Lompat ke isi

Basuh Lantai

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Basuh Lantai merupakan upacara adat atau sebuah ritual adat setelah bersalin yang berasal dari Kabupaten Lingga, provinsi Kepulauan Riau.[1] Kabupaten Lingga merupakan salah satu kabupaten yang juga merupakan pulau terbesar di provinsi Riau Kepulauan ini memiliki ibu kota bernama Daik. Penduduk sekitar sering menamai daerah tersebut dengan gabungan nama pulau dan nama ibu kotanya sehingga dikenal sebagai daerah Daik-Lingga. Upacara adat Basuh Lantai tersebut berdasarkan etimologis terdiri dari dua buah kata dari Bahasa Melayu yaitu Basuh dan Lantai. Kata Basuh memiliki arti Membersihkan atau Menyuci sementara kata Lantai memiliki arti Lantai Rumah atau Alas Rumah. Kesimpulannya adalah upacara adat Basuh Lantai memiliki arti Membersihkan Alas Rumah yang dimaksud adalah Alas Rumah tempat sang ibu yang telah melahirkan bayinya. Upacara Basuh Lantai lazimnya dilakukan oleh orang yang membantu proses persalinan yang biasa dipanggil Tok Bidan atau Mak Dukun dan dilakukan ketika bayi telah genap berumur 44 (empat puluh empat) hari.[2] Upacara Basuh Lantai merupakan salah satu upacara adat dalam daur hidup masyarakat Melayu di provinsi Kepulauan Riau yang erat kaitannya dengan Kelahiran.[3] Upacara Adat Basuh Lantai ini dilakukan secara turun-temurun dan dilakukan agar selain bersih secara lahir, keluarga tersebut juga dapat terhindar dari malapetaka dari kekuatan mistis yang mereka yakini.[4]

Asal Mula Upacara Basuh Lantai

[sunting | sunting sumber]

Masyarakat di daerah Daik-Lingga mayoritas merupakan masyarakat keturunan Melayu Riau yang beragama Islam, berkebudayaan serta berbahasa Melayu Riau. Walaupun telah menganut agama Islam sejak dahulu kala dan pula dilarang oleh ajaran agama Islam, sebagian besar masyarakat tersebut masih saja percaya dengan hal-hal mistis yang bersifat Animisme seperti Orang bunian (makhluk mistis yang menyerupai manusia dan tinggal di tempat yang kosong dan sunyi), Jin, Mambang atau Jerambang (makhluk mistis yang tinggal di daerah perairan seperti laut, sungai, danau dan suka memakan ikan hasil tangkapan warga), Jembalang (makhluk mistis yang konon tinggal ditanah dan sering mengganggu manusia), dan Dewa (sering disebut sebagai Dea).[2]

Berdasarkan dari kepercayaan terhadap makhluk mistis tersebut, masyarakat Daik-Lingga percaya bahwa Lantai Rumah masing-masing memiliki penghuni berupa makhluk mistis. Jika lantai rumah tersebut terkena darah perempuan yang tengah bersalin, lantai rumah tersebut harus segera dibersihkan dengan cara disirami dengan air, kemudian diminyaki, lalu dibedaki dan disisiri. Jika penghuni rumah tersebut tidak melakukan pembersihan terhadap darah yang jatuh keatas lantai tersebut, maka makhluk mistis yang menghuni lantai rumah tersebut akan mengganggu, tidak hanya kepada orang yang membantu proses bersalin (yang dipanggil sebagai Mak Bidan atau Mak Dukun) bahkan bisa mengganggu si ibu dan bayinya ketika bersalin.[2] Malapetaka atau musibah yang ditimbulkan konon berupa bayi yang nantinya akan sakit-sakitan atau menangis terus-menerus.[5]

Upacara Adat Basuh Lantai dilakukan ketika bayi telah genap berumur 44 (empat puluh empat) hari. Selama bayi tersebut belum genap berumur 44 (empat puluh empat) hari, sang ibu beserta bayinya tidak diperkenankan untuk keluar dari rumah. Jika memang sang ibu diharuskan untuk keluar rumah dan meninggalkan sang bayi maka ada beberapa syarat yang harus dilakukan. Untuk sang ibu diwajibkan untuk membawa alat bernama Kacip berbahan besi yang berfungsi sebagai untuk membelah daun sirih-pinang atau paku atau pisau yang ujung tajamnya disusuki oleh Bawang Merah. Sementara pada bayi yang ditinggalkan didalam rumah diwajibkan untuk diletakkan paku, Pisau, atau sepotong Besi yang berbentuk apa saja. Kedua hal tersebut dilakukan agar baik sang ibu maupun sang bayi tersebut terhindar dari gangguan makhluk mistis.[5] Pada masa itu juga bayi juga tidak diperkenankan untuk turun atau menginjak tanah. Lazimnya, hari yang ditentukan untuk melakukan upacara adat Basuh Lantai tersebut adalah hari Jumat. Pilihan waktu tersebut berdasarkan dari kepercayaan masyarakat Melayu Daik-Lingga bahwa hari Jumat merupakan hari yang diberkahi atau dirahmati oleh Allah. Adapun untuk waktu pelaksanaannya adalah pagi hari karena pada siang hari para laki-laki diwajibkan untuk menunaikan Salat Jumat terlebih dahulu yang kemudian dilanjutkan dengan upacara adat kenduri yang bagi sebagian orang Indonesia dikenal sebagai Selamatan.[2]

Upacara Adat Basuh Lantai nantinya akan dihadiri oleh para kerabat dan para tetangga yang rumahnya berdekatan. Pelaksanaan Upacara Adat Basuh Lantai akan dipimpin oleh seorang perempuan yang membantu proses kelahiran yang lazimnya dikenal sebagai Mak Dukun atau Mak Bidan bersama dengan laki-laki yang merupakan suaminya yang lazimnya dikenal sebagai Pak Jantan. Sementara upcara adat berikutnya setelah Upacara Adat Basuh Lantai yaitu Kenduri yang akan dipimpin oleh tokoh ulama setempat dan dilakukan di dalam rumah tamu pasangan suami istri tersebut.[5] Adapun tujuan dari diadakannya Upacara Adat Basuh Lantai ini selain untuk menangkal gangguan dari makhluk mistis, juga dianggap sebagai rasa ungkapan terima kasih kepada Allah yang telah membantu proses persalinan sehingga proses persalinan sang ibu lancar dan anak yang dilahirkan juga lahir dalam keadaan selamat dan sehat.[3]

Perlengkapan Upacara Basuh Lantai

[sunting | sunting sumber]

Dalam pelaksanaan Upacara Adat Basuh Lantai akan memerlukan seekor Ayam yang jenisnya berlawanan dengan jenis kelamin sang bayi. Jika bayi tersebut berupa laki-laki makan ayam yang disediakan berupa ayam betina, sebaliknya jika bayi tersebut berupa perempuan maka ayam yang disediakan berupa ayam jantan. Adapun perlengkapan lainnya adalah sebagai berikut:

  • Nampan yang berisi sepiring nasi atau pulut kuning yaitu berupa beras ketan berwarna kuning yang berasal dari kunyit. Nasi atau pulut kuning tersebut dilengkapi dengan lauk berupa serabi dan ikan berkuah.
  • Satu buah kelapa atau nyiur yang sudah dibersihkan dari kulit keras luarnya sehingga hanya bersisa daging putihnya saja.
  • Sebuah cermin beserta dengan sebuah sisir, sebuah gunting, dan 2 (dua) buah lilin.[6]
  • Sebuah benang tungkal berwarna putih dengan panjang sekitar 7 (tujuh) meter.
  • Sepiring beras putih beserta dengan sepiring padi yang belum dikupas.
  • Sejumlah Jeruk nipis.
  • Sebuah celak.[6]
  • Semangkuk atau secawan uang logam atau koin.
  • Semangkuk atau secawan bubur merah.
  • Semangkuk atau secawan kecil buah Asam.
  • Semangkuk atau secawan kecil minyak atau bedak langi yang terbuat dari buah Gambir, buah Asam, kapur sirih, dan [[Jeruk Limau] yang kemudian seluruh bahan tersebut ditumbuk secara bersamaan sampai menghasilkan minyak.
  • Air yang ditempatkan dalam sebuah Tempayan, yaitu tempat berupa wadah yang bahannya terbuat dari tanah liat.[2]

Perlengkapan Kenduri

[sunting | sunting sumber]

Setelah diadakan Upacara Adat Basuh Lantai maka akan dilanjutkan dengan Kenduri atau secara umum dikenal sebagai acara Selamatan. Jika keluarga yang mengadakan kenduri tersebut berasal dari golongan yang tidak mampu, maka keluarga tersebut nantinya akan dibantu baik dari kerabat maupun dari tetangga terdekat untuk menyiapkan perlengkapan kendurinya baik berupa Uang atau berupa bahan mentah seperti Gula, Kelapa, Beras, dan sebagainya. Adapun hidangan yang perlu disiapkan dalam Kenduri adalah sebagai berikut:

  • Sepiring ketupat yang lazimnya disediakan sebanyak 25 (dua puluh lima) ketupat.
  • Sepiring gulai ayam.
  • Sepiring sambal kacang.
  • Sepiring Serundeng.
  • Sepiring sambal kelapa.

Semua hidangan tersebut nantinya akan dihidangkan dalam 10 (sepuluh) buah nampan. Adapun banyaknya hidangan atau nampan disesuaikan dengan kemampuan keluarga yang mengadakan kenduri tersebut jika memang mampu dapat dilebihkan. Seluruh perlengkapan kenduri tersbut nanti akan dijadikan sebagai jamuan kepada para tetamu atau Jiran yang menghadiri prosesi Upacara Adat Basuh Lantai tersebut.[2]

Prosesi Upacara Basuh Lantai

[sunting | sunting sumber]

Sebelum dilaksanakannya Upacara Adat Basuh Lantai tersebut, salah satu prosesi dilakukan ketika kandungan sang ibu telah menginjak umu 7 (tujuh) bulan. Sang suami dari ibu tersebut melakukan ritual yang dikenal sebagai Menepah yaitu ritual membawa nasi ketan atau dikenal dengan pulut disertai dengan telur ayam kepada Mak Dukun atau dikenal sebagai Mak Bidan. Tujuan dari ritual menepah tersebut sebagai bentuk permohonan dan pemberitahuan sang suami kepada Mak Dukun untuk bersedia membantu proses persalinan istrinya kelak. Setelah prosesi ritual Menepah tersebut, sang suami bersama dengan istrinya saat mengandung akan mendatangi rumah Mak Dukun setiap hari Jumat. Mereka datang ke rumah Mak Dukun tersebut sambil membawa sebotol air beserta 3 (tiga) buah limau untuk dimantrai oleh Mak Dukun tersebut yang nantinya akan digunakan untuk mandi selama 3 (tiga) hari lamanya secara berturut-turut.[2][5]

Setelah sang bayi telah berumur 44 (empat puluh empat) hari dan perlengkapan Upacara Adat Basuh Lantai sudah tersedia, maka Upacara Adat Basuh Lantai sudah dapat dilaksanakan. Seluruh perangkat tersebut kemudian dibawa menuju kamar tempat sang ibu bersalin dulu. Sementara itu Pak Jantan bersama dengan Mak Dukun duduk bersila di lantai sambil mengawali jalannya upacara dan Pak Jantan pun membaca Al Quran yaitu Surah Al-Fatihah bersama dengan Mak Bidan sebagai pembukaan Upacara Adat Basuh Lantai. Setelah itu Pak Jantan kembali berdoa agar kehidupan sang ibu dan anak beserta keluarganya dapat menghadapi segala rintangan dan dihindari dari segala gangguan kelak. Selesai berdoa Mak Dukun meletakkan tempayan berisi air didepan Pak Jantan dan merapikan sebagian perlengkapan Upacara Adat Basuh Lantai yang terdiri dari:[2]

  • 2 (dua) Buah Jeruk nipis yang masing-masing terbelah menjadi 4 (empat) bagian.
  • Sepiring nasi ketan atau pulut kuning sebanyak 4 (empat) buah kepal
  • Semangkuk atau secawan kecil buah Asam
  • 4 (empat) buah serabi
  • Semangkuk atau secawan kecil minyak atau bedak langi yang sudah dibuat[2]

Kemudian Mak Dukun kembali berdoa sambil menyuci tangan dengan air yang telah disediakan didalam tempayan. Setelah berdoa lalu Mak Dukun meminyaki diri sendiri dengan minyak langi lalu melakukan inti dari Upacara Adat Basuh Lantai yaitu mengguyur Lantai bekas sang ibu bersalin dengan air lalu menggosok lantai tersebut sampai bersih. Ketika lantai tersebut telah bersih, Mak Dukun sembari membacakan Mantra lalu mengolesi lantai tersebut dengan Asam, Jeruk Nipis, Serabi, dan Nasi Ketan atau pulut kuning yang sudah disiapkan sebelumnya. Selanjutnya Lantai yang telah diolesi tersebut kemudian diguyur kembali dengan air yang berasal dari tempayan untuk membersihkan sisa-sisa olesan tadi berupa Nasi Ketan atau pulut kuning, serabi, dan Asam. Setelah lantai kembali bersih kemudian Mak Dukun kembali menggores lantai tersebut dengan cermin dan sisir yang sudah disediakan sembari Pak Jantan mengelilingi Mak Dukun.[2][5]

Sesi ritual berikutnya adalah pengguyuran atau pemandian dimana dalam sesi ini kedua telinga dan badan sang bayi ditiup oleh Mak Dukun sebanyak 3 (tiga) kali kemudian disiram oleh air yang telah beri campuran perasan Jeruk nipis sebanyak 3 (tiga) kali juga. Selepas dimandikan, Mak Dukun diserahkan ke pangkuan ibunya sembari ditiup telinga dan badanya sebanyak 3 (kali) lagi. Setelah selesai bayi tersebut kemudian diserahkan kepada neneknya untuk dikeringkan dengan handuk, didandani dengan cara dibedaki lalu di beri pakaian. Sementara itu sang ibu duduk diatas lantai tersebut yang nantinya akan dimandikan oleh Mak Dukun dengan air yang diberi campuran perasan Jeruk nipis tersebut sebanyak 3 (tiga) kali.[2][5]

Selesai dimandikan oleh Mak Dukun, sang ibu kembali duduk keatas tempat tidur sambil menggendong bayinya yang telah diberi pakaian oleh neneknya. Selanjutnya Mak Dukun mengambil semangkuk atau secawan beras sambil membawa ayam yang telah disediakan. Semangkuk atau secawan beras tersebut kemudikan dituang keatas salah satu telapak tangan sang ibu sembari Mak Dukun mempersiapkan seekor ayam untuk sesi ritual berikutnya. Sembari melindungi bayinya dengan sebelah tangannya dan satu tangannya lagi memegang beras, Mak Dukun mengarahkan seekor ayam tersebut kearah sang bayi. Jika ayam tersebut mematuk beras di tangan dianggap sebagai pertanda yang baik bagi sang bayi, sebaliknya jika ayam tersebut mematuk ke tangan sang ibu yang menggendong bayi dianggap sebagai pertanda yang buruk bagi sang bayi.[2][5]

Ritual selanjutnya berupa acara lompat benang tungkal atau mereka sebut sebagai Tiung berwarna putih yang terletak diluar kamar ritual sebelumnya. Sebelum melompat, sang ibu dikalungkan benang oleh Mak Dukun dalam posisi sedang berdiri sambil menggendong bayinya. Setelah itu Mak Dukun bersama Pak Jantan yang berada disebelah kiri dan kanan sang ibu tersebut kemudian saling melempar padi, beras, dan uang logan atau koin kearah kaki sang ibu sebanyak 7 (tujuh) kali. Selesai melempar padi, beras, dan uang logam tau koin tersebut, selanjutnya Mak Dukun dan Pak Jantan meminta sang ibu sambil menggendong bayinya melompati seutas benang tungkal atau Tiung berwarna putih tersebut sebanyak 3 (tiga) kali. Ritual berikutnya adalah pemutaran atau pengelilingan buah kelapa disertai dengan tiga buah lilin yang menyala untuk mengelilingi sang ibu beserta bayinya oleh Mak Dukun dan Pak Jantan. Pengelilingan tersebut dilakukan dari arah kanan ke kiri dan sebaliknya yang masing-masing sebanyak 3 (tiga) kali. Setelah itu Mak Dukun kembali meminyaki sang ibu beserta bayinya dengan minyak langi disertai dengan pemutusan tiung berwarna putih tadi dengan api dari lilin tadi sembari mengolesi alis sang ibu beserta bayinya dengan bekas sumbu lilinya yang telah diremas. Selanjutnya acara pengguntingan ujung rambut sang ibu beserta sang bayi menggunakan sisir dan gunting yang telah disediakan sebelumnya. Terakhir adalah menumpahkan semangkuk atau secawan beras tadi ke arah badan sang bayi kemudian mengguncang-guncangkan buah kelapa yang tadi ke telinga kanan dan kiri sang bayi.[2][5]

Selesai Upacara Adat yang jatuh pada siang hari dilanjutkan dengan {Salat Jumat] yang kemudian dilanjutkan kembali dengan acara Kenduri. Acara kenduri tersebut dipimpin oleh seorang ulama setempat yang dikenal sebagai Lebai atau Tok Lebai yang dihadiri oleh kerabat, tetangga terdekat, tetamu atau Jiran. Acara kenduri tersebut kemudian ditutup dengan doa selamat yang dipimpin oleh sang Lebai dan diakhiri dengan jamuan yang telah disediakan oleh pihak tuan rumah. Ketika acara kenduri telah selesai, selanjutnya pihak keluarga menghantarkan makanan lengkap beserta lauk-pauknya, kain, seekor ayam tadi, dan sejumlah uang kepada Mak Dukun dan Pak Jantan sebagai rasa ungkapan terima kasih.[2][5]

Nilai Filosofis Dalam Upacara Basuh Lantai

[sunting | sunting sumber]

Berikut ini adalah nilai filosofi yang terkandung didalam beberapa prosesi Upacara Adat Basuh Lantai:

  • Pelemparan uang logam atau koin, padi, dan beras kearah lantai memiliki arti bahwa hidup di dunia adalah fana dan sementara dan suatu saat akan kembali kepada Allah. Oleh karena itu kita diharapkan untuk terus ingat kepada-Nya.
  • Melompati tiung berwarna putih memiliki arti bahwa kehidupan manusia tidak lepas dari halangan dan rintangan. Oleh karena itu kita diharapkan untuk selalu bekerja keras menghadapi rintangan dalam kehidupan tersebut terutama pada sang bayi di masa depannya kelak.
  • Pengelilingan buah Kelapa beserta 3 (tiga) buah lilin memiliki arti bahwa kita diharapkan dapat hidup di lingkungan mana saja dan dapat berguna terhadap masyarakatnya. Buah Kelapa melambangkan buah yang tumbuh dimana saja dan dapat dibuat menjadi aneka makanan dan minuman. Sementara lilin yang melambangkan pelita kehidupan memiliki arti agar hidupnya selalu berada di jalan yang benar sesuai dengan pedoman hidupnya.
  • Pemutusan kalung tiung berwarna putih dan pengolesan alis dengan sisa sumbu lilin memiliki arti bahwa kelak akan selamat dalam menghadapi rintangan dalam hidup dan sang ibu beserta bayinya akan selalu berbuat baik, dijauhi oleh berbagai perbuatan jahat, dan selalu berada di jalan yang lurus.
  • Pengguntingan ujung rambut memiliki arti untuk membuang berbagai hal buruk yang berada didalam diri sang ibu beserta bayinya sekaligus menandai bahwa sang bayi nantinya dapat keluar rumah dan menginjak atau turun ke tanah.
  • Penumpahan secawan atau semangkuk beras kearah badan bayi memiliki arti agar sang bayi dimudahkan dalam memperoleh resekinya kelak.
  • Mengguncangkan buah kelapa kearah kanan dan kiri pada telinga dan tubuh bayi memiliki arti bahwa hidup yang tengah didlalui akan terus berjalan sehingga diharapkan untuk terus waspada.
  • Ayam yang jenisnya berlwanan dengan jenis kelamin sang bayi memili arti bahwa Allah menciptakan makhluknya di dunia secara berpasangan.[5]
  • Bahan-bahan dalam membuat minyak atau bedak Langi yaitu Kapur Sirih dan Gambir. Kapur sirih melambangkan kesucian dan kebersihan hati sementara Gambir melambangkan maksud yang diingkan agar kelak terkabul.[7]

Nilai Budaya Dalam Upacara Basuh Lantai

[sunting | sunting sumber]

Berikut ini adalah nilai budaya yang terkandung didalam keseluruhan Upacara Adat Basuh Lantai:

  • Gotong Royong. Nilai gotong royong terlihat dari adanya saling bantu agara terlaksananya Upacara Adat Basuh Lantai tersebut. Bantuan yang diberikan dari kerabat maupaun tetangga terdekat atau Jiran dapat berupa uang atau bahan makanan dalam pelaksanaan acara kenduri setelah Upacara Adat Basuh Lantai selesai.
  • Kebersamaan. Berkumpulnya para tetamu, kerabat, dan para tetangga terdekat atau Jiran dalam Upacara Adat Basuh Lantai yang diadakan oleh tuan rumah menandakan adanya kebersamaan dalam wilayah, budaya, dan adat istiadat yang sama. Mereka semua berdoa, makan, dan duduk bersama dalam rumah beralaskan tikar yang sama.
  • Religius. Nilai religius terlihat dari doa bersama yang dilakukan pada acara Kenduri sebagai rangkaian acara penutup Upacara Adat Basuh Lantai. Doa tersebut dipanjatkan kepada Allah sebagai rasa syukur dan dan rasa terima kasih atas kurnia dan rizki yang telah diperkenankan-Nya.
  • Hati-hati. Sejalan dengan nilai filosofis saat prosesi penumpahan beras kearah badan dan telinga sebelah kanan dan kiri sang bayi dan pengguncangan buah kelapa pada telinga kanan dan kiri sang bayi yang artinya menanamkan sikap kewaspadaan ketika menghadapi rintangan dalam menjalani kehidupan kelak.
  • Ketelitian. Nilai ketelitian terlihat ketika mengatur waktu lamanya prosesi Upacara Adat Basuh Lantai agar tepat waktu selesai sebelum Salat Jumat dimulai. Selain itu persiapan akan berbagai perlengkapan perlu diperhatikan agar prosesi Upacara Adat Basuh Lantai tidak terhambat karena lupa akan salah satu atau beberapa perlengkapan.
  • Kerja Keras. Sejalan dengan nilai filosofis ketika proses melompati seutas benang tiung berwarna putih, yaitu nilai untuk terus bekerja keras. Dengan melompat dari belakang menuju ke depan memiliki arti untuk terus bekerja keras sehingga mampu menghadapi rintangan yang ada dalam kehidupan.
  • Keselamatan. Nilai keselamatan terlihat dari niat diadakannya Upacara Adat Basuh Lantai tersebut. Dengan diadakannya upacara tersebut menandakan usaha untuk mengatasi krisis yang terjadi didalam salah satu tahap daur kehidupan sesorang sehingga selamat pada tahap kehidupan kanak-kanaknya kelak atas izin Allah.
  • Keteguhan. Nilai keteguhan terlihat pada nilai filosofis ketika prosesi pengolesan alis sang ibu beserta alis bayinya menggunakan bekas sumbu lilin yang diremas. Nilai yang ditunjukkan adalah berpegang teguh terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dan berkembang didalam masyarakatnya. Selain itu, dengan diadakannya Upacara Adat Basuh Lantai sebagai tanda tetap teguh terhadap nilai dan norma yang berlaku dalam upacara daur kehidupan masyarakat Melayu Riau, khususnya masyarakat Melayu Daik-Lingga.[2][5]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Murtie, Afin (2018). RPUT Untuk SD. Jakarta: CERDAS INTERAKTIF. hlm. 115. ISBN 9789797883874. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o "metroriau 29/07/2012". Issuu. Diakses tanggal 2019-03-25. 
  3. ^ a b Florencia, Veve (2017-01-21). "Basuh lantai". sumber.com. Diakses tanggal 2019-03-25. [pranala nonaktif permanen]
  4. ^ Bibliografi Beranotasi : Hasil Penelitian Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang. Tanjungpinang: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2009. hlm. 85. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k Yuananto, Nugroho (2008). Selayang Pandang Kepulauan Riau. Klaten: PT Intan Pariwara. hlm. 49–51. ISBN 9789792805451. 
  6. ^ a b admin. "Budaya Upacara Basuh lantai di Kepulauan Riau". DAFTAR BUDAYA INDONESIA. Diakses tanggal 2019-03-25. [pranala nonaktif permanen]
  7. ^ Tata Cara Adat Perkawinan Melayu Di Daik Lingga. Pekanbaru: Badan Penerbit Universitas Riau UNRI Press. 2009. hlm. 15. ISBN 9789797921637.