Adi Taroepratjeka

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Adi Taroepratjeka (lahir 21 April 1975) adalah salah satu penikmat kopi yang sudah malang melintang didunia kopi Indonesia. Dia juga adalah pemandu acara Coffee Story di Kompas TV. Berawal dari kesukaannya pada kopi, kini, sosoknya kian diburu seiring dengan mewabahnya budaya ngopi di Indonesia dan serius menggeluti profesi konsultan kopi dengan lisensi coffee tester berkelas dunia. Dia juga menjadi salah satu juri dalam Indonesia Barista Competition (IBC).

Latar Belakang[sunting | sunting sumber]

Pada 1999, Adi mencoba menghidupkan mimpinya dalam dunia kopi dengan membuka warung kopi di Bandung. Dia namakan Ruang Tengah Ardan. Kebetulan warung kopinya itu mengontrak ruang di Radio Ardan, Bandung. Di Ruang Tengah Ardan itulah Adi mulai belajar dunia espresso. Bermodalkan mesin rumahan, yaitu La Pavoni PL16 dan grinder La Pavoni Jolly, Adi menjelajah espresso. Dia melengkapi pengetahuannya dengan mengulik informasi dari Internet, termasuk bagaimana cara menguji cita rasa kopi (cupping).

Pada 2005, Adi akhirnya mendapatkan kesempatan berkunjung ke kebun kopi kelolaan Toarco Jaya, di Sulawesi. Ketika Adi diajarkan bagaimana menguji cita rasa oleh Jabir Amin, dia menceritakan keinginannya untuk menekuni cupping lebih baik daripada sebelumnya. Entah kebetulan atau sudah suratan nasib, Jabir segera memperlihatkan faksimili yang diterimanya dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) mengenai informasi pelatihan penguji cita rasa kopi. Sesampainya di Jakarta, dia bersama Mia Laksmi, yang kini menjadi istri, mempersiapkan diri untuk mengikuti pelatihan tersebut. Bersama para perwakilan roaster, eksportir, dinas perkebunan, trader, Adi dan Mia duduk bersama mempelajari soal cupping. Di sanalah dia menyadari bahwa apa yang dia dapatkan dan pelajari di Internet sangat jauh panggang dari api. Bukan soal teori berbeda ketika di lapangan, melainkan termasuk soal pola pikir.

Adi mengakui bahwa ada saat-saat di mana dia selalu membawa flavour wheel atau roda rasa ke mana saja. Dengan roda rasa itulah dia membaca karakter kopi yang sedang diminumnya. Setelah mengikuti pelatihan itu, ditambah ketika dia mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan sertifikasi Q-Grader yang diadakan oleh Asosiasi Kopi Spesial Indonesia (AKSI/SCAI), Adi mulai menyadari bahwa roda rasa berguna tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya, paling tidak Adi mulai melihat roda rasa dengan cara berbeda. Bagi Adi, roda rasa sekadar jembatan dan penyamaan bahasa. Masalahnya, menurut Adi,

“Untuk cupping, flavour wheel itu sebagai jembatan saja. Penyamaan bahasa. Cuma, definisi bahasa kita memang berbeda. Dari musim pun berbeda: empat musim dan dua musim. Begitu juga dengan persepsi rasa, ada perbedaan. Definisi cinnamon saja berbeda. Meski saya memilih definisi kita sudah benar lantaran kita memiliki bahan mentahnya. Kita juga tidak punya aprikot. Dari situ, saya semakin paham bahwa flavour wheel itu tidak terpakai untuk penggunaan sehari-hari sebagai penikmat kopi.”

Dikenal Lewat Acara Coffee Story[sunting | sunting sumber]

Belakangan sosok Adi dikenal luas secara publik ketika dia mempresenteri sebuah program semidokumentasi mengenai dunia kopi di Indonesia besutan Kompas TV, yaitu Coffee Story. Proyek tersebut dia mulai pada April 2011. Dan, mulai ditayangkan sejak September 2011. Popularitas Adi melalui tayangan itu bisa dilihat dari para pengikut akun Twitternya yang langsung melonjak dari beberapa ratus sampai ke angka 3.000 lebih. Program televisi itu mengantarkan Adi ke daerah-daerah sentra produksi perkebunan kopi di Indonesia. Di sanalah titik balik kedua Adi terjadi. Seperti mendapatkan wahyu, mendadak dia melihat kopi sebagai yang berkehidupan. Semua terbentang.

Sebelum mendapatkan pengalaman batin bersama kopi, Adi termasuk salah satu orang yang gila berbagai alat penyeduhan kopi. Sejak 2005 Adi sudah bereksperimen pour over dengan dripper flat bottom. Sampai sekarang dia pun masih mencoba berbagai alat penyeduhan kopi. Tapi kegilaannya pada alat penyeduhan apa saja menjadi berbalik arah ketika kopi yang dia geluti itu menuntutnya untuk tumbuh kembang bersama. Adi menuturkan,

“….lama semakin lama, saya percaya bahwa kopi itu tidak bisa dipelajari dalam waktu singkat. Kita harus berkembang bersamanya. At one point, kopi akan berbicara mau diapakan kepada kita. Kita mau pakai alat semahal apa pun jika kopinya tidak mau, maka percuma. Entah bagaimana, saya merasa kopi itu memiliki jiwa, bisa ngeyel, dll. Pengalaman itu akhirnya membawa saya pada kesimpulan bahwa alat penyeduhan kopi itu hanyalah sebuah alat. Kopi selalu berubah, alam berubah, nge-roasting berubah, humidity dan temperatur juga berubah. Banyak faktor.”

Kerewelan Adi akan kopi pada akhirnya membawa dirinya pada satu titik: kopi merupakan hidupan yang bisa disapa. Untuk mendapatkan karakter terbaik dari kopi, kita harus menyapanya. Setelah kopi itu berbicara kepada kita, barulah kita mengerti mau diapakan kopi tersebut. Karena itu, menurut Adi, tidak ada yang salah dan benar dalam mencari identitas kopi ketika kita menyeduhnya.

“Saya menemukan bahwa kita tidak bisa bilang mana yang benar dan mana yang salah. Baik itu ketika kita menyeduh kopi, mencecap rasa, sampai rasa bentukan sang peminum. Setiap orang punya jiwa masing-masing, memiliki kebutuhan masing-masing. Kita tidak bisa mengklaim mana metode yang terbaik. Itu akan berbenturan dengan budaya… kopi butuh cinta,”

Referensi[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]