Lompat ke isi

Ukiyo-e

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Lukisan seorang perempuan Jepang berpakaian mewah dalam gaya abad ke-16.Cetakan berwarna teater yang ramai
=Cetakan berwarna aktor Jepang dengan riasan mencolok, mengekspresikan gerakan berani dengan jari-jari terbentang, menghadap ke kanan. Cetakan berwarna potret dekat seorang perempuan Jepang zaman dulu dengan riasan tebal, melihat melalui sisir tembus pandang.
Cetakan pemandangan berwarna yang menampilkan tiga orang berjalan ke kiri, hutan dan gunung tinggi di latar belakang. Cetakan berwarna seekor burung terbang di dekat bunga-bunga.
Satu set tiga cetakan berwarna yang menggambarkan seorang samurai dihadapkan oleh kerangka raksasa.
Dari kiri atas:

Ukiyo-e[a] adalah salah satu genre seni Jepang yang berkembang pesat dari abad ke-17 hingga ke-19. Para senimannya menghasilkan cetak balok kayu dan lukisan dengan beragam tema, seperti kecantikan perempuan, aktor kabuki, pegulat sumo, adegan dari sejarah dan cerita rakyat, pemandangan alam, flora dan fauna, serta erotika. Istilah ukiyo-e (浮世絵) secara harfiah berarti 'gambar dunia yang mengapung'.

Pada tahun 1603, kota Edo (sekarang Tokyo) menjadi pusat kekuasaan Keshogunan Tokugawa. Kelas chōnin (pedagang, pengrajin, dan pekerja), yang berada di lapisan terbawah struktur sosial, paling banyak merasakan manfaat dari pertumbuhan ekonomi pesat kota tersebut. Mereka mulai menikmati dan mendukung hiburan seperti teater kabuki, geisha, dan wanita penghibur di distrik kesenangan. Istilah ukiyo ('dunia yang mengapung') kemudian digunakan untuk menggambarkan gaya hidup hedonis ini. Karya ukiyo-e yang dicetak atau dilukis sangat populer di kalangan kelas chōnin yang cukup makmur untuk menghiasi rumah mereka dengan karya seni tersebut.

Karya ukiyo-e paling awal muncul pada tahun 1670-an dengan lukisan dan cetakan monokromatik karya Hishikawa Moronobu yang menggambarkan perempuan cantik. Cetakan berwarna mulai diperkenalkan secara bertahap dan pada awalnya hanya digunakan untuk pesanan khusus. Pada 1740-an, seniman seperti Okumura Masanobu mulai menggunakan beberapa balok kayu untuk mencetak area berwarna. Pada 1760-an, kesuksesan cetakan berwarna penuh karya Suzuki Harunobu yang disebut "cetakan brokat" membuat produksi cetakan berwarna penuh menjadi standar, dengan sepuluh atau lebih balok kayu digunakan untuk menciptakan setiap cetakan. Beberapa seniman ukiyo-e lebih memilih untuk membuat lukisan, tetapi sebagian besar karya yang dihasilkan adalah cetakan. Para seniman jarang mengukir balok kayunya sendiri; produksi cetakan dibagi antara seniman yang mendesain, pengukir yang memotong balok kayu, pencetak yang mewarnai dan mencetak balok kayu ke atas kertas buatan tangan, serta penerbit yang membiayai, mempromosikan, dan mendistribusikan karya tersebut. Karena pencetakan dilakukan secara manual, para pencetak mampu menghasilkan efek yang sulit dicapai dengan mesin, seperti pengaburan atau gradasi warna pada balok cetak.

Karya potret kecantikan dan aktor yang diciptakan oleh seniman ternama seperti Torii Kiyonaga, Utamaro, dan Sharaku pada akhir abad ke-18 sangat dihargai oleh para kolektor. Pada abad ke-19, tradisi ukiyo-e dilanjutkan oleh seniman seperti Hokusai dengan karyanya yang terkenal The Great Wave off Kanagawa dan Hiroshige dengan The Fifty-three Stations of the Tōkaidō. Setelah kematian kedua seniman besar ini dan seiring dengan modernisasi sosial dan teknologi yang menyusul Restorasi Meiji pada tahun 1868, produksi ukiyo-e mengalami penurunan drastis.

Namun, pada abad ke-20, terjadi kebangkitan seni cetak Jepang melalui genre shin-hanga ('cetakan baru') yang memanfaatkan minat Barat terhadap cetakan yang menggambarkan pemandangan tradisional Jepang, serta gerakan sōsaku-hanga ('cetakan kreatif') yang mendukung karya-karya individualis yang dirancang, diukir, dan dicetak oleh satu seniman. Sejak akhir abad ke-20, cetakan-cetakan yang dihasilkan terus memiliki ciri khas individualis, seringkali menggunakan teknik yang diimpor dari Barat.

Ukiyo-e memiliki peran penting dalam membentuk persepsi Barat tentang seni Jepang pada akhir abad ke-19, terutama melalui pemandangan alam karya Hokusai dan Hiroshige. Sejak tahun 1870-an, tren Japonisme menjadi sangat menonjol dan memiliki pengaruh kuat pada seniman Impresionisme Prancis awal seperti Edgar Degas, Édouard Manet, dan Claude Monet, serta memengaruhi seniman Pascaimpresionis seperti Vincent van Gogh, dan seniman Art Nouveau seperti Henri de Toulouse-Lautrec.

Pra-sejarah

[sunting | sunting sumber]

Seni Jepang sejak periode Heian (794–1185) berkembang melalui dua aliran utama: tradisi Yamato-e yang berfokus pada tema-tema lokal Jepang, seperti yang terlihat dalam karya-karya dari Sekolah Tosa; dan kara-e yang dipengaruhi oleh seni Tiongkok dalam berbagai gaya, seperti lukisan tinta hitam putih karya Sesshū Tōyō dan murid-muridnya. Sekolah Kanō menggabungkan ciri-ciri dari kedua tradisi ini.[1]

Sejak zaman kuno, seni Jepang telah didukung oleh kalangan aristokrasi, pemerintahan militer, dan otoritas keagamaan.[2] Hingga abad ke-16, kehidupan rakyat jelata jarang menjadi subjek utama dalam lukisan. Kalaupun muncul, karya-karya tersebut umumnya merupakan barang mewah yang dibuat untuk kalangan penguasa samurai dan pedagang kaya.[3] Kemudian, muncullah karya-karya yang dibuat oleh dan untuk masyarakat kota, seperti lukisan monokrom sederhana yang menggambarkan perempuan cantik dan adegan dari teater serta distrik kesenangan. Sifat produksi manual dari karya-karya ini, yang dikenal sebagai shikomi-e (仕込絵), membatasi skala produksinya, hingga akhirnya keterbatasan ini diatasi dengan beralih ke cetakan balok kayu yang diproduksi massal.[4]

Gambar layar yang dilukis dengan enam panel menampilkan suasana taman tempat pengunjung menikmati pemandangan.
Maple Viewing at Takao (pertengahan abad ke-16) karya Kanō Hideyori adalah salah satu lukisan Jepang pertama yang menampilkan kehidupan rakyat biasa.[2]

Selama periode Sengoku, yaitu masa perang saudara yang berkepanjangan pada abad ke-16, muncul kelas pedagang yang memiliki kekuasaan politik yang signifikan. Kelas ini dikenal sebagai machishū [ja], yang kemudian menjadi cikal bakal kelas chōnin pada zaman Edo. Mereka menjalin aliansi dengan pengadilan kekaisaran dan memiliki kekuasaan atas komunitas lokal; dukungan mereka terhadap seni mendorong kebangkitan seni klasik pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17.[5] Pada awal abad ke-17, Tokugawa Ieyasu (1543–1616) berhasil menyatukan Jepang dan diangkat sebagai shōgun yang memiliki kekuasaan tertinggi atas negeri tersebut. Ia membentuk pemerintahannya di desa Edo (sekarang Tokyo),[6] dan mengharuskan para tuan tanah untuk berkumpul di sana setiap dua tahun sekali dengan membawa rombongan mereka. Kebutuhan ibu kota yang berkembang pesat menarik banyak pekerja laki-laki dari pedesaan, sehingga populasi laki-laki mencapai hampir tujuh puluh persen. Selama periode Edo (1603–1867), populasi desa ini tumbuh dari sekitar 1.800 jiwa menjadi lebih dari satu juta pada abad ke-19.[6]

Pemerintahan shogun yang terpusat mengakhiri kekuasaan machishū dan membagi masyarakat ke dalam empat kelas sosial, dengan samurai sebagai kelas penguasa dan pedagang di posisi terbawah. Meskipun kehilangan pengaruh politiknya,[5] kelas pedagang justru paling diuntungkan oleh perkembangan ekonomi yang pesat pada masa Edo,[7] dan peningkatan kesejahteraan mereka memungkinkan untuk menikmati waktu luang di distrik kesenangan—terutama di Yoshiwara di Edo[6]—dan mengoleksi karya seni untuk menghiasi rumah mereka, yang pada masa sebelumnya masih di luar jangkauan finansial mereka.[8] Pengalaman menikmati hiburan di distrik kesenangan terbuka bagi siapa saja yang memiliki kekayaan, sopan santun, dan pendidikan yang memadai.[9]

Lukisan seorang pria Asia zaman pertengahan yang duduk dan berpakaian mewah
Tokugawa Ieyasu membentuk pemerintahannya pada awal abad ke-17 di Edo (sekarang Tokyo). Potret Tokugawa Ieyasu, lukisan Sekolah Kanō, karya Kanō Tan'yū, abad ke-17

Cetak balok kayu di Jepang pertama kali muncul pada masa Hyakumantō Darani sekitar tahun 770 Masehi. Hingga abad ke-17, teknik cetak ini hanya digunakan untuk segel dan gambar Buddha.[10] Cetak huruf lepas mulai dikenal sekitar tahun 1600, tetapi karena sistem penulisan Jepang memerlukan sekitar 100.000 karakter huruf,[b] ukiran teks pada balok kayu lebih efisien. Di Saga, Kyoto [ja], kaligrafer Hon'ami Kōetsu dan penerbit Suminokura Soan [ja] menggabungkan teks cetakan dan gambar dalam adaptasi Ise Monogatari (1608) dan karya sastra lainnya.[11] Pada era Kan'ei (1624–1643), buku bergambar cerita rakyat yang dikenal sebagai tanrokubon ('buku jingga-hijau') adalah buku pertama yang diproduksi secara massal menggunakan teknik cetak balok kayu.[10] Ilustrasi balok kayu terus berkembang sebagai penggambaran cerita dalam genre kanazōshi yang menggambarkan kehidupan urban hedonistik di ibu kota baru.[12] Pembangunan kembali Edo setelah Kebakaran Besar Meireki pada tahun 1657 mempercepat modernisasi kota, dan penerbitan buku bergambar berkembang pesat di lingkungan urban yang cepat berubah ini.[13]

Istilah ukiyo (浮世), yang berarti 'dunia yang mengapung', memiliki bunyi yang sama dengan istilah Buddhis kuno ukiyo (憂き世), yang berarti 'dunia penuh duka dan penderitaan'. Istilah baru ini kadang-kadang digunakan untuk merujuk pada makna 'erotis' atau 'bergaya', serta berbagai makna lainnya, dan kemudian digunakan untuk menggambarkan semangat hedonistik pada masa itu di kalangan kelas bawah. Asai Ryōi menggambarkan semangat ini dalam novel Ukiyo Monogatari (Kisah Dunia yang Mengapung, sekitar tahun 1661):[14]

[H]idup hanya untuk saat ini, menikmati bulan, salju, bunga sakura, dan daun maple, bernyanyi, minum sake, dan bersenang-senang hanya dengan mengapung, tanpa khawatir akan kemiskinan yang mengintai, melayang dan tanpa beban, seperti labu yang terbawa arus sungai: inilah yang kita sebut ukiyo.

Munculnya ukiyo-e (akhir abad ke-17 – awal abad ke-18)

[sunting | sunting sumber]

Seni ini berkembang dari tradisi lukisan Jepang.[15] Pada abad ke-17, ada gaya lukisan yang disebut Yamato-e. Gaya ini menggunakan garis-garis untuk mengelilingi bentuk. Tinta diteteskan pada kertas basah dan menyebar hingga mencapai garis luar. Teknik ini kemudian menjadi ciri khas dalam ukiyo-e.[16]

Layar lipat yang dilukis dengan figur-figur Jepang yang sedang bermain di latar belakang emas.
Layar Hikone mungkin merupakan karya ukiyo-e tertua yang masih ada, dibuat ca 1624–1644.

Sekitar tahun 1661, gulungan lukisan yang disebut Potret Kecantikan Kanbun menjadi populer. Lukisan-lukisan dari periode Kanbun (1661–1673), yang kebanyakan tidak bertanda tangan, menandai awal ukiyo-e sebagai aliran seni yang mandiri.[15] Seorang seniman bernama Iwasa Matabei (1578–1650) membuat karya yang mirip dengan ukiyo-e. Beberapa ahli percaya bahwa Matabei adalah pendiri ukiyo-e,[17] terutama para peneliti dari Jepang.[18] Kadang-kadang, Matabei dianggap sebagai seniman di balik Layar Hikone yang tidak bertanda tangan.[19] Layar ini adalah byōbu atau layar lipat dan mungkin salah satu contoh ukiyo-e tertua. Layar ini menggunakan gaya Kanō yang halus dan menggambarkan kehidupan sehari-hari, bukan tema tradisional pada lukisan waktu itu.[20]

Ilustrasi hitam-putih sepasang kekasih dalam pakaian mewah yang sedang bercumbu.
Cetakan balok kayu awal karya Hishikawa Moronobu, akhir 1670-an atau awal 1680-an

Karena banyak orang menyukai ukiyo-e, Hishikawa Moronobu (1618–1694) mulai membuat cetakan balok kayu ukiyo-e pertama.[15] Pada tahun 1672, ia menjadi ilustrator buku pertama yang menandatangani karyanya. Moronobu sangat produktif dan bekerja dalam banyak jenis seni. Ia menciptakan gaya yang berpengaruh dalam menggambar wanita cantik dan mulai membuat ilustrasi bukan hanya untuk buku, tetapi juga sebagai lembaran tunggal yang bisa berdiri sendiri atau menjadi bagian dari seri. Aliran Hishikawa menarik banyak pengikut,[21] dan peniru Sugimura Jihei,[22] sehingga menandai awal populernya seni ukiyo-e.[23]

Setelah Moronobu meninggal, Torii Kiyonobu I dan Kaigetsudō Ando menjadi seniman terkenal yang mengikuti gayanya, meskipun mereka bukan bagian dari aliran Hishikawa. Keduanya tidak banyak menggambar latar belakang dan lebih fokus pada gambar orang. Kiyonobu menggambar yakusha-e, yaitu gambar aktor kabuki, dan memulai aliran Torii.[24] Ando menggambar bijin-ga, yaitu gambar wanita cantik, dan memulai aliran Kaigetsudō. Ando dan pengikutnya membuat gambar wanita dengan desain dan pose yang sama, sehingga bisa dibuat dalam jumlah banyak.[25] Popularitas mereka menciptakan permintaan tinggi yang dimanfaatkan oleh seniman lain.[26] Aliran Kaigetsudō dan "kecantikan Kaigetsudō" berakhir setelah Ando diasingkan karena terlibat dalam Skandal Ejima-Ikushima pada tahun 1714.[27]

Seorang seniman dari Kyoto, Nishikawa Sukenobu (1671–1750), dikenal karena lukisannya yang halus tentang wanita cantik.[28] Ia dianggap sebagai ahli dalam membuat potret erotis. Pada tahun 1722, pemerintah melarang karyanya, tetapi banyak yang percaya ia terus berkarya dengan nama lain.[29] Sukenobu menghabiskan banyak waktu di Edo, dan pengaruhnya besar di wilayah Kantō dan Kansai.[28] Lukisan Miyagawa Chōshun (1683–1752) menampilkan kehidupan awal abad ke-18 dengan warna-warna lembut. Chōshun tidak membuat cetakan,[30] tetapi aliran Miyagawa yang ia dirikan mengkhususkan diri dalam lukisan romantis dengan garis dan warna yang lebih halus dibandingkan aliran Kaigetsudō. Chōshun memberikan kebebasan berkarya yang lebih besar kepada murid-muridnya, termasuk Hokusai yang terkenal.[26]

Periode pertengahan

[sunting | sunting sumber]
"Edo no hana" wanita pemain Jōruri karya Kitagawa Utamaro
Lukisan potret Ichikawa Omezō karya Tōshūsai Sharaku

Periode pertengahan ditandai dengan kelahiran Nishiki-e sekitar tahun 2 zaman Meiwa hingga tahun 3 zaman Bunka.

Pada tahun 1765, kalender bergambar yang disebut E-goyomi populer di kalangan penyair haiku di Edo, sampai-sampai sempat diadakan pertemuan untuk tukar menukar kalender bergambar. Pelukis ukiyo-e Suzuki Harunobu mengantisipasi minat masyarakat dengan membuat ukiyo-e menggunakan tinta beraneka warna. Seni ukiyo-e mencapai zaman keemasan berkat teknik cetak warna ukiyoe secara full-color.

Percetakan multi warna dimungkinkan berkat ditemukannya cara membuat batas-batas (kento) pada objek lukisan yang memudahkan pewarnaan lukisan secara berulang kali dan tersedianya kertas washi berkualitas tinggi yang tahan melewati proses pewarnaan yang tumpang tindih. Ukiyo-e banyak menggunakan kertas washi bermerek dari provinsi Echizen dan Iyo yang menggunakan bahan baku dari tanaman perdu yang disebut Kōzo (Broussonetia kazinoki). Sesuai dengan perkembangan zaman, pembuatan ukiyo-e juga mulai melibatkan beberapa orang seniman dengan bidang yang sangat terspesialiasi, seperti pelukis yang hanya menggambar sketsa, seniman pencungkil kayu, dan seniman yang memberi warna pada lukisan.

Di zaman Anei, ukiyo-e yang menggambarkan wanita secara realistik (Bijinga) karya Kitao Shigemasa menjadi sangat populer. Katsukawa Shunshō menggambar lukisan potret aktor kabuki terkenal (Yakusha-e) hingga sangat mirip dengan aslinya.

Pelukis ukiyo-e bernama Kitagawa Utamaro melahirkan banyak sekali karya-karya berupa Bijinga dan Ōkubi-e (lukisan potret setengah badan aktor dan wanita cantik) yang terkenal sangat mendetail dan digambar dengan elegan.

Pada tahun 2 zaman Kansei pemerintah mengeluarkan peraturan tentang bahan cetak yang membatasi peredaran bahan-bahan cetak di kalangan masyarakat.

Pada tahun 7 zaman Kansei, setelah seluruh harta benda yang dimiliki disita pemerintah, penerbit ukiyo-e bernama Tsutaya Jūzaburō berusaha bangkit kembali. Tsutaya Jūzaburō mengumpulkan uang dengan cara menjual lukisan ukiyo-e karya Tōshūsai Sharaku. Lukisan karya Tōshūsai Sharaku menjadi sangat terkenal berkat pose aktor kabuki yang selalu digambar berlebih-lebihan walaupun lukisannya sendiri kurang laku. Kumpulan lukisan aktor kabuki karya Utagawa Toyokuni yang dikenal sebagai Yakusha Butai Sugata-e (役者舞台姿絵, lukisan potret aktor di atas panggung) justru lebih laku. Murid-murid Utagawa Toyokuni kemudian mendirikan aliran Utagawa yang merupakan aliran terbesar dalam seni ukiyo-e.

Periode lanjut

[sunting | sunting sumber]
Salju di Kambara, karya Hiroshige

Periode lanjut ukiyo-e menunjuk pada masa sekitar tahun 4 zaman Bunka hingga tahun 5 zaman Ansei. Setelah Kitagawa Utamaro tutup usia, lukisan wanita cantik (Bijinga) makin digambar secara lebih erotis seperti terlihat dalam karya-karya Keisai Eisen.

Murid Katsukawa Shunshō yang bernama Katsushika Hokusai membuat kumpulan lukisan yang dikenal sebagai 36 Pemandangan Gunung Fuji. Kumpulan lukisan Hokusai dibuat untuk mengikuti tren orang Jepang yang mulai senang bepergian di dalam negeri. Utagawa Hiroshige mengikuti kesuksesan Hokusai dengan kumpulan lukisan yang dikenal sebagai Tōkaidō gojūsan-tsugi (東海道五十三次, 53 Pemberhentian di Tōkaidō). Karya Hokusai dan Hiroshige dikenal sebagai genre Meisho-e (lukisan tempat terkenal) atau Fūkeiga (lukisan pemandangan).

Lukisan potret aktor kabuki yang tergolong dalam genre Yakusha-e tetap diteruskan Utagawa Kunisada yang merupakan murid Utagawa Toyokuni. Karya Utagawa Kunisada justru makin mempertegas ciri khas genre Yakusha-e berupa garis-garis keras dan dinamis yang dirintis sang guru.

Bersamaan dengan kepopuleran Kusazōshi (buku bergambar dengan cerita memakai aksara hiragana) lahir karya-karya ukiyo-e genre Musha-e yang menggambarkan tokoh-tokoh samurai, seperti terlihat dalam lukisan karya Utagawa Kuniyoshi. Ilustrasi tokoh-tokoh kisah Batas Air yang digambar Utagawa Kuniyoshi menjadi sangat populer, bahkan sampai membuat orang Jepang keranjingan cerita Batas Air.

Periode akhir

[sunting | sunting sumber]
Pegulat sumo Onogawa Kisaburo, karya Tsukioka Yoshitoshi

Periode akhir ukiyo-e menunjuk pada masa sekitar tahun 6 zaman Ansei sampai tahun 45 zaman Meiji.

Lukisan ukiyo-e yang populer pada masa ini adalah genre lukisan orang asing yang disebut Yokohama-e, karena orang Jepang menaruh minat pada budaya asing yang dibawa oleh Kapal Hitam.

Akibat kekacauan yang ditimbulkan Restorasi Meiji, lukisan ukiyo-e mulai banyak yang mengetengahkan tema-tema lukisan kabuki yang mengumbar brutalisme dan lukisan makhluk "aneh tetapi nyata." Tsukioka Yoshitoshi yang merupakan murid Utagawa Kuniyoshi dan Ochiai Yoshiiku membuat kumpulan lukisan berjudul 28 Pembunuhan Terkenal dan Prosa (英名二十八衆句, Eimei nijūhachi shūku). Kumpulan lukisan bertema sadis berlumuran darah seperti ini digolongkan ke dalam genre Muzan-e.

Kawanabe Kyōsai dari aliran Kanō juga banyak melahirkan karya-karya legendaris pada masa ini.

Genre baru ukiyo-e yang disebut Kōsenga dimulai Kobayashi Kiyochika dengan ciri khas objek lukisan yang digambar tanpa garis tepi (outline).

Lukisan ukiyo-e untuk anak-anak seperti yang dibuat Utagawa Yoshifuji digolongkan ke dalam genre Omocha-e. Gambar hasil penggandaan bisa digunakan anak-anak untuk bermain, seperti lembaran permainan yang sekarang sering menjadi bonus majalah anak-anak. Utagawa Yoshifuji begitu mengkhususkan diri pada genre Omocha-e, sehingga mendapat julukan "Omocha Yoshifuji" (Yoshifuji ahli mainan).

Kepopuleran ukiyo-e akhirnya memudar akibat berkembangnya fotografi dan teknik percetakan. Pelukis ukiyo-e berusaha segala macam cara untuk bertahan dari kemajuan teknologi tetapi gagal.

Tsukioka Yoshitoshi dikenal sebagai grandmaster terakhir ukiyo-e. Karya-karyanya sangat bergaya Barat dan bersentuhan halus. Dari tangannya lahir karya-karya seperti surat kabar ukiyo-e (nishiki-e shimbun), lukisan bertema sejarah (rekishiga), dan lukisan bertema erotis (fūzokuga). Prihatin dengan kemunduran ukiyo-e, murid-muridnya disuruh untuk belajar hal-hal lain selain ukiyo-e. Salah seorang murid Yoshitoshi yang bernama Kaburaki Kiyokata berhasil menjadi pelukis Jepang yang sangat terkenal.

  1. ^ Transliterasi lama "ukiyo-ye" digunakan dalam teks-teks terdahulu.
  2. ^ Sebagian besar karakter ini adalah pengulangan; karena karakter tertentu digunakan berkali-kali pada satu halaman, beberapa salinan dari karakter tersebut diperlukan bagi pencetak.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Lane 1962, hlm. 8–9.
  2. ^ a b Kobayashi 1997, hlm. 66.
  3. ^ Kobayashi 1997, hlm. 66–67.
  4. ^ Kobayashi 1997, hlm. 67–68.
  5. ^ a b Kita 1984, hlm. 252–253.
  6. ^ a b c Penkoff 1964, hlm. 4–5.
  7. ^ Singer 1986, hlm. 66.
  8. ^ Penkoff 1964, hlm. 6.
  9. ^ Bell 2004, hlm. 137.
  10. ^ a b Kobayashi 1997, hlm. 68.
  11. ^ Harris 2011, hlm. 37.
  12. ^ Kobayashi 1997, hlm. 69.
  13. ^ Kobayashi 1997, hlm. 69–70.
  14. ^ Hickman 1978, hlm. 5–6.
  15. ^ a b c Kikuchi & Kenny 1969, hlm. 31.
  16. ^ Kita 2011, hlm. 155.
  17. ^ Kita 1999, hlm. 39.
  18. ^ Kita 2011, hlm. 149, 154–155.
  19. ^ Kita 1999, hlm. 44–45.
  20. ^ Yashiro 1958, hlm. 216, 218.
  21. ^ Kobayashi 1997, hlm. 70–71.
  22. ^ Kobayashi 1997, hlm. 71–72.
  23. ^ Kobayashi 1997, hlm. 71.
  24. ^ Kobayashi 1997, hlm. 72–73.
  25. ^ Kobayashi 1997, hlm. 72–74.
  26. ^ a b Kobayashi 1997, hlm. 75–76.
  27. ^ Kobayashi 1997, hlm. 74–75.
  28. ^ a b Noma 1966, hlm. 188.
  29. ^ Hibbett 2001, hlm. 69.
  30. ^ Munsterberg 1957, hlm. 154.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]

Jurnal akademik

[sunting | sunting sumber]
  • Fitzhugh, Elisabeth West (1979). "A Pigment Census of Ukiyo-E Paintings in the Freer Gallery of Art". Ars Orientalis. Freer Gallery of Art, The Smithsonian Institution and Department of the History of Art, University of Michigan. 11: 27–38. JSTOR 4629295. 
  • Fleming, Stuart (November–December 1985). "Ukiyo-e Painting: An Art Tradition under Stress". Archaeology. Archaeological Institute of America. 38 (6): 60–61, 75. JSTOR 41730275. 
  • Hickman, Money L. (1978). "Views of the Floating World". MFA Bulletin. Museum of Fine Arts, Boston. 76: 4–33. JSTOR 4171617. 
  • Meech-Pekarik, Julia (1982). "Early Collectors of Japanese Prints and the Metropolitan Museum of Art". Metropolitan Museum Journal. University of Chicago Press. 17: 93–118. doi:10.2307/1512790. JSTOR 1512790. 
  • Kita, Sandy (September 1984). "An Illustration of the Ise Monogatari: Matabei and the Two Worlds of Ukiyo". The Bulletin of the Cleveland Museum of Art. Cleveland Museum of Art. 71 (7): 252–267. JSTOR 25159874. 
  • Singer, Robert T. (March–April 1986). "Japanese Painting of the Edo Period". Archaeology. Archaeological Institute of America. 39 (2): 64–67. JSTOR 41731745. 
  • Tanaka, Hidemichi (1999). "Sharaku Is Hokusai: On Warrior Prints and Shunrô's (Hokusai's) Actor Prints". Artibus et Historiae. IRSA s.c. 20 (39): 157–190. doi:10.2307/1483579. JSTOR 1483579. 
  • Thompson, Sarah (Winter–Spring 1986). "The World of Japanese Prints". Philadelphia Museum of Art Bulletin. Philadelphia Museum of Art. 82 (349/350, The World of Japanese Prints): 1, 3–47. JSTOR 3795440. 
  • Toishi, Kenzō (1979). "The Scroll Painting". Ars Orientalis. Freer Gallery of Art, The Smithsonian Institution and Department of the History of Art, University of Michigan. 11: 15–25. JSTOR 4629294. 
  • Watanabe, Toshio (1984). "The Western Image of Japanese Art in the Late Edo Period". Modern Asian Studies. Cambridge University Press. 18 (4): 667–684. doi:10.1017/s0026749x00016371. JSTOR 312343. 
  • Weisberg, Gabriel P. (April 1975). "Aspects of Japonisme". The Bulletin of the Cleveland Museum of Art. Cleveland Museum of Art. 62 (4): 120–130. JSTOR 25152585. 
  • Weisberg, Gabriel P.; Rakusin, Muriel; Rakusin, Stanley (Spring 1986). "On Understanding Artistic Japan". The Journal of Decorative and Propaganda Arts. Florida International University Board of Trustees on behalf of The Wolfsonian-FIU. 1: 6–19. doi:10.2307/1503900. JSTOR 1503900. 

Bacaan tambahan

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]