Lir-ilir: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: menghilangkan bagian [ * ]
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi Android
 
(29 revisi perantara oleh 25 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Wikisource}}
[[Berkas:Sunan Kalijaga.jpg|thumb|Foto ini adalah foto lukisan Sunan Kalijaga yang telah menciptakan Tembang llir-llir]]
[[Berkas:Gending_Lir-Ilir.ogg|jmpl|Lir-ilir]]
'''{{PAGENAME}}''' adalah tembang yang diciptakan dan digunakan oleh [[Sunan Kalijaga]] untuk berdakwah menyebarkan agama [[Islam]] di [[Pulau Jawa]].<ref name="Sunan Kalijaga">[http://www.karatonsurakarta.com/sunan%20kalijogo.html Sunan Kalijaga] karatonsurakarta.com</ref>
[[Berkas:Peserta,_panitia,_dan_narasumber.jpg|jmpl|Li-Ilir]]
[[Berkas:Gladi_Lir-Ilir.webm|jmpl|Lir-Ilir]]
[[Berkas:Gending Lir-Ilir.webm|jmpl|Grup Karawitan Sanggar Seni Laras Siwi menyanyikan lagu Lir-ilir]]
Tembang '''{{PAGENAME}}''' diciptakan oleh [[Sunan Kalijaga]] pada awal abad ke 16 ketika runtuhnya kerajaan [[Majapahit]] dan mulai masuknya [[Islam]] para [[adipati]] [[Kadipaten]] di [[Majapahit]] terutama di pesisir [[pulau Jawa]]. Tembang Lir-ilir dikenal sebagai tembang dolanan atau lagu daerah [[Jawa Tengah]], dalam liriknya menggunakan kata perumpamaan yang memiliki arti ganda, hal ini yang mencerminkan kedalaman ilmu [[Sunan Kalijaga]] dalam berdakwah. [[Sunan Kalijaga]] dengan tembang Lir-ilir mencoba untuk mengajak masyarakat [[Suku Jawa|Jawa]] memeluk, meyakini, dan mengamalkan agama [[Islam]] secara perlahan tanpa menabrak tradisi yang sudah lama berkembang. Upaya Sunan Kalijaga ini mencontoh [[Nabi Muhammad SAW]] dalam dakwahnya, yakni bi al-hikmah wa al-mauidhati al-hasanah.<ref>{{Cite journal|last=Yaqin|first=Moh Ainul|date=2018-04-19|title=Dimensi spiritual tembang Lir-Ilir dalam semiotika tasawuf|url=http://digilib.uinsby.ac.id/24740/|language=id|publisher=UIN Sunan Ampel Surabaya}}</ref>


== Sejarah tembang Lir-ilir ==
==Dalam Bahasa Jawa ==
Pencipta tembang Lir-ilir adalah [[Sunan Kalijaga]], meskipun anggota [[Walisongo]] yang lain juga memiliki tembang untuk media dakwah. Alasan mendasar dakwah menggunakan media tembang adalah untuk tidak mencoba melawan arus adat istiadat yang sudah lama berkembang yaitu [[Hindu]]-[[Buddha]], hal tersebut mencoba memberikan makna tersirat yang terkesan sederhana namun mengandung makna yang dalam bila dicermati.


Pada awal mulanya [[Sunan Kalijaga]] menyebarluaskan kepada rakyat saat bersamaan mementaskan wayang purwa. [[Sunan Kalijaga]] bekerja sama
* Lir-ilir, lir-ilir, tandure wes sumilir
dengan wali yang lain, seperti [[Sunan Ampel]], [[Sunan Bonang]], dan [[Sunan Giri]] dalam menciptakan wayang sebagai sarana menyebarkan agama Islam. [[Wayang]] diciptakan berwujud empat tokoh [[Punakawan]]. [[Sunan Ampel]] menciptakan tokoh [[Semar]], [[Sunan Bonang]] menciptakan [[Petruk]], dan [[Sunan Giri]] menciptakan [[Gareng]]. Sedangkan [[Sunan Kalijaga]] sendiri menciptakan tokoh yang diberi nama [[Bagong]].
* tak ijo royo-royo, tak sengguh kemanten anyar
* cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi
* Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro
* Dodotiro, dodotiro, kumitir bedah ing pinggir
* Dondomono, jlumatono, kanggo sebo mengko sore
* Mumpung pandhang rembulane, mumpung jembar kalangane
* Yo surako surak hiyo.


Strategi dakwah ini sesuai dengan prinsip [[Walisongo]] '''Kenå iwake ora buthek banyune''' artinya menangkap ikan harus dilakukan tanpa membuat air menjadi keruh. Filsafat inilah yang diterapkan [[Walisongo]] dalam dakwahnya begitupun Sunan Kalijaga dengan tembang Lir-ilir. Sunan Kalijaga pada masa itu mencoba untuk mengajak masyarakat untuk memperbaiki kualitas moral namun upaya tersebut dikemas untuk tidak menimbulkan konflik terhadap Raja dan Nara Praja. Ajaran Islam diajarkan pelan-pelan melalui adat budaya yang ada. Syariat Islam diajarkan tanpa dikonfrontasikan dengan cara-cara beragama yang biasa dilakukan oleh [[orang Jawa]].
==Dalam Bahasa Indonesia==


Dengan runtuhnya [[Majapahit]] pada penghujung Abad ke-15 membuat kehidupan masyarakat saat itu teramat suram. Di mana-mana terjadi kerusuhan, perampokan, dan pembegalan. Korupsi merajalela sehingga ajaran agama yang telah subur kehilangan substansinya. Sehingga pada saat itu banyak [[Adipati]] yang kemudian memeluk [[Islam]] yang kemudian diikuti oleh rakyat luas terutama di [[Kadipaten]] pesisir utara Jawa. Pada awal abad ke-16 ini yang kemudian disebut oleh Sunan Kalijaga situasi yang terang dan lapang yang termaktub dalam bait '''mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane'''.
* Sayup-sayup bangun dari tidur, pohon sudah mulai bersemi
* Demikian hijau bagai gairah pengantin baru
* Penggembala, tolong panjatlah pohon blimbing itu
* Walaupun licin dan susah tetap panjatlah untuk mencuci pakaian
* Pakaian yang koyak sisihkanlah
* Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti sore
* Selagi masih terang rembulan nya, selagi masih banyak waktu luang
* Mari bersorak-sorak, ayo.


Maka Sunan Kalijaga menyampaikan kondisi ini kepada segenap [[Adipati]] sudah saatnya memperbaiki perilaku dan moral menurut [[syariat Islam]]. Sunan Kalijaga melakukan itu dengan sarana seni budaya tembang hingga berhasil.
== Makna Tembang Lir-ilir ==
Tembang ini diawali dengan Lir ilir yang artinya bangunlah, bangunlah atau bisa diartikan sebagai sadarlah. Kita diminta bangun dari keterpurukan, bangun dari sifat malas untuk mempertebal keimanan yang telah ditanamkan oleh ALLAH SWT dalam diri kita, karena itu digambarkan dengan Tandure wus sumilir atau tanaman yang mulai bersemi dan pohon-pohon yang mulai menghijau bagaikan Tak ijo royo-royo. Semua itu tergantung pada diri kita masing-masing, apakah mau tetap tidur dan membiarkan tanaman iman kita mati atau bangun dan terus berjuang untuk menumbuhkan tanaman tersebut hingga besar dan mendapatkan kebahagian seperti bahagianya pengantin baru atau Tak sengguh temanten anyar.<ref name="Makna tembang Lir Ilir">[http://reload.mwb.im/lirik-arti-makna-lagu-lir-ilir-oleh-suna.xhtml Arti dan Makna Tembang Lir Ilir] reload.mwb.im</ref>


== Dalam bahasa Jawa ==
Cah angon, Cah angon atau anak gembala, yang artinya kita telah diberi sesuatu oleh ALLAH SWT untuk kita gembalakan yaitu "HATI", bisakah kita gembalakan hati kita ini dari dorongan hawa nafsu yang demikian kuatnya, si anak gembala diminta untuk memanjat pohon belimbing atau Penekno blimbing kuwi yang notabene buah belimbing itu bergerigi lima buah, dalam hal ini sebagai gambaran dari Lima Rukun Islam.<ref name="Lir Ilir Sunan Kalijaga">[https://www.jaist.ac.jp/~rac/pub/kanigara/id/Home/lirilir.htm Lir Ilir Sunan kalijaga] jaist.ac.jp</ref>


* ꦭꦶꦂꦲꦶꦭꦶꦂꦭꦶꦂꦲꦶꦭꦶꦂꦠꦤ꧀ꦢꦸꦫꦺꦮꦸꦱ꧀ꦱꦸꦩꦶꦭꦶꦂ
Pohon belimbing itu memang licin dan meskipun dalam keadaan susah untuk melaksanakannya, kita harus bisa memanjatnya sekuat tenaga yang artinya kita tetap berusaha menjalankan Rukun Islam apapun halangan dan resikonya bagaikan Lunyu-lunyu penekno. lalu apa gunanya semua ini ? semua ini berguna untuk mencuci pakaian kita atau Kanggo mbasuh dodotiro yang bermakna bahwa pakaian itu ibarat taqwa dan pakaian taqwa ini lah yang harus di bersihkan.<ref name="Tafsiran Tembang">[http://www.elmoudy.com/tafsiran-tembang-lir-ilir Tafsiran Tembang Lir Ilir] [http://www.karatonsurakarta.com/sunan%20kalijogo.html Sunan Kalijaga] elmoudy.com</ref>
Lir-ilir lir-ilir tandure wus sumilir
* ꦠꦏ꧀ꦲꦶꦗꦺꦴꦫꦺꦴꦪꦺꦴꦫꦺꦴꦪꦺꦴ
Tak ijo royo royo
* ꦠꦏ꧀ꦱꦺꦁꦒꦸꦃꦠꦺꦩꦤ꧀ꦠꦺꦤ꧀ꦲꦚꦂ
Tak sêngguh têmantèn anyar
* ꦕꦃꦲꦔꦺꦴꦤ꧀ꦕꦃꦲꦔꦺꦴꦤ꧀ꦥꦺꦤꦺꦏ꧀ꦤꦧ꧀ꦭꦶꦩ꧀ꦧꦶꦁꦏꦸꦮꦶ
Cah angon cah angon peneknå blimbing kuwi
* ꦭꦸꦚꦸꦭꦸꦚꦸꦥꦺꦤꦺꦏ꧀ꦤꦏꦁꦒꦺꦴꦩ꧀ꦧꦱꦸꦃꦢꦺꦴꦢꦺꦴꦠꦶꦫ
Lunyu lunyu peneknå kanggo mbasuh dodot-irå (dodot sirå)
* ꦢꦺꦴꦢꦺꦴꦠꦶꦫꦢꦺꦴꦢꦺꦴꦠꦶꦫꦏꦸꦩꦶꦠꦶꦂꦧꦺꦝꦃꦲꦶꦁꦥꦶꦁꦒꦶꦂ
Dodot-irå (dodot sirå) dodot-irå (dodot sirå) kumitir bêdhah ing pinggir
* ꦢꦺꦴꦤ꧀ꦢꦺꦴꦩꦤꦗ꧀ꦭꦸꦩꦠꦤꦏꦁꦒꦺꦴꦱꦺꦧꦩꦺꦁꦏꦺꦴꦱꦺꦴꦫꦺ
Dondomånå jlumatånå kanggo sebå mêngko sore
* ꦩꦸꦩ꧀ꦥꦸꦁꦥꦝꦁꦫꦺꦩ꧀ꦧꦸꦭꦤꦺ
Mumpung padhang rêmbulane
* ꦩꦸꦩ꧀ꦥꦸꦁꦗꦺꦩ꧀ꦧꦂꦏꦭꦔꦤꦺ
Mumpung jêmbar kalangane
* ꦪꦱꦸꦫꦏꦱꦸꦫꦏ꧀ꦲꦶꦪ
Yå surakå surak-iyå


== Dalam bahasa Indonesia ==
Dodotiro, Dodotiro yang berarti adalah pakaian taqwa kita memang harus di bersihkan, yang jelek-jelek harus kita singkirkan dan kita tinggalkan. namun sebagai manusia biasa pakaian taqwa itu terkadang rusak atau terkoyak-koyak seperti Kumitir bedah ing pinggir sehingga perlu perbaikan untuk menjahitnya dan dibenahi kembali bagaikan Dondomono, Jlumatono agar menjadi pakaian yang indah, karena sebaik-baiknya pakaian adalah pakaian taqwa pada diri kita. Kanggo sebo mengko sore atau untuk menghadapi nanti sore, kata ini mempunyai makna bahwa suatu saat kita semua pasti akan mati, karena itu kita selalu diminta untuk memperbaiki pakaian taqwa kita, agar kelak kita siap ketika dipanggil menghadap kehadirot ALLAH SWT.


* Bangunlah bangunlah tanaman mulai bersemi
Mumpung padhang rembulane, Mumpung Jembar kalangane atau mumpung padang rembulannya dan mumpung banyak waktu luangnya, kata-kata ini mengandung arti bahwa ketika pintu hidayah masih terbuka lebar, dan ketika masih banyak kesempatan karena diberi umur yang masih menempel pada hayat kita maka pergunakanlah waktu dan kesempatan itu untuk bisa memperbaiki diri agar senantiasa selalu bertaqwa kepada ALLAH SWT. Selanjutnya Yo surako surak iyo atau bersoraklah dengan sorakan iya untuk menyambut seruan ini dengan sorak sorai, ketika kita masih sehat dan mempunyai waktu luang. Jika ada yang mengingatkan, maka jawablah dengan "Iya"
* Sedemikian hijau bertumbuh subur

* Bagaikan pengantin baru
{{wikisource|Tembang llir-llir}}
* Anak gembala anak gembala
* Panjatlah pohon belimbing itu
* Walau licin panjatilah untuk membasuh pakaianmu
* Pakaianmu pakaianmu terkoyak robek di bagian pinggir
* Jahitilah, benahilah untuk menghadap nanti sore
* Selagi terang rembulannya
* Selagi banyak waktu luang
* Mari soraki sorakilah


== Referensi ==
== Referensi ==
{{Reflist}}
{{Reflist}}


==Pranala luar==
== Pranala luar ==
* [https://www.youtube.com/watch?v=5yKdimyuYts Tembang Lir-ilir oleh Emha Ainun Nadjib & Kiai Kanjeng]
* [http://myland.ga/makna-lagu-lir-ilir/ Dibalik Makna Lagu Lir Ilir]
* [http://www.youtube.com/watch?v=9xDCyxHtrL0 Makna dan Kisah di balik lagu Lir-ilir]
* [http://www.youtube.com/watch?v=0CsuGO6zZk4 Youtube : Tembang Ilir ilir Kyai Kanjeng-Emha Ainun Najib]


[[Kategori:Walisongo]]
[[Kategori:Budaya Jawa]]
[[Kategori:Tembang]]

Revisi terkini sejak 17 Agustus 2023 10.17

Lir-ilir
Li-Ilir
Lir-Ilir
Grup Karawitan Sanggar Seni Laras Siwi menyanyikan lagu Lir-ilir

Tembang Lir-ilir diciptakan oleh Sunan Kalijaga pada awal abad ke 16 ketika runtuhnya kerajaan Majapahit dan mulai masuknya Islam para adipati Kadipaten di Majapahit terutama di pesisir pulau Jawa. Tembang Lir-ilir dikenal sebagai tembang dolanan atau lagu daerah Jawa Tengah, dalam liriknya menggunakan kata perumpamaan yang memiliki arti ganda, hal ini yang mencerminkan kedalaman ilmu Sunan Kalijaga dalam berdakwah. Sunan Kalijaga dengan tembang Lir-ilir mencoba untuk mengajak masyarakat Jawa memeluk, meyakini, dan mengamalkan agama Islam secara perlahan tanpa menabrak tradisi yang sudah lama berkembang. Upaya Sunan Kalijaga ini mencontoh Nabi Muhammad SAW dalam dakwahnya, yakni bi al-hikmah wa al-mauidhati al-hasanah.[1]

Sejarah tembang Lir-ilir[sunting | sunting sumber]

Pencipta tembang Lir-ilir adalah Sunan Kalijaga, meskipun anggota Walisongo yang lain juga memiliki tembang untuk media dakwah. Alasan mendasar dakwah menggunakan media tembang adalah untuk tidak mencoba melawan arus adat istiadat yang sudah lama berkembang yaitu Hindu-Buddha, hal tersebut mencoba memberikan makna tersirat yang terkesan sederhana namun mengandung makna yang dalam bila dicermati.

Pada awal mulanya Sunan Kalijaga menyebarluaskan kepada rakyat saat bersamaan mementaskan wayang purwa. Sunan Kalijaga bekerja sama dengan wali yang lain, seperti Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Giri dalam menciptakan wayang sebagai sarana menyebarkan agama Islam. Wayang diciptakan berwujud empat tokoh Punakawan. Sunan Ampel menciptakan tokoh Semar, Sunan Bonang menciptakan Petruk, dan Sunan Giri menciptakan Gareng. Sedangkan Sunan Kalijaga sendiri menciptakan tokoh yang diberi nama Bagong.

Strategi dakwah ini sesuai dengan prinsip Walisongo Kenå iwake ora buthek banyune artinya menangkap ikan harus dilakukan tanpa membuat air menjadi keruh. Filsafat inilah yang diterapkan Walisongo dalam dakwahnya begitupun Sunan Kalijaga dengan tembang Lir-ilir. Sunan Kalijaga pada masa itu mencoba untuk mengajak masyarakat untuk memperbaiki kualitas moral namun upaya tersebut dikemas untuk tidak menimbulkan konflik terhadap Raja dan Nara Praja. Ajaran Islam diajarkan pelan-pelan melalui adat budaya yang ada. Syariat Islam diajarkan tanpa dikonfrontasikan dengan cara-cara beragama yang biasa dilakukan oleh orang Jawa.

Dengan runtuhnya Majapahit pada penghujung Abad ke-15 membuat kehidupan masyarakat saat itu teramat suram. Di mana-mana terjadi kerusuhan, perampokan, dan pembegalan. Korupsi merajalela sehingga ajaran agama yang telah subur kehilangan substansinya. Sehingga pada saat itu banyak Adipati yang kemudian memeluk Islam yang kemudian diikuti oleh rakyat luas terutama di Kadipaten pesisir utara Jawa. Pada awal abad ke-16 ini yang kemudian disebut oleh Sunan Kalijaga situasi yang terang dan lapang yang termaktub dalam bait mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane.

Maka Sunan Kalijaga menyampaikan kondisi ini kepada segenap Adipati sudah saatnya memperbaiki perilaku dan moral menurut syariat Islam. Sunan Kalijaga melakukan itu dengan sarana seni budaya tembang hingga berhasil.

Dalam bahasa Jawa[sunting | sunting sumber]

  • ꦭꦶꦂꦲꦶꦭꦶꦂꦭꦶꦂꦲꦶꦭꦶꦂꦠꦤ꧀ꦢꦸꦫꦺꦮꦸꦱ꧀ꦱꦸꦩꦶꦭꦶꦂ

Lir-ilir lir-ilir tandure wus sumilir

  • ꦠꦏ꧀ꦲꦶꦗꦺꦴꦫꦺꦴꦪꦺꦴꦫꦺꦴꦪꦺꦴ

Tak ijo royo royo

  • ꦠꦏ꧀ꦱꦺꦁꦒꦸꦃꦠꦺꦩꦤ꧀ꦠꦺꦤ꧀ꦲꦚꦂ

Tak sêngguh têmantèn anyar

  • ꦕꦃꦲꦔꦺꦴꦤ꧀ꦕꦃꦲꦔꦺꦴꦤ꧀ꦥꦺꦤꦺꦏ꧀ꦤꦧ꧀ꦭꦶꦩ꧀ꦧꦶꦁꦏꦸꦮꦶ

Cah angon cah angon peneknå blimbing kuwi

  • ꦭꦸꦚꦸꦭꦸꦚꦸꦥꦺꦤꦺꦏ꧀ꦤꦏꦁꦒꦺꦴꦩ꧀ꦧꦱꦸꦃꦢꦺꦴꦢꦺꦴꦠꦶꦫ

Lunyu lunyu peneknå kanggo mbasuh dodot-irå (dodot sirå)

  • ꦢꦺꦴꦢꦺꦴꦠꦶꦫꦢꦺꦴꦢꦺꦴꦠꦶꦫꦏꦸꦩꦶꦠꦶꦂꦧꦺꦝꦃꦲꦶꦁꦥꦶꦁꦒꦶꦂ

Dodot-irå (dodot sirå) dodot-irå (dodot sirå) kumitir bêdhah ing pinggir

  • ꦢꦺꦴꦤ꧀ꦢꦺꦴꦩꦤꦗ꧀ꦭꦸꦩꦠꦤꦏꦁꦒꦺꦴꦱꦺꦧꦩꦺꦁꦏꦺꦴꦱꦺꦴꦫꦺ

Dondomånå jlumatånå kanggo sebå mêngko sore

  • ꦩꦸꦩ꧀ꦥꦸꦁꦥꦝꦁꦫꦺꦩ꧀ꦧꦸꦭꦤꦺ

Mumpung padhang rêmbulane

  • ꦩꦸꦩ꧀ꦥꦸꦁꦗꦺꦩ꧀ꦧꦂꦏꦭꦔꦤꦺ

Mumpung jêmbar kalangane

  • ꦪꦱꦸꦫꦏꦱꦸꦫꦏ꧀ꦲꦶꦪ

Yå surakå surak-iyå

Dalam bahasa Indonesia[sunting | sunting sumber]

  • Bangunlah bangunlah tanaman mulai bersemi
  • Sedemikian hijau bertumbuh subur
  • Bagaikan pengantin baru
  • Anak gembala anak gembala
  • Panjatlah pohon belimbing itu
  • Walau licin panjatilah untuk membasuh pakaianmu
  • Pakaianmu pakaianmu terkoyak robek di bagian pinggir
  • Jahitilah, benahilah untuk menghadap nanti sore
  • Selagi terang rembulannya
  • Selagi banyak waktu luang
  • Mari soraki sorakilah

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Yaqin, Moh Ainul (2018-04-19). "Dimensi spiritual tembang Lir-Ilir dalam semiotika tasawuf". UIN Sunan Ampel Surabaya. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]