Beo Barat, Beo, Kepulauan Talaud
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
|
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Beo Barat | |
---|---|
Negara | Indonesia |
Provinsi | Sulawesi Utara |
Kabupaten | Kepulauan Talaud |
Kecamatan | Beo |
Kode pos | 95881 |
Kode Kemendagri | 71.04.02.1018 |
Beo Barat merupakan salah satu desa yang berada di kecamatan Beo, Kabupaten Kepulauan Talaud, provinsi Sulawesi Utara, Indonesia.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Beo lahir dari sebuah nama yaitu Sassanggelo yang artinya minyak pelicin rambut. Hal mana sasanggello adalah jenis pohon kemiri (Aleurites moluccana). Konon pohon ini banyak bertumbuh di wilayah ini.
Sampai tahun 1808 kampung Beo bernama “Tanjung Bangku” yang terletak di tengah muara sungai Marat dan sungai Taloara. Pada tahun 1817 Hindia Belanda membentuk wilayah pemerintahannya dengan pusat pemerintahan di “Tanjung Bangku”. Tetapi Belanda tidak menyukai nama “Tanjung Bangku”. Belanda ingin mencari nama lain, yang kebetulan di wilayah “Tanjung Bangku” Banyak ditumbuhi pohon Beo yang hanya tumbuh di wilayah “Tanjung Bangku”. Sehingga oleh Belanda wilayah tersebut dinamai “Beo”. Beo merupakan pusat pemerintahan Talaud Utara. Sedangkan Lirung menjadi pusat pemerintahan Talaud Selatan.
Di masa kepemimpinan Raja Julius Sario Tamawiwy yang berkedudukan di Beo menginstruksikan kepada komunitas (ruangan’nu) yang menetap di Bantik, Masing, Malabut, Urune, dan lain-lain sekitar Beo yang sengaja memisahkan diri karena menghindar dari wabah penyakit, untuk menetap dan memenuhi kampung Beo yang sekarang bernama marumun. Hal ini bertujuan agar Beo sebagai pusat pemerintahan, Beo menjadi besar (bertambah jumlah penduduknya).
Komunitas Masing, Malabut, Urune di kumpul (niwuwun’na = dipelihara) di satu lokasi yang sekarang bernama “Marumun” yang berasal dari kata "Nipadumunan" yang artinya tempat berkumpulnya banyak orang. Komunitas Bantik (tidak seluruh masyarakat Bantik mau diajak berpindah ke Beo) direlokasi di tempat yang sekarang bernama “Bantik Tengah”. Dan komunitas lain direlokasi di tempat yang sekarang bernama “ Bowone” sebagai lokasi pemukiman tertua. Sedangkan “Kampung Siau" adalah warga atau komunitas Transmigrasi dari Pulau Siau.
Nama kampung Beo kemudian menjadi perdebatan antara beberapa pemerhati sejarah Beo, asal nama Beo yang dari pohon Beo kemudian mendapat sanggahan terutama dari Plt. Lurah Beo Barat Frets Latjandu, SP atau sebutan akrabnya Decky Latjandu, bahwasanya tidak memiliki alasan kuat jika pohon Beo banyak tumbuh di kampung Beo, terbukti dengan tidak ditemukannya banyak bukti yang menunjukkan keberadaan pohon Beo di Kampung Beo. kalaupun pernah tumbuh pohon Beo, berarti ada banyak bukti tentang pemanfaatan pohon Beo semisal adanya bahan bangunan yang berasal dari kayu pohon Beo. tetapi hal ini tidak ditemukan dalam keadaan sebenarnya tentang pemanfaatan kayu pohon Beo. sekarang sdh tidak ada lagi pohon Beo yang tumbuh di kampung Beo, yang mana menyatakan bahwa pohon Beo telah punah (yang konon? banyak tumbuh di kampung Beo, kemana perginya pohon Beo itu?. Pernyataan ini menjelaskan bahwa tidak ada relefansi penamaan "Beo" dengan keberadaan pohon Beo. Penamaan kampung Beo, menurut pemikiran dan analisis Decky Latjandu, ada 4 (empat) yaitu, Tanjung Bangku, Mahunena, Sasanggello, dan Beo. menurunya (Latjandu) nama-nama ini lahir dari masa dan situasi yang berbeda Namun itu dianggap tidak sesuai karena referensi sejarahnya bukan berasal dari turunan dan pemangku adat sebenarnya seperti dari Makatara yang merupakan kampung titisan tertua yang sesungguhnya hingga saat ini masih ada tokoh-tokoh kunci sejara yang masih hidup. sebab pemangku adat yang menjadi sumber cerita sejarah Decky Latjandu adalah Pemangku Adat yang terbentuk periode diatas 2005 yaitu pemangku adat karena kepentingan politik saat itu.
Tanjung Bangko atau Tanjung Bangku; adalah nama ketika Kampung Beo sewaktu belum ada relokasi dari beberapa rukun famili, hal mana, nama tersebut (Tanjung Bangku) berdasarkan karakteristik dan letaknya pada cekungan atau teluk yang memiliki atol yang berbentuk bangku. atol ini terbentuk dari endapan lumpur muara sungai Marat dan Taloara. penamaan suatu tempat pada saat itu selalu berdasarkan karakteristik tempat tersebut. Tanjung Bangko adalah nama yang disebutkan oleh orang lokal (orang yang tinggal disekitarnya) pada saat itu. Popularitas nama Tanjung Bangku hanya sebatas orang lokal.
Mahunena adalah penamaan Kampung Beo dari orang lokal yang bermata pencaharian sebagai nelayan. ketika org lokal akan melaut pada senja hari (org lokal pada saat itu mulai melaut pada senja hari dan kembali pada fajar) mereka melihat sunset yang mercahaya indah kemerah-merahan, dan saat mereka kembali pada saat fajar mereka melihat sunrice indah bercahaya kemerah-merahan. sehingga muncul julukan dan akhirnya menjadi nama yaitu MAHUNENA.
Sasanggelo adalah sebutan atau penamaan dari org lokal yang berarti licin dan mengkilat. kata "mengkilat" dan "licin" disini lebih tepat ditujukan kepada permukaan air laut yang teduh, mengkilat dan licin (kb), saat diterpa cahaya sinar sunrice dan sunset.
Beo; adalah sebutan atau penamaan dari org bukan lokal, yang menggambarkan teluk beo yang bengkok (Weohee; Bhs Sangir. Weotta; Bhs Talaud) ini dibuktikan dengan catatan sejarah dari kerajaan Tabukan (Sangihe)yang menguasai "Tanah Lawo" (sebutan untuk P. Karakelang).
Pada permulaan Kemerdekaan Republik Indonesia, Sulawesi Utara berstatus Keresidenan yang merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1960 Provinsi Sulawesi dibagi menjadi dua bagian yaitu, Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara dan Provinsi Sulawesi Utara-Tengah. Gubernur pertama Provinsi Sulawesi Utara-Tengah adalah MR. A.A. Baramuli dan Wakil Gubernur Latkol F.J. Tumbelaka.
Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah adalah Kotapraja Manado, Kotapraja Gorontalo, dan delapan Daerah Tingkat II masing-masing Sangihe Talaud, Bolaang Mongondow, Minahasa, Gorontalo, Buol Toli-Toli, Donggala, Poso dan Luwuk/Banggai. Pada tanggal 23 September 1964, pada saat Pemerintah Republik Indonesia memberlakukan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 yang menetapkan perubahan status Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dengan menjadikan Sulawesi Utara sebagai Daearh Otonom Tingkat I, dengan Manado sebagai Ibu kotanya. Sejak saat itu, secara de facto Daerah Tingkat I Sulawesi Utara membentang dari Utara ke Selatan Barat Daya, dari Pulau Miangas ujung utara di Kabupaten Sangihe Talaud sampai Molosipat di bagian Barat Kabupaten Gorontalo.
Dalam perjalanan panjang sampai dengan Tahun 2000, Wilayah Administrasi Provinsi Sulawesi Utara terdiri dari 5 Kabupaten dan 3 Kotamadya, yaitu: Kabupaten Minahasa, Bolaang Mongondow, Gorontalo, Sangihe dan Talaud, Boalemo serta Kotamadya Manado, Bitung dan Gorontalo. Selanjutnya seiring dengan Nuansa Reformasi dan Otonomi Daerah, maka telah dilakukan pemekaran wilayah dengan terbentuknya Provinsi Gorontalo sebagai hasil pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara malalui Undang-Undang No. 38 Tahun 2000.
Pada tahun 2002 dan 2003 Provinsi Sulawesi Utara ketambahan Kabupaten Talaud berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2002 yang merupakan hasil pemekaran Kabupaten Sangihe dan Talaud dan Undang-Undang Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2003 serta berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2003 terbentuk juga Kabupaten Minahasa Utara. Ketiga daerah tersebut adalah hasil pemekaran Kabupaten Minahasa. Akibat adanya pemekaran Provinsi Gorontalo dan ketambahan Kabupaten dan Kota, maka Provinsi Sulawesi Utara menjadi delapan wilayah administrasi Kabupaten/Kota, masing-masing:
- Kabupaten Bolaang Mongondow
- Kabupaten Minahasa
- Kabupaten Sangihe
- Kabupaten Talaud
- Kabupaten Minahasa Selatan
- Kabupaten Minahasa Utara
- Kota Manado
- Kota Bitung
Tahun 1964 Pulau-pulau yang tersebar di wilayah Kepuluan Sangihe dan Talaud di satukan dalam satu wilayah Administrasi Daerah Tingkat II yang di sebut dengan Kabupaten Kepulauan Sangihe-Talaud. Kelurahan Beo masuk dalam wilayah Kecamatan Beo bersama desa-desa Awit, Rae, Lobo, Bantik, Makatara, Matahit, Tarohan, Niampak dan Rusoh. Pada tahun 2002 Kabupaten Kepulauan Talaud lahir sebagai wilayah administratib Tkt II dengan nama Kabupaten Kepulauan Talaud. Pada saat itulah terjadi perubahan wilayah baik pemekaran Kecamatan maupun pemekaran Desa dan Kelurahan.
Pada tahun 2005 Kelurahan Beo di mekarkan bukan hanya 2 desa (yaitu Kelurahan Beo dan kampung Beo Barat) melainkan menjadi 1 Kelurahan dan 2 desa yaitu Kelurahan Beo yang dipimpin oleh Plt. Lurah Mintje Salaen, S.Pd, kampung Beo Barat Junus T. Ulaen, ST dan kampung beo timur Andris Tuwongkesong. Tujuh bulan berselang dan Sesuai Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005 tentang Desa, maka kampung Beo Barat berubah status menjadi Kelurahan Beo Barat yang dipimpin oleh Adrianus Liroga dan Beo Timur dipimpin oleh Junior Tuwongkesong.