hindia Belanda yang meliputi Jawa.[3][4][5][c] Ia menikahi Suhaemi, seorang guru sekolah asal Garut dan putri dari seorang tuan tanah lokal, setelah kematian istri pertamanya akibat disentri.[4][6] Karena istri pertamanya tak menghasilkan anak, Sastrawinata menamai anak pertamanya dari pernikahan tersebut dengan sebutan "Kurnia", yang artinya muruah. Nama tersebut kemudian diikuti dengan sebutan "ningrat", yang artinya keturunan priyayi.[4]

Di sisi lain, Suhaemi tak lahir dari keluarga bangsawan. Sehingga, ia tak menyandang gelar Raden Ayu dan menjadi istri utama dari bupati tersebut.[4] Sepuluh hari usai kelahiran Kurnianingrat, ayahnya menikahi Kancananingrat, seorang putri janda dari bupati Sumedang, dan ia menjadi Raden Ayu.[2][6][d] Kancananingrat memperlakukan Kurnianingrat seperti anaknya sendiri dan mengurusi urusan rumah tangganya. Sementara itu, Kurnianingrat dan dan ibu kandungnay tinggal di sebuah rumah terpisah dari kabupaten tersebut, kediaman bupati dan Raden Ayu. Ia selalu disambut di kabupaten tersebut dan berkunjung setiap hari selama beberapa jam, seringkali menemani ayahnya pada perjalanan inspeksi keliling kabupaten tersebut.[2] Seorang adik laki-laki lahir pada tahun 1924,[7] dan dua saudari masing-masing lahir pada tahun 1932 dan 1934.[8]

Kurnianingrat mulai masuk sekolah desa dalam usia tiga atau empat tahun.[2] Pada tahun berikutnya, ia dikirim ke sekitaran Tasikmalaya untuk tinggal dengan sebuah keluarga Indo-Eropa. Hal tersebut membolehkannya untuk mempelajari bahasa Belanda, yang menjanjikan kesempatan untuk pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik pada era kolonial. Pada usia lima tahun, pengetahuan bahasanya membuatnya layak untuk masuk ke sekolah dasar Eropa pada tingkat kedua.[9] ia kemudian dikirim ke Bandung dalam usia tujuh tahun untuk masuk sebuah sekolah yang dijalankan oleh ordo Ursulin. Tak menemukan teman di sekolah tersebut, ia seringkali mengunjungi bioskop, belajar bahasa Jerman dan menunjang kemampuan berbahasa Inggris dengan menonton film-film asing.[3] Setelah lulus SMP, ia masuk sekolah pelatihan guru Perhimpunan Indo-Eropa (Indo-Europees Verbond Kweekschool) di Bandung. Pada waktu itu, ayahnya pensiun dari jabatan bupati dan menyewa vila di kota tersebut, yang membuat Kurnianingrat dapat tinggal dengan keluarganya pada masa sekolah.[8] Ia mengikuti kursus pelatihan selama dua tahun, yang membuatnya meraih sertifikat Hoofdacte (kepala guru). Pada masa itu, ia juga mengajar paruh wakil di sekolah putri.[10]

Karir awal dan kegiatan masa perang

Baginda Dahlan Abdullah (1895–1950), yang memperkenalkan Kurnianingrat dengan gerakan kemerdekaan Indonesia

Pada 1938, Kurnianingrat memulai karir mengajar kelas tiga di sekolah dasar Tionghoa-Belanda di Glodok, sebuah pecinan di ibukota kolonial, Batavia (sekarang Jakarta).[10] Seorang kolega asal Sumatra yang mengajar kelas enam, Dahlan Abdullah, memperkenalkannya kepada gerakan kemerdekaan Indonesia melawan pemerintahan kolonial. Melaluinya, ia menjadi sadar akan ketidakadilan yang dilakukan oleh Belanda dan mendapati bahwa kebanyakan orang pribumi Indonesia tak diijinkan masuk ke sekolah dasar Eropa seperti dirinya.[11] Atas permintaan ayahnya, ia kemudian dipindahkan oleh Kementerian Pendidikan ke Purwakarta untuk mengajar di sekolah dasar Eropa.[12] Karena sekolah tersebut dekat dengan rumahnya, adiknya dan beberapa keponakan dan kemenakannya yang masih muda masuk ek sekolah tersebtu dan diajar oleh Kurnianingrat.[13]

Perang kemudian terjadi di Eropa. Karena Jerman memulai invasi Belanda, kepala sekolah hengkang untuk bergabung dengan upaya pertahanan. Kurnianingrat, sebagai staf pengajar paling terkualifikasi berikutnya, menggantikannya sebagai kelapa sekolah, yang tidak disenangi guru lainnya dan petinggi kolonial lokal. Namun, karena invasi Hindia Belanda oleh Jerman usai serangan Pearl Harbor pada 1941, sekolah tersebut kemudian ditutup ketika keluarga-keluarga Belanda mulai hengkang ke Australia dan wilayah lainnya.[13] Kurnianingrat juga dievakuasi ke daerah pinggiran dengan keluarganya. Pada Maret 1942, pasukan Jepang menduduki Purwakarta.[13] Invasi tersebut menyebabkan ayahnya kehilangan kesempatan pensiunnya dari pemerintahan kolonial Belanda, sehingga Kurnianingrat kembali berniat bekerja di Batavia, yang waktu itu diganti namanya menjadi Jakarta oleh pemerintahan militer Jerman, usai menganggur selama berbulan-bulan. Di sana, ia kembali bertemu dengan mantan koleganya, Dahlan Abdullah, yang diangkat oleh Jepang sebagai kepala pemerintahan daerah sementara karena memiliki pandangan anti-Belanda. Dahlan Abdullah menawarkan pekerjaan kepada Kurnianingrat di kantor pemerintahan daerah, meskipun gajinya sangat kecil[14] Kemudian, ia ditugaskan Kementerian Pendidikan Jepang untuk memegang jabatan guru psikologi di Sekolah Guru Perempuan di Yogyakarta.[14] Ia mula-mula meminati psikologi pada masa menjadi pelajar di sekolah pelatihan guru Perhimpunan Indo-Eropa.[8]

Di Yogyakarta, Kurnianingrat mengamati bahwa para penduduk terbiasa berbicara dalam bahasa Indonesia alih-alih bahasa asing.[15] Sebagai pemakai bahasa Belanda yang handal, ia sangat sedikit mengetahui bahasa Indonesia, karena bahasa tersebut menjadi bahasa pengantar utama di sekolah tempat ia mengajar. Seorang kolga telah menerjemahkan pelajaran-pelajarannya ke dalam bahasa Indonesia, dan ia akan mengajarkannya di kelas-kelas.[16] Ketika ekonomi memburuk pada masa pendudukan Jepang, Kurnianingrat membarter pakaian batik dan menjual perhiasannya untuk mendukung pendidikan para anggota keluarganya.[16] Ia berlibur dengan keluarganya di Purwakarta saat kabar menyerahnya Jepang kepada Sekutu barat pada 1945 mencapai Hindia Belanda. Berharohari kemudian, kabar pemimpin kemerdekaan Sukarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia mencapai Yogyakarta melalui siaran radio Australia.[17] Pasukan Sekutu datang pada September untuk mengembalikan kekuasaan Belanda, membuat pemerintahan republik yang baru dibentuk untuk berpindah ke Yogyakarta, beserta dengan para pejabat pemerintah, panglima militer, pejabat asing dan wartawan.[18][19] Pada 1946, Kurnianingrat mulai mengahar bahasa Inggris di SMA dan juga membaca siaran-siaran berbahasa Inggris untuk stasiun radio Voice of Free Indonesia.[20] Ia dan guru sejawatnya, Utami Soerjadarma, ditugaskan untuk ikut serta dalam banyak kegiatan makan malam kenegaraan di Gedung Agung karena tak banyak orang indonesia yang dapat berbahasa Inggris dengan tetamu asing pada masa itu.[19] Ia berharap agar, dengan menghadiri makan malam tersebut, "Aku dapat membantu membuat citra rakyat indonesia tak dipandang sebelah mata."[21]

Para penduduk Yogyakarta sedang menunggu pengiriman beras saat penipisan makanan usai Belanda menyerang kota tersebut pada tahun 1948.

Pada 1947, Kurnianingrat terpilih menjadi jurutulis untuk delegasi Indonesia untuk Perjanjian Renville dengan Belanda yang dinaungi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.[20] Setelah pasukan Belanda melanggar perjanjian gencatan senjata dan merebut Yogyakarta pada 1948, ia membantu perjuangan Indonesia dengan mengijinkan para pejuang gerilya untuk memakai rumahnya sebagai depot suplai.[20] Karena serangan tersebut menimbulkan penyusutan pangan di kota tersebut, ia dan wanita lainnya mengoperasikan "dapur nasi" untuk memberi makan para keluarga yang tak memiliki persediaan pangan.[22] Ia juga tetap mengajar para murid secara diam-diam dengan para guru perguruan tinggi lainnya dan juga melakukan pekerjaan administratif untuk Palang Merah Indonesia.[23] Meskipun para prajurit Pemerintahan Sipil Hindia Belanda memeriksa rumahnya, kegiatan rahasianya tak pernah terbongkar. Pada 1949, serangan tersebut telah membuat warga dunia menentang Belanda, yang kemudian terpaksa membebaskan para pemimpin Indonesia yang ditangkap dan mengadakan Konferensi Meja Bundar yang berujung pada pengkuan kedaulatan Indonesia pada bulan Desember.[24]

Belajar ke luar negeri dan pulang ke Indonesia

Sebagai bagian dari bantuan Australia setelah perang kepada negara-negara Asia, Jawatan Pendidikan menawarkan beasiswa kepada orang-orang Indonesia pada tahun 1949.[24] Karena terpikat akan masa depan pendidikan di Indonesia, Kurnianingrat mengajukan diri untuk belajar psikologi pendidikan dan meraih dukungan dari pemerintah Indonesia.[25] Beasiswa tersebut menawarkannya pembelajaran setahun di Sydney pada jurusan yang ia pilih, sehingga ia memutuskan untuk belajar sistem pendidikan Australia.[24] Ia berangkat ke Sydney pada bulan November dan disambut oleh chargé d'affaires Indonesia, Usman Sastroamidjojo, usai kedatangan.[26] Belajar di bawah bimbingan Profesor William O'Neill dari Universitas Sydney, ia mengunjungi sekolah-sekolah di seluruh belahan negara tersebut, menemukan sedikit perbedaan antara sekolah-sekolah Australia dan sekolah-sekolah Belanda di Indonesia. Namun ia terkejut oleh jumlah sekolah jenis kelamin tunggal dan pemisahan jenis kelamin dalam kehidupan Australia.[27] Federasi Guru New South Wales menjadikannya anggota kehormatan.[28] Ia juga melakuakn perjalanan ke Canberra, Melbourne, dan Tasmania.[29]

Ia kembali ke Indonesia pada Desember 1950 dan disambut hangat oleh para pejabat kementerian pendidikan yang tertarik untuk mendengar pengalamannya di Australia. Ia diangkat menjadi kepala Sekolah Guru Atas dan ditugaskan untuk mengubah sekolah Belanda menjadi "lembaga republik".[30] Pada 1951, bahasa Inggris menggantikan bahasa Belanda sebagai bahasa asing utama dari pemerinthan Indonesia dan Inspeksi Pengajaran Bahasa Inggeris (IPBI) didirikan pada 1953.[31] Kurnianingrat mengajukan diri untuk masuk inspektorat tersebut dan diterima sebagai wakil direkturnya. Ia bergabung dengan direkturnya, Fritz Wachendorff, dan anggota staf, Harumani Rudolph-Sudirdjo.[20][32] IPBI meminta bantuan British Council dan Ford Foundation dalam merencanakan silabus untuk untuk pengajaran bahasa Inggris pada lembaga-lembaga pendidikan dasar. Mereka juga mengadakan kursus dua tahun untuk melatih para guru bahasa Inggris.[20][33] Pada 1951, para sukarelawan Australia mulai datang di bawah naungan Volunteer Graduate Scheme (VGS), yang bekerja pada penugasan untuk pemerintahan Indonesia, termasuk di IPBI.[34] Kurnianingrat menaungi dan menjalin persahabatan dengan beberapa sukarelawan tersebut.[35]

IPBI dibubarkan pada 1956, karena anak sulung Rudolph-Sudirdjo lahir dan Wachendorff menerima jabatan dosen di Universitas Indonesia.[36] Kurnianingrat datang ke Amerika Serikat untuk belajar sastra Inggris dan linguistik di Universitas Cornell di Ithaca, New York setelah menerima beasiswa dari Ford Foundation. Ia menjalani dua tahun di universitas dan merampungkan tessi Magistrat tentang sejarah William Shakespeare di Indonesia.[20][37] Tesisnya menyoroti cikal bakal Komedi Stambul, sebuah bentuk pertunjukan rakyat dari zaman kolonial akhir, yang mementaskan adaptasi-adaptasi karya seperti Hamlet.[38] Setelah kepulangannya, ia mulai mengajar di jurusan sastra Inggris di Universitas Indonesia, kemudian menjadi kepala jurusan pada Juni 1960.[20]

Msuknya media berbahasa Inggris pada akhir 1960an menimbulkan peningkatan pemahaman dan pemakaian bahasa tersebut pada masyarakat Indonesia.[39] Sekolah-sekolah bahasa mengajarkan bahasa Inggris dan penerbitan-penerbitan meluncurkan buku-buku pelajaran bahasa Inggris berkembang.[40] Namun, Kurnianingrat menyesalkan tingkat kemahiran berbahasa Inggris yang rendah secara umum karena sedikit orang yang mampu membayar biaya les privat.[41] Ia meraih tawaran dari Longman yang berbasis di London untuk menerbitkan buku pelajaran, namun ia menolaknya karena penerbitan tersebut tak ingin mencetak nama pengarang pada sampulnya. Sebuah penerbitan domestik, Bhratara, menerbitkan buku pelajaran buatannya yang berjudul Practical Conversations pada 1973.[40] Pada 1974, Kurnianingrat pensiun dari mengajar di Universitas Indonesia.[41] Ia mengajar privat pada tahun-tahun berikutnya.[42] Pada usia 70an tahun, ia mengalami kehilangan penglihatan mata dan tak lagi menulis tanpa dibantu.[43] Untuk menghadapi kondisi tersebut, ia mempelajari Braille.[42]

Atas dorongan Rudolph-Sudirdjo, Kurnianingrat mulai menulis memoir dan memasukkan draf-draf di antara surat-surat yang ditulis kepada sejarawan Ailsa Thomson Zainuddin antara Januari 1991 dan Juni 1993.[43] memoir tersebut tak pernah rampung, dan hanya sembilan bab yang mengisahkan kisah hidupnya sepanjang usia 30an tahun yang dirampungkan sebelum ia jatuh sakit dan meninggal pada 18 Oktober 1993.[44][45] Ia tinggal di Cipinang Muara, Jatinegara, Jakarta Timur.[43]

Karya

  • Kurnianingrat (9 Juni 1950). "Education In Indonesia". Education: Journal of the New South Wales Teachers' Federation. Sydney: N.S.W. Teachers' Federation. 31 (8): 4. OCLC 220329934. 
  • Kurnianingrat (1958). An Essay Towards a History of Shakespeare in Indonesia (Tesis MA). Cornell University. OCLC 1198052. 
  • Kurnianingrat; Rudolph, Harumani (1985). Practical Conversations: A Guide to English Use. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. 

Catatan

  1. ^ Hingga 1947, Ejaan Van Ophuijsen adalah ortografi yang digunakan dalam penulisan Bahasa Indonesia. dalam sistem ini, nama Kurnianingrat ditulis sebagai Raden Adjeng Koernianingrat Sastrawinata ([ra'dɛn a'dʒəŋ kʊrniaˈniŋrat sastrawi'nata]), sebagaimana yang dicantumkan di (Gunseikanbu 1943, hlm. 86). Diantara teman-temannya, (Zainu'ddin 1997, hlm. 157) mencatat bahwa ia dikenal sebagai Jo ([jo]), juga ditulis menggunakan ejaan yang sama.
  2. ^ (Zainu'ddin 1994, hlm. 115) dan (Zainu'ddin 1997, hlm. 164) memberikan informasi yang berlawanan tentang tanggal lahir Kurnianingrat, dengan sumber pertama menyebut 14 September dan sumber kedua menyebut 4 September. Perbedaan ini nampaknya dikoreksi dalam (McCarthy & Zainuddin 2017, hlm. 188), yang mencantumkan surat, tertanggal 17 September 1991, yang ditulis oleh Kurnianingrat dengan petikan, "Dua pekan lalu, aku merayakan ulang tahunku yang ke-72 [...]"
  3. ^ Sebelum kedatangan para kolonialis Eropa, para penguasa tradisional Jawa pada masa Kesultanan Mataram memerintah lewat suzerenitas. (Palmier 1960, hlm. 205) menyatakan bahwa Belanda mengadopsi bentuk pemerintahan tersebut agar membawahi pulau tersebut dan mengijinkan para penguasa lokal dan anggota keluarga mereka untuk menaungi suatu wilayah sebagai perwakilan kekuasaan kolonial.
  4. ^ (Sutherland 1973, hlm. 128) menyatakan bahwa garis keluarga para bupati Sumedang memegang peran utama dalam keluarga-keluarga arstokratik Jawa Barat, yang telah menjadi kepala bupati Priangan—yang meliputi Cianjur, Sumedang, dan Ciamis—pada masa Kesultanan Mataram. Pengaruhnya terlihat dari gelar pangeran mereka yang bersanding dengan bipati lainnya yang memegang gelar tumenggung atau adipati.

Referensi

Kutipan

  1. ^ Gunseikanbu 1943, hlm. 86.
  2. ^ a b c d Zainu'ddin 1997, hlm. 162.
  3. ^ a b Zainu'ddin 1994, hlm. 117.
  4. ^ a b c d Zainu'ddin 1997, hlm. 161.
  5. ^ Muhammad, Erik (13 October 2022). "Bupati Ciamis RAA Sastrawinata: Dihormati Belanda, Dibenci Rakyat" [Ciamis Regent RAA Sastrawinata: Respected by the Dutch, Despised by the People]. Harapan Rakyat (dalam bahasa Indonesian). Harapan Rakyat Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 October 2022. Diakses tanggal 30 November 2022. 
  6. ^ a b Snouckaert van Schauburg et al. 1937, hlm. 96.
  7. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 165.
  8. ^ a b c Zainu'ddin 1997, hlm. 167.
  9. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 163.
  10. ^ a b Zainu'ddin 1997, hlm. 168.
  11. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 169.
  12. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 170.
  13. ^ a b c Zainu'ddin 1997, hlm. 171.
  14. ^ a b Zainu'ddin 1997, hlm. 174.
  15. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 175.
  16. ^ a b Zainu'ddin 1997, hlm. 176.
  17. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 177.
  18. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 178.
  19. ^ a b Zainu'ddin 1997, hlm. 179.
  20. ^ a b c d e f g Zainu'ddin 1994, hlm. 118.
  21. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 181.
  22. ^ Kahin 2003a, hlm. 396–397.
  23. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 184.
  24. ^ a b c Zainu'ddin 1997, hlm. 185.
  25. ^ Lee 1998, hlm. 499.
  26. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 186.
  27. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 187–188.
  28. ^ NSWTF 1950, hlm. 72.
  29. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 189.
  30. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 190.
  31. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 159.
  32. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 191.
  33. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 192–193.
  34. ^ McCarthy & Zainuddin 2017, hlm. xv.
  35. ^ McCarthy & Zainuddin 2017, hlm. xvi.
  36. ^ Zainu'ddin 1997, hlm. 198.
  37. ^ Stucki 1959, hlm. 107.
  38. ^ Sutherland 1967, hlm. 95–96, 101.
  39. ^ Tempo 1974, hlm. 46.
  40. ^ a b Tempo 1974, hlm. 49.
  41. ^ a b Tempo 1974, hlm. 47.
  42. ^ a b Zainu'ddin 1994, hlm. 119.
  43. ^ a b c McCarthy & Zainuddin 2017, hlm. xviii.
  44. ^ Zainu'ddin 1994, hlm. 115.
  45. ^ McCarthy & Zainuddin 2017, hlm. 96, 102.

Daftar pustaka