Lompat ke isi

Baterai ion litium

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Baterai ion litium
Baterai Li-ion Nokia yang menyalakan sebuah telepon genggam
Energi spesifik100–265 W·h/kg (0.36-0.95 MJ/kg)
Kepadatan energi250–730 W·h/L (0.90-2.23 MJ/L)
Tenaga spesifik~250–~340 W/kg
Efisiensi isi/lepas80-90%[1]
Energi/harga konsumen2.5 W·h/US$
Tingkat pelepasan sendiri8% pada 21 °C
15% pada 40 °C
31% pada 60 °C
(per bulan)[2]
Daya tahan siklus400–1200 siklus[3]
Voltase sel nominalNMC 3,6 / 3,7 V, LiFePO4 3,2 V

Baterai ion litium (biasa disebut Baterai Li-ion atau LIB) adalah salah satu anggota keluarga baterai isi ulang. Di dalam baterai ini, ion litium bergerak dari elektrode negatif ke elektrode positif saat baterai sedang digunakan, dan kembali saat diisi ulang. Baterai Li-ion memakai senyawa litium interkalasi sebagai bahan elektrodanya, berbeda dengan litium metalik yang dipakai di baterai litium non-isi ulang.

Baterai ion litium[4] umumnya dijumpai pada barang-barang elektronik konsumen. Baterai ini merupakan jenis baterai isi ulang yang paling populer untuk peralatan elektronik portabel, karena memiliki salah satu kepadatan energi terbaik, tanpa efek memori, dan mengalami kehilangan isi yang lambat saat tidak digunakan. Selain digunakan pada peralatan elektronik konsumen, LIB juga sering digunakan oleh industri militer, kendaraan listrik, dan dirgantara.[5] Sejumlah penelitian berusaha memperbaiki teknologi LIB tradisional, berfokus pada kepadatan energi, daya tahan, biaya, dan keselamatan intrinsik.

Karakteristik kimiawi, kinerja, biaya, dan keselamatan jenis-jenis LIB cenderung bervariasi. Barang elektronik genggam biasanya memakai LIB berbasis litium kobalt oksida (LCO) yang memiliki kepadatan energi tinggi, namun juga memiliki bahaya keselamatan yang cukup terkenal, terutama ketika rusak. Litium besi fosfat (LFP), litium mangan oksida (LMO), dan litium nikel mangan kobalt oksida (NMC) memiliki kepadatan energi yang lebih rendah, tetapi hidup lebih lama dan keselamatannya lebih kuat. Bahan kimia ini banyak dipakai oleh peralatan listrik, perlengkapan medis, dan lain-lain. NMC adalah pesaing utama di industri otomotif. Litium nikel kobalt alumunium oksida (NCA) dan litium titanat (LTO) adalah desain khusus yang ditujukan pada kegunaan-kegunaan tertentu.

Cara kerja

[sunting | sunting sumber]

Di bagian anoda dan katode, material utamanya yaitu litium adalah logam alkali yang bersifat sangat reaktif. Artinya, jika segel baterai terbuka dan air masuk, logam langsung tereduksi dan baterai akan terbakar hebat. Banyak video di YouTube yang mendemonstrasikan beberapa percobaan liar dengan baterai litium ion.

Kemudian, di sisi katode, material yang digunakan biasanya mengandung kobalt, yang merupakan material yang cukup langka di bumi.[6] Pemasok utama kobalt untuk seluruh industri baterai litium ion di dunia adalah Republik Demokratik Kongo.[7] Hal ini menjadi salah satu penyebab baterai litium ion memiliki harga yang relatif mahal jika dibandingkan misalnya dengan baterai lead acid (accu). Selain material pada gambar 2.1, katode-katode yang sering digunakan pada baterai litium ion adalah LFP (Lithium Iron Phosphate), LMO (Lithium Manganese Oxide), NCM (Nickel Cobalt Manganese), NCA (Nickel Cobalt Aluminum Oxide), LCO (Lithium Cobaltate).

Intinya, pada saat proses discharge ion litium akan bergerak dari anoda grafit ke katode yang bisanya berupa senyawa litium dengan oksida logam transisi. Lalu, proses charge terjadi sebaliknya, ion litium bergerak dari katode ke dalam anoda yang berbentuk layer-layer grafit. Proses masuknya sesuatu (litium) ke dalam suatu layer senyawa kimia ini disebut dengan proses interkalasi. Pencarian material-material anoda dan katode salah satunya berfokus kepada material yang bisa melakukan proses interkalasi ini dengan konsisten, tidak berubah sepanjang umurnya sehingga bisa memperpanjang usia baterai.[8]

Dalam sebuah baterai, besar energi yang tersimpan bisa dioptimasi dari beda tegangan elektrodanya, massa reaktan per elektron yang bersirkulasi seminimal mungkin, serta menghindari defisiensi elektrolit karena bereaksi dengan unsur lain dalam baterai.[9] Syarat ketiga ini dipenuhi hanya oleh baterai NiMH terbaru dan baterai litium ion.

Baterai litium ion pertama kali ditemukan oleh seorang fisikawan Amerika Professor John Goodenough pada tahun 1980.[9] Ini merupakan lompatan besar dalam perkembangan baterai karena litium merupakan elemen yang sangat ringan dari tabel periodik dan juga memiliki potensial elektrokimia yang sangat besar, sehingga sangat ideal untuk dijadikan baterai. Saat ini, baterai litium ion di pasaran menyimpan energi sekitar 180Wh/kg, 5 kali lebih besar daripada baterai lead acid.[10]

Baterai litium ion pertama kali dikomersialiasi oleh Sony pada tahun 1991, dengan anoda berupa grafit (LixC6) dan katode dengan layer logam transisi-oksida (Li1-xTMO2).[10] T bisa berupa kobalt, nikel, mangan, atau campurannya. Pertama kali menggunakan katode litium kobalt oksida, terjadi banyak kasus baterai terbakar. Namun, Profesor Goodenough pada tahun 1990an kembali menemukan lompatan besar dalam teknologi baterai menggunakan lithium iron phosphate (LiFePO4).

Penggunaan

[sunting | sunting sumber]

Baterai litium ion saat ini menjadi pilihan utama di berbagai bidang mulai dari laptop, HP, ataupun mobil listrik karena rapat energi dan rapat daya listriknya yang tinggi. Terdapat setidaknya empat alasan yang menjadikan litium ion ini populer digunakan di berbagai bidang. Yang paling utama ialah ia memiliki rapat densitas (energy density) dan rapat daya (power density) yang sangat tinggi, yang bisa dilihat pada grafik bernama ragone chart.

Yang kedua ialah litium ion memiliki self discharge yang kecil, yaitu hanya sekitar 5% per bulannya.[11] Keuntungan ini merupakan poin yang juga penting, karena terdapat baterai lain misal NiMH dengan self discharge yang tinggi sehingga tidak bisa dipakai untuk kebutuhan menyimpan listrik yang lama.

Penyebab litium ion populer yang ketiga adalah tidak memiliki memory effect, yaitu karakteristik baterai yang mewajibkan untuk men-discharge habis baterai sebelum dicharge kembali, tidak seperti NiCd. Penyebab popularitas utama yang terakhir adalah cukup awet, ditandakan dengan jumlah siklus yang cukup banyak yaitu sekitar 400–1200 siklus. Misal pada baterai HP yang menggunakan litium ion, jika dalam satu hari melewati satu siklus cas dan discharge, maka baterai HP bisa digunakan untuk sekitar 1,5 hingga 3 tahun.

Namun, bukan berarti baterai ini tidak memiliki kelemahan. Saat ini, hampir seluruh baterai litium ion yang beredar di pasaran menggunakan elektrolit berupa LiPF6 yang sifatnya mudah terbakar. Oleh karena itu, sedang populer riset tentang baterai all solid state dimana menggunakan semua komponen termasuk elektrolit dalam bentuk padat. Ini diharapkan menjadi salah satu solusi dari masalah keamanan LiPF6.

Setiap jenis memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, sehingga digunakan di tempat-tempat yang berbeda. Misalnya, baterai pada mobil listrik Tesla yang membutuhkan rapat energi besar menggunakan NCM, sedangkan baterai yang digunakan pada PowerWall Tesla yang mengutamakan harga lebih murah adalah NCA.[12]

Saat ini, terdapat berbagai jenis dari litium ion (berdasarkan materialnya), yang akan kita bahas satu per satu sebagai berikut:[13]

Lithium cobalt oxide (LiCoO2)

[sunting | sunting sumber]

Baterai ini dinamakan sesuai dengan material katodanya, sedangkan anodanya berupa grafit. Kelebihannya ialah energi spesifiknya yang besar, sehingga menjadi pilihan populer untuk handphone, laptop, dan kamera digital. Kekurangannya ialah umur dan stabilitas termalnya serta daya spesifik yang relatif biasa saja.

Faktor utama yang menimbulkan batas usia baterai ialah anodanya yang tersusun atas grafit. Grafit memungkinkan perubahan solid electrolyte interface (SEI), yaitu penebalan pada anoda oleh plat litium pada saat fast charging, di atas batas C-ratingnya. Misal, sebuah sel 18650 dengan kapasitas 2.400 mAh seharusnya hanya boleh di-discharge dengan arus sebesar 2,4A. Lebih dari itu, akan mempersingkat usia baterai.

Saat ini, Li-cobalt sudah kalah populer dengan Li-manganese, lalu NMC dan NCA. Cobalt merupakan material yang tidak semelimpah logam-logam lain seperti alumunium, sehingga harga cobalt relatif mahal dibandingkan material penyusun baterai lainnya.

Lithium manganese oxide (LiMn2O4 / LMO)

[sunting | sunting sumber]

LMO pertama kali dipublish di Materials Research Bulletin pada tahun 1983. Kemudian, baterai ini pertama kali dikomersialisasi sebagai material katode litium pada tahun 1996 oleh Moli Energy. Satu kelebihan menonjol dari LMO adalah hambatan dalam sel yang rendah dikarenakan strukturnya yang berupa spinel, sehingga memungkinkan fast charging dan high-current discharging. Kemudian, LMO memiliki stabilitas termal yang relatif baik dan lebih aman daripada LCO. Walau begitu, LMO memiliki energi spesifik yang lebih rendah daripada LCO (lebih rendah 1/3 kapasitas).

Aplikasi dari baterai ini pada masanya adalah pada peralatan yang membutuhkan daya cukup besar, misal instrumen medis dan kendaraan listrik. Namun, saat ini LMO murni sudah jarang digunakan. Saat ini jauh lebih sering digunakan Li-manganese yang dicampur dengan nikel atau kobalt sehingga memberikan energi spesifik yang cukup baik, tetapi juga daya spesifik yang tetap baik.

Lithium nickel manganese cobalt oxide (LiNiMnCoO2 atau NCM)

[sunting | sunting sumber]

Ini adalah salah satu katode sistem baterai litium ion yang “sukses” hingga saat ini. Katodanya tersusun dari nikel, mangan, dan kobalt yang dicampur dengan perbandingan tertentu. Kunci dari kesuksesan baterai NCM ialah kombinasi nikel dan mangan. Seperti tadi disebutkan, mangan menyebabkan baterai memiliki daya spesifik yang besar tetapi energi spesifik yang biasa saja. Lalu, nikel menyebabkan sifat rapat energi yang tinggi, tetapi stabilitas rendah. Kombinasi keduanya ditambah kobalt mengakibatkan sistem baterai memiliki sifat-sifat yang diinginkan.

Salah satu perbandingan yang umum dan sukses ialah 1-1-1. 1/3 nikel, 1/3 kobalt, dan 1/3 mangan. Perbandingan lainnya yang sukses ialah 5-3-2, yaitu ½ nikel, 3/8 kobalt, dan 1/5 mangan. Semakin sedikit unsur kobalt yang digunakan, harga baterai cenderung semakin murah karena kobalt adalah logam yang paling mahal. Saat ini, NCM menjadi pilihan utama material baterai litium ion untuk mobil listrik karena rapat energinya (dan energi spesifiknya) yang sangat baik, serta daya spesifiknya yang juga baik. Saat ini, baterai NCM merupakan jenis baterai litium ion yang paling sukses dan masih berkembang di pasaran.

Lithium iron phosphate (LiFePO4)

[sunting | sunting sumber]

Pertama kali ditemukan pada tahun 1996 di University of Texas. Katode ini merupakan perkembangan yang dicatat sejarah karena memiliki kestabilan elektrokimia yang baik dan hambatan dalam baterai yang sangat rendah. Keuntungan-keuntungan utama dari material katode jenis ini ialah memungkinkan high current rating, umur siklusnya yang sangat tinggi, stabilitas termal yang baik dan safety yang baik. Kemudian, dibandingkan material-material katode lainnya, Li-phosphate adalah yang paling toleran jika berada dalam kondisi full. Baterai lainnya, jika disimpan dalam waktu lama, perlu disimpan dalam storage voltage, yaitu tegangan tertentu di bawah tegangan maksimumnya.

Beberapa kekurangannya ialah nominal voltage yang lebih rendah daripada material lainnya, sehingga berkurangnya energi spesifik. Lalu, Li-phosphate juga memiliki self discharge yang relatif lebih buruk dibandingkan material lainnya. Karena rapat dayanya yang tinggi, salah satu aplikasi utama dari Li-phosphate adalah menggantikan lead acid sebagai starter kendaraan bermotor.

Lithium nickel cobalt aluminum oxide (LiNiCoAlO2 / NCA)

[sunting | sunting sumber]

Baterai jenis ini sudah dipakai di berbagai aplikasi sejak tahun 1999. Ia memiliki kemiripan dengan NCM dalam hal energi spesifik yang tinggi, daya spesifik yang tinggi, serta umur siklus yang lama. Sedikit kekurangan NCA adalah masalah safety dan harga. Penambahan unsur alumunium dalam katode menimbulkan stabilitas kimia yang lebih baik.

Lithium titanate (Li4Ti5O12 /LTO)

[sunting | sunting sumber]

Berbeda dengan baterai-baterai sebelumnya, titanat di sini merupakan material anoda, menggantikan grafit sebagai material anoda yang paling populer. Baterai litium titanat ini menggunakan katode berupa LMO atau NCM. Kelebihan utama dari litium titanat adalah memiliki discharge rate yang sangat tinggi, bisa mencapai 10C. Walau begitu, usia jumlah siklusnya juga lebih baik daripada baterai litium ion yang lain. Hal ini disebabkan LTO memiliki sifat zero-strain, tidak terbentuknya SEI ataupun lapisan litium yang tidak diinginkan pada saat proses charge maupun discharge. Kekurangannya ialah rapat energinya yang masih cukup rendah serta harganya yang masih mahal.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Valøen & Shoesmith (2007). The effect of PHEV and HEV duty cycles on battery and battery pack performance Diarsipkan 2009-03-26 di Wayback Machine. (PDF). 2007 Plug-in Highway Electric Vehicle Conference: Proceedings. Retrieved 11 June 2010.
  2. ^ H. Abea, T. Muraia and K. Zaghibb (1999). Vapor-grown carbon fiber anode for cylindrical lithium ion rechargeable batteries[pranala nonaktif permanen]. Journal of Power Sources 77:2, February 1999, pp. 110-115. DOI:10.1016/S0378-7753(98)00158-X. Retrieved 11 June 2010.
  3. ^ Battery Types and Characteristics for HEV Diarsipkan 2015-05-20 di Wayback Machine. ThermoAnalytics, Inc., 2007. Retrieved 11 June 2010.
  4. ^ Killiny, Rita. "lithium ion battery". lithiumbatterychina.com. lithium battery china. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-02-19. 
  5. ^ Ballon, Massie Santos (14 October 2008). "Electrovaya, Tata Motors to make electric Indica". cleantech.com. Cleantech Group. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-05-09. Diakses tanggal 11 June 2010. 
  6. ^ S. Yuvaraja, R.K. Selvan, Y.S. Lee, An overview of AB2O4- and A2BO4-structured negative electrodes for advanced Li-ion batteries, Royal Society of Chemistry, 6 (2016) 21448-21474.
  7. ^ "Cobalt Statistics and Information" (PDF). minerals.usgs.gov (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-09-07. 
  8. ^ Bobby, How Does Intercalation Work in Batteries?, UPS Battery Center, 2014
  9. ^ a b J. Alarco, P. Talbot, The history and development of batteries, The Conversation, 2015
  10. ^ a b M. Armand, J.M. Tarascon, Building better batteries, Nature, 451 (2008) 652-657
  11. ^ Smets, Arno (2016). The Physics and Engineering of Photovoltaic Conversion, Technologies and System. UIT Cambridge. 
  12. ^ A. Chen, Elon Musk wants cobalt out of his batteries — here’s why that’s a challenge, 2018.
  13. ^ I. Buchmann, BU-205: Types of Lithium-ion, Battery University, 2011.

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]
Berita

release.