Wulu
Wulu (ulu) | |
Wulu (Jawa); Ulu (Bali) | |
Aksara Jawa | Aksara Bali |
---|---|
Fonem | [i] |
Letak penulisan | di atas aksara yang dilekatinya |
Wulu adalah salah satu tanda sandhangan suara dalam aksara Jawa. Dalam aksara Bali disebut ulu dan merupakan salah satu pangangge (sandhangan) suara. Baik dalam aksara Jawa maupun Bali, wulu memiliki fungsi yang sama, dan ditulis di atas aksara yang dilekatinya.
Bentuk
[sunting | sunting sumber]Bentuk dan fungsi tanda wulu dalam aksara Jawa memengaruhi tanda ulu dalam aksara Bali. Perbedaan terletak pada variasi cara penulisan.
Aksara Jawa | Aksara Bali | ||
---|---|---|---|
Wulu | Wulu melik | Ulu | Ulu sari |
Fungsi dan penggunaan
[sunting | sunting sumber]Aksara Jawa dan Bali merupakan abugida, di mana setiap huruf konsonan mengandung vokal /a/ dan membutuhkan tanda vokalisasi untuk mengubah vokal tersebut. Wulu atau ulu mengganti vokal /a/ dengan vokal /i/ pada aksara yang dilekatinya. Wulu atau ulu ditulis di atas aksara yang dilekatinya, dan dapat ditulis berdampingan dengan tanda sandhangan/pangangge lainnya yang harus ditulis di atas aksara, misalnya layar/surang dan cecak/cecek.
Ulu dalam aksara Bali
[sunting | sunting sumber]Selain ulu biasa, terdapat 3 macam ulu lainnya dalam aksara Bali, yaitu ulu sari, ulu ricem, dan ulu candra. Ulu sari merupakan pangangge suara yang banyak dijumpai setelah ulu biasa, sedangkan ulu ricem dan ulu candra hanya dijumpai pada kitab-kitab berbahasa Kawi dan Sanskerta, karena pemakaiannya terbatas, dan termasuk ke dalam jenis aksara modre[1] (aksara yang dipakai dalam mantra dan rajah, diyakini mengandung kekuatan gaib). Selain itu, ulu ricem dan ulu candra bukanlah tanda vokalisasi, melainkan tanda nasalisasi.
Ulu sari | Ulu ricem | Ulu candra | ||
---|---|---|---|---|
Ulu sari
[sunting | sunting sumber]Ulu sari disebut juga Sucika (śucika). Ia adalah pangangge suara yang melambangkan fonem vokal /iː/ atau suara /i/ panjang. Bentuknya seperti ulu yang diberi tanda carik. Biasanya ditulis pada kata-kata non-Bali yang ditulis dengan aksara Bali, misalnya nama Dewa-Dewi Hindu, nama tokoh dalam wiracarita Hindu, nama lokasi di India, dan kata asing (Sanskerta dan Kawi) yang diserap menjadi bahasa Bali. Sama seperti ulu, tanda ini ditulis di atas aksara yang dilekatinya.
Ulu ricem
[sunting | sunting sumber]Ulu ricem adalah pangangge suara osthya dalam aksara Bali.[1] Ulu ricem merupakan tanda nasalisasi labial. Aksara yang dilekatinya mengandung fonem nasal /ṃ/. Ulu ricem hanya dipakai pada kitab berbahasa Sanskerta, misalnya Weda.
Ulu candra
[sunting | sunting sumber]Ulu candra termasuk pangangge suara anunasika.[1] Ulu candra sama seperti ulu ricem, yaitu tanda nasalisasi. Tanda ini juga ditemui dalam aksara Dewanagari, dengan nama Candrabindu. Aksara yang dilekati oleh ulu candra mengandung fonem nasal /ŋ/. Dalam huruf Latin IAST, sering ditulis dengan huruf ṃ. Ulu candra terdiri dari 3 bagian:[2]
- bagian yang paling bawah, garis lengkung seperti bulan sabit, disebut ardhacandra, sebagai lambang sakti (energi) atau Prakerti. Dilambangkan dengan huruf A.
- bagian tengah, lingkaran/noktah, disebut bindu, sebagai lambang matahari. Dilambangkan dengan huruf U.
- bagian teratas, garis meruncing ke atas/segitiga sama kaki (trikona), disebut nada, sebagai lambang Siwa atau phalus. Dilambangkan dengan huruf M.
Bila ketiga simbol tersebut disatukan, maka akan membentuk suku kata Aum yang suci bagi umat Hindu. Ulu candra hanya dipakai pada aksara suci Hindu, misalnya Omkara dan Dasāksara.
Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- Simpen, I Wayan. Pasang Aksara Bali. Diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
- Puja, Gede. 1985. Agama Hindu untuk Kelas II SLTA. Penerbit Maya Sari.