Lompat ke isi

Babad Blambangan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Babad Blambangan adalah karya sastra klasik yang berkisah tentang Kerajaan Blambangan.[1][2] Babad blambangan bukan merupakan satu karangan utuh namun kumpulan dari beberapa babad yang ditulis pada tahun yang berbeda-beda. Aksara yang dipakai untuk menulis babad adalah aksara Jawa, Bali, Pegon dan Latin.[2] Babad-babad yang menyusun Babad Blambangan adalah Babad Wilis, Babad Sembar, Babad Tawang Alun, Babad Mas Sepuh, Babad Bayu dan Babad Notodiningratan.[3]

Wilayah Blambangan dapat dilihat dari puncak Gunung Bromo.

Babad Sembar

[sunting | sunting sumber]

Babad Sembar ditulis dalam bahasa Jawa dengan aksara Bali.[2] Babad Sembar berisi tentang silsilah mengenai raja-raja Kerajaan Blambangan.[2] Babad sembar dapat dibagi menjadi dua bagian utama.[2] Bagian pertama terdiri dari 10 bait yang mengungkapkan bahwa ada lima-enam angkatan sebelum Tawang Alun.[2]

Dalam bagian pertama juga dapat ditemukan bahwa nama Tawang Alun tidak hanya satu.[2] Bagian ini menceritakan bahwa terjadi perpindahan ibu kota kerajaan sampai 3 kali, yaitu mulai dari Tepasana (Lumajang) menuju Puger, Jember dan akhirnya berpindah lagi ke wilayah semula.[2]

Bagian kedua dari babad ini merupakan kisah mengenai Tawang Alun dan Lanang Dhangiran. Lanang Dhangiran adalah pendiri keluarga bupati Surabaya.[2]

Babad Tawang Alun

[sunting | sunting sumber]

Babad Tawang Alun kira-kira dibuat antara tahun 1832-1841.[2] Babad Tawang Alun ditulis pada zaman Suranegara menjadi bupati Surabaya.[2] Menurut teks babad nenek moyang raja-raja Blambangan adalah pangeran-pangeran Kedhawung abad ke-17.[2] Tawang Alun merupakan putera dari Buyut Somani.[2] Dia mempunyai seorang saudara bernama Menak Sembuyu, tetapi keduanya tidak hidup rukun.[2]

Babad Bayu

[sunting | sunting sumber]

Babad Bayu ditulis oleh Wiraleksana pada tahun 1826.[2] Wiraleksa adalah seorang pedagang dari Lumajang.[2] Babad Bayu melukiskan segala macam tanda alam yang meramalkan kematian atau kegagalan yang akan menimpa seseorang.[2] Babad bayu juga menceritakan kisah-kisah perempuan yang menangisi kepergian atau kematian suaminya.[2] Kaitan sejarah dengan Blambangan, babad ini menceritakan penaklukan Blambangan dari pihak Madura.[2]

Babad Notodiningratan

[sunting | sunting sumber]

Pengaran Babad Notodiningratan adalah Raden Arya Tumenggung Natadiningrat.[2] Dia adalah bupati Banyuwangi dari tahun 1912 sampai tahun 1919 dan berasal dari Malang.[2] Babad ini termasuk babad modern karena menggunakan data-data sejarah Blambangan yang cukup akurat untuk menulisnya.[2] Babad ini menuliskan tentang sejarah panjang Blambangan yang sebagian sudah ditulis dalam babad-babad sebelumnya.[2]

  1. ^ Purwasastra (1996). Cariyosipun tanah Balambangan jamanipun wong Agung Wilis. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ISBN 978-979-459-609-8. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w Winarsih Partaningrat (1995). Babad Blambangan. Yogyakarta: Bentang. 
  3. ^ NURMARIA (2022-10-06). "GERAKAN SOSIAL 1771 DI BLAMBANGAN". PARADIGMA: Jurnal Ilmu Pendidikan dan Humaniora. 8 (2): 27–42. doi:10.62176/paradigma.v8i2.207 (tidak aktif 2024-08-26). ISSN 2828-3384.