Ateisme dalam Hindu
Artikel ini adalah bagian dari seri |
Ajaran Filsafat |
---|
Samkhya • Yoga • Mimamsa |
Nyaya • Waisesika • Wedanta |
Aliran Wedanta |
Adwaita • Wisistadwaita |
Dwaita • Suddhadwaita |
Dwaitadwaita • Acintya-bheda-abheda
|
Filsuf |
Abad kuno |
Kapila • Patanjali • Jaimini |
Gotama • Kanada • Byasa |
Abad pertengahan |
Adi Shankara • Ramanuja |
Madhwacarya • Madhusudana |
Wedanta Desika • Jayatirtha |
Abad modern |
Ramakrishna • Ramana |
Vivekananda • Narayana Guru |
Sri Aurobindo • Sivananda
|
Portal agama Hindu |
Ateisme dalam Hindu (bahasa Sanskerta: nir-īśvara-vāda, "pernyataan tak ada Tu(h)an") atau "tidak percaya kepada Tuhan/Dewa" merupakan salah satu konsep yang terdapat dalam tubuh filsafat Hindu, selain mengenal konsep henoteisme, panteisme, monisme, monoteisme, dan politeisme dalam konsep ketuhanannya.
Ateisme Astika
[sunting | sunting sumber]Istilah Āstika kadang kala diterjemahkan sebagai "bertuhan" dan Nāstika sebagai "ateis" atau "tak bertuhan". Kata berbahasa Sanskerta asti berarti "ada", dan Āstika menurut Panini 4.2.60 diambil dari kata kerja atau verba yang artinya "seseorang yang mengatakan 'asti', ia yang percaya akan keberadaan [Tuhan/Dewa, atau dunia lain, dsb.]" Jika digunakan sebagai istilah teknis, dalam filsafat Hindu, istilah Āstika merujuk kepada kepercayaan pada Veda, dan bukan kepercayaan akan adanya Tuhan.
Ada enam mazhab falsafi dalam agama Hindu yang sering kali dirujuk sebagai Shat (Astik) Darshana (darshana artinya "sudut pandang"). Dalam mazhab Astika dari filsafat Hindu, Saṃkhya dan mazhab awal mīmāṃsā tidak menerima akan adanya Tuhan dalam sistematik kepercayaan mereka.
Sudut pandang ateistis seperti disajikan dalam mazhab Saṃkhya dan Mīmāṃsā dalam filsafat Hindu berwujud penolakan akan adanya sang Tuhan Pencipta. Mazhab Saṃkhya percaya akan adanya keberadaan dualis daripada Prakreti ("alam") dan Purusa ("jiwa") dan tidak memiliki tempat untuk Iswara ("Tu(h)an") pada sistematikanya. Kedua unsur tersebut merupakan unsur pokok pembentuk alam semesta, menggantikan peran Tuhan sebagai pencipta. Para ahli meyakini bahwa ajaran ini berakar dari nilai-nilai positif ateis. Kaum Mimamsaka awal percaya akan adanya adṛṣṭa ("tak tampak") yang merupakan hasil pelaksanaan daripada karma ("karya") dan tidak melihat keperluan adanya Tuhan atau Iswara dalam sistematika mereka. Mīmāṃsā, sebagai filsafat hanya secara khusus berurusan dengan karma dan oleh karena itu kadang kala disebut sebagai Karma-Mīmāṃsā. Karma yang dibahasa dalam Mīmāṃsā berurusan dengan pelaksanaan Yajña ("kurban kepada Tuhan/Dewa") yang ada dalam kitab Veda.
Falsafah Vedanta memiliki pengikut yang gencar memperkenalkan sebuah Nirguna Brahman di mana contoh utamanya adalah Adi Shankara.
Ateisme Nastika
[sunting | sunting sumber]Dalam filsafat India, ada tiga mazhab falsafi yang biasanya disebut sebagai Nastika: Jainisme, Buddhisme dan Carvaka karena ketiganya menolak ajaran Veda. Nastika lebih merujuk ketidakpercayaan terhadapa\ Veda daripada ketidakpercayaan kepada Tuhan. Namun mazhab ini semua juga menyangkal adanya konsep bahwa ada Tuhan Pencipta dan kata Nastika menjadi diasosiasikan kepada mereka.
Carvaka, sebuah mazhab ateis merunut asal-usulnya sampai tahun 600 SM. Mazhab ini memperkenalkan gaya hidup hedonis dan menyatakan bahwa tidak ada kehidupan setelah kematian. Filsafat Carvaka tampaknya punah setelah tahun 1400. Buddhisme dan Jainisme asalnya juga dari sebelum tahun 300 SM, tapi berbeda dengan Carvaka karena mereka tidak hedonis. Sampai sekarang diperdebatkan apakah pengikut kuno Jainisme dan Buddhisme adalah umat Hindu atau non-Hindu, sebab sama seperti umat Hindu mereka membicarakan Aryasanga, karma, brahman dan Moksha.
Kaum ateis Hindu masa kini
[sunting | sunting sumber]Pemenang Hadiah Nobel India, Amartya Sen, pada sebuah wawancara dengan Pranab Bardhan dari California Magazine yang diterbitkan pada bulan Juli-Agustus 2006 oleh University of California, Berkeley menyatakan:[1]
In some ways people had got used to the idea that India was spiritual and religion-oriented. That gave a leg up to the religious interpretation of India, despite the fact that Sanskrit had a larger atheistic literature than exists in any other classical language. Even within the Hindu tradition, there are many people who were atheist. Madhava Acharya, the remarkable 14th century philosopher, wrote this rather great book called Sarvadarshansamgraha, which discussed all the religious schools of thought within the Hindu structure. The first chapter is "Atheism" - a very strong presentation of the argument in favor of atheism and materialism.
"Secara langsung atau tidak orang sudah dari dulu terbiasa dengan gagasan bahwa India itu berorientasikan rohani dan oleh agama. Hal ini menyumbang hal besar dalam interpretasi agama India, meskipun ada fakta bahwa bahasa Sanskrit mempunyai kesusasteraan ateis yang lebih besar daripada yang ada di bahasa klasik lain yang mana pun. Dalam tradisi Hindu pun, ada banyak orang ateis. Madhava Acharya, seorang filsuf luar biasa dari abad ke-14, menulis buku ini yang lumayan hebat Sarvadarshansamgraha, yang membicarakan semua mazhab agama dalam struktur Hindu. Bab pertama adalah "Ateism" - penyajian argumen yang sangat kuat yang menyukai ateisme dan materialisme."
Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ "The arguing Indian - INTERVIEW BY PRANAB BARDHAN". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-12-22. Diakses tanggal 2007-04-19.
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]