Lompat ke isi

Audit Lingkungan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Audit Lingkungan adalah suatu alat manajemen yang meliputi evaluasi secara sistematik, terdokumentasi, periodik dan objektif tentang bagaimana suatu kinerja organisasi, sistem manajemen dan peralatan dengan tujuan memfasilitasi kontrol manajemen terhadap pelaksanaan upaya pengendalian dampak lingkungan dan pengkajian penataan kebijakan usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan lingkungan hidup.[1]

Istilah audit lingkungan baru dikenal pada akhir tahun 1970-an di Amerika Serikat. Kata audit berasal dari bahasa latin yaitu auditus yang artinya mendengarkan. Istilah auditus ini awalnya dikenal di bidang keuangan yaitu untuk mengetahui kinerja perusahaan yaitu dengan melakukan assesment tentang neraca, neraca rugi, laba dan laporan. Audit diartikan sebagai suatu tindakan pengujian terhadap jumlah atau keadaan keuangan sebuah perusahaan atau milik perseorangan pendekatan audit lingkungan pada dasarnya bertolak dari konsep audit keuangan (financial audit). Prinsip dasarnya yaitu untuk mengetahui kinerja.[2]

Audit lingkungan mulai dikenal secara terbatas pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an di Amerika ketika masyarakat mulai meningkatkan kepeduliannya terhadap lingkungan hidup setelah Konferensi Tingkat Tinggi dunia di Stockholm pada tahun 1972. Konferensi tersebut membahas tentang degradasi lingkungan dan menghasilkan The United Nations of Environment Progame (UNCEP). Sedangkan di Amerika dengan adanya US National Environmental Policy Act (NEPA) atau Undang-Undang Perlindungan Lingkungan pada tahun 1969 dan mulai diterapkan pada tahun 1970, pengembangan perangkat pengelolaan lingkungan hidup mulai gencar dilakukan.[3]

Secara internasional audit lingkungan mencapai masa kematangan pada pertengahan tahun 1990-an. Di Indonesia audit lingkungan memiliki sejarah yang serupa ketika Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) meminta beberapa perusahaan besar di Indonesia untuk melakukan audit lingkungan pada era yang sama (1990-an). Ketika itu terdapat 3 perusahaan yang telah melakukan audit lingkungan yaitu PT Caltex Pacific Indonesia di Riau, PT Inti Indo Rayon Utama di Sumatera Utara, dan PT Freeport Indonesia di Timika, Irian Barat (1993-1995). Audit lingkungan pada awalnya dirancang sebagai perangkat pengelolaan lingkungan yang mengutamakan prinsip sukarela, misalnya dengan penerapan British Standard (BS 7750) pada awal 1990-an, EMAS di Eropa, Oko Audit di Jerman atau ISO 14000 secara internasional.

Setelah itu lahir Peraturan Menteri Lingkungan Hidup pada tahun 1994 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan yang tertuang dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 42 tahun 1994. Indonesia telah mengadopsi perangkat audit lingkungan secara sukarela pada tahun 1994 yang kemudian mengembangkan suatu pedoman pelaksanaan audit lingkungan yang bersifat wajib (mandatory) pada tahun 2001 melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.30 tahun 2001 sebagai penjabaran dari Udang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23 tahun 1997. Namun akhirnya setelah keluar Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang PPLH, kemudian dijabarkan menjadi Kepmen LH No. 17 tahun 2010, dan selanjutnya direvisi lagi menjadi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.03 tahun 2013, maka audit lingkungan dari diwajibkan menjadi sukarela (voluntary).[4]

Di Indonesia istilah audit lingkungan mulai diperkenalkan pada Oktober 1993 bersamaan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.51 tahun 1993 tentang AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Kemudian terbit Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI No.42/MenLH/1994 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan. Keputusan tersebut kemudian berkembang menjadi Kepmen LH No. 17 tahun 2010 tentang Audit Lingkungan Hidup dan akhirnya direvisi kembali menjadi Permen LH No. 3 tahun 2013 tentang Audit Lingkungan.[5]

Pada pedoman umum pelaksanaan audit lingkungan di Indonesia disebutkan fungsi dan manfaat dari pelaksanaan audit lingkungan baik yang dilaksanakan secara sukarela maupun wajib. Fungsi yang pertama adalah audit lingkungan dapat berfungsi sebagai upaya peningkatan pendapatan suatu usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan misalnya standar emisi udara, limbah cair, penanganan limbah, dan standar operasi lainnya. Fungsi yang kedua yaitu sebagai dokumentasi suatu usaha atau kegiatan tentang pelaksanaan standar operasi, prosedur pengelolaan, dan pemantauan lingkungan termasuk rencana tanggap darurat, pemantauan dan pelaporan serta rencana perubahan pada proses dan peraturan. Fungsi yang ketiga adalah menjadi jaminan untuk menghindari kerusakan atau kecenderungan kerusakan lingkungan. Fungsi keempat yaitu sebagai bukti keabsahan perkiraan dampak dan penerapan rekomendasi yang tercantum dalam dokumen Amdal yang berguna dalam penyempurnaan pelaksanaan dokumen Amdal. Fungsi yang kelima yaitu sebagai upaya perbaikan penggunaan sumber daya melalui penghematan penggunaan bahan minimasi limbah dan identifikasi kemungkinan proses daur ulang. Fungsi yang terakhir yaitu sebagai upaya untuk meningkatkan tindakan yang telah dilaksanakan atau yang perlu dilaksanakan oleh suatu usaha atau kegiatan untuk memenuhi kepentingan lingkungan misalnya pembangunan yang berkelanjutan, proses daur ulang, efisiensi penggunaan sumber daya.[6]

Selain mempunyai fungsi yang diatur dalam pedoman umum pelaksanaan audit lingkungan, audit lingkungan juga memiliki manfaat baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial, diantaranya adalah mengidentifikasi risiko lingungan, menjadi dasar bagi pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan atau upaya penyempurnaan rencana yang ada, membuktikan pelaksanaan pengelolaan lingkungan apabila dibuthkan dalam proses pengauditan, dan lain sebagainya. Selain itu audit lingkungan juga memiliki sasaran seperti pengembangan kebijakan lingkungan, penataan terhadap regulasi, lisensi, dan standar, review tentang tindakan manajemen dan operasi, serta minimalisasi risiko lingkungan.[3]

Prinsip-prinsip audit lingkungan sudah lama dipublikasikan sejak perangkat audit lingkungan mulai diterapkan. Audit lingkungan memiliki 9 prinsip, yaitu dilakukan secara sistematis, terdokumentasi, periodeik dan objektif; dilaksanakan secara sukarela seoagai upaya internal untuk memperbaiki kinerja; merupakan bagian dari manajemen dan perangkat manajemen untuk mengendalikan kegiatan usahanya; ditujukan untuk mengidentifikasi risiko lingkungan di masa mendatang; merupakan suatu pengamatan sesaat bersifat komprehensif, rinci, dan menggunakan protokol audit lingkungan yang memadai; pelaksanaan perlu mendapat dukungan manajemen; dokumen audit bersifat rahasia kecuali ditentukan oleh penanggung jawab; serta pelaksana audit harus mengikuti kode etik auditor lingkungan. Audit lingkungan memerlukan tata laksana dan metodologi yang rinci. Metodologi yang digunakan di dalam audit lingkungan harus fleksibel sehingga tim auditor dapat menerapkan teknik-teknik yang tepat.[3]

Teknologi

[sunting | sunting sumber]

Pada aspek ini dikaji kegiatan audit lingkungan yang berupaya mengidentifikasi risiko dan meminimisasi dampak kegiatan terhadap lingkungan, pengembangan pendekatan preventif dan penyelesaian masalah pada sumber dampak.[6]

Manajemen dan Organisasi Pelaksanaan Kegiatan

[sunting | sunting sumber]

Pada aspek ini dikaji kegiatan audit lingkungan yang berupaya meningkatkan efektifitas dan kinerja manajemen dalam mengatasi masalah lingkungan, kesehatan, dan keselamatan kerja.[6]

Aspek Administratif

[sunting | sunting sumber]

Pada aspek ini dikaji kegiatan audit lingkungan yang berupaya meningkatkan dan memanfaatkan informasi yang dapat dipercaya serta penyempurnaan pengawasan internal terhadap informasi yang berkaitan dengan aspek lingkungan kesehatan dan keselamatan kerja.[6]

Peranan dari pelaksanaan audit lingkungan yaitu dapat dijadikan bahan utaman laporan lingkungan; penghematan sumber daya; memperbaiki efisiensi, peningkatan output; mencegah dan mengurangi risiko lingkungan; dan meningkatkan citra perusahaan serta green customer. Banyak faktor yang dapat menghasilkan program audit lingkungan yang berhasil. Beberapa diantaranya adalah mendapat dukungan pihak pimpinan/manajemen, keikutsertaan semua pihak yang terkait, menerapkan asas kemandirian dan objektifitas dari auditor, dan menyepakati tata laksana dan lingkup audit.[3]

Catatan Kaki
Daftar Pustaka