Lompat ke isi

Buah-buahan menurut Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Buah-buahan menurut Islam telah disediakan bagi manusia oleh Allah. Penyediaannya di Bumi dan di Surga. Ajaran Islam menetapkan hukum asal dari buah-buahan adalah halal selama kondisinya suci dan tidak menimbulkan bahaya. Sementara hukum perdagangannya ada yang ditetapkan tidak sah dan terlarang pada praktik jual beli tertentu. Allah membolehkan manusia untuk mengolah buah-buahan untuk memperoleh rezeki yang baik darinya. Jumlah tertentu setalah hasil panen buah-buahan memiliki kewajiban zakat atasnya.

Penyediaan

[sunting | sunting sumber]

Buah-buahan merupakan salah satu dari tanda-tanda kekuasaan Allah di Bumi.[1] Allah telah menyediakan buah-buahan sebagai salah satu ciptaan-Nya yang ditujukan bagi manusia.[2] Dalam Surah An-Nahl ayat 11, Allah menyatakan bahwa buah-buahan itu tumbuh sebagai hasil dari air hujan pada tanaman.[3]

Buah-buahan tersedia bagi manusia baik di dunia maupun di dalam surga.[4] Keberadaannya di dunia dan di dalam surga disebutkan oleh Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 25.[5] Allah memberikan buah-buahan sebagai rezeki bagi Nabi Ibrahim dan umat muslim dari kalangan penduduk Makkah.[6] Namun, buah-buahan di surga hanya dikhususkan bagi orang-orang yang beriman sebagai rezeki.[5] Buah-buahan yang ada di surga hanya dikhususkan bagi penghuni surga.[7] Surah Ar-Rahman ayat 54 menjelaskan bahwa buah-buahan di surga sifatnya mudah dipetik karena jaraknya yang dekat.[8]

Kedudukan dalam hukum

[sunting | sunting sumber]

Hukum konsumsi

[sunting | sunting sumber]

Buah-buahan termasuk jenis makanan yang boleh dimakan oleh manusia jika kondisinya suci dan tidak menimbulkan bahaya bagi pemakannya. Status hukumnya dalam Islam adalah halal jika tidak ada dalil sahih yang mengharamkannya. Jika status hukumnya meragukan, buah-buahan tetap dikategorikan sebagai halal, karena hukum asal dari makanan adalah halal hingga ada dalil yang mengharamkannya.[9]

Sunnah untuk memakan buah-buahan bersama dengan hidangan lain adalah memakan buah terlebih dahulu.[10] Seseorang yang dihidangkan buah-buahan dapat memilih buah yang disukainya saja. Ini didasarkan pada Surah Al-Waqi'ah ayat 20. Anjuran memakan buah adalah memakannya dalam jumlah ganjil atau memakannya tiga-tiga. Buah yang berbiji atau berkulit tidak dibuang sisanya ke tempat buah ditaruh. Ini merupakan bagian dari sunnah memakan buah.[11]

Kebolehan memakan buah-buahan juga berlaku pada buah-buahan hasil persembahan agama lain. Syaratnya adalah buah-buahan tersebut tidak tercampur dengan sembelihan yang haram. Syarat lainnya adalah buah-buahan tersebut harus dicuci bersih terlebih dahulu.[12]

Hukum perdagangan

[sunting | sunting sumber]

Praktik penjualan buah-buahan yang dilarang adalah menjual buah yang belum layak dipanen. Sebutan untuk praktik ini adalah ijon. Dalilnya adalah Surah An-Nisa' ayat 29, hadis riwayat Imam Muslim nomor 1513 dan 1555, dan hadis riwayat Imam Bukhari nomor 2198. Larangan ini berkaitan dengan risiko timbulnya perbedaan harga jika hasil panen tidak sesuai dengan harapan pembelinya.[13] Praktik ini dianggap riba sehingga tidak dibenarkan pelaksanaannya dalam jual-beli meskipun menjadi kebiasaan di masyarakat.[14] Mayoritas ulama juga menetapkan ketidaksahan hukum terhadap jual beli untuk buah-buahan yang masih berbentuk bunga. Pendapat ini didasarkan karena adanya pertentangan di antara manusia pada kondisi jual-beli demikian.[15]

Pemanfaatan

[sunting | sunting sumber]

Faedah dasar dari penciptaan buah-buahan bersama dengan tumbuh-tumbuhan dan pepohonan adalah sebagai makanan bagi manusia, hewan dan keterjagaan lingkungan.[16] Banyak ayat di dalam Al-Qur'an yang membahas tentang buah-buahan. Uraiannya mengarahkan umat Muslim untuk mengadakan perkebunan dalam berbagai bentuk. Ayat yang menyatakan ini antara lain Surah Al-An'am ayat 141 dan Surah An-Nahl ayat 11.[17]

Dalam Surah An-Nahl ayat 97, Allah menunjukkan kebolehan mengolah buah-buahan sebagai bahan tambahan makanan, menjadi produk lain. [18]Ayat ini menyatakan bahwa buah kurma dan anggur dapat diubah manusia menjadi minuman yang memabukkan atau rezeki yang baik.[19] Gula yang terkandung di dalam buah-buahan dapat diolah menjadi alkohol yang memabukkan hanya dengan menambahkan ragi. Di sisi lain, pengawetan dan pengolahan buah-buahan dapat menghasilkan jus yang segar dan tahan lama. Buah-buahan seperti jeruk, mangga dan jambu juga telah menjadi komoditas perdagangan dalam berbagai skala industri. Beberapa jenis jus buah juga dijadikan sebagai obat, misalnya pada buah apel, kurma dan jambu biji.[18]

Setiap jenis buah-buahan hanya dapat ada pada musim-musim tertentu.[20] Hasil panen berupa buah-buahan ditetapkan kewajiban zakat atasnya.[21] Ini diperintahkan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman. Perintah ini dalam Surah Al-Baqarah ayat 267 tentang penafkahan hasil usaha yang baik dan hasil Bumi. Perintah ini juga disebutkan di dalam Surah Al-An'am ayat 141 dengan masa zakatnya dimulai sejak hari memanen. Zakat ini diberikan sebagai sedekah bagi fakir miskin. Perhitungan zakat baru diwajibkan atas buah-buahan jika jumlahnya sebanyak 5 ausuqa dalam keadaan bersih dan hanya tersisa buahnya saja. Sementara dengan kulitnya, maka perhitungan zakat baru dapat dilakukan setelah hasil panen sebanyak 10 ausuqa. Ketentuan ini berdarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.[22]

Pada masa Nabi Muhammad, pemerintah pusat di Madinah memiliki hak untuk menerima kelebihan zakat atas hasil panen buah-buahan yang dalam keadaan surplus.[23] Kelebihan ini hanya dapat diambil oleh pemerintah ketika seluruh hak penerima zakat telah terpenuhi. Penentuan besarnya zakat yang dibayarkan atas hasil buah-buahan beradasarkan kepada kuantitasnya.[24]  Kewajiban zakat atas buah-buahan hanya berlaku pada pemilik buah-buahan ketika masa zakat dimulai dan syarat nisab terpenuhi.[25] Selain itu, syarat lainnya adalah pemilik merupakan seorang muslim dan dalam keadaan merdeka.[26]

Kepemilikan buah-buahan juga wajib dalam keadaan sepenuhnya.[27] Namun, persyaratan kepemilikannya tidak diwajibkan harus selama satu tahun.[28]

Ada dua pendapat di kalangan para fukaha mengenai pemberlakuan kewajiban zakat atas buah-buahan. Pendapat pertama menyatakan bahwa zakat wajib diberlakukan atas semua hasil panen yang keluar dari tanah. Sementara pendapat kedua menyatakan bahwa zakat hanya berlaku bagi buah-buahan yang tumbuh dari tanah dan dapat disimpan.[29] Kewajiban zakat tidak berlaku bagi hasil panen buah-buahan yang sifatnya tidak tahan lama bila disimpan. Kewajiban ini juga gugur jika jenis buah-buahan yang dipanen tidak dijadikan sebagai bahan makanan pokok. Beberapa jenis buah ini seperti melon, semangka, kentang, wortel, kacang tanah dan badam.[30]

Pengisahan

[sunting | sunting sumber]

Negeri Saba

[sunting | sunting sumber]

Jumlah pepohonan buah-buahan di negeri Saba' menjadi bukti kemakmuran negeri ini yang dikisahkan di dalam Al-Qur'an. Pengumpuluan buah tidak dipetik. Buah-buahan akan berjatuhan dengan sendirinya sehingga keranjang hanya diletakkan di atas kepala hingga isinya penuh. Namun, negeri Saba' menerima kemurkaan dari Allah karena mengadakan kemusyrikan. Negerinya diubah oleh Allah menjadi negeri yang gersang. Pepohonan buah-buahannya diganti dengan pepohonan sidr yang rasa buahnya pahit, dan pohon cemara. Kisah ini disebutkan dalam Surah Saba' ayat 16.[31]     

Maryam memilik karamah yang diberikan oleh Allah kepadanya. Ketika masih tinggal di loteng kamar Masjid Baitul Muqaddas, Siti Maryam selalu memperoleh hidangan berupa buah-buahan. Buah-buahan ini disediakan oleh Allah dan disaksikan oleh Nabi Zakaria sebagai pengasuhnya. Buah-buahan yang berbuah di musim kemarau tersedia di kamarnya pada musim hujan. Sementara buah-buahan yang berbuah di musim hujan tersedi di kamarnya pada musim kemarau.[32]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Dahwadin dan Nugraha, F. S. (Oktober 2019). Motivasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Wonosobo: CV. Penerbit Mangku Bumi Media. hlm. 159. ISBN 978-623-90137-3-8. 
  2. ^ Asiyah, dkk. (Juli 2019). Sirajuddin dan Alek S., O., ed. Ilmu Alamiah Dasar dalam Persfektif Islam Sebagai Buku Rujukan di Perguruan Tinggi (PDF). Bengkulu: Penerbit Vanda. Bab V Makhluk Hidup dan Ekosistem Alam, Bagian A Pendahuluan, Lembaran kedua. ISBN 978-602-6784-89-6. 
  3. ^ Murtiningsih (2022). Keperawatan Spiritual Islam. Sleman: Penerbit Deepublish. hlm. 68. ISBN 978-623-02-4356-1. 
  4. ^ Daud, Ilyas (Desember 2018). "Surga di dalam Hadis: Menemukan Pesan Moral Dibalik Keindahan Surga" (PDF). Farabi: Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang FIlsafat dan Dakwah. 18 (2): 2. 
  5. ^ a b Ubaidillah (Desember 2017). "Narasi Jannah dalam Al-Qur'an Perspektif Linguistik  Behaviorisme". Arabiyat: Jurnal Pendidikan Bahasa Arab dan Kebahasaaraban. 4 (2): 205. ISSN 2356-153X. 
  6. ^ Wijaya, Aksin (September 2019). Hasan, Abdul Wahid, ed. Kontestasi Merebut Kebenaran Islam di Indonesia. IRCiSoD. hlm. 184. ISBN 978-623-7378-01-3. 
  7. ^ Al Kaheel, Abdel Daem (Desember 2012). Rahasia Pengobatan dalam Islam. Jakarta: Amzah. hlm. 46. ISBN 978-602-8689-78-6. 
  8. ^ Jannah, M., Gunawan, A., dan Mugnisjyah, W. Q. (November 2019). Taman Islami: Kajian Berdasarkan Alquran dan Hadis. Bogor: PT Penerbit IPB Press. hlm. 83. ISBN 978-623-256-041-3. 
  9. ^ Thawilah, Abdul Wahab Abdussalam (Juni 2012). Fikih Kuliner. Diterjemahkan oleh Fath, K., dan Solihin. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 16–17. ISBN 978-979-592-587-3. 
  10. ^ Hehamahua, Abdullah (2016). Daspoang, S. E., Mulawarman, A. D., dan Azwar, ed. Membedah Keberagaman Umat Islam Indonesia: Menuju Masyarakat Madani. Jakarta Selatan: Yayasan Rumah Peneleh. hlm. 1066. ISBN 978-602-53214-0-5. 
  11. ^ Muhammad, Fauzi (1997). Hidangan Islam: Ulasan Komprehensif Berdasarkan Syariat dan Sains Modern. Jakarta: Gema Insani. hlm. 37. ISBN 979-561-447-9. 
  12. ^ Ali, Bagenda (2021). 50 Masalah Agama bagi Muslim Bali. Sleman: Penerbit Deepublish. hlm. 80. ISBN 978-623-02-3137-7. 
  13. ^ Syafiruddin, F., dan Sakti, A. (2020). Praktik Ekonomi dan Keuangan Syariah oleh Kerajaan Islam di Indonesia. Depok: Rajawali Pers. hlm. 385. ISBN 978-623-231-561-7. 
  14. ^ Burhanuddin TR. (Juli 2016). Islam Agamaku: Buku Teks Pendidikan Agama Islam (PDF). Subang: Royyan Press. hlm. 65. ISBN 978-602-8841-53-5. 
  15. ^ Ja’far, A. Khumedi (September 2019). Hukum Perdata Islam di Indonesia: Aspek Hukum Keluarga dan Bisnis (PDF). Surabaya: Gemilang Publisher. hlm. 109. ISBN 978-602-1067-73-4. 
  16. ^ As-Sirjani, Raghib (2009). Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 695. ISBN 978-979-592-555-2. 
  17. ^ Rahman, Afzalur (Oktober 2007). Ensiklopedia Ilmu dalam Al-Qur'an: Rujukan Terlengkap Isyarat-Isyarat Ilmiah dalam Al-Qur'an. Bandung: Penerbit Mizania. hlm. 237. 
  18. ^ a b Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (September 2013). Makanan dan Minuman dalam Perspektif Al-Qur'an dan Sains (PDF). Jakarta Timur: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. hlm. 83. ISBN 978-602-9306-38-5. 
  19. ^ Yanggo, Huzaemah Tahido (Desember 2013). "Makanan dan Minuman dalam Perspektif Hukum Islam" (PDF). Tahkim. IX (2): 16. 
  20. ^ Hawwa, Said (2017). Al-Islam. Diterjemahkan oleh al-Kattani, A. H., Muna, A. C., dan Mapiase, S. Depok: Gema Insani. hlm. 146. ISBN 978-602-250-472-6. 
  21. ^ Buku Saku Menghitung Zakat Sendiri (PDF). Direktorat Pemberdayaan Zakat. 2011. hlm. 13. 
  22. ^ Mu’adz, dkk. (2016). Santosa, Nyong Eka Teguh Iman, ed. Islam dan Ilmu Pengetahuan: Buku Ajar Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) 4 (PDF). Sidoarjo: Umsida Press. hlm. 66–67. ISBN 978-979-3401-40-9. 
  23. ^ Saprida, Barkah, Q., dan Umari, Z. F. (April 2021). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana. hlm. 22. ISBN 978-623-218-851-8. 
  24. ^ Hasibuan, S. W., dkk. (Desember 2021). Triyawan, Andi, ed. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Bandung: Media Sains Indonesia. hlm. 12. ISBN 978-623-362227-1. 
  25. ^ Al-Fauzan, Saleh bin. Ringkasan Fiqih Islam: Ibadah dan Muamalah. Diterjemahkan oleh Tim El-Madani. Anak Hebat Indonesia. hlm. 401. 
  26. ^ Hidayatullah, Moch. Syarif (2017). Lesmana, Trian, ed. Tuntunan Lengkap Rukun Islam dan Doa: Kunci Beribadah secara Kafah. Jakarta: Pustaka Oasis. hlm. 107. ISBN 978-602-375-976-7. 
  27. ^ Yusuf, Mohammad Asror (Oktober 2004). Kaya karena Allah: Sikap dan Pandangan Islam terhadap Dunia Materi. Depok: Penerbit PT Kawan Pustaka. hlm. 41. ISBN 979-3034-94-7. 
  28. ^ Yasin, Ahmad Hadi (1432 H). Aldizar, Addys, ed. Panduan Zakat Praktis (PDF). hlm. 18. 
  29. ^ Az-Zuhaili, Wahbah (2007). Fiqih Islam wa Adillatuhu Jilid 3. Depok: Gema Insani. hlm. 233. ISBN 978-602-250-883-0. 
  30. ^ Bahammam, Fahad Salim. Zakat. Modern Guide. hlm. 24–25. 
  31. ^ Suryanegara, Ahmad Mansur (Oktober 2014). Kurniawati, Nia, ed. Api Sejarah 1: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bandung: Penerbit Suryadinasti. hlm. 231. ISBN 978-602-71237-0-0. 
  32. ^ Afif, A., dan Antoro, M. (2015). Kumpulan Tanya Jawab Keagamaan. Pustaka Ilmu Suni Salafiyah - KTB. hlm. 763.