Budaya Timor

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Budaya Timor adalah adat-istiadat, kepercayaan, seni, dan kebiasaan yang dijalankan oleh suku-suku penghuni Pulau Timor dan pulau-pulau kecil yang berdekatan di sekitarnya. Lingkup kebudayaan ini mencakup Timor Barat maupun Timor Leste. Suku-suku yang termasuk kedalam rumpun Timor adalah Helong, Atoni, Belu, Boti, Kemak, Mollo, Samoro, dan Bunak.[1]

Kepercayaan dan agama[sunting | sunting sumber]

Sebelum berkembangnya agama Kristen di Pulau Timor, masyarakat Pulau Timor menyembah dewa dan mempercayai keberadaan makhluk halus. Dewa tertinggi bernama Uis Neno (tuan langit). Dewa ini disembah sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta. Selain itu, terdapat pula dewi bumi bernama Uis Afu. Ia adalah dewi kesuburan bagi tanah pertanian. Masyarakat Timor juga mempercayai bahwa benda-benda alam dapat dihuni oleh makhluk halus. Oleh karenanya, mereka memiliki benda-benda keramat ang disebut dengan nono. Oleh karenanya, masyarakat Timor menyiapkan sesajen dan mengadakan upacara yang dipimpin dukun yang disebut tobe. Para dukun ini dipercaya mampu mengusir makhluk halus atau sihir dari dukun lainnya.[2]

Setelah Kristen berkembang dan menjadi agama dari sebagian besar masyarakat Timor, kepercayaan terhadap dewa dan makhluk halus ditinggalkan. Setiap kegiatan adat kemudian dikaitkan dengan upacara dalam kekristenan.[2] Namun, nama Uis Neno tetap dipakai sebagai penerjemahan dari kata Tuhan dalam Alkitab. Gereja Protestan menyelenggarakan perkawinan resmi dihadapan pendeta dan pegawai catatan sipil untuk masyarakat; namun tetap mengakui perkawinan yang dilangsungkan secara adat.[2]

Kekerabatan[sunting | sunting sumber]

Sebagian besar masyarakat Timor menerapkan sistem kekerabatan patrilineal. Hanya di wilayah Belu bagian utara yakni Fialaran dan Lamaknen (semuanya berawal dari Leluhur Pertama Perempuan di Puncak Gunung Lakaan bernama Dasi Laka Lorok Kmesak) dan selatan, lalu Bobonaro, juga Wehali dan Suai yang menggunakan sistem kekerabatan matrilineal. Loro atau Lorok adalah Gelar Bangsawan Tertinggi tradisional di Pulau Timor sebelum penjajahan Belanda dan Portugis yang kadang turut memecah belah kesatuan Orang Timor. Masyarakat Timor menjadikan mas kawin sebagai penentu tingkat kekerabatan antara marga suami dan margag isteri serta anak-anaknya. Tiap marga juga memiliki kelas sosial dalam bentuk hak-hak dan kewajiban-kewajiban tiap anggota marganya. Orang Timor menjadi anggota suatu marga tertentu yang patrilineal. Seorang anak wajib mengikuti marga ayahnya secara adat setelah mas kawin ibunya dilunasi oleh ayahnya. Selain itu, istri tersebut juga menjadi anggota dari marga suaminya. Jika suaminya meninggal, maka ia harus kawin secara yibbum untuk mendapatkan kembali nama marga suaminya. Hanya anak laki-laki yang menerima hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam suatu marga sebagai penerus nama keluarga. Jika dalam keluarga hanya ada anak perempuan, maka hak-hak dan kewajiban dibebankan kepada kerabat dekat ayahnya. Dalam masyarakat Timor, hak-hak dan kewajiban-kewajiban berhubungan dengan pembagian warisan dan pelaksanaan upacara-upacara keagamaan.[3]

Persalinan[sunting | sunting sumber]

Dalam budaya Timor, kelangsungan hidup merupakan hal yang sangat penting. Ini ditandai dengan proses persalinan yang melibatkan kehadiran semua anggota keluarga.[4] Masyarakat Timor masih mempertahankan budaya persalinan tradisional dengan posisi duduk untuk melahirkan. Pada posisi ini, oksigenasi lebih baik dibandingkan dengan posisi telentang. Selama proses persalinan, orang tua dan ibu mertua dari ibu hamil akan mendampinginya. Setelah persalinan selesai, dilakukan pengurutan perut dan punggung dengan minyak kelapa kepada ibu yang baru saja melahirkan.[5]

Mata pencaharian[sunting | sunting sumber]

Sebagian besar penduduk Timor bercocok tanam di ladang. Jenis tanaman yang dibudidayakan yaitu jagung, padi, ubi kayu, keladi, labu, sayur-sayuran, kacang hijau, kedelai, bawang, tembakau, kopi, dan jeruk. Tanah yang digarap adalah hutan atau bekas hutan yang pohon-pohon telah ditebang dan semak-semaknya telah dibakar. Setelh itu, tanah dicangkul dan dibajak. Para petani bebas memilih tempat untuk bercocok tanam. Satu bidang tanah dapat ditanami selama dua hingga lima tahun. Penggarapan tanah dilakukan oleh satu keluarga atau beberapa keluarga yang masih memiliki hubungan kekerabatan yang dekat.[6] Laki-laki bertugas membersihkan dan membakar hutan, membajak tanah, memagari batas lahan dan menyiangi tanaman. Pekerjaan menanam benih dan memanen hasil adang dilakukan oleh perempuan. Sebagian kecil wilayah melakukan pekerjaan bercocok tanam secara perseorangan atau hasil kerja sama antar anggota dalam satu keluarga saja.[7]

Selain bercocok tanam, masyarakat Timor juga beternak sapi, kerbau, kuda, kambing. dan unggas. Kepemilikan ternak menjadi kepemilikan bersama antar anggota dalam sebuah rumah tangga. Ternak diwariskan kepada anak laki-laki yang sudah dewasa apabila ayahnya meninggal. Jika dalam keluarga hanya terdapat anak perempuan, maka ternak diwariskan kepada saudara laki-laki ayahnya atau anak laki-laki saudara perempuan ayahnya. Masyarakat yang berada di wilayah pesisir bekerja sebagai nelayan. Mereka menangkap ikan-ikan kecil, kerang, dan teripang. Selain hasil alam, masyarakat Timor juga membuat kerajinan tangan tenun ikat dan anyaman keranjang. Mereka juga membuat ukiran pada tiang-tiang rumah, kulit kerbau, tanduk kerbau, tempurung kelapa, dan bambu. Kerajinan berbahan perak dibuat oleh orang Roti yang berasal dari Ndau. Mereka membuat kalung, getang, giwang, piring, dan perhiasan. Kegiatan perdagangan dilakukan seminggu sekali di pasar yang ada di tiap desa. Hewan ternak dan hasil hutan dijual melalui pelabuhan Kupang.[7]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Kristi, Navita (2012). Fakta Menakjubkan Tentang Indonesia; Wisata Sejarah, Budaya, dan Alam di 33 Provinsi: Bagian 3. Cikal Aksara. hlm. 72. ISBN 602-8526-67-3. 
  2. ^ a b c Koentjaraningrat (2004). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. ISBN 979-428-510-2. 
  3. ^ Windiyarti 2006, hlm. 37.
  4. ^ Kencanawati 2018, hlm. 146.
  5. ^ Kencanawati 2018, hlm. 148.
  6. ^ Windiyarti 2006, hlm. 39.
  7. ^ a b Windiyarti 2006, hlm. 40.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]