Demokrasi di Italia
Demokrasi di Italia adalah sebuah proses perubahan tatanan dan sistem nilai-nilai sosial dan politik di Italia, dari periode non-demokratis menuju periode negara yang demokratis.[1]
Pra-Demokrasi
[sunting | sunting sumber]Abad Pertengahan
[sunting | sunting sumber]Italia pada Abad Pertengahan – khususnya setelah kejatuhan Imperium Romawi, negara ini terdiri dari berbagai kerajaan-kerajaan kecil yang sering kali berkonflik – lihat tulisan Niccolo Machiavelli – setiap kerajaan itu bahkan pernah bergabung dengan kerajaan di luar Bangsa Italia, hal ini menimbulkan krisis identitas politik di Italia yang menjadi tantangan bagi stabilitas politik di wilayah bekas Kekaisaran Romawi itu.[1]
Saat Italia masih terpecah-pecah ke beberapa negara-kota yang kecil, lahir banyak filsuf politik yang terkadang juga merangkap sebagai seorang seniman dari negara yang masuk ke dalam bagian Eropa Barat itu. Beberapa filsuf Italia yang tersohor antara lain, seperti Dante (1265-1321) dan tentu saja Niccolo Machiavelli yang permikirannya banyak tersohor pada masa Renaissance (dalam Bahasa Indonesia berarti “Pencerahan”) dan memiliki dampak yang sangat penting bagi politik nasional Italia dan bahkan seluruh dunia. Baik Dante maupun Machiavelli terus mengusulkan tentang kesatuan nasional diantara negara-kota yang ada di Italia waktu itu dengan mengkonsepsikan identitas nasional rakyat Italia, namun tetap tak berhasil.
Pada akhir Abad Kelima Belas, beberapa penguasa Eropa kembali menyerang Italia; khususnya wilayah Lombardy – sebuah wilayah di Utara Italia, dekat Kota Milan – menjadi front pertempuran antar pemimpin militer sesama Orang Italia ataupun dengan Bangsa Eropa lainnya. Di Italia Selatan (terbentang dari Ibu kota Roma, sampai Pulau Sisilia) sendiri dikuasai bukan oleh Orang Italia, namun oleh Dinasti Bourbon dari Spanyol. Wilayah Italia Selatan itupun terbagi dua kerajaan, Pusat Italia, Roma dipimpin oleh Gereja Katholik dibawah kepemimpinan Paus (atau yang disebut sebagai Negara Paus dan wilayah Sisilia dengan ibu kotanya, Napoli atau Naples masuk kedalam kekuasaan Kerajaan Spanyol. Sementara, Italia Utara, wilayah Lombardy dan Kota Venesia dipimpin langsung oleh Dinasti Habsburg yang berpusat di Austria, sementara Parma, Modena, dan Toscana disebut sebagai “duchess” yang pemimpinnya adalah para pangeran Austria.[1]
Saat Bangsa Italia sendiri tidak berkuasa di sebagian besar tanahnya sendiri, hanya satu wilayah yang benar-benar dikuasai oleh Orang Italia, yaitu Dinasti Savoy yang wilayahnya mencakup Genoa, Piedmont, dan Pulau Sardinia, itupun hanya sebatas otonomi. Dinasti Savoia dipimpin oleh Wangsa Savoia dibawah perintah Raja Victor Emmanuel II yang dibantu perdana menteri Camillo Cavour dan panglima militernya, Giuseppe Garibaldi, pada masa inilah Periode Risorgimento dimulai. Di bawah kepemimpinan Raja Victor Emmanuel II, Dinasti Savoia berusaha menggabungkan Italia Tengah dan Italia Selatan pada 1861, sementara Italia Utara memiliki pemimpin Risorgimento yang lain, yaitu Massimo d’Azeglio.[1]
Penyatuan entitas politik di Italia baru terjadi pada Abad Kesembilan Belas, melalui proses yang disebut sebagai Risorgimento (dalam Bahasa Indonesia, berarti “Kelahiran Kembali”) Bangsa Italia, kemudian mencapai puncaknya dalam bidang politik dan militer setelah penghapusan kontrol Paus di Vatikan atas Ibu kota Roma pada 1871.[1][2]
Perang Dunia
[sunting | sunting sumber]Setelah Italia bersatu sebagai sebuah negara melalui proses Risorgimento, House of Savoy dan Raja Victor Emmanuel II menjadi pemimpin Kerajaan Italia yang bersatu. Pada awal Abad Kedua Puluh, muncul dua kekuatan dalam politik global, yaitu Blok Sentral yang merupakan negara-negara yang berbentuk monarki absolut, seperti Kekaisaran Jerman, Austria-Hungaria, dan Ottoman Turki tergabung dalam pihak ini, lalu di sisi lainnnya adalah Blok Sekutu yang terdiri dari negara-negara monarki konstitusional dan juga republik, seperti Britania Raya dan Prancis – namun uniknya Kekaisaran Rusia yang monarki absolute ikut bersama Blok Sekutu dan mendirikan Tiga Entente.
Pada awal pembentukan blok-blok kekuatan menjelang Perang Dunia I, Kerajaan Italia bergabung dengan kekuatan Blok Sentral, namun kemudian mengkhianatinya dan bergabung dengan Blok Sekutu yang digagas pihak Tiga Entente. Belakangan, perpindahan kubu ini dikarenakan, Kerajaan Italia mulai mengadopsi nilai-nilai republik, namun masih pada tingkat yang awal dan rentan. Meskipun Kerajaan Italia menjadi salah satu negara pemenang Perang Dunia I, tetapi karena terlibat dalam perang itu, mereka justru banyak kehilangan dan kerugian, hal ini menimbulkan rasa frustasi dan kecewa dari kalangan kelas menengah bawah di Italia yang justru hidup semakin menderita, karena kemiskinan.
Di dalam situasi yang penuh kemarahan itu, muncul seorang tokoh, mantan komunis, yang belok kanan penuh menjadi sangat kanan jauh, ialah Benito Mussolini dan Partai Fasis Italia atau yang memiliki nama resmi Partai Fasis Nasional (PFN). Mussolini dan PFN kemudian menghancurkan lembaga-lambaga politik republik, kemudian Mussolini naik sebagai perdana menteri mengukuhkan kembali Kerajaan Italia, namun uniknya, kekuasaan Mussolini lebih besar dari Raja Victor Emmanuel sendiri.[3]
Sejak saat itu, rezim fasis di Italia mulai terbentuk, dalam kurun waktu 1922 dan 1943. Saat fasisme menemukan popularitasnya, Mussolini bersama dua pemimpin fasis lainnya, yaitu Adolf Hitler dari Jerman dan Hideki Tojo (mewakili Kaisar Hirohito dari Kekaisaran Jepang) kemudian mendirikan Blok Poros yang tertuang dalam sebuah perjanjian yang bernama Pakta Tripartit yang kemudian terlibat dalam Perang Dunia II menghadapi Blok Sekutu yang terdiri dari negara-negara demokratis, baik liberalis (Amerika Serikat, Inggris, Prancis) maupun komunis (Uni Soviet).[4]
Pada 1943, Mussolini secara penuh mendeklarasikan sebuah republik, yaitu Republik Sosial Italia pasca dirinya ditangkap dibebaskan oleh Fallschirmjager dari sebuah penyanderaan. Republik Sosial Italia sendiri tidak berlangsung lama, mereka hanya berdiri pada sisa-sisa kekuatan Jerman yang menduduki wilayah Italia Utara menjelang akhir perang, setelah satu tahun, republik itu hancur, disusul kemudian dengan kekalahan Blok Poros dalam Perang Dunia II.[5]
Demokrasi
[sunting | sunting sumber]Pasca Fasisme
[sunting | sunting sumber]Ketika Perang Dunia II berakhir dengan kekalahan Blok Poros – Jerman Nazi, Republik Sosial Italia, dan Kekaisaran Jepang – praktis, fasisme menjadi salah satu ideologi paling dibenci di seluruh dunia, dan itupun berlaku juga di Italia. Pada 1946, kekalahan Italia dalam Perang Dunia II mendorong runtuhnya sistem Kerajaan Italia, pada waktu itu diadakan sebuah referendum nasional yang dipimpin oleh kelompok-kelompok sayap kiri yang mengambil alih kekuasaan setelah membunuh Benito Mussolini.[4]
Kelompok kiri mendorong runtuhnya sistem Kerajaan Italia karena mereka menganggap bahwa Kerajaan Italia telah tercemar oleh fasisme. Kelompok kiri juga menekankan pada pembentukan sistem politik yang demokratis di Italia yang baru. Hasil daripada referendum nasional pada 1946 itu memang menghasilkan keinginan rakyat Italia untuk meninggalkan sistem monarki, namun uniknya suara yang kalah atau yang memilih ingin tetap mempertahankan eksistensi Kerajaan Italia juga tidak kalah banyak, bahkan di Italia Selatan, pendukung Kerajaan Italia memenangkan referendum, meskipun secara kalkulasi nasional, mereka kalah.[4]
Perbedaan ideologi antara Italia Utara dan Italia Selatan di sebabkan oleh banyak faktor-faktor, misalkan secara historis, Italia Selatan memang perintis Kerajaan Italia, Ibu kota Roma yang didalamnya ada Vatikan juga mendukung solidnya pendukung kerajaan di wilayah ini. Sementara, wilayah Italia Utara memang sejak lama sering berkontak dengan wilayah Eropa lainnya, belum lagi Kota Milan, Turin, dan Livorno adalah basis kekuatan sayap kiri yang anti-kerajaan, dan mereka pula yang membunuh dan menggantung Benito Mussolini di Milan pada akhir hayatnya.[4]
Referendum Kedua
[sunting | sunting sumber]Setelah referendum pertama pada 1946 yang meruntuhkan sistem Kerajaan Italia dan mendorong terbentuknya sebuah Republik Italia, kemudian pada 1974, Italia mengadakan sebuah referendum lagi mengenai undang-undang yang menjurus kepada proses de-Katholikisasi atau mengurangi atau bahkan menghilangkan pengaruh-pengaruh Gereja Katholik di Roma, khususnya dalam masalah perceraian sipil. Lagi-lagi, Italia Selatan adalah basis yang menolak, karena Roma secara geografis ada di Italia Selatan dan juga di selatan banyak penganut Katholik yang taat, sementara di Italia Utara terutama di Kota Milan dan Turin – tempat kelompok sayap kiri yang dominan – menyetujui dibentuknya undang-undang perceraian sipil. Namun, tetap secara nasional, pendukung undang-undang perceraian menang dengan 59% persen, sementara yang menolak 41%. Referendum ini juga berdampak pada pecahnya kekuatan politik Italia, yaitu antara agamais dengan atheis dan sekuler.[4]
Demokrasi dan Konflik
[sunting | sunting sumber]Pertempuran ideologi di Italia dalam jalan mereka menuju demokrasi adalah sebuah tantangan, bukan hanya ideologinya saja yang bertentangan, tetapi juga ada kebudayaan, keagamaan, bahkan kesetiaan politik yang diwakili oleh setiap kelompok masyarakat di Italia. Namun, meskipun konflik terus berjalan diantara partai-partai politik, baik itu tengah, kanan-tengah, atau kiri-tengah semuanya ditentukan oleh hasil akhir dari pemilihan yang dilakukan oleh rakyat Italia sendiri, jadi demokrasi di Italia pada dasarnya telah mulai solid, meski konsekuensi langsungnya adalah konflik di antara elit politik.[6][7]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e Carlton Clymer Rodee, dkk, Pengantar Ilmu Politik, terjemahan dari judul asli Introduction to Political Science, (Jakarta: Rajawali Press, 2008) hal. 397
- ^ "Risorgimento". www.ohio.edu. Diakses tanggal 2017-11-20.
- ^ "The Rise of Benito Mussolini and Italian Fascism: Facts & Timeline - Video & Lesson Transcript | Study.com". study.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-20.
- ^ a b c d e Carlton Clymer Rodee, dkk, Pengantar Ilmu Politik, terjemahan dari judul asli Introduction to Political Science, (Jakarta: Rajawali Press, 2008) hal. 398
- ^ "The Italian Social Republic - a summary - History in an Hour". History in an Hour (dalam bahasa Inggris). 2013-09-23. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-09-23. Diakses tanggal 2017-11-20.
- ^ Carlton Clymer Rodee, dkk, Pengantar Ilmu Politik, terjemahan dari judul asli Introduction to Political Science, (Jakarta: Rajawali Press, 2008) hal. 398 - 399
- ^ "The Civic Culture | work by Almond and Verba". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-20.