Lompat ke isi

Emosi dalam pengambilan keputusan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Emosi dalam Pengambilan Keputusan
Emosi dalam Pengambilan Keputusan

Setiap harinya, manusia membuat banyak keputusan. Kadangkala, beberapa keputusan sangat mudah untuk diputuskan, tetapi banyak pula yang begitu kompleks.[1] Pada proses pengambilan keputusan yang berkualitas sebetulnya tidak saja bersifat material, tetapi juga memiliki komponen kognitif dan emosi.[2] Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa emosi memiliki pengaruh besar pada berbagai proses kognitif. Misalnya, perhatian, persepsi, pengkodean memori (penyimpanan dan pengambilan informasi), dan pembelajaran asosiatif.[3]

Selaras dengan hal tersebut, Damasio dalam Goleman (2007) juga menyatakan bahwa emosi dapat menghambat atau membantu proses pengambilan keputusan. Di mana salah satu faktor yang dapat menentukannya adalah kompetensi pengambilan keputusan untuk mengidentifikasi dan mengendalikan emosi yang individu miliki.[4] Untuk itu, mempelajari emosi dalam pengambilan keputusan dapat dimulai dari mengetahui jenis emosi, relasi emosi dengan keputusan, regulasi emosi, hingga efek unik dari suatu emosi pada saat pengambilan keputusan.

Klasifikasi Emosi

[sunting | sunting sumber]

Emosi diklasifikasikan ke dalam empat kategori, antara lain[3]:

Emosi Ambien Atau Insidental

[sunting | sunting sumber]

Emosi ambien atau insidental adalah emosi yang tidak terkait langsung dengan sebuah keputusan. Emosi ini dapat dipicu oleh suatu situasi dan mempengaruhi keputusan yang dibuat dalam situasi berikutnya sekalipun jika situasi tersebut tidak terkait dengan situasi sebelumnya. Sehingga, efek emosi ini terjadi tanpa kesadaran. Contoh sederhana dari emosi insidental adalah suasana hati. Ketika pandemi COVID-19 merajalela misalnya. Kondisi ini mempengaruhi seluruh keputusan yang dibuat oleh individu meskipun individu tersebut tidak terifeksi atau bahkan terkait dengan COVID-19. Peristiwa pandemi ini akan mengangkat suasana hati individu, yang kemudian berdampak pada meningkatnya dorongan fisiologis akan pembelanjaan atau pembelian barang-barang tertentu.

Task-Integral Emotions

[sunting | sunting sumber]

Task-integral emotions muncul dari sifat keputusan itu sendiri dan secara mendalam membentuk proses pengambilan keputusan dari waktu ke waktu. Task-integral emotions dapat terjadi dengan atau tanpa kesadaran. Emosi ini melandasi bahwa hasil keputusan akan mempengaruhi pemrosesan adaptif ketika menghadapi keputusan serupa di masa mendatang. Masih dalam konteks COVID-19 misalnya. Trade-integral emotions dapat mempelopori keputusan yang melibatkan trade-off (pertukaran), seperti melandaikan kurva dan aturan jarak sosial sebagai upaya adaptasi bisnis lokal dan konsekuensi ekonomi.

Reaksi Afektif-Hasil Nyata

[sunting | sunting sumber]

Reaksi Afektif-Hasil Nyata adalah reaksi afektif yang terjadi dalam kaitannya dengan hasil nyata yang dialami. Pada dasarnya, reaksi ini akan mempengaruhi keputusan yang serupa. Katakanlah, jika respon afektif atau penilaian respon tersebut positif maka pemrosesan adaptif dalam situasi yang sama akan membawa individu ke arah keputusan otomatis dengan arah yang sama (positif), dan begitu pula sebaliknya. Contohnya adalah sebuah emosi yang timbul oleh layanan yang diterima sehubungan dengan keputusan untuk memperoleh layanan tersebut.

Reaksi Afektif-Harapan

[sunting | sunting sumber]

Reaksi Afektif-Harapan adalah reaksi afektif yang terjadi sehubungan dengan hasil yang diharapkan. Reaksi ini seringkali didasarkan pada emosi yang dialami sebelumnya selama situasi serupa, di mana emosi ini akan memiliki pengaruh yang amat kuat dalam strategi dan arah keputusan. Proses deteksi atau pengukuran emosi ini membutuhkan kapasitas yang sangat mendalam ketika merujuk pada evaluasi efektivitas komunikasinya. Contoh dari reaksi afektif-harapan adalah emosi yang dialami pada saat pembelian atau selama paparan pemasaran terkait harapan penggunaan atau konsumsi suatu produk.

Konstruksi Emosi dan Keputusan

[sunting | sunting sumber]

Emosi tercipta ketika otak menafsirkan apa yang terjadi di sekitar kita melalui ingatan, pikiran, dan keyakinan. Emosi memicu bagaimana kita merasa dan berperilaku. Dan karena itulah, semua keputusan yang diambil seseorang akan merujuk pada pengalaman emosionalnya. Sebagai contoh, jika seseorang merasa bahagia mungkin saja ia memutuskan untuk berjalan pulang melalui taman yang dipenuhi bunga. Namun, jika seseorang tersebut pernah dikejar oleh seekor anjing sewaktul kecil maka taman yang indah tersebut mungkin memicu perasaan takut. Dan alhasil membuat seseorang itu memutuskan untuk menaiki bus sebagai gantinya. Dalam konteks ini mungkin terdapat argumen logis yang dibuat dengan cara apa pun, tetapi pada peristiwa yang terjadi adalah keputusan itu didorong oleh keadaan emosional individu yang bersangkutan.[5]

Dimensi Pengambilan Keputusan

[sunting | sunting sumber]

Dua dimensi berbeda yang digunakan dalam pengambilan keputusan antara lain adalah Value Orientation (VO) dan Tolerance of Ambiguity (TfA). Value Orientation (VO) merupakan dimensi ketika individu lebih memfokuskan pada unsur teknis, tugas yang harus dikerjakan, pada orang-orang terkait atau bahkan lingkungan sosialnya saat mengambil sebuah keputusan. Sementara Tolerance of Ambiguity (TfA) sendiri adalah dimensi yang mengindikasikan sejauh mana kebutuhan yang dimiliki seseorang dapat mengatur dan mengontrol kehidupannya.[6]

Gaya Pengambilan Keputusan

[sunting | sunting sumber]

Tseng dan Hung (2014) menyebutkan bahwa gaya pengambilan keputusan mempengaruhi pendekatan seeorang dalam membuat sebuah keputusan. Gaya tersebut setidaknya merefleksikan kombinasi penerimaan dan elaborasi stimulus yang diperoleh untuk selanjutnya dipilihnya dalam rangka merespon informasi-informasi yang ada. Lebih jauh lagi, Kocet dan Herlihy (2014) berpendapat bahwa gaya pengambilan keputusan pada setiap individu ialah berbeda satu sama lain. Setiap individu bebas memiliki gaya pengambilan keputusan secara instruksional (directive), analitis, konseptual, dan bahkan berdasarkan tindak tanduk (behavioural). Di mana masing-masing gaya pengambilan keputusan memiliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri. Individu yang telah mengetahui gaya pengambilan keputusannya dapat memaksimalkan dan atau memperbaikinya melalui serangkaian kombinasi dengan gaya lainnya, sehingga sebuah keputusan yang hendak diambil dapat sesuai dengan apa yang diharapkan.[6]

Pembentukan Emosi

[sunting | sunting sumber]

Setiap perasaan dimulai dengan stimulus eksternal, baik itu sesuatu yang dikatakan seseorang ataupun peristiwa fisik. Stimulus tersebut kemudian menghasilkan emosi yang tidak dirasakan di otak. Di mana emosi tersebut yang menyebabkan tubuh memproduksi hormon yang responsif. Hormon-hormon ini memasuki aliran darah dan menciptakan perasaan yang terkadang negatif dan terkadang positif. Ahli saraf Amerika-Portugis bernama Dr. Antonio R. Damasio kemudian menjelaskan bahwa otak secara terus menerus akan memperbarui informasinya tentang keadaan tubuh guna mengatur banyak proses yang membuatnya tetap hidup. Aktivitas menerjemahkan emosi ke dalam perasaan yang bisa ditindaklanjuti inilah yang lantas mempengaruhi keputusan dan digunakan manusia untuk bertahan hidup.[7]

Lebih mudahnya, proses pembentukan emosi dan tindak lanjutnya dalam pengambilan keputusan dapat dijelaskan seperti berikut:

Katakanlah, individu merasa terancam oleh sesuatu. Emosi awal yang dirasakannya akan diberi label “takut’. Ketakutan muncul melalui hormon. Emosi takut ini lantas menghasilkan perasaan responsif melawan atau berlari, yang memungkinkan tubuh bereaksi dengan cepat dan tepat untuk tujuan pertahanan diri sendiri. Tanpa disadari, emosi takut tersebut secara signifikan meningkatkan kecerdasan emosional individu terkait dan pada akhirnya mempercepat proses pembuatan keputusan.

Roda Emosi

[sunting | sunting sumber]
Roda Emosi
Roda Emosi yang digagas oleh Paul Ekman. Terdiri dari lingkaran dalam yang memuat emosi dasar, sementara lingkaran luar memuat perasaan.

Pada abad ke-20, Paul Ekman mengidentifikasi emosi ke dalam enam basis dasar (marah, jijik, takut, bahagia, sedih, dan terkejut), sementara Robert Plutchik membaginya menjadi empat pasang kutub yang berlawanan (suka-sedih, marah-takut, percaya-ketidakpercayaan, antisipasi-kejutan). Kedua penggolongan ini meyakini bahwa setiap emosi dasar akan terkait dengan sirkuit neurologis yang berbeda dan berdedikas pada kemampuan bertahan hidup sejak manusia tempo dahulu. Karena tertanam, emosi dasar dipandang sebagai bawaan yang universal, otomatis, cepat, dan memicu perilaku dengan nilai kelangsungan hidup yang tinggi. Sehingga, dalam hal ini, emosi dasar bertindak sebagai blok bangunan, di mana emosi yang lebih kompleks menjadi campuran dari beberapa emosi dasar. Misalnya, penghinaan bisa menjadi campuran antara kemarahan dan rasa jijik.[8]

Guna memetakan emosi lebih dalam, Paul Ekman lantas memvisualisasikan emosi ke dalam bentuk “Roda Emosi” atau yang disebut dengan Paul Ekman’s Emotion Wheel. Roda emosi terdiri dari lingkaran dalam dan lingkaran luar. Lingkaran dalam memuat emosi dasar, sementara lingkaran luar memuat kompleksitas emosi atau perasaan. Cara interpretasinya dilakukan dengan misalnya melihat emosi dasar berupa “bahagia” yang terletak di lingkaran dalam mampu menghasilkan perasaan “gembira”, “kuat” atau bahkan “bangga” di luar lingkaran.[7]

Dengan kata lain, roda emosi mempertimbangkan bagaimana emosi tertentu (lingkaran dalam) akan diterjemahkan menjadi perasaan (lingkaran luar). Roda emosi memahami bahwa enam emosi hanya kategori luas dengan sedikit kekhususan, sedangkan perasaan lebih mirip dengan bagaimana individu sebenarnya dan secara spesifik menggambarkan apa yang terjadi di otak dan tubuh manusia. Sehingga, hanya ketika individu melihat hasil akhirnya, individu dapat secara efektif memanfaatkan pengetahuan tentang emosi dan perasaan dalam proses pengambilan keputusan. Ini berarti, jika individu mencoba memahami bahwa emosi tertentu, misalnya, jijik, akan menghasilkan perasaan "membenci" atau "menghakimi" atau "menjijikkan", maka individu dapat mengevaluasi masalah tersebut dengan lebih cermat dan mengambil tindakan yang lebih baik.[7]

Dengan menggunakan proses dalam roda emosi, individu dapat melihat bahwa ketika ia berpikir, maka ia sedang mengalami suatu perasaan dan benar-benar berurusan dengan suatu emosi. Di mana perasaan akan dianggap sebagai gejala emosi individu. Oleh karena itu, seperti menangani kebanyakan penyakit, individu perlu sampai ke akar penyebab (emosi) daripada gejala (perasaan) agar dapat mengambil keputusan yang bijak.[7]

Peran Emosi

[sunting | sunting sumber]

Secara mendetail, peran emosi dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Tahap pertama, ‘sepanjang proses pengambilan keputusan, emosi muncul dan berperan mempengaruhi tahap-tahap pengambilan keputusan’. Pada tahapan setelah memutuskan tetapi belum mengetahui hasilnya, emosi yang muncul adalah “harap dan takut” (hope and fear). Pada tahap ini, individu akan merasa bahwa ingin sekali mencari tahu bagaimana hasil keputusannya dan berharap yang terbaik. Pada tahap ini juga, tidak jarang individu justru ingin menghindar dari informasi karena memiliki perasaan takut akan hasil yang tidak memuaskan. Selanjutnya, pada tahap ketika keputusan telah diketahui hasilnya, emosi yang muncul untuk hasil yang tidak puas adalah penyesalan dan kekecewaan (regret and disappointment). Sementara, untuk hasil yang puas maka emosi yang muncul adalah girang hati, kebahagiaan, dan terkejut (elation, happiness, and surprise). Zeelenberg dan Pieters (2006) selanjutnya menjelaskan implikasinya melalui pendekatan ‘feeling is for doing’. Mereka mengemukakan bahwa emosi berperan sebagai motivasi. Misalnya saja, implikasi rasa takut atau berharap pada sebuah tindakan. Dalam konteks ini, seseorang yang dihinggapi rasa takut, ia akan termotivasi untuk berlari dan menjauh dari objek sumber rasa takut. Sebaliknya, pada orang yang berharap maka ia akan termotivasi untuk mendekati objek yang menjadi harapannya.[9]

Relasi Emosi dan Pengambilan Keputusan

[sunting | sunting sumber]

Damasio dalam Fenisia (2019) mengatakan bahwa emosi berperan penting dalam pengambilan keputusan, yakni membantu proses pengambilan keputusan ataupun menghambatnya. Dalam hal ini, pengambilan keputusan yang dilakukan secara emosional (arah emosi negatif) mampu mengurangi kualitas pengambilan keputusan tersebut. Sehingga, guna menentukan suatu emosi bersifat mendukung atau menghambat proses pengambilan keputusan maka diperlukan suatu kompetensi dalam hal pengambilan keputusan. Di mana kompetensi ini memiliki fungsi untuk mengidentifikasi dan mengendalikan emosi yang dimiliki individu terkait.[4]

Sementara itu, Pfister dan Bohm (2008) mengatakan bahwa fungsi yang dimainkan emosi dalam pengambilan keputusan tidaklah homogen. Mereka berpendapat bahwa terdapat setidaknya empat fungsi emosi dalam hal tersebut, yakni informasi, kecepatan, relevansi, dan komitmen. Pertama, dalam kondisi apapun sebuah keputusan membutuhkan informasi. Keputusan dibuat dengan tujuan untuk memberikan kondisi yang lebih baik. Untuk itulah, kehadiran informasi sangat bermanfaat dalam melakukan sebuah evaluasi. Kedua, pengambilan keputusan adalah sesuatu yang integral dengan aktivitas manusia, dan karenanya akan banyak hambatan atau rintangan. Salah satu rintangan pentingnya ialah menyangkut waktu atau tekanan waktu. Dalam hal ini, fungsi emosi adalah memberikan stimulus kecepatan agar pengambil keputusan dapat menghasilkan keputusan secara cepat di bawah tekanan waktu. Ketiga, pengambil keputusan biasanya menyeleksi aspek-aspek tertentu yang menjadi perhatiannya. Proses seleksi tersebut dikendalikan oleh sesuatu yang disebut dengan relevansi. Dalam konteks ini, emosi berfungsi mengarahkan pengambil keputusan untuk memperhatikan aspek-aspek yang relevan saja. Keempat, suatu hal yang melekat pada pengambil keputusan adalah mengharapkan bahwa keputusan itu cukup dibuat sekali untuk digunakan dalam jangka waktu yang relatif lama. Dalam hal ini, kebanyakan orang akan menunjukan komitmen, khususnya ketika individu tersebut berada dalam situasi pembuatan keputusan yang kompleks.[9]

Respon Terhadap Emosi

[sunting | sunting sumber]

Respon mendalam terhadap suatu situasi bisa menjadi mekanisme bertahan hidup. Emosi ketakutan yang dirasakan oleh manusia purba yang berhadapan langsung dengan hewan berbahaya faktanya memotivasi mereka untuk berlari sesegera mungkin. Mereka tidak akan selamat jika mereka berhenti untuk berpikir. Inilah yang disebut dengan pengambilan keputusan naluriah. Yang mana pengambilan keputusan naluriah sangat terkait dengan respon terhadap emosi. Keputusan tipe ini diambil melalui proses yang cepat, seringkali tidak berdasar, tetapi berfungsi untuk melindungi individu dari bahaya atau mencegah pengulangan kesalahan masa lalu.[5]

Respon terhadap emosi dalam pengambilan keputusan naluriah menyasar pada situasi genting. Misalnya, individu yang berada dalam situasi hidup atau mati, ia tidak akan ingin membuang waktu untuk membahas pro dan kontra. Hal ini juga berlaku pada ujung spektrum yang lain ketika individu dihadapkan pada pilihan mengenai sesuatu hal yang sama sekali tidak penting. Misalnya, tidak seorang pun perlu menghabiskan berjam-jam hanya untuk mempertimbangkan keuntungan relatif meminum teh daripada kopi.[5]

Lebih lanjut, keputusan yang dipimpin oleh emosi juga dapat lebih berbelas kasih terutama apabila keputusan tersebut menyangkut atau mempengaruhi orang lain. Contohnya saja, ketika seseorang bersedia mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk menyelamatkan orang lain. Dan atau ketika orang-orang memilih cara menyampaikan berita buruk kepada seorang teman. Sehingga, terkadang memperhatikan emosi dalam diri dapat menjadi latihan tingkat kesadaran diri yang tinggi.[5]

Regulasi Emosi

[sunting | sunting sumber]
Emosi negatif
Emosi negatif

Salah satu kebutuhan penting individu yang kerap menimbulkan ketegangan dalam mengambil suatu keputusan adalah kemampuan dalam mengelola emosi, atau disebut dengan regulasi emosi. Regulasi emosi dinyatakan sebagai suatu proses yang dilakukan individu dalam mempengaruhi emosi yang dimilikinya, kapan individu merasakannya, dan bagaimana individu mengalami, dan mengekspresikan emosi tersebut. Regulasi emosi menyangkut proses untuk mengenali, menghindari, menghambat, mempertahankan atau mengelola kemunculan, bentuk, intensitas maupun masa berlangsungnya perasaan internal, emosi psikologis, proses perhatian, status motivasional dan perilaku yang berhubungan dengan emosi dalam rangka memenuhi afek biologis atau mencapai suatu tujuan dalam memutuskan suatu masalah.[4]

Ketika individu sedang diliputi emosi yang negatif, biasanya ia tidak mampu berpikir dengan jernih, cenderung melakukan tindakan di luar kesadaran, dan sulit mengambil keputusan. Untuk itu, regulasi emosi berperan untuk menghindari emosi negatif sekaligus kesalahan manakala memutuskan sesuatu. Lebih lanjut, individu yang memiliki kemampuan regulasi emosi akan dapat mengendalikan dirinya apabila terpapar rasa kesal dan secara bersamaan mampu mengatasi perasaan cemas, sedih, atau marah. Sehingga, mampu mempercepat proses penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan individu tersebut. Sebaliknya, bila individu mengalami ketidakmampuan dalam meregulasi emosinya maka akan menyebabkan individu tersebut tidak dapat membuat evaluasi yang masuk akal (irasional), kurang kreatif dalam meregulasi emosi, dan juga mengalami kegagalan dalam pengambilan keputusan terbaik.[4]

Orientasi Pengambilan Keputusan

[sunting | sunting sumber]

Orientasi pengambilan keputusan meliputi beberapa tahapan, diantaranya[1]:

Identifikasi Persoalan

[sunting | sunting sumber]

Langkah pertama yang harus dilakukan dalam orientasi pengambilan keputusan adalah identifikasi persoalan. Proses pangambilan keputusan umumnya dimulai setelah permasalahan diidentifikasi. Kemudian, setelah masalah diidentifikasi, tujuan dapat diformulasikan. Tahapan identifikasi persoalan terkait dengan kemauan individu untuk belajar, kemampuan bertanggung jawab, dapat berkomunikasi dengan baik, dan menjalin hubungan sosial yang baik. Atau secara sederhananya, tahapan ini digunakan untuk memilah, menentukan apa, dan bagaimana masalah yang sebenarnya dihadapi. Pada tahapan identifikasi persoalan, emosi tidak terlalu mempengaruhi karena dominasinya berhubungan dengan faktor kecerdasan dan kontrol diri.

Menentukan Tujuan dan Analisis Masalah

[sunting | sunting sumber]

Tahap berikutnya setelah mengidentifikasi persoalan adalah menentukan tujuan dan analisis masalah. Penetapan tujuan dan sasaran serta analisis masalah secara memadai akan menentukan hasil yang akan dicapai. Dalam tahapan ini, individu menentukan target dan tujuan yang hendak dicapai serta menganalisis masalah yang sebenarnya terjadi berdasarkan informasi yang telah diperoleh dari proses identifikasi masalah. Sementara perihal faktor yang berpengaruh dalam tahapan penentuan tujuan dan analisis masalah ialah kestabilan emosi. Individu dengan kestabilan emosi yang tinggi sangat jarang mengalami kecemasan, emosinya tidak mudah meledak, dan cenderung bersifat penyabar. Di mana kriteria tersebut sangat diperlukan dalam proses penentuan tujuan dan analisis masalah. Kaena titik berat kestabilan emosi terletak pada konsentrasi dan kurangnya rasa khawatir maka individu dengan kecemasan atau ketidakstabilan emosi diproyeksikan dengan kesalahan manakala menentukan tujuan dan analisis masalah.

Pengembangan Alternatif Solusi

[sunting | sunting sumber]

Langkah selanjutnya adalah mengembangkan berbagai alternatif solusi. Sebelum mengambil keputusan perlu dikembangkan beberapa alternatif solusi yang dapat dilaksanakan dan perlu dipertimbangkan juga konsekuensi yang mungkin terjadi dari tiap-tiap alternatif tersebut. Tahapan pengembangan alternatif solusi sangat terkait dengan kematangan emosi yakni falsafah hidup yang terintegrasi. Ketika individu mempunyai falsafah hidupnya terintegrasi dangan baik, individu tersebut memiliki cara berpikir yang matang dan bersifat menyeluruh. Konteks menyeluruh maksudnya adalah memperhatikan fakta-fakta tertentu secara tersendiri dan menggabungkannya untuk melihat arti keseluruhan yang muncul. Dengan falsafah hidup yang terintegrasi, pengembangan alternatif solusi dibuat dengan berbagai pertimbangan, didasarkan pada penilaian yang objektif dan terlepas dari prasangka. Selain falsafah hidup yang terintegrasi, disiplin diri juga memainkan peran kunci dalam tahapan ini. Maksudnya, individu yang mampu mendisiplinkan dirinya, akan dapat mengontrol perilakunya. Sehingga, dapat menentukan sebuah solusi dengan mempertimbangkan konsekuensi, dan tidak membuang waktu hanya untuk memikirkan alternatif yang kurang bermanfaat.

Mengevaluasi Alternatif Yang Ada

[sunting | sunting sumber]

Pada tahapan ini, alternatif yang ada kemudian harus dievaluasi dan dibandingkan guna menentukan pilihan terbaik. Lebih lanjut, tahapan evaluasi alternatif yang ada dipengaruhi oleh rasa aman. Rasa aman akan menjadikan individu untuk pantang menyerah ketika menghadapi berbagai masalah, percaya diri, dan mampu menghargai dirinya sendiri. Karakter ini sangat dibutuhkan manakala mengevaluasi berbagai alternatif yang muncul. Sehingga, walaupun suatu saat evaluasi yang diambil individu saat itu ternyata kurang sesuai, individu tersebut tidak mudah putus asa dan tetap memiliki sikap percaya diri.

Memilih Alternatif Terbaik

[sunting | sunting sumber]

Setelah melakukan evaluasi alternatif, tahapan berikutnya adalah individu memilih alternatif yang terbaik. Tujuan memilih alternatif yang terbaik adalah memecahkan persoalan agar dapat mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditentukan. Pada tahapan ini, kestabilan emosi menjadi faktor yang mempengaruhinya. Emosi yang stabil pada individu akan memastikan dirinya jarang mengalami kecemasan dan kekhawatiran. Sehingga, bila diharuskan memilih sebuah alternatif, individu tersebut diharapkan mampu berkonsentrasi agar alternatif yang dipilihnya merupakan pilihan yang terbaik.

Melaksanakan Keputusan

[sunting | sunting sumber]

Langkah selanjutnya setelah alternatif yang terbaik dipilih adalah dengan melaksanakan keputusan. Dalam hal ini, pelaksanaan keputusan dilakukan secara efektif untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Pada tahapan ini faktor kunci yang mempengaruhinya adalah kecerdasan, yakni kecerdasan akademis dan lingkungan sosial. Dalam pelaksanaan keputusan, terkadang individu perlu berhubungan dengan orang lain. Oleh sebab itu, individu tersebut perlu memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan sosial. Di mana individu mampu bersikap kreatif dalam membaca situasi agar pelaksanaan keputusan yang diambil tidak merugikan orang lain, tetapi tetap dapat membawa hasil yang optimal. Dalam konteks ini, individu melihat kebutuhan individu lain dan memberikan potensi dirinya untuk dibagikan kepada individu lain yang membutuhkan. Sehingga, individu yang memiliki hubungan sosial yang baik akan memperhatikan pula kepentingan orang lain selain kepentingannya sendiri.

Evaluasi Keputusan

[sunting | sunting sumber]

Langkah terakhir yang harus dilakukan dalan pengambilan keputusan adalah mengevaluasi keputusan yang telah diambil. Evaluasi didasarkan atas sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi dilakukan dengan tujuan untuk melihat apakah hasil yang dicapai sudah sesuai dengan yang diharapkan atau belum. Pada tahapan ini, setidaknya terdapat tiga faktor yang mempengaruhinya. Pertama, kemampuan individu dalam menjalin hubungan sosial. Individu yang mampu berkomunikasi dengan baik akan dapat melihat kebutuhan individu lain dan memberikan potensi dirinya dalam bentuk uang, waktu, dam tenaga untuk dibagikan kepada individu lain yang membutuhkan. Melalui evaluasi terhadap keputusan yang diambilnya lantas diharapkan individu dapat menentukan apakah keputusan yang ambilnya juga dapat bermanfaat bagi orang lain atau tidak. Kedua, kreativitas individu terkait. Miner (1992) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi cara seseorang dalam mengambil keputusan adalah kreativitas. Ide kreatif akan memunculkan keputusan yang kreatif pula. Hasil dari keputusan-keputusan yang kreatif akan membantu dalam memberikan kontribusi bagi perbaikan produktivitas organisasi dan berperan dalam penelitian produk baru. Ketiga, sikap disiplin. Sikap disiplin pada individu berhubungan dengan kemampuan dalam mengontrol diri dan mengatur waktu maupun kegiatan. Individu yang disiplin akan mematuhi aturan dan jadwal yang telah dibuatnya. Apabila hasil evaluasi tidak sesuai dengan yang direncanakan maka iaakan segera berpikir ulang untuk memperbaikinya agar sesuai dengan target yang diharapkannya.

Pengaruh Kematangan Emosi

[sunting | sunting sumber]

Efektivitas proses orientasi pengambilan keputusan setidaknya dipengaruhi oleh dua hal potensial, yaitu kemampuan pemecahan terhadap masalah, dan kemampuan afeksi (kepribadian) berupa manajemen diri dan kematangan emosi. Dalam hal ini, kematangan emosi erat kaitannya dengan sikap individu terhadap pengalaman hidupnya. Kematangan emosi secara khusus dipandang sebagai modal dalam pengambilan keputusan karena dengannya individu mampu memilah dan memilih apa yang terbaik dan yang harus dihindarinya.[1]

Kematangan emosi
Kematangan emosi dapat memimpin hidup yang lebih baik.

Damasio dalam Goleman (2009) mengatakan bahwa emosi senantiasa merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khas, suatu keadaan bilogis, dan psikologis serta serangkain kecenderungan untuk bertindak. Sementara iru, pikiran manusia sendiri terdiri dari dua jenis. Pikiran pertama adalah pikiran rasional yang didefinisikan sebagai model pemahaman yang disadari, bijaksana, dan mampu bertindak hati-hati. Sedangkan, pikiran kedua adalah pikiran yang sifatnya impulsif, berpengaruh besar, dan terkadang tidak logis, sehingga disebut pikiran emosi. Emosi memainkan peran sentral dalam kehidupan individu. Di mana menurut Subramanian (2014), kematangan emosi yang implusif akan berjalan seiring dengan kontrol emosi, pemikiran objektif, tanggung jawab, dan ketahanan menghadapi kejadian yang menimbulkan perasaan frustasi. Mengingat kematangan emosi merupakan kemampuan untuk menangani suatu hal secara konstruktif dengan realitas. Oleh sebab itu, adanya kematangan emosi yang lebih mumpuni dapat memimpin hidup yang lebih efektif melalui keputusan yang diambil.[10]

Selanjutnya, kematangan emosi dapat dilihat dari cara seorang individu menghadapi tantangan, bagaimana tanggung jawabnya terhadap suatu kewajiban, dan bagaimana pandangan hidupnya tentang dunia. Feiberg (2005) menambahkan bahwa kematangan emosi juga ditandai dengan bagaimana konflik dipecahkan dan bagaimana kesulitan ditangani. Individu yang sudah dewasa, dalam hal ini dewasa secara emosi akan memandang kesulitan-kesulitan yang ada bukan sebagai malapetaka, tetapi sebagai tantangan-tantangan. Sehingga, saat individu tersebut dihadapakan pada situasi di mana ia harus memilih salah satu alternatif yang disodorkan padanya, ia akan mudah mengambil keputusan yang sesuai dengan berbekal pengetahuan dan pengalaman yang dia milki sebelumnya. Ini juga menekankan bahwa individu dengan kematangan emosi akan bersedia memikul resiko dengan mengacu pada perkiraan-perkiraan yang paling tepat yang dapat diperolehnya. Lebih lanjur, dengan adanya kematangan emosi, individu tidak akan terjebak dan salah langkah dalam pengambilan keputusan. Mengingat individu tersebut tak akan mementingkan emosi sesaat sehingga melupakan langkah-langkah penting yang seharusnya dilakukan dan prosedur yang seharusnya dilewatil.[1]

Dalam praktiknya, pengaruh kematangan emosi terhadap pengambilan keputusan dapat dicontohkan dalam situasi ekonomi seperti pembelian barang. Pembelian memerlukan sebuah keputusan yang dilakukan secara rasional dan emosional. Antara rasional dan emosional merupakan hal yang terpisah yakni antara respon kognisi dan afeksi adalah tidak tergantung. Kemampuan pengambilan keputusan yang tinggi didasarkan pada pengetahuan yang dimiliki, potensi yang dimiliki, lingkungan sekitar dan pendapat orang lain. Sehingga, bila individu memiliki kematangan secara emosional maka individu tersebut dapat bereaksi secara positif.[10]

Faktor Lainnya

[sunting | sunting sumber]

Selain kematangan emosi, ada faktor lain yang juga mempengaruhi orientasi pengambilan keputusan, antara lain yaitu kepribadian, intuisi, umur, pendidikan formal, pengalaman karir, dan sebagainya. Cervone dkk. (1991) misalnya, dalam penelitiannya menemukan bahwa suasana hati yang positif dapat meningkatkan kecepatan dan efisiensi pengambilan keputusan. Sedangkan, menurut Bandura dan Jourden (1991), efikasi diri mampu mempengaruhi pengambilan keputusan baik itu mempermudah atau menghambatnya. Selain itu, Mondi dkk. (1990) mengemukakan bahwa orientasi pengambilan keputusan juga dapat dipengaruhi oleh faktor dari dalam dan luar diri individu. Faktor luar yang dimaksud antara lain, jenis keputusan yang diambil (rutin dan tidak rutin), waktu yang tersedia, besarnya resiko yang harus ditanggung, tingkat penerimaan dan dukungan oleh rekan dan atasan, pendidikan formal, dan pengalaman karir seseorang.[1][11][12]

Mengurangi Efek Buruk Emosi

[sunting | sunting sumber]

Meskipun pengaruh emosi pada pengambilan keputusan tidak selalu berbahaya dan bahkan terkadang membantu, sejumlah strategi telah meneliti cara untuk mengurangi efek buruk dari emosi pada pengambilan keputusan. Strategi-strategi tersebut diwujudkan dalam dua bentuk: (i) meminimalisi respon emosional; dan (ii) mengisolasi proses penilaian atau keputusan dari emosi.

Meminimalkan Respon Emosional

[sunting | sunting sumber]

Berikut merupakan solusi untuk meminimalkan respon emosional pada saat pengambilan keputusan berlangsung:

1. Waktu Tunda

Secara teori, strategi paling sederhana untuk meminimalkan besarnya emosi dalam pengambilan keputusan adalah dengan membiarkan waktu berlalu sebelum akhirnya keputusan dibuat. Emosi dipandang memiliki umur yang pendek dan memiliki respon fisiologis yang cepat memudar. Di mana kekuatan adaptasi dan rasionalisasi secara mengejutkan membawa keadaan emosi kembali ke garis dasar peristiwa traumatis. Sebagai contoh, kemarahan yang diinduksi dapat menyebabkan perubahan langsung dalam keputusan peserta, tetapi tidak menunjukkan efek seperti itu ketika induksi dan keputusan dipisahkan oleh penundaan 10 menit.[13]

Walau begitu, strategi sesederhana menunggu ini sangat jarang digunakan. Alasannya ialah penundaan pada dasarnya bertentangan dengan fungsi banyak keadaan emosional yang memotivasi respons perilaku terhadap masalah adaptif. Misalnya, ketika seseorang menemukan pasangannya sedang berada dalam pelukan orang lain. Hanya sedikit orang yang akan setuju bahwa meluangkan waktu sejenak untuk memtuskan bagaimana harus bereaksi terhadap hal tersebut adalah tindakan yang bijaksana.[14] Dalam hal ini, efek langsung dari keadaan emosional dapat membuat seseorang “di luar kendali” dan tidak mampu menunggu keadaan netral kembali sebelum mengambil keputusan.[15]

2. Penekanan

Penelitian menunjukkan bahwa penekanan sering bersifat kontraproduktif sehingga mampu mengintensifkan keadaan yang sangat emosional yang diharapkan untuk diatur. Secara khusus, upaya penekanan secara kognitif mampu merusak memori untuk segala penyebab yang memicu emosi. Efek ini memiliki implikasi praktis yang penting untuk bagaimana individu dapat merespon dengan baik terhadap kecelakaan tak terduga yang memicu emosi yang kuat.[16]

3. Penilaian Ulang

Penilaian ulang adalah strategi membingkai ulang makna rangsangan yang mengarah pada respon emosional. Penilaian ulang mencakup perilaku seperti: mengingatkan diri sendiri bahwa "itu hanya ujian" setelah menerima nilai ujian yang buruk, mengadopsi pola pikir perawat atau profesional medis untuk meminimalkan dampak emosional dari melihat cedera seseorang, atau melihat PHK sebagai kesempatan untuk mengejar mimpi yang terlupakan. Berbeda dengan penekanan, penilaian ulang tidak hanya mengurangi perasaan negatif yang dirasakan sendiri sebagai respon terhadap peristiwa negatif. Tetapi, juga mengurangi respon fisiologis dan saraf terhadap peristiwa tersebut.[17] Sebagai contoh, Halperin dkk (2012) telah menguji efek penilaian ulang terkait tanggapan Israel terhadap tawaran Palestina untuk pengakuan PBB. Peserta yang secara acak ditugaskan untuk kondisi pelatihan penilaian ulang (dibandingkan dengan kondisi kontrol) menunjukkan dukungan yang lebih besar untuk kebijakan damai dan kurang mendukung kebijakan agresif terhadap Palestina pada penilaian yang direncanakan baik 1 minggu dan 5 bulan kemudian.[18]

4. Solusi Dua Keadaan

Solusi dua keadaan adalah kondisi di mana seseorang dapat melawan efek keputusan yang tidak diinginkan dengan menginduksi emosi lain— yang memicu kecenderungan berlawanan. Dengan demikian, proses pengambilan keputusan masih akan melibatkan bias, tetapi hasil keputusan tidak. Contohnya adalah fenomena tingkat diskonto keuangan yang terlalu tinggi. Dalam hal ini, kesedihan diketahui meningkatkan tingkat diskonto yang berlebihan, sementara rasa syukur terbukti mengurangi tingkat tersebut bahkan di bawah tingkat yang akan dialami seseorang dalam keadaan netral. Hasil ini menunjukkan kemungkinan yang tidak biasa bahwa menginduksi emosi insidental (dalam hal ini, rasa terima kasih) dapat mengurangi bias yang ada.[19][20]

Mengisolasi Keputusan dari Emosi

[sunting | sunting sumber]

Berikut merupakan solusi untuk mengisolasi keputusan dari emosi pada saat pengambilan keputusan berlangsung:

1. Insentif Finansial Untuk Meningkatkan Upaya Kognitif

Secara sistematis, sisa-sisa emosi insidental sangat sulit untuk dikurangi. Sementara itu, adanya insentif keuangan yang ditujukan pada pembuat keputusan saat mengemban tugas dipandang sebagai cara yang tepat untuk mengurangi bias. Namun, perlu diperhatikan pula bahwa strategi ini terkadang tidak efektif pada kondisi tertentu. Hal ini terjadi karena emosi insidental secara rutin berfungsi sebagai lensa persepsi bahkan ketika imbalan finansial dipertaruhkan.[19][20][21]

2. Mengeluarkan Emosi

Memenuhi pembuat keputusan dengan fakta kognitif mengenai keputusan tertentu dan membuat relevansinya merupakan cara yang berguna untuk mengurangi sisa emosi. Hal ini berarti mengeluarkan emosi dapat dilakukan walau pada kenyataannya terkadang tak berjalan lancar. Contohnya, meskipun warga Amerika Serikat memperhatikan dengan seksama masalah risiko dan keamanan setelah 9/11, emosi insidental yang ditimbulkan segera setelah serangan membentuk persepsi global warga tentang risiko dan preferensi mereka untuk melakukan tindakan yang berisiko.[22]

3. Meningkatkan Kesadaran Akan Misatribusi

Penilaian yang berhubungan dengan emosi bersifat otomatis. Berdasarkan hal tersebut, Han dkk. (2007) mengemukakan bahwa kecenderungan penilaian akan dinonaktifkan ketika pengambil keputusan menjadi lebih sadar secara kognitif. Untuk itu, Lerner dkk. (1998) mendorong para pembuat keputusan untuk memantau proses penilaian dengan cara yang kritis terhadap diri sendiri yakni melalui harapan bahwa mereka perlu membenarkan keputusan mereka kepada audiens ahli (misalnya, akuntan), mengurangi dampak kemarahan insidental pada keputusan hukuman dengan mengarahkan orang untuk fokus pada penilaian-informasi yang relevan, dan dengan mengabaikan pengaruh insidental sebagai sesuatu yang dianggap kurang relevan terhadap penilaian.[23][24]

Perlu dicatat bahwa contoh-contoh penonaktifan pembawaan emosional mungkin lebih merupakan pengecualian daripada aturan. Karena banyak faktor yang dapat menggagalkan kesadaran kognitif seseorang. Pertama, orang sering kekurangan motivasi untuk memantau proses pengambilan keputusan mereka. Kedua, bahkan ketika orang termotivasi untuk mencapai kesadaran akurat dari proses keputusan, seringkali hal tersebut dipandang sebagai tugas yang sulit. Han dkk. (2012) membuktikan hal tersebut dengan sebuah temuan yang menyatakan bahwa rasa jijik yang tidak disengaja menyebabkan peserta menyingkirkan barang-barang miliknya bahkan ketika peserta tersebut secara langsung diperingatkan untuk menghindari efek sisa dari rasa jijik tersebut.[25]

4. Memodifikasi Konstruksi Pilihan

Konstruksi pilihan menawarkan serangkaian taktik alternatif yang memengaruhi perilaku secara otomatis tanpa membatasi pilihan. Strategi ini dilakukan dengan jalan mengubah pembingkaian, struktur pilihan, dan lingkungan. merusak. Contohnya, kafetaria perlu diatur sehingga makanan pertama yang ditemui konsumen adalah pilihan yang lebih sehat. Pengaturan seperti ini nantinya akan meningkatkan kemungkinan kombinasi rasa lapar yang mendalam dan konsumen tidak akan berpikir bahwa hal tersebut akan menggagalkan tujuan kesehatannya.[26][27]

Konstruksi pilihan yang lebih mendalam juga dapat digunakan untuk membantu konsumen menunda pilihan mereka untuk mengurangi pengaruh emosi langsung. Misalnya, sebagian besar negara bagian di Amerika Serikat memerlukan masa tunggu sebelum individu dapat membeli senjata, sehingga mengurangi pengaruh langsung dari kemarahan sementara. Dengan melibatkan pengaruh yang relatif tidak disadari, konstruksi pilihan memberikan jalan yang menjanjikan untuk mengurangi dampak emosi yang tidak diinginkan dengan cara yang menguntungkan masyarakat umum.[27]

Fenomena Keputusan Berbasis Emosi

[sunting | sunting sumber]

Berikut beberapa fenomena terkait emosi dalam pengambilan keputusan:

Kelemahan Expected Utility Theory

[sunting | sunting sumber]

Expected Utility Theory (EUT) adalah teori yang menjelaskan fenomena pengambilan keputusan dalam kondisi ketidakpastian di bidang ekonomi. Teori ini pertama kali dipopulerkan oleh von Neumann dan Morgenstern pada tahun 1947. Teori EUT memiliki prinsip bahwa konsumen akan selalu berpikir rasional dan memaksimalkan keuntungan dalam mengambil keputusan. Lebih jauh, teori ini tidak dimaksudkan untuk mendeskripsikan bagaimana orang berperilaku secara realitas (deskriptif), melainkan bagaimana orang seharusnya berperilaku jika mereka mengikuti prosedur pengambilan keputusan rasional (normatif).[9]

Secara mendasar, kelemahan teori EUT terletak pada pengabaiannya terhadap faktor “emosi” dalam menjelaskan pengambilan keputusan. Karena adalah sebuah fakta yang tak bisa dibantah bahwa manusia bersifat tidak hanya rasionalm tetapi juga emosional. Hal ini diperkuat dengan hasil temuan Herbert Simon, peraih nobel ekonomi 1978, dalam teorinya “bounded rationality” yang menyatakan bahwa kapasitas kognitif manusia itu terbatas. Maksudnya adalah manusia tidak mampu mengolah sekian banyak informasi (alternatif) yang seringkali bersifat tidak pasti (uncertainty). Sehingga, Simon kemudian merumuskan model pengambilan keputusan yang mengacu pada atribut kepuasan (satisfaction). Di mana keputusan mungkin tidak dianggap optimal, tetapi cukup beberapa karakter penting yang dapat memberikan kepuasannya.[9]

Setiap kali individu (konsumen) mengetahui dirinya melakukan keputusan yang salah (kurang optimal) seperti yang dikemukakan teori bounded rationality maka akan berimplikasi pada munculnya rasa penyesalan atau yang disebut dengan “regret”. Satu atau dua frekuensi regret yang dialami konsumen mungkin dapat diatasi melalui sistem regulasi emosi, tetapi jika ratusan bahkan ribuan sensasi regret muncul maka sistem regulasi emosi tidak akan mampu berjalan secara optimal. Dalam penelitian yang dilakukan Schwartz pada tahun 2004 misalnya, ia menemukan fakta bahwa akumulasi dari pengalaman regret yang dialami konsumen di Amerika telah membuat banyak masyarakat Amerika hidup dalam kondisi stres, jauh dari perasaan bahagia dan tidak sedikit yang mengalami depresi.[9]

Emosi Regret dalam Ekonomi

[sunting | sunting sumber]

Emosi regret merupakan jenis emosi yang muncul ketika konsumen meragukan kualitas dari produk yang ia pilih (beli), kemudian ia berpikir bahwa produk lain yang sebelumnya juga menjadi pertimbangan untuk dibeli (tetapi tidak jadi) mungkin saja mempunyai kualitas yang lebih baik. Jika pada kenyataannya benar bahwa produk alternatif yang tidak jadi dibeli mempunyai kualitas yang lebih baik maka konsumen akan mengalami sensasi regret. Dalam hal ini, regret bukan hanya sekadar reaksi afektif dari hasil keputusan buruk. Namun, lebih dari itu, regret merupakan emosi yang memberi arah pada perilaku seseorang. Emosi regret kemudian dapat dipelajari tidak hanya untuk memahami perilaku individu dalam pengambilan keputusan, tetapi juga dapat menjadi semacam panduan dalam mengambil sebuah keputusan.[9]

Menurut teori justifikasi keputusan (decision justification theory), regret mempunyai dua komponen inti, yakni evaluasi (perbandingan) dari hasil keputusan dan perasaan bersalah pada diri (self-blame). Keduanya dapat secara bersama memunculkan regret atau hanya salah satu dari keduanya. Sementara itu, sebagai emosi kognitif, regret dibangun berdasarkan dua asumsi. Pertama, pada dasarnya konsumen cenderung membandingkan antara hasil (outcome) dari keputusannya memilih dengan hasil dari apa yang mereka akan terima seandainya melakukan pilihan yang berbeda. Kedua, konsumen cenderung mengantisipasi regret sebelum membuat keputusan, karenanya seringkali mereka mengubah pilihan untuk menghindari potensi regret. Dalam lingkup ekonomi, regret hanya dapat muncul setelah adanya informasi (negatif) dari luar diri konsumen tentang produk yang tidak dibeli. Sementara, pada lingkup psikologi, informasi itu tidak mesti dari luar individu, melainkan bisa bersifat imajinasi yang berasal dari memori individu terkait.[9]

Kajian emosi regret sangat terkait dengan produsen dan toko retail besar maupun kecil yang seringkali kurang memperhatikan kondisi emosi konsumen pada saat melakukan aktivitas ekonomi. Misalnya, sebuah produk yang sama seringkali mempunyai harga yang berbeda antara toko-toko yang mendiami satu pasar. Kemudian, pada toko retail atau outlet, biasanya juga dijumpai tulisan peringatan yang berpotensi memunculkan regret konsumen. Contohnya adalah kalimat, “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” atau “Memecahkan barang berarti anda membelinya”.[9]

Berdasarkan kecenderungannya, emosi regret dapat digolongkan menjadi[9]:

Regret Sebagai Antisipasi (Anteseden)

[sunting | sunting sumber]

Regret sebagai antisipasi ialah upaya untuk meminimalkan sensasi regret sebelum pengambilan keputusan. Aplikasi regret sebagai antisipasi biasanya berkenaan dengan waktu. Contohnya, ketika membandingkan peluang membeli barang pada waktu sekarang atau kemudian. Apabila hasilnya diasumsikan sama-sama negatif maka sensasi regret akan lebih dirasakan ketika membeli pada waktu kemudian. Karena, di waktu kemudian kemungkinan individu akan memiliki dua beban psikologis, yaitu beban dari hasil keputusannya buruk dan beban karena sudah menunggu lama.

Regret Sebagai Konsekuensi

[sunting | sunting sumber]

Regret sebagai konsekuensi ialah respons emosional yang berasal dari perbandingan antara kualitas produk yang dipilih dengan kualitas produk yang tidak dipilih. Berbeda dengan konsep kepuasan (satisfaction) yang merupakan hasil perbandingan antara produk yang dibeli dengan harapan semula tentang kualitas produk yang dimaksud, regret sebagai konsekuensi berfokus pada perbandingan antar produk. Contoh dari regret sebagai konsekuensi adalah tentang harga barang. Misalnya, setelah melakukan beragam pertimbangan, Asri membeli laptop merek X. Laptop yang baru dibelinya itu ternyata memenuhi apa yang menjadi harapannya semula, yakni penampilannya menarik, operasi yang sangat cepat, dan bersifat ringan sehingga mudah dibawa. Asri pun kemudian merasakan rasa puas (satisfaction) dengan keputusannya tersebut. Namun, setelah satu bulan, Asri bertemu dengan kawan lamanya bernama Andi yang kebetulan mempunyai merek laptop yang sama dengan Asri. Selepas berbincang, Asri lantas mengetahui bahwa harga laptop yang dibayarkannya ternyata lebih mahal Rp 200.000 ketimbang laptop Andi. Informasi tentang harga laptop Andi yang lebih murah ini lantas membuat Asri mengalami sensasi regret akibat keputusan yang kurang optimal. Jika saja Asri membeli laptop X di toko yang sama dengan Andi maka ia akan menghemat Rp 200000. Pikiran Asri yang terakhir ini disebut dengan berpikir counterfactual (keadaan seseorang ketika menghadapi suatu fakta yang tidak menyenangkan, ia akan berpikir ke arah keadaan yang bertentangan dengan fakta tersebut).

Regulasi Regret

[sunting | sunting sumber]

Teori regulasi regret menjelaskan bahwa orang dapat mencegah sensasi regret yang akan dialaminya di masa mendatang dengan cara mentransfer atau membagi tanggung jawab atas keputusannya. Contohnya, ketika individu dihadapkan pada pilihan antara membeli produk yang murah tidak terkenal dan berpenampilan tidak menarik dengan produk yang menarik, terkenal, tetapi mahal. Regulasi regret akan menganjurkan individu untuk memilih yang terkenal meskipun harganya mahal. Dengan memilih produk yang terkenal maka secara tidak langsung individu telah mentransfer tanggung jawab atas keputusannya. Sehingga, bila keputusannya salah atau tidak optimal, ia tidak akan mengalami rasa “regret” yang mendalam. Karena, individu tersebut telah meyakinkan diri dan orang lain bahwa keputusannya sudah tepat. Asumsi pikirannya adalah barang berkualitas tentu memiliki resiko kerusakan yang amat kecil, bila juga tetap rusak maka hal itu diluar kemampuannya (tanggung jawabnya). Konsep ini juga yang dapat menjelaskan alasan kebanyakan orang untuk membeli mobil baru dibandingkan mobil bekas yang secara finansial lebih menguntungkan.[9]

Sementara itu, untuk menghadapi emosi regret yang sedang dialami individu maka dapat dilakukan dengan tiga strategi. Pertama, dengan mengembalikan keputusan. Misalkan, mengembalikan barang yang sudah dibeli selama bisa ditukarkan. Kedua, melakukan justifikasi diri terhadap keputusan yang salah. Misalkan dengan mengatakan, “Maklum saya tidak tahu.” atau “Kalau saya tahu, pastilah akan mengambil keputusan yang berbeda.”. Ketiga, menolak tanggung jawab. Misalkan dengan mengatakan kepada dirinya dan orang lain bahwa penjaga toko tidak menginformasikan lebih detail tentang kelebihan dan kekurangan produk yang dibelinya.[9]

Induksi Emosi

[sunting | sunting sumber]

Induksi emosi merupakan teknik memanipulasi emosi dan ingatan yang diperkenalkan oleh Smith dan Ellsworth pada tahun 1985. Teknik ini biasanya digunakan untuk melihat efek emosi yang diperankan dalam melakukan pilihan pembelian sebuah produk. Prosedur induksi emosi dilakukan dengan cara subjek diminta untuk mengingat pengalaman masa lalu dan membawa emosi pengalaman masa lalu itu ke masa kini. Bila subjek diminta mengingat peristiwa yang menyenangkan maka disebut dengan induksi emosi positif. Sedangkan, bila subjek diminta untuk mengingat kembali peristiwa yang menyedihkan maka hal ini disebut induksi emosi negatif.[28]

Teknik induksi emosi juga sangat tergantung pada tingkat sugestif orang yang akan diinduksi. Di mana setiap individu terbagi menjadi beberapa entitas, yakni fisik, emosional, dan intelektual. Asumsinya adalah individu dengan kondisi emosional yang positif akan memiliki level kognisi yang lebih baik sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan lebih cepat melalui mekanisme heuristik yang sederhana dan tanpa banyak berpikir. Namun, lebih dari itu, proses pengambilan keputusan mau tidak mau tetaplah juga melibatkan aspek-aspek kognitif. Sehingga, bisa saja individu yang telah diberi induksi positif akan lebih terpengaruh pada pilihan beresiko dibandingkan individu yang diinduksi negatif.[28]

Efek Unik Amarah

[sunting | sunting sumber]

Jika rasa takut melahirkan ketidakpastian, kemarahan menanamkan kepercayaan diri. Orang yang marah lebih cenderung menyalahkan individu, daripada "masyarakat," atau pun nasib. Kemarahan membuat orang lebih mungkin mengambil risiko dan meminimalkan betapa berbahayanya risiko itu. Orang yang marah akan lebih mengandalkan stereotip dan lebih bersemangat untuk bertindak. Oleh karena itu, amarah adalah emosi yang mengaktifkan tindakan.[29]

Studi tentang efek amarah dalam pengambilan keputusan telah diteliti oleh psikolog klinis asal Amerika bernama Lerner. Dalam penelitiannya, Lerner meminta sekelompok warga Amerika Serikat untuk membaca berita tentang ancaman surat antraks dengan maksud untuk membuat mereka merasa takut; dan meminta mereka juga untuk membaca berita tentang perayaan serangan 9/11 oleh beberapa orang di negara-negara Timur Tengah dengan maksud untuk menimbulkan kemarahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mereka yang dibuat merasa marah akan melihat dunia kurang berisiko dan mereka turut pula mendukung tindakan yang lebih keras terhadap tersangka teroris. Lerner lantas menyimpulkan bahwa amarah atau kemarahan terkadang bermanfaat karena merupakan bagian dari emosi utama keadilan.[30]

Namun, patut pula dicatat bahwa ketika berada dalam situasi pengambilan keputusan, kemarahan seringkali lebih membingungkan daripada membantu. Kemarahan akan menyederhanakan pemikiran seseorang. Orang-orang beralih ke aturan praktis sehingga berpotensi menimbulkan kerugian pada pihak lainnya. Dalam konteks kemarahan pasca insiden 9/11 misalnya, bisa saja memunculkan pelarangan pada semua Muslim daripada mempertimbangkan dengan hati-hati kebijakan pengungsi dan implikasinya di masa mendatang. Atas keputusan tersebut, Lerner menyebutnya sebagai pemikiran yang kerdil. Di mana dalam kalimatnya, Lerner menekankan bahwa kemarahan memang membawa individu dalam sebuah permainan, tetapi begitu individu tersebut berada dalam permainan maka ia perlu berpikir.[30]

Kebahagiaan dan Pengambilan Keputusan

[sunting | sunting sumber]

Dalam pengambian keputusan, individu diorientasikan ke dalam dua tipe. Pertama, pemaksimal (maximizers) adalah tipe individu yang ingin menemukan opsi mutlak terbaik saat pengambilan keputusan. Yang kedua, pemuas (satisficers) adalah tipe individu yang memiliki serangkaian kriteria dan memilih opsi pertama guna menghapus halangan saat pengambilan keputusan.[31]

Penelitan Simon pada setengah abad yang lalu (1955, 1956, dan 1957) menyarankan pendekatan untuk menjelaskan pilihan yang lebih menyadari keterbatasan kognitif manusia daripada teori pilihan rasional. Simon berpendapat bahwa tujuan maksimalisasi (atau optimasi) yang diperkirakan akan selalu tidak dapat direalisasikan dalam kehidupan nyata. Hal ini dikarenakan kompleksitas lingkungan manusia dan keterbatasan pemrosesan informasi manusia. Simon lantas mengemukakan bahwa dalam situasi pilihan, orang sebenarnya memiliki tujuan "memuaskan" daripada memaksimalkan. Untuk memuaskan, orang hanya perlu memiliki ambang penerimaan dan menempatkan barang pada skala tertentu dalam hal tingkat kepuasan yang akan mereka beli. Seorang pemuas “satisficers” kemudian hanya menemukan dan mengevaluasi barang pertama sampai ditemukan barang lain yang melebihi ambang penerimaan. Selanjutnya, apabila secara tidak sengaja ia menemukan barang lain yang berperingkat tinggi dalam domain yang relevan maka seorang pemuas akan mungkin untuk menolak barang sebelumnya. Dengan demikian, seorang pemuas sering bergerak ke arah maksimalisasi tanpa pernah menjadikannya sebagai tujuan yang disengaja. Kajian yang digagas Simon ini secara komprehensif tidak hanya mempertanyakan proses dimana pilihan dinilai dan dibuat, tetapi juga motif yang mendasari pilihan. Bahwa memuaskan sebetulnya didefinisikan sebagai mengejar yang bukan pilihan terbaik, tetapi pilihan yang cukup baik.[32]

Terkait proliferasi pilihan dalam maksimalisasi dan memuaskan keputusan, Schwartz (2020) menyatakan bahwa hal tersebut memiliki beragam efek negatif terhadap kesejahteraan individu. Pertama, ada masalah terkait perolehan informasi yang memadai tentang pilihan untuk membuat pilihan. Kedua, ada masalah bahwa ketika pilihan berkembang maka standar orang untuk hasil yang dapat diterima akan meningkat. Dan ketiga, ada masalah bahwa ketika pilihan berkembang maka orang mungkin menjadi percaya bahwa hasil yang tidak dapat diterima adalah kesalahan mereka, karena dengan begitu banyak pilihan, mereka harus dapat menemukan yang memuaskan. Sebagai contoh, layanan telepon yang dimonopoli oleh satu penyedia atai perusahaan. Tidak peduli seberapa tidak puasnya seseorang dengan layanan teleponnya, jika layanan telepon disediakan oleh monopoli yang diatur maka seseorang tidak dapat berbuat lebih baik dan layanan yang tidak memadai bukanlah kesalahan orang tersebut. Namun, ketika pilihan layanan telepon tersedia beragam maka tidak ada lagi alasan untuk mentolerir layanan yang tidak memadai dan kegagalan untuk mendapatkan layanan yang memadai adalah tanggung jawab seseorang yang memutuskan. Schwartz kemudian menyarankan bagi individu untuk mempertimbangkan efek berbeda yang mungkin dimiliki oleh serangkaian opsi yakni untuk tujuan memaksimalkan atau memuaskan. Schwartz menambahkan bahwa khusus untuk tipe individu pemaksimal, opsi tambahan akan menimbulkan masalah terkait penyesalan. Hal ini terkait bahwa pemaksimal akan mengajukan pertanyaan pada dirinya sendiri terkait, “apakah ini hasil terbaik?” alih-alih,“apakah ini hasil yang baik?”.[33]

Selanjutnya, Lyubomirsky dan Ross dalam penelitiannya pada tahun 1997 menemukan fakta bahwa orang yang tidak bahagia lebih terpengaruh oleh perbandingan sosial ke atas daripada orang yang bahagia. Kedua peneliti tersebut mengeksplorasi hubungan antara memaksimalkan dan proses perbandingan sosial dengan memeriksa apakah pemaksimal dan pemuas merespons secara berbeda terhadap manipulasi perbandingan sosial. Mereka lantas menyimpulkan bahwa terdapat peran kausal yang menyebabkan pemaksimal akan lebih sensitif terhadap penyesalan daripada pemuas.[34]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e Kusasi, M. (2013). "Pengaruh Manajemen Diri dan Kematangan Emosi Terhadap Pengambilan Keputusan". Jurnal Psikostudia Universitas Mulawarman. 2 (1): 16–27. 
  2. ^ Budiono & Wening (2021). "Dampak Kecerdasan Emosi Terhadap Kualitas Pengambilan Keputusan Pemimpin dan Efektivitas Sekolah di Indonesia". Jurnal IKRA-ITH Humaniora. 5 (1): 60. 
  3. ^ a b Garcia, M. (2020). The Role Of Emotion in Human Decision Making (PDF). Paris: ARF AudienceXScience Ipsos. hlm. 2. 
  4. ^ a b c d Fenisia, E. (2019). "Peran Regulasi Emosi Terhadap Kompetensi Pengambilan Keputusan Memilih Jurusan di Perguruan Tinggi Pada Siswa SMA" (PDF). Prosiding Seminar Nasional Psikologi Pendidikan. 1 (1): 1–4. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-12-29. Diakses tanggal 2021-12-29. 
  5. ^ a b c d Dickens & Cohen (2002). Instinct and Choice: A Framework for Analysis (PDF). USA: MIT Publisher. hlm. 2–4. 
  6. ^ a b Satar & Yusri (2019). "Pengambilan Keputusan Ditinjau dari Manajemen Diri dan Kematangan Emosi". Jurnal Al-Qalb. 10 (1): 20–41. 
  7. ^ a b c d Whitener, S. (2018). "How Your Emotions Influence Your Decisions". www.forbes.com. Diakses tanggal 29 Desember 2021. 
  8. ^ Burton, N. (2016). "What Are Basic Emotions?". www.psychologytoday.com. Diakses tanggal 29 Desember 2021. 
  9. ^ a b c d e f g h i j k Umaya, F. (2014). "Emosi Regret dan Pengambilan Keputusan dalam Bidang Ekonomi". Buletin Psikologi. 22 (2): 117–125. doi:10.22146/bpsi.11461. 
  10. ^ a b Puspasari, D. (2016). "Hubungan Antara Kematangan Emosi dengan Pengambilan Keputusan pada Remaja di SMAN 2 Sukoharjo" (PDF). Skrips: 3. 
  11. ^ Cervone dkk (1991). "Goal Setting and The Differential Influence of Self-Regulatory Process on Complex Decision-Making Performance". Journal of Personality and Social Psychology. 61 (2): 257 266. doi:10.1037//0022-3514.61.2.257. 
  12. ^ Bandura & Jourden (1991). "Self-Regulatory Mechanisms Governing the Impact of Social Comparison on Complex Decision Making". Journal of Personality and Social Psychology. 60 (6): 941 951. 
  13. ^ Loewenstein, G. (1996). "Out of Control: Visceral Influences on Behavior" (PDF). Organizational Behavior and Human Decision Processes. 65 (1): 272–292. 
  14. ^ Lerner dkk (2014). "Emotion and Decision Making". Annual Review of Psychology. 66 (1): 799–823. 
  15. ^ Gneezy & Imas (2014). "Materazzi Effect and The Strategic Use of Anger in Competitive Interactions". Proceedings of the National Academy of Sciences. 111 (4): 1334–1337. doi:10.1073/pnas.1313789111. 
  16. ^ Richards & Gross (1999). "Composure at Any Cost? The Cognitive Consequences of Emotion Suppression". Personality and Social Psychology Bulletin. 25 (88): 1033–1044. 
  17. ^ Jamieson dkk. (2012). "Mind Over Matter: Reappraising Arousal Improves Cardiovascular and Cognitive Responses to Stress". Journal of Experimental Psychology: General. 141 (3): 417–422. doi:10.1037/a0025719. 
  18. ^ Halperin dkk. (2012). "Can Emotion Regulation Change Political Attitudes in Intractable Conflicts? From The Laboratory to The Field". Psychological Science. 24 (1): 106–111. doi:10.1177/0956797612452572. 
  19. ^ a b Lerner dkk. (2012). "The Financial Costs of Sadness". Psychological Science. 24 (1): 72–79. doi:10.1177/0956797612450302. 
  20. ^ a b DeSteno dkk. (2014). "Gratitude: A Tool for Reducing Economic Impatience". Psychological Science. 25 (6): 1262–1267. doi:10.1177/0956797614529979. 
  21. ^ Loewenstein dkk. (2001). "Risk As Feelings". Psychological Bulletin. 127 (2): 267–286. doi:10.1037/0033-2909.127.2.267. 
  22. ^ Lerner dkk. (2003). "Effects of Fear and Anger on Perceived Emotions and Decision Making". Psychological Science. 14 (2): 144–150. doi:10.1111/1467-9280.01433. 
  23. ^ Han dkk. (2007). "Feelings and Consumer Decision Making: The Appraisal-Tendency Framework". Journal of Consumer Psychology. 17 (3): 158–168. doi:10.1016/S1057-7408(07)70023-2. 
  24. ^ Lerner dkk. (1998). "Sober Second Thought: The Effects of Accountability, Anger, and Authoritarianism on Attributions of Responsibility". Personality and Social Psychology Bulletin. 24 (6): 563–574. doi:10.1177/0146167298246001. 
  25. ^ Han dkk. (2012). "The Disgust-Promotes-Disposal Effect" (PDF). Journal of Risk and Uncertainty. 44 (1): 101–113. doi:10.1007/s11166-012-9139-3. 
  26. ^ Thaler dan Sunstei (2008). "Nudge: Improving Decisions About Health, Wealth, and Happiness. New Haven, CT: Yale". The Social Science Journal. 45 (4): 700–701. doi:10.1016/j.soscij.2008.09. 
  27. ^ a b Thaler dan Sunstein (2003). "Libertarian Paternalism" (PDF). American Economic Review. 93 (2): 175–179. doi:10.1257/000282803321947001. 
  28. ^ a b Wijayanti & Ahmad (2014). "Pengaruh Induksi Emosi Terhadap Keputusan Membeli Produk" (PDF). 7. 1 (45-47). 
  29. ^ Litvak dkk. (2010). Chapter 17: Fuel in the Fire: How Anger Impacts Judgment and Decision-Making. Springer Sciences (PDF). USA: Springer Sciences. 
  30. ^ a b Khazan, O. (2016). "The Best Headspace for Making Decisions". www.theatlantic.com. Diakses tanggal 29 Desember 2021. 
  31. ^ Vanderkam, L. (2016). "The Surprising Scientific Link Between Happiness and Decision Making". www.fastcompany.com. Diakses tanggal 29 Desember 2021. 
  32. ^ Schwartz & Ward (2002). "Maximizing Versus Satisficing: Happiness Is a Matter of Choice" (PDF). Journal of Personality and Social Psychology. 83 (5): 1178–1197. 
  33. ^ Schwartz, B. (2000). "Self Determination: The Tyranny of Freedom". American Psychologist. 55 (1): 79–88. doi:10.1037//0003-066X.55.1.79. 
  34. ^ Lyubomirsky & Ross (1997). "Hedonic Consequences of Social Comparison: A Contrast of Happy and Unhappy People" (PDF). Journal of Personality and Social Psychology. 73 (6): 1141–1157. doi:10.1037//0022-3514.73.6.1141.