Etika profetik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Etika profetik adalah respon Kuntowijoyo terhadap ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat, yang membawa kemajuan begitu pesat namun tidak membuat hidup manusia semakin bahagia. Pemikiran ini terinspirasi dari gagasan Sir Muhammad Iqbal seorang filsuf dari India dan Roger Garaudy, seorang filsuf Prancis yang masuk Islam. Etika profetik Kuntowijoyo merupakan sebuah alternatif paradigma yang memungkinkan digunakan di zaman pasca industrial seperti saat ini, karena mencoba mempertemukan antara nalar wahyu dengan nalar ilmu pengetahuan. Berbeda dengan ilmu pengetahuan barat yang berkembang cenderung ke arah positivistik dan sekularistik yang memisahkan antara agama dan kehidupan sehari-hari serta membuat hidup manusia semakin hampa.

Profil Kuntowijoyo

Kuntowijoyo dilahirkan di Desa Sorobayan, Sanden, Bantul Yogyakarta pada 18 September 1943. Ayah Kuntowijoyo bernama H. Abdul Wahid Sosroatmodjo dan ibu bernama Hj. Warasti yang mempunyai latar belakang priyayi dari Surakarta. Kuntowijoyo menghabiskan masa kecilnya di Klaten dan Solo. Saat di Klaten, Kuntowijoyo tinggal di sebuah desa bernama Ngawonggo, di wilayah Kecamatan Ceper.[1]

Masa kecil Kuntowijoyo terjadi saat pergolakan agresi militer Belanda yaitu tahun 1947 dan 1948. Suasana pada waktu itu tidak stabil secara ekonomi dan politik karena masa peralihan kekuasaan. Tahun 1950, Kuntowijoyo masuk Sekolah Rakyat Negeri Ngawonggo dan menamatkan Sekolah Dasarnya pada tahun 1956. Sejak kecil, Kuntowijoyo aktif mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan. Sepulang sekolah setelah Dzuhur sampai selepas Ashar, Kuntowijoyo pergi ke surau untuk belajar agama bersama teman-teman seusianya yang sering disebut sebagai Sekolah Arab. Malamnya, setelah selesai sholat Maghrib hingga Isya digunakannya untuk mengaji di surau. Di surau ini pula, Kuntowijoyo mulai belajar menulis puisi, berdeklamasi dan mendongeng kepada Saribi Arifin (kemudian dikenal sebagai seorang penandatangan Manifes Kebudayaan) dan M. Yusmanam seorang penyair dan sastrawan nasional. Keterkaitan pada dunia seni yang dimulai sejak dini tersebut dikembangkan dengan bergabung ke dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII), semasa Sekolah Rakyat. Akhirnya, disinilah Kuntowijoyo belajar berdeklamasi, bermain drama dan menulis puisi.

Semasa mengaji di surau, Kuntowijoyo sangat terkesan dengan para gurunya yang piawai memainkan sandiwara, dagelan dan cerita tentang sejarah, agama dan politik. Penghayatan seperti ini membuat Kuntowijoyo semakin berminat berdeklamasi. Guru tersebut bernama Pak Mustajab. Kuntowijoyo juga terkesan kepada gurunya yang lain yang merupakan aktivis Masyumi. Sejak saat itu selain berminat kepada sastra, Kuntowijoyo mulai belajar mengenai organisasi dan berkesimpulan bahwa wadah tidak lagi menjadi persoalan baginya untuk beraktivitas. Selain kegiatan belajar mengaji dan deklamasi, Kuntowijoyo juga gemar menyimak siaran radio RRI Surakarta yang menggelar siaran sastra yang diasuh dua penyair Mansur Samin dan Budiman S. Hartojo. Pada siang hari, Kuntowijoyo kecil yang masih berstatus siswa Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar) pergi ke perpustakaan kecamatan dan melahap kisah-kisah Karl May, pengarang cerita-cerita petualangan di negeri Balkan dan pedalaman Indian. Selanjutnya Kuntowijoyo meneruskan di SMP 1 Klaten. Pada usia SMP, Kuntowijoyo membaca karya-karya Nugroho Notosusanto, Sitor Situmorang dan karya-karya yang dimuat di majalah Kisah. Sewaktu duduk di bangku SMP ini, Kuntowijoyo mulai belajar menulis. Kuntowijoyo mulai mengenal cerpen atau cerita pendek. Demikianlah masa SR-SMP yang Kuntowijoyo jalani dengan berbagai ketertarikannya terhadap dunia bacaan dan sastra.

Setamat SMP (1959), Kuntowijoyo mengikuti salah seorang mbah cilik-nya, seorang pedagang batik di Solo. Mbah cilik adalah sebutan untuk adik dari kakek kandung dalam keluarga Jawa. Mbah cilik ini memiliki sebuah lemari yang menyimpan banyak buku sastra dan ensiklopedi. Masa SMA itulah saat Kuntowijoyo melahap karya-karya Charles Dickens dan Anton Chekov. Bermula dari usia SMP ke SMA, ia menulis cerita dan sinopsis dengan tulisan tangan. Kuntowijoyo menamatkan pendidikannya di SMA 2 Solo pada tahun 1962 lalu melanjutkan di Fakultas Sastra UGM, jurusan sejarah.

Saat Kuntowijoyo menjadi mahasiswa, bersama teman-temannya mendirikan organisasi kesenian bernama LEKSI (Lembaga Kebudayaan dan Seni Islam). Organisasi ini yang menjadi pemompa Kuntowijoyo dalam perkembangan pribadi, intelektualitas dan keseniannya. Leksi adalah organisasi yang dibawahi oleh PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Selain itu bersama teman-temannya pula Kuntowijoyo mendirikan Studi Grup Mantika yang beranggotakan Dawam Rahardjo, Syu'bah Asa, Chairul Umam, Ikranegara, Arifin C Noor, Abdul Hadi W. M, Amri Yahya. Kuntowijoyo adalah ketua dari grup diskusi ilmiah ini. Grup ini sempat menyelenggarakan pameran lukisan di Malioboro.[1]

Setelah 7 tahun menyelesaikan perkuliahannya pada 1969, Kuntowijoyo diangkat menjadi staff pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Selain mengajar Kuntowijoyo aktif menulis puisi, cerpen, novel, esai dan naskah drama. Tulisan-tulisan Kuntowijoyo dimuat di berbagai media massa seperti majalah Sastra, Horison, Budaya Jaya, Kompas, Republika, Bernas, Prisma dan Ulumul Quran. Novelnya yang terkenal dan menjadi masterpiece yaitu Khotbah Di Atas Bukit (1976) ditulis di sela-sela Kuntowijoyo mengajar.[2] Kuntowijoyo selalu membawa sebuah notes kecil kemanapun bepergian. Setiap ada ide yang melintas di pikirannya, Kuntowijoyo mencatatnya dalam notes kecil tersebut. Kuntowijoyo juga aktif ikut berbagai organisasi kemasyarakatan maupun profesi. Di Muhammadiyah Kuntowijoyo pernah menjadi anggota Majelis Pertimbangan Pengurus Pusat. Kuntowijoyo juga terlibat aktif dalam pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia atau ICMI. Kuntowijoyo turut aktif menjadi anggota PPSK (Pusat Pengkajian dan Studi Kebijakan) yang pada saat itu dipimpin oleh Amien Rais.

Tahun 1971, Kuntowijoyo menikahi Susiloningsih (yang pernah menjadi pengajar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Aisyiyah Yogyakarta dan aktif di PP Aisyiyah). Pernikahan Kuntowijoyo dengan Susiloningsih sebenarnya sebuah pilihan yang cukup menantang bagi hidupnya. Pada tahun itu, Kuntowijoyo mendapat tawaran beasiswa kuliah di Amerika Serikat. Jika berangkat maka Kuntowijoyo harus menunda pernikahannya. Kuntowijoyo pun harus memilih dua di antara pilihan tersebut. Maka Kuntowijoyo memilih untuk menikah terlebih dahulu, karena menurutnya pernikahan selama sudah mampu tidak boleh ditunda-tunda. Untuk beasiswa bisa Kuntowijoyo usahakan kembali. Kuntowijoyo berkata, “jika rezeki tidak akan ke mana”. Pernikahan Kuntowijoyo dan Susiloningsih dikaruniai dua putra.[3]

Tiga tahun kemudian Kuntowijoyo mendapat beasiswa dari Fulbright. Kuntowijoyo mendalami ilmu sejarah di University of Connecticut dan mendapat gelar master di sini. Lalu Kuntowijoyo melanjutkan studi doktoralnya dari Columbia University serta meraih gelar Ph.D di tahun 1980 dengan disertasi berjudul Social Change In an Agrarian Society : Madura 1850-1940. Sembari menemani Kuntowijoyo di Amerika, Susiloningsih juga berhasil meraih gelar MA di bidang psikologi. Berbeda dengan Kuntowijoyo yang mendapatkan beasiswa ketika studinya, Susiloningsih membiayai perkuliahannya di Amerika Serikat dengan bekerja sebagai penjaga toko.

Setelah selesai menempuh studinya di Amerika pada tahun 1980, Kuntowijoyo kembali ke Indonesia sebagai pengajar di Universitas Gadjah Mada. Kuntowijoyo aktif mengisi seminar, menulis serta ceramah-ceramah keagamaan, politik, sastra, seni maupun budaya. Bersama Amien Rais mendirikan pondok pesantren mahasiswa yang bernama Budi Mulya. Pemikiran Kuntowijoyo yang bernas dan tajam selalu memikat dan menarik perhatian dengan gaya bicara yang linier, tenang dan tidak emosional. Kuntowijoyo memang bukan tipe orator yang berapi-api dan menggebu-gebu. Tetapi setiap perkataanya menurut Suminto A. Sayuti (dalam pengantar, Kuntowijoyo, 2013: 2) membuat audiens tersihir, semuanya menyimak dengan baik tanpa mau tertinggal satu kata darinya.[4]

Kuntowijoyo adalah orang yang tergolong kritis terhadap apapun yang menurutnya tidak sejalan dengan prinsip yang seharusnya. Meskipun aktif di Muhammadiyah, Kuntowijoyo tidak segan-segan mengkritik organisasi tersebut sebagai gerakan kebudayaan “tanpa kebudayaan” (Mulkan pengantar dalam Fahmi, 2005: xxxiv). Kuntowijoyo sering menulis opini di media massa tentang kebobrokan pemerintahan Orde Baru. Hal tersebut terkadang membuat Kuntowijoyo dalam posisi yang terancam sebagai seorang warga negara. Di masa itu terkenal dengan masa represif dan otoritariannya pemerintahan. Menurut istrinya, Susiloningsih, Kuntowijoyo sering didatangi oleh tentara untuk diinterogasi. Bahkan Kuntowijoyo sering diminta pergi ke Kodim untuk dimintai laporan dan keterangan. Tetapi hal tersebut tidak memadamkan aktivitas Kuntowijoyo untuk menulis dan mengisi berbagai macam forum ilmiah maupun kultural. .[1]

Dua belas tahun Kuntowijoyo kembali di Indonesia, melakukan berbagai macam aktivitas dan menelurkan berbagai macam karya yang berkualitas, ternyata tidak selalu berjalan dengan mulus dan indah. Pada tanggal 6 Januari 1992, Kuntowijoyo jatuh sakit yang membuat kemampuan motoriknya nyaris terganggu total. Kuntowijoyo terkena penyakit yang tergolong langka di Indonesia, yakni peradangan selaput otak yang disebabkan oleh virus meningo encephalitis. Virus ini semacam virus flu ganas yang akibatnya adalah kemampuan otak untuk menggerakkan anggota tubuh terganggu. Tangan sering bergetar saat menekan satu tuts huruf pada keyboard komputer sehingga sering meleset. Saat itu Kuntowijoyo nyaris tidak dapat melakukan aktivitas apapun. Inilah hari-hari terberatnya sepanjang hidup (Anwar dalam pengantar Kuntowijoyo, 1997: xviii).

Abdul Munir Mulkan (dalam pengantar Fahmi, 2005: xxxiii) memberikan gambaran betapa tersiksanya Kuntowijoyo dalam sakitnya, "Untuk mengeluarkan sebuah kata saja, ia seperti harus mengerahkan seluruh kekuatan dan energi tubuhnya. Gerakan tubuhnya bagai kakek yang mengalami kerapuhan tulang".

Untunglah Kuntowijoyo selalu setia ditemani oleh istrinya yang dengan ikhlas dan penuh cinta merawatnya. Banyak pula saudara, sahabat dan handai taulan yang datang mendoakan serta selalu memberi semangat Kuntowijoyo. Budayawan Emha Ainun Najib senantiasa memotivasi Kuntowijoyo dengan memintanya hanya bertawakal kepada Allah semata. Emha mengatakan bahwa karena Kuntowijoyo dengan posisinya seperti ini, maka Kuntowijoyo mempunyai hak langit untuk meminta apapun kepada Allah. Emha juga menyarankan dzikir lembut untuk senantiasa digetarkan dalam hati yang diambil dari asmaul husna seperti Ya Khaliq (Yang Maha Menciptakan), Ya Bari’ (Yang Maha Mengadakan), Ya Mushawwir (Yang Maha Membentuk) (Anwar dalam pengantar Kuntowijoyo, 1997: xviii).[5]

Setelah dua tahun tidak mampu beraktivitas dan hanya beristirahat total, Kuntowijoyo mampu bangkit dari keterpurukan.[6] Kuntowijoyo meskipun tidak sembuh penuh dan sulit untuk melafalkan kata-kata lisan, perlahan melatih gerak motoriknya. Kuntowijoyo sudah mampu berjalan sedikit demi sedikit, memegang benda-benda dan tentunya mengetik dengan pelan-pelan. Kuntowijoyo kembali ke dunia intelektual yang selama ini ditekuni.

Sakit yang merampas sebagian tubuh Kuntowijoyo, tidak menyulutkan api semangatnya untuk terus berkarya. Kuntowijoyo dengan bermodalkan dua telunjuknya untuk mengetik, (yang kiri untuk mengetik huruf dan yang kanan membantu untuk proses penyimpanan dan lain-lain) terus menghasilkan banyak karya dan tulisan laksana gerimis yang bercucuran dari langit. Bahkan tak jarang Kuntowijoyo mendapatkan sejumlah penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri atas karya-karyanya. Hal ini membuat banyak kalangan menilai bahwa setelah mengalami sakit parah, tulisan Kuntowijoyo semakin jernih dan terlihat kualitasnya yang tinggi.

Menurut Susiloningsih (Wahjoe, 2004: 15:36), Kuntowijoyo adalah sosok yang amat begitu sabar dan luar biasa dalam mengatur pikiran dan gagasannya. Ketika Kuntowijoyo sakit, gagasan-gagasannya mengendap di pikirannya dan belum bisa tersalurkan. Setelah Kuntowijoyo bangkit dari sakitnya, Kuntowijoyo seolah meledakkan gagasannya sedikit demi sedikit lewat tulisan namun mampu mengaturnya sehingga tidak terlalu meluap-luap, tetap teratur dan sistematis.[7]

Kedisiplinan Kuntowijoyo terlihat di sini. Susiloningsih juga menyatakan bahwa Kuntowijoyo sangat disiplin dan teratur dalam urusan waktu. Tulis menulis menjadi aktivitas yang tidak pernah lepas darinya. Istri Kuntowijoyo tersebut menyatakan bahwa sekali dua hari, ia berolahraga, senam, jogging atau jalan kaki. Ia biasanya sudah bangun tidur sekitar pukul 03.30. Kemudian sholat tahajud, salat fajar dan berzikir. Selepas itu, ia menulis sampai beduk subuh. Setelah sholat subuh, ia meneruskan menulis lagi. Kala jadwal jalan pagi, dua hari sekali setelah sholat subuh, ia berjalan-jalan untuk melemaskan otot kakinya sampai sejauh 5 kilometer. Kegiatan menulis juga dilanjutkan lagi setelah jalan pagi. Siang hari, dia tidur siang. Sorenya, ia kembali menulis. Setelah istirahat sejenak, sehabis sholat isya, menulis lagi sampai tengah malam, bahkan kadang-kadang hingga pukul 02.00.

Kuntowijoyo juga dikenal sebagai sosok yang selalu murah senyum. Kuntowijoyo juga tak lupa menghibur diri dan pikirannya. Di tengah keasyikannya menulis Kuntowijoyo senang menonton acara pertandingan tinju dan film koboi di televisi. Hari selasa tanggal 22 bulan dua (Februari) tahun 2005 menjadi saksi keberpisahan Kuntowijoyo dengan keluarga dan dunia. Kuntowijoyo meninggal di Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta akibat komplikasi penyakit sesak nafas, diare dan ginjal. Jenazahnya dikebumikan di Makam Keluarga UGM di Sawitsari, Yogyakarta. Kuntowijoyo meninggalkan seorang istri, Susiloningsih beserta dua putranya Punang Amaripuja dan Alun Paradipta.[8]

Kuntowijoyo dikenal sebagai sosok tokoh dengan banyak predikat. Kuntowijoyo adalah cendekiawan, sejarawan, budayawan, sastrawan, kolumnis serta agamawan.[9] Tetapi dengan predikat seperti itu tidak sedikitpun membuat Kuntowijoyo lupa akan kesederhanaan. Meskipun menjadi guru besar Kuntowijoyo hanya memiliki rumah bertipe 70 dengan ruang tamu berukuran 4 x 5 meter yang diisi dengan kursi dan meja tamu coklat tua. Tak ada perabot mahal di rumahnya, hanya ada tumpukan buku dan piala-piala penghargaan atas karya tulis. Ruang-ruang di rumahnya sesak dijejali oleh buku-buku baik itu ruang keluarga, ruang tamu, lantai atas, lantai bawah dan perpustakaan.

Ungkapan peribahasa yang menyatakan bahwa, “di balik lelaki yang hebat terdapat wanita yang kuat” terbukti dalam rumah tangga Kuntowijoyo. Susiloningsih merupakan sosok istri yang amat sangat luar biasa sabar dan telaten dalam mendampingi Kuntowijoyo dari sehat sampai Kuntowijoyo sakit. Segala cintanya yang ikhlas dicurahkan untuk suami dan keluarganya. Bahkan ketika Kuntowijoyo sakit, sosok Susiloningsih-lah yang menemani Kuntowijoyo dan sering membacakan naskah-naskah Kuntowijoyo dalam seminar-seminar maupun perkuliahan. Pun seandainya Susiloningsih tidak bisa, posisi tersebut digantikan oleh anaknya. Susiloningsih senantiasa menjadi perawat pribadi Kuntowijoyo semasa Kuntowijoyo sakit. Ketika Kuntowijoyo dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Susiloningsihlah yang membacakan teks pidato pengukuhan guru besar tentang periodesasi kesadaran keagamaan umat Islam.

Kuntowijoyo mengaku mewarisi dua budaya sekaligus. Budaya Yogyakarta yang bersifat serba adanya-gagah-maskulin-aktif karena terlahir dari seorang prajurit “pemberontak” (Mangkubumi). Budaya Surakarta yang lebih halus-penuh bunga-feminis-kontemplatif karena terlahir di tengah kenyamanan dan kemapanan. Kedua corak kebudayaan inilah yang memberikan warna pada kreativitas Kuntowijoyo.

Kuntowijoyo dididik dengan kebudayaan tradisi Jawa serta Islam yang kuat. Keluarganya yang berlatar priyayi terdiri atas orang-orang Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Latar belakang ini membuatnya kelak menolak gagasan Clifford Geertz yang mengkotak-kotakan orang Jawa menjadi priyayi, abangan dan santri. Menurutnya kategorisasi tersebut tidak selalu bisa menggambarkan realitas yang sesungguhnya. Fakta menunjukkan orang dapat berdiri di tengah-tengah, berdiri di atas dua kaki atau berubah-ubah. Karena itu tidak heran jika ada seorang yang berhaluan kiri datang ke masjid, atau seorang berpendidikan santri masuk partai sekuler.

Kuntowijoyo adalah didikan serta murid kesayangan dari guru besar sejarah Universitas Gadjah Mada, Prof. Sartono Kartodirdjo. Kuntowijoyo banyak mendapat inspirasi dan pencerahan dari guru besar ini. Banyak pula pemikiran Sartono Kartodirdjo yang mempengaruhi corak berpikir Kuntowijoyo. Di antaranya adalah konsepsi Kuntowijoyo mengenai historiografi yang tidak lagi berpusat di Eropa dan sekitarnya, namun bergeser ke sejarah Nusantara (Kuntowijoyo, 2003: 6). Kuntowijoyo selalu mengingat pesan gurunya yaitu “menjadi intelektual adalah pilihan pemberani : orang harus berani tidak berkuasa, berani tidak berpangkat dan berani tidak berharta”. Dengan kata lain yang bersangkutan harus berani hidup sederhana.

Kuntowijoyo juga menganalisis pembagian sejarah periode umat Islam menjadi tiga yakni mitos yang identik dengan petani, yang identik dengan kaum terpelajar dan ilmu yang identik dengan kaum profesional. Hal ini terinspirasi oleh pemikiran periodisasi August Comte tentang pembagian periode sejarah. August Comte membagi sejarah pemikiran umat manusia menjadi tiga, yakni mistis, filsafat dan ilmu. Bedanya Kuntowijoyo tetap menjadikan agama sebagai faktor utama perubahan sejarah, sedangkan August Comte membuang agama karena menurutnya agama adalah bentuk pemikiran kuno tentang mitos (Kuntowijoyo dalam pengantar Pribadi dan Haryono, 2002: 12).[10]

Pada pengembangan pemikiran etika profetik, Kuntowijoyo banyak terpengaruh dan terinspirasi oleh filsuf Prancis, Robert Garaudy dan filsuf India Sir Muhammad Iqbal. Kedua tokoh ini tidak bisa dilepaskan dari corak pemikiran profetik Kuntowijoyo. Robert Garaudy menjadikan landasan pemikiran profetik sebagai solusi atas kebuntuan peradaban modern yang berasal dari barat dengan mengakomodasi kembali agama sebagai pijakan pengetahuan. Muhammad Iqbal memberikan pijakan tentang implikasi sosiologis dan historis keberagamaan manusia, agar agama bukan hanya menjadi barang usang di Kuil ataupun di Masjid.

Pemikiran etika profetik juga tidak lepas dari tanggapan Kuntowijoyo atas fenomena “Islamisasi pengetahuan dan ilmu” yang digagas oleh Ismail Raji Al Faruqi dan Syed Naquib Al Attas. Menurut Kuntowijoyo gejala awal dari Islamisasi pengetahuan merupakan hal yang bisa dikatakan reaksioner karena mentah-mentah menolak apapun dari Barat. Selain itu fenomena ini terkesan begitu bernafsu untuk memberikan label apapun dengan nama Islam bahkan di ranah yang teknis sekalipun (Kuntowijoyo, 2006: 8).[11]

Kuntowijoyo banyak terpengaruh pemikiran strukturalis. Kuntowijoyo juga memperlakukan agama Islam sebagai sebuah struktur yang tersusun rapi. Pemikiran Kuntowijoyo tentang strukturalisme transendental banyak mengadopsi corak berpikir psikolog beraliran strukturalis asal Jenewa Jean Peaget dan intelektual Amerika Serikat, Michael Lane. Kuntowijoyo mengadopsi bagan pemikiran mengenai struktur dan strukturalisme dari kedua tokoh tersebut.

Pengertian Profetik

Profetik berasal dari bahasa inggris prophet, yang berarti nabi. Menurut Oxford Dictionary, prophetic adalah “of, pertaining or proper to a prophet or prophecy” ; “having the character or function of a prophet” ; characterized by, containing, or of the nature of prophecy pandangan ibnu arabi tentang dunia

; predictive”. Jadi makna profetik adalah mempunyai sifat atau ciri seperti nabi atau bersifat prediktif, memprakirakan. Profetik disini dapat diterjemahkan menjadi kenabian (Ahimsa-Putra, 2016: 2).[12]

Pemikiran profetik diilhami oleh gagasan Muhammad Iqbal, khususnya ketika Iqbal berbicara mengenai peristiwa mi’rajnya Rasulullah SAW. Seandainya Nabi itu seorang mistikus atau sufi, kata Iqbal tentu Nabi tidak ingin kembali ke bumi, karena telah merasa tentram bertemu dengan Tuhan dan berada di sisiNya. Nabi kembali ke bumi untuk menggerakkan perubahan sosial, untuk mengubah jalan sejarah. Nabi Muhammad memulai suatu transformasi sosial budaya, berdasarkan cita-cita profetik. (Kuntowijoyo, 2006: 87).[11]

Muhammad Iqbal dalam buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam mengutip kata-kata mistikus Islam dari Ganggah yaitu Abdul Quddus. Mistikus ini berkata, “Muhammad telah naik ke langit tertinggi lalu kembali lagi. Demi Allah aku bersumpah, bahwa kalau aku yang telah mencapai tempat itu aku tidak akan kembali lagi”.[13] Bagi Iqbal, sang mistikus tersebut tampaknya tidak memiliki kesadaran sosial. Inilah perbedaan psikologis yang amat tajam antara kesadaran dunia rasul dan kesadaran dunia mistik. Nabi bukanlah mistikus, oleh karena itu nabi kembali ke dunia untuk menggerakkan kekuatan-kekuatan sejarah dan menciptakan dunia baru.

Hal demikian sejalan dengan Ibnu Arabi. Pandangan Ibnu Arabi tentang dunia, dapat berarti ketaatan manusia kepada syara’ (ubudiyah) sebagai syarat untuk mendekat kepada Allah. Barang siapa yang mengasingkan diri dari tanah airnya (dari persoalan dunia dan dari syara’), maka haram baginya bersifat dengan nama-nama Allah. Manusia ideal menurut Kuntowijoyo adalah manusia yang bersih, bertaqarrub kepada Allah sambil khusuk mengurusi pergerakan sejarah di muka bumi. Manusia yang senantiasa terlibat dengan dunia, tetapi tidak tenggelam di rawa-rawa dehumanisasi.[14]

Dari pemikiran Roger Garaudy, Kuntowijoyo mengambil filsafat profetiknya. Menurut Garaudy (dalam Kuntowijoyo, 2001: 364), filsafat Barat tidak memuaskan, sebab hanya terombang-ambing antara kubu idealisme dan materialisme, tanpa kesudahan. Filsafat Barat (filsafat kritis) itu lahir dari pertanyaan : bagaimana pengetahuan itu dimungkinkan.[15] Garaudy menyarankan untuk mengubah pertanyaan itu menjadi bagaimana wahyu itu dimungkinkan. Garaudy mengatakan bahwa satu-satunya cara untuk menghindari kehancuran peradaban manusia ialah dengan mengambil kembali warisan Islam. Filsafat Barat sudah “membunuh” Tuhan dan manusia, karena itu Garaudy menganjurkan supaya umat manusia memakai filsafat kenabian dari Islam dengan mengakui wahyu.

Gagasan Garaudy ini sepertinya terdengar agak hiperbolik dan menggebu-gebu. Hal ini wajar, karena Garaudy seorang filsuf sekaligus praktisi politik di zamannya yang telah menyelami berbagai macam konflik sejarah dalam peradaban barat. Garaudy awalnya adalah seorang katolik fanatik dan komunis yang radikal. Garaudy adalah orang yang menentang dengan keras Naziisme yang bergejolak menguasai Eropa di masa itu. Bahkan Garaudy sempat dijebloskan dalam camp padang pasir di Aljazair dan hampir dihukum mati. Garaudy tidak jadi dihukum mati sebab tim regu tembak yang akan mengadili Garaudy berkeyakinan tidak boleh membunuh orang yang tidak bersenjata. Ternyata regu tembak tersebut beragama Islam. Inilah yang menyentuhnya untuk mempelajari Islam dan akhirnya pada tahun 1980, Garaudy menyatakan dirinya masuk agama Islam (Arroisi, 1991: 5).[16]

Garaudy yang pernah menjadi aktivis radikal Komunis, bahkan menduduki posisi strategis di partai tersebut menyimpulkan bahwa kapitalisme dan komunisme yang berkembang di Barat, hanya menjadikan kelinci percobaan bagi para bangsa-bangsa di dunia ketiga. Semuanya memberikan arah kepada kehancuran kemanusiaan. Lebih lanjut Garaudy (dalam Kuntowijoyo, 2001: 17) mengatakan bahwa, transendensi seperti dalam tradisi Nabi Ibrahim merupakan kunci bagi penyelamat manusia modern.[15] Teknologi, ilmu dan manajemen memang membawa kemajuan, tetapi gagal membawa kebahagiaan. Kekerasan adalah akibat kemajuan teknologi perang, kekuasaan pasar adalah buah dari penguasaan ilmu, kesenjangan adalah hasil ketimpangan manajemen. Semuanya tanpa iman. Transendental dalam arti spiritual akan membantu kemanusiaan menyelesaikan masalah-masalah modern.

Latar Belakang Etika Profetik Kuntowijoyo

Kuntowijoyo menempatkan posisi wahyu sebagai bagian yang sangat sentral dalam pemikiran profetik. Tetapi terlebih dahulu Kuntowijoyo menekankan demistifikasi dalam memandang agama. Demistifikasi adalah upaya untuk memahami sesuatu tidak dengan bayang-bayang mistik. Kuntowijoyo berpendapat ada lima macam mistik yang ada dan menyelimuti umat beragama khususnya agama islam, yaitu mistik metafisik, mistik sosial, mistik etis, mistik penalaran, dan mistik kenyataan.

Mistik metafisik adalah hilangnya seorang “dalam” Tuhan yang disebut mysticism atau sufisme, baik sufisme substansi atau sufisme atribut, menyatu dalam arti zat atau menyatu dalam arti kehendak/sifat/akhlak. Mistik sosial adalah hilangnya perorangan dalam satuan yang lebih besar, organisasi, sekte atau masyarakat. Mistik etis ialah hilangnya daya seseorang dalam menghadapi nasibnya, menyerah pada takdir atau fatalisme. Mistik penalaran adalah hilangnya nalar (akal) seseorang karena kejadian-kejadian sekitar tidak masuk dalam akalnya. Mistik kenyataan ialah hilangnya hubungan agama dengan kenyataan, kenyataan sebagai suatu konteks.

Menurut Kuntowijoyo dari kelima tersebut yang paling mendekati umat manusia saat ini adalah mistik kenyataan. Agama telah kehilangan relasi dengan kenyataan, realitas, aktualitas serta kehidupan. Teks telah kehilangan konteks. Melalui demistifikasi, permasalahan ini mencoba diatasi dengan kembali menghubungkan agama dengan realitas. Penghubungan ini juga bisa diartikan mengkorespondensikan teks menuju konteks. Umat akan mengenal lingkungan secara lebih baik, baik fisik, lingkungan sosial, lingkungan simbolis maupun lingkungan sejarah. Inilah yang nantinya oleh Kuntowijoyo disebut sebagai pengilmuan Islam (Kuntowijoyo, 2006: 10).[11]

Pengilmuan Islam (dari teks ke konteks)

Kuntowijoyo tidak menggunakan istilah Islamisasi pengetahuan. Kuntowijoyo cenderung menghindari gagasan tersebut. Islamisasi pengetahuan menurutnya adalah gerakan untuk mengembalikan pengetahuan umat Islam dari konteks menuju teks. Pada konsep muamalah ada rumusan bahwa semua boleh kecuali yang dilarang. Hal ini berlaku untuk pengetahuan dan juga kebudayaan. Hanya saja, jika pengetahuan sudah menjadi egoistik (secara berlebih-lebihan merujuk pada diri sendiri) dan melampaui batas-batasnya sehingga tidak lagi menjadi pengetahuan, maka hilanglah statusnya sebagai sekedar muamalah. Terkadang pengetahuan mengklaim diri sebagai kebenaran. Apabila klaim ini bertentangan dengan agama, maka hal ini perlu diislamisasi.

Sebagai contoh biologi dengan teori evolusi yang mengatakan manusia berasal dari kera, psikologi Sigmund Freud yang menganggap agama adalah ilusi yang harus dimusnahkan, atau generalisasi antropologi yang menganggap bahwa semua peradaban akan menuju pada sekularisme. Contoh-contoh tersebut bisa dikategorikan sebagai wilayah yang bisa diislamisasi. Tetapi pengetahuan dan kebudayaan yang benar-benar objektif tidak perlu diislamisasi, karena Islam mengakui objektivitas (Kuntowijoyo, 2006: 9).[11]

Suatu teknologi akan sama bila di tangan orang muslim atau orang kafir. Metode penelitian (metode survey, metode partisipan, metode grounded) akan sama dan akan aman dipakai tanpa memiliki risiko terhadap iman. Karena itu manusia harus memilih mana yang memerlukan Islamisasi dan mana yang tidak diperlukan. Di masa Kuntowijoyo membuat gagasan profetik ini, sebagian umat Islam cenderung bersikap reaksioner menghadapi perkembangan ilmu yang berasal dari Barat. Segala hal yang dari Barat seolah tidak Islami dan bermuatan merusak iman. Semua hal seolah bisa diislamisasi. Kuntowijoyo mengatakan bahwa Islamisasi pengetahuan sebagian memang perlu, dan sebagian adalah pekerjaan yang tidak berguna.

Pengilmuan Islam atau penerapan gagasan teks menuju konteks, menurut Kuntowijoyo memberikan gambaran bahwa agama, khususnya Islam bisa dijadikan pijakan epistemologis untuk merumuskan suatu kerangka ilmu pengetahuan. Kuntowijoyo [11] menyebutkan, bahwa paradigma Al Quran berarti suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana Al Quran memahaminya. Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh Al Quran pertama-tama dengan tujuan agar kita memiliki hikmah yang atas dasar itu dapat dibentuk perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai normatif Al Quran, baik pada level moral maupun pada level sosial. Tetapi rupanya, konstruksi pengetahuan itu juga memungkinkan untuk merumuskan desain besar mengenai sistem Islam, termasuk dalam hal sistem ilmu pengetahuannya. Jadi disamping memberikan gambaran aksiologis, paradigma Al Quran juga dapat berfungsi untuk memberikan wawasan epistemologis.

Strukturalisme Transendental

Untuk mengkontekstualisasikan teks wahyu dalam kehidupan kekinian dan kedisinian menurut Kuntowijoyo, diperlukan pendekatan khusus kepada kitab suci. Kuntowijoyo merumuskan metode yang digunakan agar dapat menerapkan teks (Al Quran dan Sunnah) yang merujuk ke gejala-gejala sosial lima belas abad yang lalu di Arab. Tentu akan ada jarak sosio-historis antara masyarakat sekarang dengan masyarakat zaman itu. Pada masa tersebut bangsa Arab adalah masyarakat pra-industrial, masyarakat kesukuan dan homogen, sementara kondisi masyarakat sekarang adalah industrial (bahkan post-industri), masyarakat kenegaraan, dan masyarakat heterogen (Fahmi, 2005: 5).

Kuntowijoyo menggunakan metode strukturalisme transendental dalam mendekati agama. Menurut Kuntowijoyo strukturalisme digunakan, karena cara pandang ini memiliki pengaruh yang cukup kuat. Strukturalisme biasa dipakai sebagai metode bagi ilmu-ilmu empiris, meliputi sosiologi, antropologi, ilmu politik, linguistik dan kritik sastra. Lebih lanjut Kuntowijoyo menjelaskan bahwa tujuan dari pendekatan ini adalah menerapkan ajaran-ajaran sosial yang terkandung dalam teks lama pada konteks sosial tanpa mengubah strukturnya. Hal ini tentu berbeda dengan hermeneutika yang sebatas digunakan untuk memahami Islam sebagai agama. Hermeneutika juga rentan mengalami multitafsir, sehingga terkadang memunculkan polemik tafsir dan makna baru yang ditafsirkan. Inilah yang dihindari oleh Kuntowijoyo. Kuntowijoyo mencoba tidak ikut berlarut-larut dalam perdebatan tentang semacam ini. Kuntowijoyo kemudian menawarkan pendekatan baru, agar Islam dapat dikontekstualisasikan dan digunakan menjadi kerangka ilmu pengetahuan (Kuntowijoyo, 2001: 10).

Kuntowijoyo (2013: 11) menggunakan istilah transendental sebab menurutnya agama adalah sesuatu yang transenden, yang berasal dari yang Maha Transenden, Yang Abadi. Kitab suci yang berada dalam agama selalu melampaui zamannya, sebab meskipun umurnya sudah sangat tua namun masih dipergunakan sebagai petunjuk bagi pemeluknya. Transenden di sini dipertegas oleh Kuntowijoyo sebagai hal yang sifatnya melampaui. Kuntowijoyo beranggapan bahwa ajaran agama Islam senantiasa melampaui zaman dan ruang geografis tertentu sehingga bisa diterapkan di berbagai waktu dan tempat.

Tetapi sebuah sistem pengetahuan ini pada setiap silih bergantinya waktu dipenuhi dengan bias-bias historis dikarenakan persoalan zaman yang selalu berubah-ubah. Kuntowijoyo berkeyakinan melalui transendensi, teks dapat diangkat dari bias-bias sejarahnya sehingga akan muncul kemurnian ajaran tersebut. Strukturalisme transendental diperlukan agar ajaran agama dapat selalu mengikuti perubahan tanpa kehilangan jati dirinya.

Pilar Pemikiran Etika Profetik

Pilar pemikiran profetik Kuntowijoyo terinspirasi dari Al Quran surat al Imran ayat 110 yang berbunyi : kuntum khaira ummatin ukhrijat linnasi ta'muruna bil ma’ruf wa tan hauna anil munkar wa tu'minuna billah. Artinya : Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, karena kamu menyeru pada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.

Menurut Kuntowijoyo (2001: 357) ada empat hal yang tersirat dalam ayat itu, yaitu konsep tentang umat terbaik, aktivisme sejarah, pentingnya kesadaran dan etika profetik.[15] Umat Islam adalah umat yang disebut sebagai umat terbaik, tetapi disebut demikian tidak karena serta merta. Umat Islam bukanlah kumpulan masyarakat yang menjustifikasi umat yang terpilih tanpa sebab atau secara otomatis seperti yang diklaim oleh Yahudi dengan konsep the chosen people-nya. Umat Yahudi menganggap bahwa umat Yahudi adalah umat terbaik di bumi sehingga yang lain adalah budak yang bisa diperas. Hal ini secara ekstrim dapat menyebabkan rasialisme yang membahayakan kemanusiaan. Islam memandang konsep umat terbaik adalah predikat karena hasil usaha dengan syarat mengerjakan hal-hal tertentu ke arah aktivisme sejarah. Dalam ayat di atas syaratnya adalah tiga, yaitu menyuruh pada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.

Aktivisme sejarah yakni terlibat dalam keberlangsungan sejarah kemanusiaan. Mereka bekerja di tengah manusia dan melakukan banyak perbaikan-perbaikan. Islam tidak mengenal dan membenarkan kerahiban dan pengasingan diri sampai tidak mau mengurusi dunia. Demikian juga gerakan mistik yang berlebihan yang membuatnya terasing dan semakin individualistik, sangat ditentang oleh ajaran Islam. Karena Islam adalah agama amal, demikianlah yang ditegaskan oleh Muhammad Iqbal. Islam menolak padangan kolot yang statis dan mendukung pandangan yang dinamis (Iqbal, 2002: 234).[13]

Kesadaran merupakan hal yang sangat penting dalam Islam. Kesadaran Islam adalah kesadaran tentang nilai-nilai ilahiah yang menjadi tumpuan aktivisme sejarah. Peranan kesadaran ini yang membedakan antara Islam dan materialistik. Pandangan kaum marxis yang mengatakan bahwa superstructure (kesadaran) ditentukan oleh structure (basis sosial, kondisi material) bertentangan dengan pandangan Islam mengenai independensi kesadaran. Demikian pula pandangan yang selalu mengembalikan pada individu (individualisme, eksistensialisme, liberalisme, kapitalisme) bertentangan dengan Islam, karena yang menentukan kesadaran bukan individu tetapi Tuhan. Kesadaran tentang ilahiah menjadi hal yang sangat penting dalam aktivisme sejarah yang menentukan tindakan serta peradaban.

Etika profetik yang berada di ayat tersebut merupakan sebuah syarat agar predikat umat terbaik menjadi hal yang dapat terwujud melalui kesadaran ilahiah yang tercermin dalam aktivisme sejarah. Terdapat tiga variable yang harus dikerjakan menuju khairu ummah atau umat terbaik, yaitu adalah amar ma’ruf, nahi munkar dan tu’minuna billah. Kuntowijoyo membahasakan tiga variabel ini dengan humanisasi, liberasi dan transendensi.

Humanisasi

Amar ma’ruf dalam bahasa sehari-hari dapat berarti apa saja, dari yang sangat individual seperti berdoa, dzikir dan shalat sampai semi-sosial seperti menghormati orang tua, menyambung persaudaraan dan menyantuni anak yatim serta bersifat kolektif seperti mengusahakan jaminan kesehatan, membangun sistem sosial security, mendirikan pemerintahan yang bersih dan lain sebagainya. Kuntowijoyo (2006, 98) memakai bahasa humanisasi. Bahasa latin menyebut humanitas berarti makhluk manusia, kondisi menjadi manusia. Jadi humanisasi berarti memanusiakan manusia, menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekejaman dan kebencian dari manusia.

Menurut Kuntowijoyo (2013: 17) humanisasi diperlukan sebab terdapat tanda-tanda bahwa masyarakat sedang diarahkan menuju dehumanisasi. Dehumanisasi adalah objektivasi manusia (teologis, budaya, massa, negara), agresivitas (kolektif, perorangan, kriminalitas), loneliness (privatisasi, individualisasi), spiritualy alienation (keterasingan spiritual). Artinya bahwa manusia sedang dijadikan objek atau dengan bahasa yang lebih kasarnya manusia menjadi benda yang mudah dieksploitasi oleh kelompok, atau individu bahkan sistem sehingga manusia mengalami keterasingan dalam segala dimensinya. Dehumanisasi menghendaki perilaku manusia lebih dikuasai bawah sadarnya daripada kesadarannya. Tanpa disadari masyarakat Indonesia sudah digerogoti dehumanisasi, yaitu terbentuknya manusia mesin, manusia dan masyarakat massa dan budaya massa.

Perlu adanya suatu usaha untuk mengangkat kembali martabat manusia di zaman seperti ini. Humanisasi amat sangat diperlukan baik sebagai paradigma maupun aksi nyata menghadapi realitas. Masyarakat tidak boleh terjebak dalam belenggu zaman ataupun lubang hitam kebudayaan. Jikalau mereka tidak menginginkan kehancuran peradaban.

Liberasi

Nahi munkar memiliki arti dan dimensi yang cukup luas. Mencegah dari segala kemungkaran merupakan arti tekstualnya. Tetapi penerapannya amat multidimensionalitas. Mulai dari mencegah teman dari mengkonsumsi narkoba, melarang tawuran, memberantas judi, menghilangkan lintah darat sampai membela nasib buruh dan mengusir penjajah. Kuntowijoyo (2006: 98) memakai istilah liberasi. Bahasa latin menyebutkan bahwa liberate yang berarti memerdekakan. Liberasi memiliki arti pembebasan yang mempunyai signifikansi sosial. Baik dari belenggu kebodohan, belenggu sistem (budaya, sosial, politik, ekonomi, filsafat), kepemimpinan yang otoritarian dan sebagainya.

Liberasi adalah semangat perlawanan terhadap segala macam ketidakadilan. Adil dalam terminologi Islam adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Liberasi ini mirip dengan semangat marxisme dalam memperjuangkan orang-orang proletar karena dilemahkan secara ekonomi. Islam mengajarkan yang menjadi patokan utama ketertindasan seseorang bukanlah faktor ekonomi semata. Tetapi juga sosial maupun budaya. Berdasarakan hal tersebut maka menurut Kuntowijoyo (1994: 9), jika diperlukan kesadaran kelas (seperti kaum Marxian) yang dimaksud adalah kepada siapa secara etik dan moral keberpihakan tersebut. Orang yang tertindas dalam sebuah struktur disebut sebagai mustadh’afin.[17]

Menurut Kuntowijoyo terdapat dua macam kesenjangan (1997: 8) yang terjadi yang memungkinkan masyarakat menjadi lemah, yaitu kesenjangan natural dan kesenjangan struktural. Kesenjangan natural adalah kemiskinan yang senantiasa menjadi permasalahan di setiap zaman. Orang yang termiskinkan ini disebut sebagai dhuafa. Kesenjangan berikutnya yaitu kesenjangan struktural yaitu penindasan, atau pelemahan secara sosial, ekonomi maupun politik. Orang yang terlemahkan ini disebut sebagai mustadh’afin. Pendekatan liberasi untuk mengatasi kedua kesenjangan tersebut tentunya berbeda.

Liberasi atau pembebasan kaum dhuafa dapat dilakukan dengan gerakan-gerakan kultural yang tidak melibatkan pemerintah. Bisa dengan gerakan sosial penggalangan dana, pendampingan terhadap kaum miskin, serta pemberian bantuan terhadap mereka yang terkena bencana alam. Pembebasan terhadap mustadh’afin, harus melibatkan peran pemerintah dan regulasi kebijakan politik. Ini disebabkan pelemahan secara struktural adalah pelemahan yang terjadi berjangka panjang dan tersistematis serta memiliki muatan-muatan kepentingan tertentu. Sebagai contoh perampokan sistematis di Papua yakni PT Freeport Indonesia yang mengeruk triliunan kekayaan alam (gunung emas) Indonesia berpuluh-puluh tahun memerlukan kebijakan pemerintah yang tegas dan juga cerdas.

Transendensi

Tu'minuna Billah (beriman kepada Allah) dalam Al Qur’an memiliki arti khusus. Kuntowijoyo menggunakan istilah yang menurutnya sangat umum sebagai padanannya, yakni transendensi. Menurut bahasa latin transcendere berarti memiliki arti naik ke atas. Bahasa inggris menyebutkan to transcend yaitu menembus, melewati, melampaui atau perjalanan di atas/di luar. Transendensi dalam makna teologis yang dimaksud dalam pembahasan ini.

Bagi umat Islam sendiri tentu transendensi berarti beriman kepada Allah SWT. Kedua unsur etika profetik sebelumnya yakni humanisasi dan liberasi harus memiliki rujukan Islam yang jelas. Menurut Erich Fromm (dalam Kuntowijoyo, 2006: 107) siapa yang tidak menerima otoritas Tuhan akan mengikuti relativisme penuh. Nilai dan norma sepenuhnya adalah urusan pribadi. Selanjutnya nilai yang terbentuk sangat tergantung pada masyarakat sehingga nilai dari golongan yang dominan akan menguasai. Tidak hanya berhenti disitu, nilai juga tergantung pada kondisi biologis maka darwinisme sosial, egoisme, kompetisi dan agresivitas adalah menjadi nilai yang menurut mereka ideal.

Transendensi teistik menurut Kuntowijoyo yang merupakan kutipan dari pemikiran Scott Lash adalah konsekuensi dari postmodernisme yang menghendaki adanya dedifferentiation (tergabungnya kembali institusi agama dan institusi dunia), setelah renaissance dahulu melakukan differentiation. Ajaran Islam mengajarkan transendensi tersebut berupa sufisme yang memiliki kandungan tema-tema antara penghambaan total makhluk kepada Tuhannya. Tetapi bukan berarti manusia menjadi hilang dari realitas seperti sufisme/mistisme ekstrim. Tujuan Transendensi adalah menambahkan dimensi transendental dalam kebudayaan.[18] Transendensi masih selalu terkait dengan semangat pemanusiaan manusia atau humanisasi dan pembebasan dari segala macam belenggu atau liberasi.

Implementasi Etika Profetik

Sekularisme berawal dari proses sekularisasi. Sekularisasi menurut Kuntowijoyo terbagi menjadi dua macam, sekularisasi objektif dan sekularisasi subjektif. Sekularisasi objektif terjadi bila orang menghubungkan pemisahan dan pemandirian gejala sosio-kultural dengan agama. Gejala ini akan menyebabkan ekonomi lepas dari agama, politik lepas dari agama, ilmu lepas dari agama dan seterusnya. Semua itu kemudian berdiri secara mandiri. Agama menjadi variabel yang dependen semata. Sekularisasi subjektif terjadi bila sekularisasi objektif itu kemudian masuk dalam tingkat kesadaran manusia. Sekularisasi subjektif menurut James L. Peacock menimbulkan sekularisme dalam kemasyarakatan dan ateisme ilmiah dalam ilmu yang secara agresif mempropagandakan masyarakat sekuler.

Kuntowijoyo tidak serta merta memandang ilmu sekuler dengan sesuatu yang rendah dan menistakannya. Bahkan menurut Kuntowijoyo, upaya mengkritisi ilmu sekuler ini sebagai penghormatannya bahkan berjalan bersama ilmu tersebut. Kuntowijoyo mengatakan Kami tidak berambisi menggantikan ilmu-ilmu sekuler, tapi dengan kerendahan hati yang proporsional kami sekedar ingin berada bersama ilmu-ilmu sekuler (barat dan marxis). Juga kami ingin bekerja untuk mendukung kelangsungan hidup dan masa depan manusia. Perbedaan itu terletak dalam tempat berangkat, rangkaian proses, produk keilmuan dan tujuan-tujuan ilmu (2006: 50).

Ilmu sekuler telah berkembang dengan filsafat yang berangkat dari antroposentrisme. Antroposentrisme menganggap bahwa manusia adalah pusat dari semesta, artinya manusia memiliki kehendak bebas dalam menentukan alam semesta. Manusia menjadi pusat kebenaran, etika, kebijaksanaan dan pengetahuan. Manusia adalah pencipta, pelaksana dan konsumen produk-produknya sendiri.

Anggapan tersebut menyebabkan terjadinya yang disebut sebagai diferensiasi atau pemisahan. Etika, kebijaksanaan dan pengetahuan tidak lagi berdasarkan wahyu Tuhan. Kegiatan ekonomi, politik bahkan kebudayaan lepas dari agama. Ilmu harus objektif, tidak ada campur tangan etika atau moral. Ilmu hanya pelayan setia dari filsafat dan filsafat ilmu. Tetapi ilmu yang mengaku objektif dan bebas dari nilai ternyata telah melampaui dirinya. Ilmu yang semula adalah ciptaan manusia, telah berubah menjadi penguasa atas manusia (Kuntowijoyo, 2006: 51). Bagan berikut akan menunjukkan bagaimana ilmu sekuler tumbuh :

Filsafat Antroposentrsime --> Diferensiasi --> Ilmu Sekuler

Sekularisme muncul karena klaim yang berlebihan dari ilmu. Juga muncul karena antroposentrisme dan diferensiasi filsafat. Dunia yang sekuler diramalkan oleh ilmu sebagai masa depan manusia. Jika dahulu antroposentrisme dan diferensiasi terbatas dalam ilmu dan perilaku, sekarang sekularisme telah menjadi aliran pemikiran, menggantikan keyakinan agama. Seluruh kehidupan diyakini akan menjadi sekuler. Bahkan, agama akan lenyap, atau sekedar spiritualitas dan menjadi kesadaran kosmis (Kuntowijoyo, 2006: 52).

Agama menurut Kuntowijoyo (2006: 54) menyediakan tolok ukur kebenaran ilmu (benar, salah), bagaimana ilmu diproduksi (baik, buruk), dan tujuan-tujuan ilmu (manfaat, merugikan). Selebihnya adalah hak manusia untuk memikirkan dinamika internal ilmu. Ilmu yang lahir dari induk agama harus menjadi ilmu yang objektif. Artinya suatu ilmu tidak dirasakan oleh pemeluk agama lain, non agama dan anti agama sebagai suatu norma, tapi sebagai gejala keilmuan yang objektif semata.

Ilmu integralistik adalah menyatukan wahyu Tuhan dengan manusia, maka akan memungkinkan sebuah proses yang disebut sebagai dediferensiasi. Zaman ini adalah memasuki babak postmodern, yang menurut Kuntowijoyo menghendaki keadaan yang berbalik dengan zaman modern. Modernitas melahirkan differentiation dan autonomisation. Zaman postmodern diharapkan akan menghasilkan dedifferentiation (rujuk kembali) dan deautonomization (keterkaitan kembali). Sektor-sektor sosial kultural dan kesadaran yang pisah dari agama serta berdiri sendiri akan rujuk dan saling terkait kembali. Tetapi dua hal yang disebutkan tersebut belum terjadi di peradaban postmodern. Menurut Zygmunt Bauman (dalam Kuntowijoyo, 2006: 57) pascamodern kecewa terhadap adanya desekularisasi dan menganggap kaum integralisme sebagai fundamentalisme agama. Fundamentalisme agama adalah totalitarianisme yang menjadi musuh bebuyutan manusia merdeka.

Tetapi Kuntowijoyo seolah memberikan semangat optimistik di era postmodern ini. Lebih lanjut kata Kuntowijoyo peradaban postmodern ini menjadi manusia masih berhak merdeka dengan menyelenggarakan proses ke arah dedifferentiation, deautonomisation dan desecularization. Maka sangat wajar jika terjadi pembangunan paradigma keilmuan baru. Paradigma yang terinspirasi dari khazanah Islam (Kuntowijoyo, 2006: 57).

Ilmu integralistik menyatakan bahwa kitab suci atau ajaran agama yang diturunkan merupakan petunjuk etika, kebijaksanaan dan dapat menjadi setidaknya grand theory. Wahyu tidak pernah menjadi klaim sebagai ilmu quo ilmu. Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan kecerdasan manusia, atau sebaliknya menganggap kecerdasan manusia sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan Tuhan. Sumber pengetahuan yang ideal menurut Kuntowijoyo adalah yang berasal dari Tuhan dan berasal dari manusia, atau disebut sebagai teo-antroposentrisme (Kuntowijoyo, 2006: 55).

Ilmu integralistik ini akan lahir dengan penerapan pengilmuan islam. Menurut Kuntowijoyo terdapat dua cara pengilmuan Islam, yakni dengan integralisasi dan objektifikasi. Dua cara ini dijadikan suatu metode penerapan Islam agar Islam dapat berdialektika dengan realitas di zaman yang dinamis ini. Kuntowijoyo berpendapat bahwa hari ini umat Islam di Indonesia telah memasuki babak baru yakni periodesasi ilmu. Oleh karena itu aktualisasi Islam secara muamalah haruslah siap menghadapinya.

Integralisasi

Integralisasi sebenarnya meminjam perbendaharaan dari Armahedi Mahzar tentang kesatuan. Armahedi menggunakan integralisme sebagai kesatuan berpikir secara ontologis, yakni manusia, alam dan kekuasaan Tuhan. Kuntowijoyo lebih mengarahkan kepada hal yang sifatnya kesatuan epistemologis dan aksiologis. Integralisasi adalah upaya untuk mewujudkan ilmu-ilmu integralistik, yakni ilmu yang menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikir manusia. Tidak ada yang direduksi, baik Tuhan seperti yang terjadi di Barat maupun manusia seperti pada ajaran mistik ekstrim di timur (Kuntowijoyo, 2006: 55).

Integralisasi lahir sebagai upaya alternatif, di tengah berkembangnya ilmu-ilmu sekuler yang memisahkan antara agama dan kehidupan. Tetapi bukan berarti hal ini dilakukan untuk meniadakan ilmu-ilmu sekuler yang sudah mapan. Bahkan dengan ilmu integralistik bisa jadi menjaga eksistensi substansi ilmu sekuler. Kuntowijoyo memandang ilmu sekuler sedang mengalami krisis (tidak dapat memecahkan banyak soal), mengalami kemandegan (tertutup untuk segala alternatif) dan penuh bias di sana-sini (filosofis, keagamaan, peradaban, etnis, politik, ekonomi dan gender).

Objektifikasi

Objektifikasi bermula dari internalisasi nilai, tidak berhenti pada subjektifikasi kondisi objektif. Itulah perbedaan pokok menurut Kuntowijoyo dengan sekularisasi. Dalam terminologi Kuntowijoyo sebuah nilai atau ajaran, ada beberapa tahapan yang dilakukan sehingga nilai tersebut mewujud menjadi sebuah aksi dan berkaitan dengan gejala objektif. Tahapan tersebut antara lain subjektifikasi, internalisasi, eksternalisasi dan objektivikasi.

Menurut Kuntowijoyo (1997: 50) subjektifikasi terjadi ketika seseorang melihat realitas objektif hanya merupakan konsekuensi logis saja, tidak lebih tidak kurang. Kuntowijoyo tidak menemukan makna transendental di balik gejala-gejala objektif. Persepsinya mengenai gejala objektif menunjukkan predominasi gejala objektif tersebut. Sebagai contoh, apabila seorang ilmuwan ketika melihat objek penelitiannya hanya berhenti pada kegiatan penelitiannya, tanpa adanya pemaknaan akan hadirnya Tuhan dalam kegiatan ilmiahnya maka dia telah melakukan apa yang disebut sebagai subjektifikasi. Hal ini menurut Kuntowijoyo sebagai sesuatu yang tidak ideal.

Internalisasi adalah reaksi seseorang atas gejala objektif yang dihubungkannya dengan nilai-nilai yang dihayati. Internalisasi terjadi bila seseorang mengakui bahwa di balik konsekuensi logis ada kekuatan tak tampak yaitu Tuhan. Manusia menemukan makna transendental di balik gejala objektif, dengan demikian tidak ada predominasi gejala objektif atas manusia.

Eksternalisasi adalah konsekuensi logis dari internalisasi. Hal ini merupakan konkretisasi dari keyakinan yang dihayati secara internal. Misalnya zakat timbul setelah ada keyakinan tentang perlunya harta dibersihkan, keyakinan bahwa sebagian harta itu bukan milik pribadi dan keyakinan bahwa rezeki itu harus dinafkahkan. Jika orang kemudian membayar zakat, itulah yang disebut sebagai ekternalisasi. Jadi eksternalisasi adalah dimensi ibadah (Kuntowijoyo, 2006: 62). Artinya eksternalisasi adalah ekspresi dari gejala objektif yang dimaknai secara transendental, kemudian diwujudkan melalui praktik ibadah agama.

Ketika melakukan pengilmuan Islam, menurut Kuntowijoyo tidak bisa hanya sebatas melalui internalisasi dan eksternalisasi saja. Hal ini akan menyebabkan dominasi suatu umat beragama. Oleh karena itu perlu tahapan agar suatu ajaran agama bisa dirasakan manfaatnya oleh semua orang sebagai gejala objektif. Di situlah perlunya objektivikasi. Objektifikasi adalah perbuatan rasional-nilai yang diwujudkan ke dalam perbuatan rasional sehingga orang luar pun dapat menikmati tanpa harus menyetujui nilai-nilai asal (Kuntowijoyo 2006: 63).

Objektifikasi menempuh prosedur yang sama dengan eksternalisasi. Objektifikasi juga merupakan konkretisasi dari keyakinan internal, tapi tidak hanya berhenti dalam dimensi ibadah transendental. Objektifikasi bergerak ke arah agar suatu perbuatan itu menjadi objektif yang dapat dirasakan oleh orang non-agamanya sebagai sesuatu yang natural. Sekalipun demikian bila orang yang melakukan objektivikasi tetap menganggap perbuatannya sebagai suatu tindakan keagamaan maka tetap dihitung dimensi amal ibadah. Titik berangkat objektifikasi sama dengan ekternalisasi yakni internalisasi, yang membedakan adalah tujuannya. Jika ekternalisasi ditujukan ke dalam umat pemeluk suatu agama sendiri, maka objektifikasi ditujukan ke semua orang, tidak hanya agamanya semata (Kuntowijoyo, 2006: 62).

Objektifikasi berbeda dengan objektivasi. Objektivasi adalah memandang sesuatu menjadi objek atau benda. Objektivasi merupakan salah satu filsuf eksistensialisme Perancis, Jean Paul Sartre. Kuntowijoyo mencontohkan pada kalimat “masyarakat teknologis cenderung melakukan objektivasi terhadap manusia”. Kuntowijoyo menyamakan objektivasi dengan gejala dehumanisasi atau menjadikan manusia sebagai mesin yang menghasilkan manusia mesin. Tentu akan berbeda dengan objektifikasi. Objektifikasi berasal dari kata objektif yang artinya membuat sesuatu menjadi objektif. Sesuatu itu objektif kalau keberadaannya tidak tergantung pada pikiran sang subjek, tetapi berdiri secara independen (Kuntowijoyo, 2006: 72).

Dengan demikian integralisasi dan objektifikasi adalah implementasi dari etika profetik. Ilmu yang saling terhubung dalam berbagai macam epistemologi termasuk wahyu, serta menyajikan ajaran Islam menjadi objektif agar berdampak praktis merupakan inti etika ini. Setidaknya, etika profetik Kuntowijoyo menjadi alternatif dalam melakukan tinjauan kritis dalam menjalani realitas hari ini.

Pemikiran Etika Profetik merupakan kritik atas kejumudan pemikiran islam yang sering kembali ke teks dan tidak melihat konteks. Pada dasarnya Kunto dalam karya-karyanya seperti Mantra Penjinak Ular maupun Makrifat Daun Daun Makrifat mengungkapkan pentingnya melihat konteks dalam menjalani kehidupan beragama. Sindiran Kuntowijoyo dalam Mantra Pejinak Ular terhadap orde baru adalah salah satu bentuk aksi dalam paradigma profetik. Dimana manusia menggerakkan sejarah dengan basis agama yang telah membudaya.[19]

Selain itu Kuntowijoyo juga menerangkan dalam bagian akhir buku Makrifat Daun makrifat sebuah ungkapan alegoris :

"Sebagai Hadiah malaikat menanyakan

Apakah aku ingin berjalan di atas mega

Dan aku menolak

Karena kakiku masih di bumi

Sampai kejahatan terakhir dimusnahkan

Sampai dhuafa dan mustad'afin

Diangakt Tuhan dari penderitaan " [20]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c Fahmi, Muttakhidul (2005). Islam Transendental : Menelusuri Jejak-Jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo. Yogyakarta: Pilar Media. hlm. xxxiv. ISBN 9789793921006. 
  2. ^ Kuntowijoyo (1976). Khutbah di Atas Bukit. Yogyakarta: Pustaka Jaya. ISBN 9786023914036. 
  3. ^ Tanzil, Candra (2004). "Dua Dunia Kuntowijoyo". Youtube Lontar Foundation. 
  4. ^ Kuntowijoyo (2013). Maklumat Sastra Profetik : kaidah, etika dan struktur. Yogayakarta: Multi Presindo. hlm. 2. ISBN 9786021740224. 
  5. ^ Kuntowijoyo (1997). Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan. hlm. xviii. ISBN 9789794331248. 
  6. ^ Firdausi, Fadrik Aziz (22 Februari 2019). "Bagaimana Kuntowijoyo Meramu Sejarah dan Sastra Sekaligus?". tirto.id. 
  7. ^ Wahjoe, Imam (2004). "Profil Maestro Kuntowijoyo". Youtube Keluarga Kuntowijoyo. 
  8. ^ Humas, Universitas Indonesia (23 Februari 2005). "Kliping Budayawan Kuntowijoyo Wafat" (PDF). Tempo - Kliping Universitas Indonesia. 
  9. ^ Admin Merdeka. "Profil Kuntowijoyo". merdeka.com. 
  10. ^ Kuntowijoyo (2002). Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas. Bandung: Mizan. hlm. 12. ISBN 9789794333020. 
  11. ^ a b c d e Kuntowijoyo (2006). Islam sebagai Ilmu : epistemologi, metodologi, dan etika. Yogyakarta: Tiawa Wacana. hlm. 11. ISBN 9789793603193. 
  12. ^ Putra, Heddy Shri Ahimsa (2014). Paradigma Profetik Islam : Epistemologi Etos Dan Model. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. hlm. 2. ISBN 9786023860296. 
  13. ^ a b Iqbal, Muhammad (2002). Rekonstruksi pemikiran agama dalam Islam. Yogyakarta: Jalasutra. hlm. 234. 
  14. ^ Kuntowijoyo (2007). Kuntowijoyo : Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo Gramedia Widiasarana. ISBN 9789797596132. 
  15. ^ a b c Kuntowijoyo (2001). Muslim tanpa masjid : esai-esai agama, budaya, dan politik dalam bingkai strukturalisme transendental. Bandung: Mizan. hlm. 357. ISBN 9789794332689.  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama ":2" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  16. ^ Arroisi, Abdurrahman (1991). Ayat-ayat penggugah iman. Bandung: Remaja Rosdakarya. hlm. 5. ISBN 9789795141723. 
  17. ^ Kuntowijoyo (1994). Dinamika sejarah umat Islam Indonesia. Bandung: Mizan. hlm. 9. ISBN 9789798581021. 
  18. ^ Kuntowijoyo (2008). Paradigma Islam : interpretasi untuk aksi. Bandung: Mizan. hlm. 484. ISBN 9789794335208. 
  19. ^ Kuntowjoyo (2000). Mantra Pejinak Ular. Jakarta: Kompas. ISBN 9789799251442. 
  20. ^ Kuntowjoyo (1995). Makrifat daun, daun makrifat. Gema Insani Press: Yogyakarta. ISBN 9789795612902.