Lompat ke isi

Bongkok, Kramat, Tegal

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Bongkok
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Tengah
KabupatenTegal
KecamatanKramat
Kode pos
52181
Kode Kemendagri33.28.15.2014 Edit nilai pada Wikidata
Peta
PetaKoordinat: 6°52′35″S 109°11′36″E / 6.87639°S 109.19333°E / -6.87639; 109.19333

Bongkok adalah salah satu desa pesisir di kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Desa Bongkok terletak di daerah pantai utara pulau Jawa, 16 km dari pelabuhan Tegal, 18 km dari pusat kota Tegal, 30 km dari kota Slawi, ibu kota kabupaten Tegal serta berjarak 2 km dari pusat desa Kemantran sebagai ibu kota kecamatan dengan garis pantai kurang lebih sepanjang 1 km. Secara astronomis desa Bongkok terletak antara 6,51’370 – 6,53’300 LS dan 109,11’160 – 109,12’270 BT. Desa Bongkok berbatasan langsung dengan Laut Jawa dan desa Munjungagung di sebelah utara. Di sebelah barat, desa Bongkok berbatasan dengan desa Munjungagung dan desa kemantran, sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan desa Babakan. Di sisi timur desa Bongkok berbatasan dengan desa Kertayasa dan desa Kramat.

Sebagai sebuah desa pesisir, sebagian besar angkatan kerja penduduk pria desa Bongkok tercatat bekerja sebagai nelayan. Selain nelayan, pekerjaan yang umum dilakukan di desa Bongkok adalah bertani, baik di lahan milik pribadi ataupun bekerja sebagai buruh di lahan milik orang lain. Sawah di desa Bongkok 2/3 bagian menggunakan irigasi teknis dan 1/3 bagian menggunakan irigasi ½ teknis.

Kelompok nelayan di desa Bongkok sebagian besar tinggal di pedukuhan Bongkok Karangasem, Bongkok Munjung, Bongkok Dukuh, Bongkok Pantong, dan Bongkok Jothang. Di desa Bongkok terdapat sungai yang muaranya dijadikan tempat berlabuh bagi perahu-perahu nelayan tradisional yang menggunakan motor tempel (sopek), sekaligus sebagai tempat transaksi jual beli hasil tangkapan para nelayan tersebut.

Sebagian besar nelayan di desa Bongkok merupakan nelayan buruh. Mereka bekerja pada unit-unit penangkapan ikan yang ada di Tegal dan Jakarta, baik unit penangkapan ikan tradisional maupun modern. Hanya ada beberapa orang saja yang mempunyai perahu sendiri, itu pun perahu penangkap ikan tradisional dengan motor tempel atau sering disebut perahu sopek. Selain itu ada juga penduduk desa Bongkok yang bekerja sebagai nelayan di luar negeri dengan kapal berbendera asing, atau umumnya disebut nelayan pasporan, karena untuk bekerja di luar negeri wajib mempunyai pasport. Nelayan pasporan umumnya bekerja di wilayah Jepang, Taiwan, Srilanka, Afrika dan Amerika Tengah dengan kontrak kerja minimal 2 tahun.

Kelompok nelayan yang banyak dijumpai di desa Bongkok adalah kelompok nelayan purse seine, atau sering disebut nelayan pursin atau kursin. Kursin menjadi pilihan sebagian besar nelayan di desa Bongkok karena sistem dan beban kerja yang dikerjakan tidak terlalu berat. Juru mudi kapal di desa Bongkok kurang lebih ada 60 orang dan sebagian besar bekerja pada unit penangkapan ikan dengan menggunakan kapal purse seine.

Meskipun sebagian besar penduduk desa Bongkok bekerja sebagai nelayan, akan tetapi bagi keluarga nelayan di desa Bongkok penghasilan dari hasil laut bukanlah satu-satunya sumber pendapatan keluarga. Berbeda dengan desa-desa nelayan pada umumnya, nelayan desa Bongkok, khususnya nelayan kursin tidak mengenal adanya musim paceklik pendapatan karena apabila penghasilan dari laut berkurang, mereka bisa menutupinya dari usaha lain di luar pekerjaan mereka sebagai nelayan dan anggota keluarga yang lain juga biasanya turut serta bekerja di luar pekerjaan sebagai nelayan. Meskipun demikian, penghasilan yang diperoleh nelayan setiap bulannya tidaklah memiliki kepastian. Terkadang hasil dari laut cukup banyak, tetapi pada saat lain tidak memperoleh hasil sama sekali karena hasil tangkapan yang diperoleh tidak cukup untuk menutup biaya perjalanan.

Relasi Sosial Ekonomi Nelayan di Desa Bongkok

[sunting | sunting sumber]

Masyarakat desa Bongkok merupakan masyarakat yang cukup heterogen, baik dari latar belakang keluarga maupun pekerjaan. Masih terlihat pola kehidupan pedesaan yang mengutamakan kerukunan dan kerjasama pada anggota masyarakat meskipun sekarang ini tampak ada pergeseran pola kehidupan akibat semakin berkembangnya nilai-nilai kehidupan modern pada masyarakat terutama kelompok pemuda.

Pola kehidupan gotong royong semakin bergeser menuju pola hubungan materialistis. Jika dahulu pada masyarakat tani dikenal sistem saling membantu ketika masa tanam dan masa panen, sekarang ini yang ada adalah tenaga buruh. Tidak ada lagi petani yang saling membantu dengan tetangganya dalam mengurus lahan pertaniannya, yang ada adalah hubungan buruh dengan majikan.

Pada kelompok nelayan di desa Bongkok relasi keterikatan pada hubungan majikan dengan buruh kurang tampak karena sebagian besar nelayan di desa Bongkok merupakan nelayan buruh. Hanya ada beberapa orang yang dapat dianggap sebagai juragan karena mempunyai perahu sendiri, itupun hanya perahu dengan motor tempel (sopek) yang digunakan dalam usaha penangkapan ikan tradisional. Nelayan lain, yang merupakan kelompok mayoritas, umumnya bekerja pada kapal penangkap ikan modern, terutama kapal purse seine. Hubungan kerja pada nelayan ini adalah antara jremudi dengan nelayan biasa atau sering disebut dengan pendhega. Keterikatan antara jremudi dengan pendhega bukanlah ikatan yang kuat sebagaimana kelompok nelayan lain pada umumnya karena ikatan kerja antara jremudi dengan pendhega di desa Bongkok hanya dalam satu kali masa berlayar saja. Ketika bagi hasil sudah dibagikan, maka ikatan kerja itu juga berakhir dan pendhega bebas untuk bekerja dengan jremudi lain.

Pemanfaatan jaringan keluarga dan hubungan sosial menjadi salah satu upaya ekonomi keluarga di desa Bongkok. Sebagaimana ketika mengadakan hajatan atau resepsi, tamu yang datang harus memberikan sumbangan dan dianggap sebagai hutang yang harus dikembalikan dengan jumlah yang sama apabila dia mengadakan hajatan pula. Sumbangan bukan lagi merupakan bantuan untuk tuan rumah, akan tetapi merupakan hutang yang harus dibayar. Hal ini terkadang mendorong terjadinya bisnis terselubung ketika hajatan. Yang dihitung ketika selesai mengadakan hajatan bukanlah biaya yang dikeluarkan ketika mengadakan hajatan, akan tetapi keuntungan yang diperoleh dari hasil sumbangan tamu yang hadir.

Pada beberapa kelompok pengajian, terkadang yang justru diutamakan adalah adanya arisan. Arisan justru merupakan pengikat bagi anggota kelompok untuk menghadirinya. Aturan umum yang sering digunakan dalam arisan adalah anggota yang mendapatkan arisan, harus hadir ketika arisan dikocok. Apabila nama yang keluar ketika arisan dikocok tidak hadir, maka akan dialihkan kepada anggota lain yang hadir. Akibatnya anggota yang sudah mendapatkan arisan ada yang tidak lagi mengikuti pengajian, hanya menitipkan uang arisan kepada anggota lain.