Masjid Sultan Suriansyah: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
EmausBot (bicara | kontrib)
k Bot: Migrasi 6 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:Q3393529
k Mengembalikan suntingan oleh 180.248.14.89 (bicara) ke revisi terakhir oleh AABot
Tag: Pengembalian Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(44 revisi perantara oleh 18 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Infobox religious building
{{Infobox religious building
|image = Masjid Sultan Suriansyah (2).jpg
|image = Masjidbersejarahsultansuriansyah.jpg
|caption =
|caption =
|building_name = Masjid Sultan Suriansyah
|building_name = مسجد السلطان سوريانسيه<br />Masjid Sultan Suriansyah
|location = [[Banjarmasin]], [[Kalimantan Selatan]], [[Indonesia]]
|location = Jalan Kuin Utara, [[Kuin Utara]], [[Banjarmasin]], [[Kalimantan Selatan]], [[Indonesia]]
|religious_affiliation = [[Islam]]
|religious_affiliation = [[Islam]]
|website =
|website =
Baris 20: Baris 20:
}}
}}


'''Masjid Sultan Suriansyah''' atau '''Masjid Kuin''' adalah sebuah [[masjid]] bersejarah di [[Kota Banjarmasin]] yang merupakan masjid tertua di [[Kalimantan Selatan]]. Masjid ini dibangun pada masa pemerintahan [[Sultan Suriansyah]] (1526-1550), Raja [[Kerajaan Banjar|Banjar]] pertama yang memeluk agama [[Islam]].<ref>{{id}} {{cite book|pages=328|url=http://books.google.co.id/books?id=-NnF9Ryal0IC&lpg=PA334&dq=sejarah%20banjarmasin&pg=PA328#v=onepage&q=sejarah%20banjarmasin&f=true |first=Abdul Baqir |last=Zein|title=Masjid-masjid bersejarah di Indonesia|publisher=Gema Insani|year=1999|isbn=979-561-567-X}}ISBN 978-979-561-567-5</ref> Masjid Kuin merupakan salah satu dari tiga masjid tertua yang ada di kota Banjarmasin pada masa Mufti Jamaluddin (Mufti Banjarmasin), masjid yang lainnya adalah Masjid Besar (cikal bakal Masjid Jami Banjarmasin) dan Masjid Basirih.<ref>{{id}} {{cite book|authors= Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia|title=Sejarah dan dialog peradaban: persembahan 70 tahun Prof. Dr. Taufik Abdullah|publisher=Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia|year=2005|isbn=979-3673-84-2}}ISBN 978-979-3673-84-4</ref> Masjid ini terletak di Kelurahan [[Kuin Utara, Banjarmasin Utara, Banjarmasin|Kuin Utara]], kawasan yang dikenal sebagai [[Banjar Lama]] merupakan situs ibu kota Kesultanan Banjar yang pertama kali. Masjid ini letaknya berdekatan dengan komplek makam Sultan Suriansyah dan di tepian kiri sungai Kuin.
'''Masjid Sultan Suriansyah''' atau '''Masjid Kuin''' adalah sebuah [[masjid]] bersejarah di [[Kota Banjarmasin]] yang merupakan masjid tertua di [[Kalimantan Selatan]]. Masjid ini dibangun pada masa pemerintahan [[Sultan Suriansyah]] (1526-1550), Raja [[Kerajaan Banjar|Banjar]] pertama yang memeluk agama [[Islam]].<ref>{{id}} {{cite book|last=Zein|first=Abdul Baqir|year=1999|url=http://books.google.co.id/books?id=-NnF9Ryal0IC&lpg=PA334&dq=sejarah%20banjarmasin&pg=PA328#v=onepage&q=sejarah%20banjarmasin&f=true|title=Masjid-masjid bersejarah di Indonesia|publisher=Gema Insani|isbn=979-561-567-X|pages=328}}ISBN 978-979-561-567-5</ref> Masjid Kuin merupakan salah satu dari tiga masjid tertua yang ada di kota Banjarmasin pada masa Mufti Jamaluddin (Mufti Banjarmasin), masjid yang lainnya adalah Masjid Besar (cikal bakal Masjid Jami Banjarmasin) dan Masjid Basirih.<ref name=":0">{{id}} {{cite book|year=2005|title=Sejarah dan dialog peradaban: persembahan 70 tahun Prof. Dr. Taufik Abdullah|publisher=Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia|isbn=979-3673-84-2|authors=Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia}}ISBN 978-979-3673-84-4</ref> Masjid ini terletak di Jalan Kuin Utara, Kelurahan [[Kuin Utara, Banjarmasin Utara, Banjarmasin|Kuin Utara]], kawasan yang dikenal sebagai [[Banjar Lama]] merupakan situs ibu kota Kesultanan Banjar yang pertama kali. Masjid ini letaknya berdekatan dengan komplek makam Sultan Suriansyah dan di tepian kiri sungai Kuin.


Masjid yang didirikan di tepi [[sungai Kuin]] ini memiliki bentuk arsitektur tradisional Banjar, dengan konstruksi panggung dan beratap tumpang. Pada bagian mihrab masjid ini memiliki atap sendiri yang terpisah dengan bangunan induk.
Masjid yang didirikan di tepi [[sungai Kuin]] ini memiliki bentuk arsitektur tradisional Banjar, dengan konstruksi panggung dan beratap tumpang. Pada bagian mihrab masjid ini memiliki atap sendiri yang terpisah dengan bangunan induk.


== Masjid kuno ==
== Masjid kuno ==
[[Berkas:Mimbar_Masjid_Suriansyah.jpg|thumb|left|155px|Mimbar Masjid Sultan Suriansyah.]]
Kekunoan masjid ini dapat dilihat pada 2 buah [[inskripsi]] yang tertulis pada bidang berbentuk segi delapan berukuran 50 cm x 50 cm yakni pada dua daun pintu Lawang Agung. Pada daun pintu sebelah kanan terdapat 5 baris inskripsi [[Arab]]-[[Melayu]] berbunyi : ''" Ba'da hijratun Nabi Shalallahu 'alahihi wassalam sunnah 1159 pada Tahun Wawu ngaran Sultan Tamjidillah Kerajaan dalam Negeri Banjar dalam tanah tinggalan Yang mulia."'' Sedangkan pada daun pintu sebelah kiri terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi: ''"[[Kiai]] Damang Astungkara mendirikan wakaf Lawang Agung Masjid di Nagri Banjar Darussalam pada hari Isnain pada sapuluh hari bulan Sya'ban tatkala itu (tidak terbaca)"'' .<ref>Perhitungan kalender [[Aboge]], dalam kurun waktu delapan tahun atau satu windu dengan urutan terdiri tahun Alif (1153), Ha (1154), Jim awal (1155), Za (1156), Dal (1157), Ba (1158), Wawu (1159), dan Jim akhir (1160)</ref> Kedua inskripsi ini menunjukkan pada hari Senin tanggal 10 [[Sya'ban]] 1159 telah berlangsung pembuatan Lawang Agung (pintu utama) oleh Kiai Demang Astungkara pada masa pemerintahan Sultan Sepuh atau Sultan [[Tamjidullah I]] (1734-1759).


=== Lawang Agung ===
Pada mimbar yang terbuat dari kayu ulin terdapat pelengkung mimbar dengan kaligrafi berbunyi ''"Allah Muhammadarasulullah"''. Pada bagian kanan atas terdapat tulisan ''"Krono Legi : Hijrah 1296 bulan Rajab hari Selasa tanggal 17"'', sedang pada bagian kiri terdapat tulisan : ''"Allah subhanu wal hamdi al-Haj Muhammad Ali al-Najri".'' Ini berarti pembuatan mimbar pada hari Selasa Legi tanggal 17 Rajab 1296, atas nama Haji Muhammad Ali al-Najri.
Kekunoan masjid ini dapat dilihat pada 2 buah [[inskripsi]] yang tertulis pada bidang berbentuk segi delapan berukuran 50&nbsp;cm x 50&nbsp;cm yakni pada dua daun pintu [[Lawang Agung]]. Pada daun pintu sebelah kanan terdapat 5 baris inskripsi [[Arab]]-[[Melayu]] berbunyi:<br>
{{cquote|Ba'da hijratun Nabi Shalallahu 'alahihi wassalam sunnah 1159<ref>1744/1745 Masehi</ref> pada Tahun Wawu ngaran Sultan Tamjidillah Kerajaan dalam Negeri Banjar dalam tanah tinggalan Yang mulia.}}

Sedangkan pada daun pintu sebelah kiri terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi:<br>
{{cquote|[[Kiai]] Damang Astungkara mendirikan wakaf Lawang Agung Masjid di Nagri Banjar Darussalam pada hari Isnain pada sapuluh hari bulan Sya'ban tatkala itu (tidak terbaca)<ref>Perhitungan kalender [[Aboge]], dalam kurun waktu delapan tahun atau satu windu dengan urutan terdiri tahun Alif (1153), Ha (1154), Jim awal (1155), Za (1156), Dal (1157), Ba (1158), Wawu (1159), dan Jim akhir (1160)</ref>.}} Kedua inskripsi ini menunjukkan pada hari Senin tanggal 10 [[Sya'ban]] 1159 [[Hijriyah]] (1744/45 M) telah berlangsung pembuatan Lawang Agung (pintu utama) oleh Kiai Demang Astungkara pada masa pemerintahan Sultan [[Sepuh dari Banjar|Sepuh Panembahan Badarul Alam]] atau Sultan [[Tamjidullah I]] (1734-1759 M).

=== Mimbar Masjid ===
[[Berkas:Mimbar Masjid Suriansyah.jpg|jmpl|ka|175px|Mimbar Masjid Sultan Suriansyah.]]
Pada mimbar yang terbuat dari kayu ulin terdapat pelengkung mimbar dengan kaligrafi berbunyi:
{{cquote|Allah Muhammadarasulullah}}
Pada bagian kanan atas terdapat tulisan:
{{cquote|Krono Legi : Hijrah 1296<ref>1880/1881 Masehi</ref> bulan Rajab hari Selasa tanggal 17}}
Sedang pada bagian kiri terdapat tulisan:
{{cquote|Allah subhanu wal hamdi al-Haj Muhammad Ali al-Najri}}
Ini berarti pembuatan mimbar pada hari Selasa Legi tanggal 17 Rajab 1296, atas nama Haji Muhammad Ali al-Najri.


== Filosofi ruang ==
== Filosofi ruang ==
Pola ruang pada Masjid Sultan Suriansyah merupakan pola ruang dari arsitektur [[Masjid Agung Demak]] yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama Islam ke daerah ini oleh Khatib Dayan.
Pola ruang pada Masjid Sultan Suriansyah merupakan adaptasi pola ruang dari arsitektur [[Masjid Agung Demak]] yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama Islam ke daerah ini oleh [[Khatib Dayan]].
Arsitektur mesjid Agung Demak sendiri dipengaruhi oleh arsitektur Jawa Kuno pada masa kerajaan Hindu. Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu yang dipenuhi oleh masjid tersebut. Tiga aspek tersebut : atap meru, ruang keramat (cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella. Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap yang bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang vertikalitas dan orientasi kekuasaan ke atas. Bangunan yang dianggap paling suci dan dan penting memiliki tingkat atap paling banyak dan paling tinggi. Ciri atap meru tampak pada Masjid Sultan Suriansyah yang memiliki atap bertingkat sebagai bangunan terpenting di daerah tersebut. Bentuk atap yang besar dan dominan, memberikan kesan ruang dibawahnya merupakan ruang suci (keramat) yang biasa disebut [[cella]]. Tiang guru adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella (ruang keramat). Ruang cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan ruang mihrab, yang berarti secara kosmologi cella lebih penting dari mihrab.
Arsitektur mesjid Agung Demak sendiri dipengaruhi oleh arsitektur Jawa Kuno pada masa kerajaan Hindu. Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu yang dipenuhi oleh masjid tersebut. Tiga aspek tersebut: atap meru, ruang keramat (cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella. Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap yang bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang vertikalitas dan orientasi kekuasaan ke atas. Bangunan yang dianggap paling suci dan dan penting memiliki tingkat atap paling banyak dan paling tinggi. Ciri atap meru tampak pada Masjid Sultan Suriansyah yang memiliki atap bertingkat sebagai bangunan terpenting di daerah tersebut. Bentuk atap yang besar dan dominan, memberikan kesan ruang di bawahnya merupakan ruang suci (keramat) yang biasa disebut [[cella]]. Tiang guru adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella (ruang keramat). Ruang cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan ruang mihrab, yang berarti secara kosmologi cella lebih penting dari mihrab.

== Pemugaran ==
Arsitektur masjid di Indonesia tampil dengan keunikan tersendiri dibanding masjid-masjid di negara islam lainnya yang biasanya sangat dipengaruhi oleh arsitektur gaya Timur Tengah. Indonesia tidak demikian. Kekhasannya memang kental Indonesia yang kerap diterjemahkan bernuansa Jawa kuno. Atap bertumpang, antara dua sampai lima, misalnya memang merupakan satu dari dua pola bangunan masjid-masjid di nusantara tempo dulu hingga sekarang.

Gaya masjid tempo dulu kebanyakan adalah adalah gaya atap bertumpang. Konon gaya arsitekstur ini dipelopori oleh [[Masjid Agung Demak|masjid Demak]] yang memang sangat dipengaruhi oleh nuansa keraton. Sebab para tukang yang membangunnya, menurut cerita ''“babad Tanah Jawi”'' didatangkan khusus dari Kerajaan Majapahit dibawah petunjuk dan pengawasan para [[Wali Sanga|Wali Songo]]. Dan konon menurut cerita tersebut kepala dari para tukang Majapahit adalah Raden Sepat, sang arsitekstur pertama masjid-masjid kala itu. Tak heran bila kemudian masjid-masjid setelah Demak didirikan atas rancang bangun Raden Sepat ini, tukang Majapahit menjadi sangat terkenal dan muncul semacam imej tersendiri pada waktu itu bahwa masjid tertua di Pulau Jawa itu adanya pertama kali di kota di Majapahit.
[[Berkas:Masjid Sultan Suriansyah Sebelum Direnovasi.jpg|jmpl|Masjid Sultan Suriansyah sebelum direnovasi.]]
Walau kemudian perkembangan masjid di luar Tanah Jawa di era raja-raja menggunakan para tukang setempat, namun pengaruh atap bertumpang tak bisa dihindarkan. Masjid Sultan Suriansyah (Sunan Batu Habang) di Kuin Kota Banjarmasin ini misalnya, yang merupakan masjid tertua di Kalimantan dan dibangun sekitar awal-awal abad ke-16 ini ternyata menggunakan corak yang sama dengan masjid Demak di Pulau Jawa. Walaupun dikerjakan oleh tukang-tukang dari Kampung Kuin sendiri, namun dalam hal pengawasan masih dipegang oleh [[Khatib Dayan]] utusan dari Jawa. Dan uniknya lagi atapnya juga bertumpang. Jadi tak heran jika masjid gaya atap tumpang ini terkesan ada pengaruh Hindu, sebab Majapahit memang didominasi ajaran Hindu, lalu gaya ini terbawa hingga sekarang. Begitu juga ketika anda melihat bangunan masjid didaerah Banua lima yang dibangun oleh [[Khatib Dayan]] dan teman-temannya juga mengikuti pola yang sama ”Atap Bertumpang”. Bahkan dimasa kepemimpinan era [[Soeharto|Presiden Soeharto]], masjid gaya atap tumpang ini seperti dihidupkan kembali melalui Lembaga Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila dimana masjid-masjid Pancasila dibangun mulai dari kota propinsi hingga kecamatan dengan gaya tunggal: atap tumpang tiga. Sedang masjid berkubah biasanya dibangun oleh masyarakat secara gotong-royong dengan modifikasi bangunan yang lebih beragam, tentunya.

Ketika dimulai pelaksanaan rehab, Masjid Sultan Suriansyah ini adalah bangunan panggung dengan atap tumpang tiga. Di bagian puncaknya dilengkapi dengan kubah aluminium. Sedangkan bagian atap mihrabnya berupa limas segi enam yang terbuat dari bahan sirap. Kondisinya memang masih relatif baru. Atap tumpang tiga itu juga terbuat dari sirap. Berbeda dengan atap bagian mihrab, bagian bangunan utama ini kondisinya sudah lapuk yang dihiasi dengan sebuah kubah terbuat dari aluminium. Bagian atap bagian dalam dilapisi dengan plafon yang terbuat dari ''plywood'', juga kondisinya sudah lapuk. Berbeda dengan atap bagian ruang utama dan mihrab, atap pada bagian salasar dan perluasan terbuat dari seng. Itu pun sudah karatan akibat sudah lama digunakan. Konstruksi pondasi asalnya tak dapat diketahui secara pasti, sebab ketika dilakukan penggalian, meskipun lokasi penggalian di pinggir sungai, tetapi tidak ditemukan adanya sisa-sisa tiang pancang. Itulah sebabanya berdasarkan analisa arsitektur, kondisi pondasi yang dipakai pada wal pembangunannya bisa jadi menggunakan pondasi ''kalang batang'' yaitu teknologi yang menggunakan batang pohon besar dan panjang sebagai tempat menancapkan tiang-tiang. Rekaaan atau perkiraan ini memang tidak diperkuat dengan bukti berupa batang-batang yang tersisa namun sangat besar kemungkinan batang yang dijadikan sudah hancur dan menyatu dengan tanah. Analisa lainnya adalah kemungkinan menggunakan konstruksi pondasi pancangan kayu kapur naga. Sebab pada umumnya bangunan kuno di Kalsel menggunakan pondasi dari bahan demikian. Tetapi yang jelas tersisa dari pondasi di masjid ini adalah pondasi kacapuri biasa dengan tongkat ulin biasa pula dan kondisinya sudah sangat hancur. Khusus untuk tiang utamanya (tiang guru) dan mihrab, pondasinya relatif masih baru berupa pancangan galam yang dilengkapi dengan neut beton bertulang, artinya sudah ada sentuhan teknologi modern yang sangat mungkin digunakan pada rehab sebelumnya.
[[Berkas:Masjid Sultan Suriansyah tahun 1980.jpg|jmpl|Masjid Sultan Suriansyah tahun 1980 yang menggunakan kubah aluminium. Ini adalah bentuk pemugaran Masjid Sultan Suriansyah yang dipelopori oleh Kodam X Lambung Mangkurat pada tahun 1976.]]
[[Berkas:Renovasi Masjid Sultan Suriansyah tahun 1999.jpg|jmpl|Renovasi total Masjid Sultan Suriansyah tahun 1999 yang dipelopori oleh pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.]]
[[Berkas:Tiang Tengah Masjid Sultan Suriansyah.jpg|jmpl|Tiang tengah (Sokoguru) dari kayu halayung lapuk dimakan usia diganti dengan kayu Ulin.]]

Tiang guru tersebut berbentuk penampang segi delapan dengan lebar sekitar 30 cm. Tiang ini mengalami kerusakan terutama dibagian bawah atau kakinya. Tetapi oleh masyarakat setempat rupanya diselamatkan dengan membungkus bagian yang rusak itu dengan beton bertulang. Tiang utama lainnya juga terbuat dari kayu ulin dengan penampang persegi empat. Lebarnya bervariasi antara 8 cm x 8 cm sampai 15 cm x 15 cm, juga dalam kondisi rusak parah. Untuk selasarnya, tiang yang digunakan adalah tiang beton bertulang yang kondisinya relatif masih baik. Begitu juga dengan lantai bangunan induknya yang terbuat dari papan ulin yang sebagian besar sudah lapuk pula. Sedangkan untuk bagian selasar dan teras lantainya terbuat dari ubin. Dinding bangunan sebagian besar menggunakan dinding bata, pada bagian mihrabnya yang relatif masih baru digunakan dinding papan ulin yang dilapisi semen dan keramik. Sedangkan dinding bagian atas bangunan menggunakan papan ulin saja. Pintu-pintu yang ada berupa kaca yang sebagian besar sudah rusak. Pintu yang masih asli tersisa sepasang dengan kondisi relatif masih baik. Daun pintunya juga dihiasi dengan ukiran kaligrafi Bahasa Arab Melayu yang menyatakan makna ''“Sesudah Hijrah Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam th. 1141 Hijriah, wakaf zaman Sultan Tamdjidillah, Kerajaan Dalam Negeri Banjar”''. Sementara mimbar yang ada dan terbuat dari kayu jati, pada gerbang mimbarnya terdapat tulisan kaligrafi dengan tulisan kalimat tauhid ''“la ilaha ilallah Muhamadurasulullah”'' dan tulisan “''Subhanallah walhamdulillah, Subhanallah al Adzim”''. Selain itu ada juga tulisan Arab Melayu pada bagian kanan bawahnya dengan makna ''“hari Selasa 27 rajab 1296 Hijriah"'' dan dari kiri bawah dengan makna tulisan ''"Diukir oleh H. Muhammad Ali Al-Banjary”''. Itulah bagian-bagian yang ada sebelum pelaksanaan pemugaran masjid bersejarah ini yang dimulai sejak tanggal 3 September 1999, kala itu Gubernur Kalimantan Selatan dipimpin oleh [[Gusti Hasan Aman|Drs. H. Gusti Hasan Aman.]]
Setelah pemugaran, kesan pertama yang sering terdengar dari orang yang pertama kali memandang adalah “kembali ke nuansa arsitektur tradisional Banjar abad-15". Itulah sedikit gambaran betapa berubahnya bentuk masjid ini setelah dipugar dan direhabilitasi kembali. Bangunan bujur sangkar berukuran 15, 2 meter x 15, 2 meter itu pun ramai dihiasi kaligrafi Arab. Denah bangunan ini ketika mau direhabilitasi total menunjukan sebuah masjid yang bagian dalamnya seluas 434 m2. Rinciannya adalah: ruang induk berukuran 19, 5 meter x 20, 4 meter sehingga hampir berbentuk sama persegi panjang. Sedangkan ruang mihrab atau ''paimamam'' luasnya 7, 5 meter x 5 meter, lebih ke bentuk persegi panjang. Memang tak terlalu besar untuk ukuran sebuah masjid pada zaman sekarang ini. Namun kesan pertama yang akan kita saksikan adalah ornamen kaligrafi Arabnya yang lebih mencolok dibanding sisi-sisi yang lain. Seakan tak ada detail bangunan tanpa hiasan dan pahatan kaligrafi. Berbicara tentang ormanen khas Banjar biasanya lebih banyak bermotif flora dan fauna, mulai dari beranda masjid hingga dinding-dinding yang memisahkan antara alam luar dan dalam ruangan masjid. Pada 17 buah pintu yang ada, disetiap daun pintunya dibuat ventilasi udara yang bermotif kaligrafi syahadat. Begitu pula empat tiang utama ruangan dalam diberikan sentuhan ornamen. Bahkan sampai pada ujung-ujungnya yang menghubungkan dengan langit-langit.
[[Berkas:Kubah Masjid Sultan Suriansyah 1999.jpg|jmpl|Putaka waluh dan buntut ayam di atas Kubah Masjid Sultan Suriansyah saat renovasi total tahun 1999.]]
Memang ada beberapa bagian asal yang tertinggal seperti daun pintu utama serta beberapa ornamen masjid. Dari situlah benang merah direntangkan. Diperkaya dari beberapa keterangan tetuha di kampung Kuin dan studi banding ke mesjid-mejid kuno di daerah Hulu sungai yang juga bekas sisa-sisa peninggalan dakwah [[Khatib Dayan]], foto-foto dokumentasi masjid sebelum dipugar pada tahun 1976, maka dikembalikanlah bentuk bangunan masjid ini ke bentuk dan posisi semula. Untuk warna ternyata hijau dan kuninglah menjadi pilihan utama sebagai warna dasar. Hal ini berdasarkan petunjuk yang bisa ditiru yaitu pada warna mimbar dan daun pintu yang masih ada sisa-sisa warna alami yaitu kuning dan hijau. Dalam hal ini yang paling mendasar dari rehabilitasi masjid Sultan Suriansyah ini adalah menjadikan pondasi dari pancangan kayu galam dan neut beton sebagai konstruksinya. Sedangkan untuk struktur lainnya seperti tiang dan atap khusus untuk bangunan utama dikembalikan ke bentuk asli yaitu menggunakan kayu ulin. Teknik pengerjaaannya pun dikerjakan oleh tenaga yang terampil dibidangnya. Tiang utama masih menggunakan batang kayu ulin yang asli, namun diperbaiki pada bagian yang sudah keropos dengan cara menambalnya, kemudian membungkusnya dengan ornamen kayu ulin berbentuk persegi kotak. Sedangkan bangunan teras dan serambi yang merupakan bangunan tambahan, konstruksinya adalah beton bertulang.
[[Berkas:Interior Masjid Sultan Suriansyah.jpg|jmpl|Interior Masjid Sultan Suriansyah.]]
Begitu pula untuk bangunan atap yang sebelum dipugar tahun 1999 yang masih berbentuk kubah dikembalikan ke bentuk asal yaitu atap limas tumpang tiga. Bentuk denah masjid pun dilakukan perbaikan arah kiblat yang semula mengalami kemiringan sedikit pergeseran. Untuk itulah akhirnya ada juga sedikit pergeseran tiang bangunan untuk mengikuti posisi arah kiblat itu. Kalau pada bagian utama, bangunan atapnya dikembalikan pada bentuk limas tumpang tiga dengan bahan utama sirap, maka pada atap bagian mihrab juga dikembalikan ke bentuk limas segi enam. Sedangkan untuk atap bagian serambi berbentuk limas segi empat. Atap-atap ini dilengkapi pula dengan petaka berbentuk waluh dan jamang melati pada setiap atap dan pilis-pilisnya. Sedangkan untuk bagian salasar yang juga merupakan bangunan tambahan, atapnya menggunakan dak beton. Sementara lisplank pada bagian salasar dibuat dari beton bertulang dan dilapisi dengan papan ulin yang diolah dalam bentuk tradisional.<ref>{{Cite web|title=WISATA RELIGIUS MASJID BERSEJARAH SULTAN SURIANSYAH ( MASJID TERTUA DI KOTA BANJARMASIN – Yayasan|url=https://restusultansuriansyah.com/wisata-religius-masjid-bersejarah-sultan-suriansyah-masjid-tertua-di-kota-banjarmasin/|language=en-US|access-date=2022-08-07}}</ref>


== Galeri ==
== Galeri ==
<gallery>
<gallery>
Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Riviergezicht met moskee Bandjermasin TMnr 60018685.jpg|Masjid Kuin (foto lama)
Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Riviergezicht met moskee Bandjermasin TMnr 60018685.jpg|Masjid Kuin (foto lama)
Berkas:Masjid Sultan Suriansyah Museum Lambung Mangkurat.JPG| Lukisan yang menggambarkan keadaan Masjid Sultan Suriansyah tempo dulu, pengimamannya masih beratap kecil menempel
Berkas:Masjid Sultan Suriansyah Museum Lambung Mangkurat.JPG|Lukisan yang menggambarkan keadaan Masjid Sultan Suriansyah tempo dulu, pengimamannya masih beratap kecil menempel
Berkas:Masjid Sultan Suriansyah 1900.png|Masjid Sultan Suriansyah sekitar tahun 1900.
Berkas:Mihrab_Masjid_Suriansyah.jpg| Pengimaman yang beratap terpisah dengan bangunan induk
Berkas:Mihrab Masjid Suriansyah.jpg|Pengimaman yang beratap terpisah dengan bangunan induk
Berkas:Depan_Masjid_Suriansyah.jpg| Halaman depan Masjid Sultan Suriansyah.
Berkas:Depan Masjid Suriansyah.jpg|Halaman depan Masjid Sultan Suriansyah.
Berkas:Masjid Sultan Suriansyah (2).jpg|Gerbang depan Masjid Sultan Suriansyah .
</gallery>
</gallery>


Baris 45: Baris 80:
* [[Perbedaan masjid tradisional Jawa dan Banjar]]
* [[Perbedaan masjid tradisional Jawa dan Banjar]]


== Catatan kaki ==
== Referensi ==
{{reflist}}
{{reflist}}


{{Masjid di Indonesia}}
{{Masjid di Indonesia}}

{{DEFAULTSORT:Sultan Suriansyah, Masjid}}
{{coord|-3.29433056577|114.576103775|display=title}}
{{coord|-3.29433056577|114.576103775|display=title}}


{{DEFAULTSORT:Sultan Suriansyah, Masjid}}
[[Kategori:Masjid di Kalimantan Selatan]]
[[Kategori:Kota Banjarmasin]]
[[Kategori:Masjid di Banjarmasin]]
[[Kategori:Masjid Kesultanan|Sultan Suriansyah]]
[[Kategori:Bangunan bersejarah di Kalimantan Selatan]]

Revisi terkini sejak 7 November 2023 01.56

مسجد السلطان سوريانسيه
Masjid Sultan Suriansyah
Agama
AfiliasiIslam
Lokasi
LokasiJalan Kuin Utara, Kuin Utara, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Indonesia
Arsitektur
TipeMasjid
Gaya arsitekturBanjar

Masjid Sultan Suriansyah atau Masjid Kuin adalah sebuah masjid bersejarah di Kota Banjarmasin yang merupakan masjid tertua di Kalimantan Selatan. Masjid ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Suriansyah (1526-1550), Raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam.[1] Masjid Kuin merupakan salah satu dari tiga masjid tertua yang ada di kota Banjarmasin pada masa Mufti Jamaluddin (Mufti Banjarmasin), masjid yang lainnya adalah Masjid Besar (cikal bakal Masjid Jami Banjarmasin) dan Masjid Basirih.[2] Masjid ini terletak di Jalan Kuin Utara, Kelurahan Kuin Utara, kawasan yang dikenal sebagai Banjar Lama merupakan situs ibu kota Kesultanan Banjar yang pertama kali. Masjid ini letaknya berdekatan dengan komplek makam Sultan Suriansyah dan di tepian kiri sungai Kuin.

Masjid yang didirikan di tepi sungai Kuin ini memiliki bentuk arsitektur tradisional Banjar, dengan konstruksi panggung dan beratap tumpang. Pada bagian mihrab masjid ini memiliki atap sendiri yang terpisah dengan bangunan induk.

Masjid kuno[sunting | sunting sumber]

Lawang Agung[sunting | sunting sumber]

Kekunoan masjid ini dapat dilihat pada 2 buah inskripsi yang tertulis pada bidang berbentuk segi delapan berukuran 50 cm x 50 cm yakni pada dua daun pintu Lawang Agung. Pada daun pintu sebelah kanan terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi:

Sedangkan pada daun pintu sebelah kiri terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi:

Kedua inskripsi ini menunjukkan pada hari Senin tanggal 10 Sya'ban 1159 Hijriyah (1744/45 M) telah berlangsung pembuatan Lawang Agung (pintu utama) oleh Kiai Demang Astungkara pada masa pemerintahan Sultan Sepuh Panembahan Badarul Alam atau Sultan Tamjidullah I (1734-1759 M).

Mimbar Masjid[sunting | sunting sumber]

Mimbar Masjid Sultan Suriansyah.

Pada mimbar yang terbuat dari kayu ulin terdapat pelengkung mimbar dengan kaligrafi berbunyi:

Pada bagian kanan atas terdapat tulisan:

Sedang pada bagian kiri terdapat tulisan:

Ini berarti pembuatan mimbar pada hari Selasa Legi tanggal 17 Rajab 1296, atas nama Haji Muhammad Ali al-Najri.

Filosofi ruang[sunting | sunting sumber]

Pola ruang pada Masjid Sultan Suriansyah merupakan adaptasi pola ruang dari arsitektur Masjid Agung Demak yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama Islam ke daerah ini oleh Khatib Dayan. Arsitektur mesjid Agung Demak sendiri dipengaruhi oleh arsitektur Jawa Kuno pada masa kerajaan Hindu. Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu yang dipenuhi oleh masjid tersebut. Tiga aspek tersebut: atap meru, ruang keramat (cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella. Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap yang bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang vertikalitas dan orientasi kekuasaan ke atas. Bangunan yang dianggap paling suci dan dan penting memiliki tingkat atap paling banyak dan paling tinggi. Ciri atap meru tampak pada Masjid Sultan Suriansyah yang memiliki atap bertingkat sebagai bangunan terpenting di daerah tersebut. Bentuk atap yang besar dan dominan, memberikan kesan ruang di bawahnya merupakan ruang suci (keramat) yang biasa disebut cella. Tiang guru adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella (ruang keramat). Ruang cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan ruang mihrab, yang berarti secara kosmologi cella lebih penting dari mihrab.

Pemugaran[sunting | sunting sumber]

Arsitektur masjid di Indonesia tampil dengan keunikan tersendiri dibanding masjid-masjid di negara islam lainnya yang biasanya sangat dipengaruhi oleh arsitektur gaya Timur Tengah. Indonesia tidak demikian. Kekhasannya memang kental Indonesia yang kerap diterjemahkan bernuansa Jawa kuno. Atap bertumpang, antara dua sampai lima, misalnya memang merupakan satu dari dua pola bangunan masjid-masjid di nusantara tempo dulu hingga sekarang.

Gaya masjid tempo dulu kebanyakan adalah adalah gaya atap bertumpang. Konon gaya arsitekstur ini dipelopori oleh masjid Demak yang memang sangat dipengaruhi oleh nuansa keraton. Sebab para tukang yang membangunnya, menurut cerita “babad Tanah Jawi” didatangkan khusus dari Kerajaan Majapahit dibawah petunjuk dan pengawasan para Wali Songo. Dan konon menurut cerita tersebut kepala dari para tukang Majapahit adalah Raden Sepat, sang arsitekstur pertama masjid-masjid kala itu. Tak heran bila kemudian masjid-masjid setelah Demak didirikan atas rancang bangun Raden Sepat ini, tukang Majapahit menjadi sangat terkenal dan muncul semacam imej tersendiri pada waktu itu bahwa masjid tertua di Pulau Jawa itu adanya pertama kali di kota di Majapahit.

Masjid Sultan Suriansyah sebelum direnovasi.

Walau kemudian perkembangan masjid di luar Tanah Jawa di era raja-raja menggunakan para tukang setempat, namun pengaruh atap bertumpang tak bisa dihindarkan. Masjid Sultan Suriansyah (Sunan Batu Habang) di Kuin Kota Banjarmasin ini misalnya, yang merupakan masjid tertua di Kalimantan dan dibangun sekitar awal-awal abad ke-16 ini ternyata menggunakan corak yang sama dengan masjid Demak di Pulau Jawa. Walaupun dikerjakan oleh tukang-tukang dari Kampung Kuin sendiri, namun dalam hal pengawasan masih dipegang oleh Khatib Dayan utusan dari Jawa. Dan uniknya lagi atapnya juga bertumpang. Jadi tak heran jika masjid gaya atap tumpang ini terkesan ada pengaruh Hindu, sebab Majapahit memang didominasi ajaran Hindu, lalu gaya ini terbawa hingga sekarang. Begitu juga ketika anda melihat bangunan masjid didaerah Banua lima yang dibangun oleh Khatib Dayan dan teman-temannya juga mengikuti pola yang sama ”Atap Bertumpang”. Bahkan dimasa kepemimpinan era Presiden Soeharto, masjid gaya atap tumpang ini seperti dihidupkan kembali melalui Lembaga Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila dimana masjid-masjid Pancasila dibangun mulai dari kota propinsi hingga kecamatan dengan gaya tunggal: atap tumpang tiga. Sedang masjid berkubah biasanya dibangun oleh masyarakat secara gotong-royong dengan modifikasi bangunan yang lebih beragam, tentunya.

Ketika dimulai pelaksanaan rehab, Masjid Sultan Suriansyah ini adalah bangunan panggung dengan atap tumpang tiga. Di bagian puncaknya dilengkapi dengan kubah aluminium. Sedangkan bagian atap mihrabnya berupa limas segi enam yang terbuat dari bahan sirap. Kondisinya memang masih relatif baru. Atap tumpang tiga itu juga terbuat dari sirap. Berbeda dengan atap bagian mihrab, bagian bangunan utama ini kondisinya sudah lapuk yang dihiasi dengan sebuah kubah terbuat dari aluminium. Bagian atap bagian dalam dilapisi dengan plafon yang terbuat dari plywood, juga kondisinya sudah lapuk. Berbeda dengan atap bagian ruang utama dan mihrab, atap pada bagian salasar dan perluasan terbuat dari seng. Itu pun sudah karatan akibat sudah lama digunakan. Konstruksi pondasi asalnya tak dapat diketahui secara pasti, sebab ketika dilakukan penggalian, meskipun lokasi penggalian di pinggir sungai, tetapi tidak ditemukan adanya sisa-sisa tiang pancang. Itulah sebabanya berdasarkan analisa arsitektur, kondisi pondasi yang dipakai pada wal pembangunannya bisa jadi menggunakan pondasi kalang batang yaitu teknologi yang menggunakan batang pohon besar dan panjang sebagai tempat menancapkan tiang-tiang. Rekaaan atau perkiraan ini memang tidak diperkuat dengan bukti berupa batang-batang yang tersisa namun sangat besar kemungkinan batang yang dijadikan sudah hancur dan menyatu dengan tanah. Analisa lainnya adalah kemungkinan menggunakan konstruksi pondasi pancangan kayu kapur naga. Sebab pada umumnya bangunan kuno di Kalsel menggunakan pondasi dari bahan demikian. Tetapi yang jelas tersisa dari pondasi di masjid ini adalah pondasi kacapuri biasa dengan tongkat ulin biasa pula dan kondisinya sudah sangat hancur. Khusus untuk tiang utamanya (tiang guru) dan mihrab, pondasinya relatif masih baru berupa pancangan galam yang dilengkapi dengan neut beton bertulang, artinya sudah ada sentuhan teknologi modern yang sangat mungkin digunakan pada rehab sebelumnya.

Masjid Sultan Suriansyah tahun 1980 yang menggunakan kubah aluminium. Ini adalah bentuk pemugaran Masjid Sultan Suriansyah yang dipelopori oleh Kodam X Lambung Mangkurat pada tahun 1976.
Renovasi total Masjid Sultan Suriansyah tahun 1999 yang dipelopori oleh pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.
Tiang tengah (Sokoguru) dari kayu halayung lapuk dimakan usia diganti dengan kayu Ulin.

Tiang guru tersebut berbentuk penampang segi delapan dengan lebar sekitar 30 cm. Tiang ini mengalami kerusakan terutama dibagian bawah atau kakinya. Tetapi oleh masyarakat setempat rupanya diselamatkan dengan membungkus bagian yang rusak itu dengan beton bertulang. Tiang utama lainnya juga terbuat dari kayu ulin dengan penampang persegi empat. Lebarnya bervariasi antara 8 cm x 8 cm sampai 15 cm x 15 cm, juga dalam kondisi rusak parah. Untuk selasarnya, tiang yang digunakan adalah tiang beton bertulang yang kondisinya relatif masih baik. Begitu juga dengan lantai bangunan induknya yang terbuat dari papan ulin yang sebagian besar sudah lapuk pula. Sedangkan untuk bagian selasar dan teras lantainya terbuat dari ubin. Dinding bangunan sebagian besar menggunakan dinding bata, pada bagian mihrabnya yang relatif masih baru digunakan dinding papan ulin yang dilapisi semen dan keramik. Sedangkan dinding bagian atas bangunan menggunakan papan ulin saja. Pintu-pintu yang ada berupa kaca yang sebagian besar sudah rusak. Pintu yang masih asli tersisa sepasang dengan kondisi relatif masih baik. Daun pintunya juga dihiasi dengan ukiran kaligrafi Bahasa Arab Melayu yang menyatakan makna “Sesudah Hijrah Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam th. 1141 Hijriah, wakaf zaman Sultan Tamdjidillah, Kerajaan Dalam Negeri Banjar”. Sementara mimbar yang ada dan terbuat dari kayu jati, pada gerbang mimbarnya terdapat tulisan kaligrafi dengan tulisan kalimat tauhid “la ilaha ilallah Muhamadurasulullah” dan tulisan “Subhanallah walhamdulillah, Subhanallah al Adzim”. Selain itu ada juga tulisan Arab Melayu pada bagian kanan bawahnya dengan makna “hari Selasa 27 rajab 1296 Hijriah" dan dari kiri bawah dengan makna tulisan "Diukir oleh H. Muhammad Ali Al-Banjary”. Itulah bagian-bagian yang ada sebelum pelaksanaan pemugaran masjid bersejarah ini yang dimulai sejak tanggal 3 September 1999, kala itu Gubernur Kalimantan Selatan dipimpin oleh Drs. H. Gusti Hasan Aman.

Setelah pemugaran, kesan pertama yang sering terdengar dari orang yang pertama kali memandang adalah “kembali ke nuansa arsitektur tradisional Banjar abad-15". Itulah sedikit gambaran betapa berubahnya bentuk masjid ini setelah dipugar dan direhabilitasi kembali. Bangunan bujur sangkar berukuran 15, 2 meter x 15, 2 meter itu pun ramai dihiasi kaligrafi Arab. Denah bangunan ini ketika mau direhabilitasi total menunjukan sebuah masjid yang bagian dalamnya seluas 434 m2. Rinciannya adalah: ruang induk berukuran 19, 5 meter x 20, 4 meter sehingga hampir berbentuk sama persegi panjang. Sedangkan ruang mihrab atau paimamam luasnya 7, 5 meter x 5 meter, lebih ke bentuk persegi panjang. Memang tak terlalu besar untuk ukuran sebuah masjid pada zaman sekarang ini. Namun kesan pertama yang akan kita saksikan adalah ornamen kaligrafi Arabnya yang lebih mencolok dibanding sisi-sisi yang lain. Seakan tak ada detail bangunan tanpa hiasan dan pahatan kaligrafi. Berbicara tentang ormanen khas Banjar biasanya lebih banyak bermotif flora dan fauna, mulai dari beranda masjid hingga dinding-dinding yang memisahkan antara alam luar dan dalam ruangan masjid. Pada 17 buah pintu yang ada, disetiap daun pintunya dibuat ventilasi udara yang bermotif kaligrafi syahadat. Begitu pula empat tiang utama ruangan dalam diberikan sentuhan ornamen. Bahkan sampai pada ujung-ujungnya yang menghubungkan dengan langit-langit.

Putaka waluh dan buntut ayam di atas Kubah Masjid Sultan Suriansyah saat renovasi total tahun 1999.

Memang ada beberapa bagian asal yang tertinggal seperti daun pintu utama serta beberapa ornamen masjid. Dari situlah benang merah direntangkan. Diperkaya dari beberapa keterangan tetuha di kampung Kuin dan studi banding ke mesjid-mejid kuno di daerah Hulu sungai yang juga bekas sisa-sisa peninggalan dakwah Khatib Dayan, foto-foto dokumentasi masjid sebelum dipugar pada tahun 1976, maka dikembalikanlah bentuk bangunan masjid ini ke bentuk dan posisi semula. Untuk warna ternyata hijau dan kuninglah menjadi pilihan utama sebagai warna dasar. Hal ini berdasarkan petunjuk yang bisa ditiru yaitu pada warna mimbar dan daun pintu yang masih ada sisa-sisa warna alami yaitu kuning dan hijau. Dalam hal ini yang paling mendasar dari rehabilitasi masjid Sultan Suriansyah ini adalah menjadikan pondasi dari pancangan kayu galam dan neut beton sebagai konstruksinya. Sedangkan untuk struktur lainnya seperti tiang dan atap khusus untuk bangunan utama dikembalikan ke bentuk asli yaitu menggunakan kayu ulin. Teknik pengerjaaannya pun dikerjakan oleh tenaga yang terampil dibidangnya. Tiang utama masih menggunakan batang kayu ulin yang asli, namun diperbaiki pada bagian yang sudah keropos dengan cara menambalnya, kemudian membungkusnya dengan ornamen kayu ulin berbentuk persegi kotak. Sedangkan bangunan teras dan serambi yang merupakan bangunan tambahan, konstruksinya adalah beton bertulang.

Interior Masjid Sultan Suriansyah.

Begitu pula untuk bangunan atap yang sebelum dipugar tahun 1999 yang masih berbentuk kubah dikembalikan ke bentuk asal yaitu atap limas tumpang tiga. Bentuk denah masjid pun dilakukan perbaikan arah kiblat yang semula mengalami kemiringan sedikit pergeseran. Untuk itulah akhirnya ada juga sedikit pergeseran tiang bangunan untuk mengikuti posisi arah kiblat itu. Kalau pada bagian utama, bangunan atapnya dikembalikan pada bentuk limas tumpang tiga dengan bahan utama sirap, maka pada atap bagian mihrab juga dikembalikan ke bentuk limas segi enam. Sedangkan untuk atap bagian serambi berbentuk limas segi empat. Atap-atap ini dilengkapi pula dengan petaka berbentuk waluh dan jamang melati pada setiap atap dan pilis-pilisnya. Sedangkan untuk bagian salasar yang juga merupakan bangunan tambahan, atapnya menggunakan dak beton. Sementara lisplank pada bagian salasar dibuat dari beton bertulang dan dilapisi dengan papan ulin yang diolah dalam bentuk tradisional.[6]

Galeri[sunting | sunting sumber]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ (Indonesia) Zein, Abdul Baqir (1999). Masjid-masjid bersejarah di Indonesia. Gema Insani. hlm. 328. ISBN 979-561-567-X. ISBN 978-979-561-567-5
  2. ^ (Indonesia) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2005). Sejarah dan dialog peradaban: persembahan 70 tahun Prof. Dr. Taufik Abdullah. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. ISBN 979-3673-84-2. ISBN 978-979-3673-84-4
  3. ^ 1744/1745 Masehi
  4. ^ Perhitungan kalender Aboge, dalam kurun waktu delapan tahun atau satu windu dengan urutan terdiri tahun Alif (1153), Ha (1154), Jim awal (1155), Za (1156), Dal (1157), Ba (1158), Wawu (1159), dan Jim akhir (1160)
  5. ^ 1880/1881 Masehi
  6. ^ "WISATA RELIGIUS MASJID BERSEJARAH SULTAN SURIANSYAH ( MASJID TERTUA DI KOTA BANJARMASIN – Yayasan" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-08-07. 

Koordinat: 3°17′40″S 114°34′34″E / 3.29433056577°S 114.576103775°E / -3.29433056577; 114.576103775