Partai Rakyat Demokratik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Partai Demokratik Indonesia (PDI)
Ketua umumAgus Priyono
(sejak 2010)
Sekretaris JenderalDominggus Oktavianus Kiik
DibentukKaliurang, Sleman, D.I. Yogyakarta, 15 April 1996;
22 Juli 1996 (Deklarasi PRD)
Kantor pusatJl Tebet Dalam I C No 3, Jakarta Selatan, 12810
IdeologiPancasila
Reformisme
Kursi di DPR
0 / 462
Situs web
http://www.prd.or.id/

Partai Demokratik Indonesia (PDI) adalah sebuah partai politik di Indonesia. Partai ini tidak memiliki wakil langsung di parlemen; namun demikian, perannya dalam sejarah politik Indonesia sejak era Orde Baru sangatlah penting. Partai ini dikenal sebagai partai gerakan yang aktif melakukan kaderisasi, penggalangan massa dan kerap berjuang dengan metode ekstraparlementer.

Misi dan Pokok Perjuangan

Tujuan PRD[1] yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur tanpa penindasan manusia atas manusia dan penindasan bangsa atas bangsa.

Adapun pokok-pokok perjuangan PRD yaitu:

  1. Membangun kekuasaan politik secara konstitusional untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, berdikari dan berkepribadian.
  2. Memimpin dan atau terlibat aktif dalam menuntaskan perjuangan demokrasi nasional.
  3. Memimpin dan atau terlibat aktif dalam menggalang persatuan nasional melawan imperialisme.

Sejarah

Partai ini sebelumnya bernama Persatuan Rakyat Demokratik, di mana kemudian mengalami perpecahan. Organisasi ini menyatakan diri sebagai partai pada pada bulan April 1996 dengan diprakarsai oleh sejumlah intelektual muda, termasuk ketua pertamanya, Budiman Sudjatmiko. Banyak dari anggotanya adalah intelektual dan aktivis muda, khususnya mahasiswa. Sebelum terjadinya Peristiwa 27 Juli 1996, di mana PRD dikambing-hitamkan[2] sebagai dalangnya, Partai ini mendapat dukungan utama dari salah satu organisasi onderbouwnya, yakni Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).

Persatuan Rakyat Demokratik adalah organisasi payung dari organisasi-organisasi massa lintas sektoral:

  1. Sektor Buruh - Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), yang kemudian menjadi Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI). Tokoh-tokohnya antara lain: Dita Indah Sari, Suyat (hilang sejak 1998 hingga sekarang), Bimo Petrus (hlang sejak tahun 1998 hiingga sekarang);
  2. Sektor Budaya dan Seniman - Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKKER). Tokoh-tokohnya antara lain: Rahardja Waluyo Djati, Widji Thukul (hilang sejak tahun 1998 hingga sekarang);
  3. Sektor Tani - Serikat Tani Nasional (STN). Tokoh-tokohnya antara lain: Sereida Tambunan, Mashuri, Linda Chrystanti, Herman Hendrawan (hilang sejak tahun 1998 hingga sekarang); dan
  4. Sektor Mahasiswa - Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Tokoh-tokohnya antara lain: Munif Laredo, Andi Arief, Garda Sembiring.

Organisasi payung ini kemudian mentransformasikan diri dari organisasi massa menjadi Partai Politik dengan nama Partai Rakyat Demokratik yang dideklarasikan pada tanggal 22 Juli 1996.

Sejak awal pendirian, PRD sudah menunjukkan sikap oposisi terhadap pemerintahan otoriter Orde Baru. Manifesto 22 Juli 1996[3] yang dideklarasikan partai ini pada tanggal tersebut, adalah deklarasi yang secara tajam menyerang dan mengkritik kondisi politik dan kondisi sosial-ekonomi di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Kondisi politik yang dikritik adalah jauhnya model pemerintahan Orde Baru dari sistem yang demokratis. Sementara kondisi sosial-ekonomi yang dikritik adalah kesenjangan sosial akibat kebijakan berorientasi pertumbuhan, dengan melupakan pemerataan dan distribusi yang adil.

Pokok-pokok penting dari Manifesto 22 Juli 1996, adalah:

  1. menuntut pencabutan 5 Paket UU Politik tahun 1985 yang memasung hak berpolitik dan berorganisasi rakyat sipil.
  2. menuntut penghapusan penerapan Dwi Fungsi ABRI yang memberikan hak istimewa kepada militer untuk memasuki ranah sosial politik dan sosial ekonomi.
  3. mendukung hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Maubere (d/h Timor Timur; s/k Timor Leste).
  4. mengupayakan pembangunan front perjuangan dengan beragam eksponen perjuangan dalam merebut DEMOKRASI dan mengembalikan KEDAULATAN RAKYAT.
  5. membuat platform bersama-sama eksponen gerakan, khususnya Komite Independen Pemantau Pemilu untuk mengawal Pemilu 1997 dan menelanjangi praktik kecurangan Orde Baru yang selalu dilakukan setiap penyelenggaraan Pemilu.
  6. mengorganisir rakyat untuk semakin terlibat aktif dalam menentang dan melawan kediktatoran rejim militer Orde Baru.

Di samping itu, Manifesto PRD juga menyinggung-nyinggung masalah korupsi dan kolusi yang menjamur di birokrasi pemerintahan. Di usia awalnya ini pula, partai ini mulai membela dan mengadvokasi petani-petani pedesaan dalam membela hak atas tanah. Urusan ini, secara umum ditangani oleh Serikat Tani Nasional (STN). Sementara untuk urusan perburuhan melalui Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI). Mobilisasi massa untuk demonstrasi, yang saat Orde Baru dilarang, pun tak jarang terjadi. PRD menyelenggarakan berbagai demonstrasi baik yang sifatnya dalam lingkup lokal maupun dilakukan secara serentak di berbagai daerah, sektoral dan multi-sektoral. Kadang kala PRD dalam kegiatannya PRD juga bekerjasama dengan aktivis dari organisasi lain.

Sejak 1997, karena popularitas PRD yang semakin meningkat, dan juga kondisi sosial-ekonomi serta politik yang mulai tidak stabil, pemerintah Orde Baru mulai melakukan penindasan terhadap berbagai gerakan politis yang dianggap subversif, apalagi yang dianggap kiri, dan komunis, termasuk salah satu korbannya adalah PRD.

Reaksi pemerintah Orde Baru

Setelah Peristiwa 27 Juli 1996, pimpinan-pimpinan utama PRD ditangkap[4] dan dipenjarakan. Anggota PRD dan pihak-pihak yang dianggap memiliki kaitan dengan PRD menerima teror dan tekanan. Tak sedikit dari mereka yang ditahan tanpa alasan yang jelas di markas lembaga ekstrayudisial, Bakorstanasda (Badan Koordinasi Stabilitas Nasional Daerah). Menjelang runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998, 1 orang anggotanya terbunuh, beberapa mengalami penculikan[5] dan hingga sekarang, sebagian diantaranya, termasuk penyair Wiji Thukul, tidak diketahui nasibnya (menjadi bagian dari sekian banyak "Orang Hilang").

Di samping mengadvokasi dan mengorganisasi petani dan buruh, salah satu tindakan PRD yang membuat pemerintah semakin kebakaran jenggot adalah pernyataan dukungan PRD atas hak menentukan nasib sendiri (self determination) di Timor Timur. Budiman Sudjatmiko sendiri sempat berada dalam satu penjara di LP. Cipinang dengan Xanana Gusmao, pemimpin gerakan pro-kemerdekaan CNRM (Conselho Nacional de Resistência Maubere) Timor Timur yang kelak menjadi Timor Leste atau Timor Lorosa'e.

Peran PRD dalam reformasi

Pada akhir 1997 dan awal 1998, peran PRD dalam gelombang Reformasi dan dalam menumbangkan rezim Soeharto juga signifikan. Meski terpaksa berjuang secara bawah tanah, anggotanya membentuk atau menggabungkan diri dalam berbagai komite rakyat dan mahasiswa[6]. Di tengah krisis ekonomi, gelombang tuntutan demokrasi serta terjadinya Peristiwa Mei 1998, Presiden Suharto kemudian mundur dan menyerahkan tampuk pemerintahan kepada wakilnya B.J. Habibie. Pada pemilihan umum (pemilu) pertama pasca-Reformasi 1998, PRD yang sebelumnya dinyatakan terlarang oleh Orde Baru, diakui dan turut serta menjadi peserta Pemilu 1999[7]. PRD menjadi organisasi peserta pemilu dengan pimpinan yang masih di penjara[8].

Meski ditinggal sebagian besar tokoh pendiri dan pimpinan awal[9], hingga sekarang, PRD masih aktif dalam menggalang aksi protes dan demonstrasi mengkritik berbagai kebijakan yang dianggap neoliberal. PRD juga gencar mengkampanyekan kedaulatan nasional dan Gerakan Nasional Pasal 33 (GNP33)[10] UUD 1945. Saat ini, PRD dipimpin Agus 'Jabo' Priyono, anggota pendiri dan salah satu pemimpin utama PRD pasca tertangkapnya Budiman Sudjatmiko,cs pada tahun 1996.

Rujukan

Pranala luar