Lompat ke isi

Trilema Lewis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Trilema Lewis adalah argumen apologetik yang berdasarkan tradisi digunakan untuk memperdebatkan keilahian Yesus dengan berargumen bahwa satu-satunya alternatif yaitu Yesus adalah jahat atau terdelusi.[1] Dapat dikatakan bahwa Lewis sebenarnya tidak berupaya untuk membuktikan keilahian Kristus tetapi sekadar berargumen bahwa seseorang tidak dapat menegaskan kalau Yesus adalah seorang guru moral yang luar biasa dan sekaligus tidak ilahi. Terdapat satu versi yang dipopulerkan oleh C. S. Lewis, seorang penulis dan akademisi literer dari Universitas Oxford, dalam suatu sesi pembicaraan radio BBC dan karya-karya tulisnya. Versi tersebut terkadang dideskripsikan sebagai argumen "Lunatic, Liar, or Lord" ("Orang Gila, Pendusta, atau Tuhan"), atau "Mad, Bad, or God" ("Gila, Jahat, atau Allah"). Bentuknya berupa trilema — suatu pilihan di antara tiga opsi yang masing-masingnya sulit diterima dalam cara tertentu.

Argumen tersebut sangat populer dalam kalangan apolog Kristen, kendati beberapa teolog dan akademisi biblika[2] tidak memandang Yesus sebagai orang yang mengaku sebagai Allah.[3][4] Beberapa pihak berpendapat bahwa Yesus mengidentifikasi diri sebagai seorang agen ilahi, yang memiliki suatu hubungan unik dengan Allah Israel.[5] Pihak lainnya menganggap bahwa Yesus ingin menarik perhatian ke arah kerajaan ilahi yang diwartakan.[6]

Argumen ini banyak dikutip dalam beragam bentuk pada abad ke-19. Pengkhotbah Amerika Serikat Mark Hopkins menggunakannya dalam buku Lectures on the Evidences of Christianity (1846) karyanya, berdasarkan pengajaran-pengajaran yang disampaikan pada tahun 1844.[7] Penggunaan yang lebih awal atas pendekatan ini yaitu oleh pengkhotbah Skotlandia "Rabi" John Duncan (1796–1870), sekitar tahun 1859–60:[8]

Kristus entah menipu umat manusia dengan penipuan yang disengaja, atau Dia sendiri terdelusi dan tertipu-sendiri, atau Dia adalah Ilahi. Tidak mungkin melarikan diri dari trilema ini. Hal itu tak terhindarkan.

Pengkhotbah lainnya yang menggunakan pendekatan ini misalnya Reuben Archer Torrey (1856–1928)[9] dan W. E. Biederwolf (1867–1939).[10] Penulis G.K. Chesterton menggunakan sesuatu yang mirip dengan trilema ini dalam buku The Everlasting Man (1925) karyanya,[11] yang Lewis kutip pada tahun 1962 sebagai buku kedua yang paling mempengaruhinya.[12]

Formulasi Lewis

[sunting | sunting sumber]

C. S. Lewis adalah seorang akademisi Literatur abad pertengahan dari Universitas Oxford, penulis populer, apolog Kristen, dan mantan penganut ateisme. Ia menggunakan argumen yang diuraikan di bawah ini dalam serangkaian pembicaraan radio BBC yang kemudian diterbitkan sebagai buku Mere Christianity.

Di sini saya mencoba untuk mencegah siapa saja mengatakan hal yang benar-benar bodoh yang orang sering katakan tentang Dia: Saya siap menerima Yesus sebagai seorang guru moral yang luar biasa, tetapi saya tidak menerima klaim-Nya sebagai Allah. Itulah satu hal yang tidak boleh kita katakan. Seorang manusia yang hanyalah seorang manusia dan mengatakan hal-hal yang Yesus katakan bukanlah seorang guru moral yang luar biasa. Ia adalah entah seorang gila — pada tingkatan yang sama dengan orang yang mengatakan bahwa ia adalah sebutir telur rebus — atau ia adalah Iblis dari Neraka. Anda harus menentukan pilihan. Entah orang ini dahulu, dan sekarang, adalah Putra Allah, atau seorang gila atau juga sesuatu yang lebih buruk. Anda dapat membungkamnya karena seorang bodoh, Anda dapat meludahinya dan membunuhnya sebagai setan, atau Anda dapat tersungkur di kakinya dan memanggilnya Tuhan dan Allah, tetapi janganlah kita datang dengan omong kosong apapun yang merendahkan tentang dirinya sebagai seorang guru insani yang luar biasa. Dia tidak meninggalkan hal itu terbuka bagi kita. Dia tidak bermaksud demikian. ... Sekarang tampak jelas bagi saya bahwa Dia bukanlah orang gila ataupun iblis: dan konsekuensinya, betapapun mungkin terlihat aneh atau mengerikan atau juga tidak demikian tampaknya, saya harus menerima pandangan bahwa Dia dahulu dan sekarang adalah Allah.[13]

Lewis, yang pernah banyak berbicara tentang Kekristenan kepada personil Royal Air Force, menyadari bahwa banyak orang biasa yang tidak meyakini Yesus sebagai Allah tetapi lebih memandang Yesus sebagai "seorang 'guru moral yang luar biasa' yang dituhankan oleh para pengikutnya"; argumen yang Lewis berikan di atas dimaksudkan untuk mengatasi hal ini.[1]

Trilema ini terus digunakan dalam apologetika Kristen sejak Lewis mengutarakannya, terutama oleh para penulis seperti Josh McDowell. Peter Kreeft mendeskripsikan trilema ini sebagai "argumen yang paling penting dalam apologetika Kristen"[14] dan merupakan suatu bagian utama sesi pembicaraan pertama dalam Alpha Course dan buku yang didasarkan padanya, Questions of Life karya Nicky Gumbel. Ronald Reagan juga menggunakan argumen ini pada tahun 1978, dalam suatu tanggapan tertulis kepada seorang pelayan Metodis liberal yang mengatakan bahwa ia tidak meyakini Yesus sebagai anak Allah.[15] Terdapat varian lain yang juga dikutip oleh Bono.[16] Versi Lewis ini dikutip oleh Charles Colson sebagai dasar konversinya ke iman Kristen.[17] Stephen Davis, salah seorang pendukung Lewis dan argumen ini,[18] berpendapat bahwa hal ini dapat memperlihatkan keyakinan akan Inkarnasi sebagai sesuatu yang rasional.[19] Bruce M. Metzger berpendapat bahwa "Telah sering disebutkan kalau klaim Yesus sebagai satu-satunya Putra Allah entah adalah benar atau salah. Seandainya itu salah, ia tahu klaim itu adalah salah atau juga ia tidak tahu kalau itu adalah salah. Dalam kasus yang pertama (2) ia adalah seorang pendusta; dalam kasus yang terakhir (3) ia adalah seorang gila. Tidak ada kesimpulan lain yang memungkinkan di luar ketiga hal ini."[20] Hal serupa juga diajukan oleh seorang apolog Katolik, Robert Barron.

Menurut Davis, argumen ini "nyaris tidak ada sama sekali dalam diskusi-diskusi tentang status Yesus oleh para teolog profesional dan akademisi biblika",[2] dan ia mengklaim bahwa trilema ini "sering dikritik dengan keras, baik oleh orang yang meyakini maupun oleh orang yang tidak meyakini keilahian Yesus".[21]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b (Inggris) Lewis, C. S., God in the Dock (Eerdmans, 2014), pages 100–101.
  2. ^ a b Davis (2006), page 151
  3. ^ (Inggris) Hick, John, The Metaphor of God Incarnate, page 27.
  4. ^ Hurtado, Larry W. (2005). Lord Jesus Christ: Devotion to Jesus in Earliest Christianity. Wm. B. Eerdmans Publishing Company. hlm. 5. ISBN 0-8028-3167-2. 
  5. ^ (Inggris) Bird, Michael F. (2014). "3: Did Jesus Think He Was God?". Dalam Bird, Michael F. How God Became Jesus: The Real Origins of Belief in Jesus' Divine Nature — A Response to Bart D. Ehrman. Grand Rapids, MI: Zondervan. hlm. 46. Jesus identified himself as a divine agent with a unique authority and a unique relationship with Israel's God. In addition, he spoke as one who spoke for God in an immediate sense and believed himself to be embodying the very person of God in his mission to renew and restore Israel. 
  6. ^ (Inggris) Hurtado, Larry W. (2005). How on Earth Did Jesus Become a God?: Historical Questions about Earliest Devotion to Jesus. Grand Rapids, MI: Wm. B. Eerdmans Publishing. hlm. 3. To judge from the many sayings attributed to Jesus in the New Testament Gospels... [i]n addition to proclaiming and teaching about God's kingdom, Jesus also seems to have engaged in other activities that had the effect of drawing further attention to him but were primarily intended to demonstrate something of the power and the purposes of the divine kingdom that he announced. 
  7. ^ (Inggris) Mark Hopkins, Lectures on the Evidences of Christianity (1846), Lecture VIII: "either ... those claims were well-founded, or of a hopeless insanity. ... No impostor of common sense could have had the folly to prefer such claims."
  8. ^ (Inggris) William Knight, Colloquia Peripatetica, 1870, page 109: Knight explains that the conversations quoted took place during the summers of 1859 and 1860.
  9. ^ (Inggris) Undated sermon by R. A. Torrey, Billy Graham archives Diarsipkan 2016-04-16 di Wayback Machine.; see also Deity of Jesus Christ, by R. A. Torrey, 1918
  10. ^ (Inggris) W. E. Biederwolf, "Yes, He Arose", in Great Preaching on the Resurrection: Seventeen Messages, ed. Curtis Hutson, Sword of the Lord Publishers (1984), page 29.
  11. ^ (Inggris) Chesterton, Gilbert Keith (1993). The Everlasting Man. San Francisco: Ignatius Press. hlm. 196–198. Diakses tanggal 27 September 2014. 
  12. ^ (Inggris) Zaleski, Carol. "C. S. Lewis's Aeneid". Christian Century. Diakses tanggal 27 September 2014. 
  13. ^ (Inggris) Lewis, C. S., Mere Christianity, London: Collins, 1952, pp. 54 – 56. (In all editions, this is Bk. II, Ch. 3, "The Shocking Alternative.")
  14. ^ (Inggris) Kreeft, Peter (1988). Fundamentals of the Faith: Essays in Christian Apologetics, p. 59. San Francisco, Ignatius Press. ISBN 0-89870-202-X. Chapter excerpted online, accessed 13 April 2007.
  15. ^ (Inggris) Helene von Damm, ed., Sincerely, Ronald Reagan (New York: Berkley, 1980), 90
  16. ^ (Inggris) Michka Assayas, Bono in Conversation, (Riverhead Hardcover, 2005) page 205.
  17. ^ (Inggris) Jonathan Aitken, Charles Colson, (Continuum International, 2005), pages 210–211.
  18. ^ (Inggris) Davis, Stephen T. (2006), "Was Jesus Mad, Bad, or God?", Christian Philosophical Theology, Oxford University Press, Abstract, ch. 9, pp. 149f. "In this chapter, C. S. Lewis'[s] famous trilemma argument in favour of the divinity of Christ (Jesus was either mad, bad, or God) is developed, and a version of it is defended."
  19. ^ (Inggris) Davis (2006), "I [...] claim that the MBG argument, properly understood, can establish the rationality of belief in the incarnation of Jesus." (p. 150)
  20. ^ (Inggris) Bruce M Metzger, The New Testament: Its Background, Growth, and Content, (Abingdon, 1964, rev. 2003), p. 157. ISBN 978-0-227-17025-0
  21. ^ Davis (2006), page 150