Lompat ke isi

Faringitis streptokokus

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Faringitis streptokokus
A set of large tonsils in the back of the throat covered in white exudate
A culture positive case of streptococcal pharyngitis with typical pus on the tonsils in a 16 year old.
Informasi umum
SpesialisasiOtolaringologi, penyakit menular Sunting ini di Wikidata

Faringitis streptokokus atau sakit tenggorokan akibat Streptokokus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang disebut “Streptokokus grup A”.[1] Sakit tenggorokan akibat Streptokokus mempengaruhi tenggorokan dan tonsil. Tonsil adalah kedua kelenjar di tenggorokan, pada bagian belakang mulut. Sakit tenggorokan akibat Streptokokus juga dapat mempengaruhi rongga suara (laring). Gejala yang sering ditemukan antara lain demam, nyeri tenggorokan (disebut juga sakit tenggorokan), dan kelenjar (disebut kelenjar getah bening) yang membengkak di leher. Sakit tenggorokan akibat streptokokus merupakan penyebab pada 37% nyeri tenggorokan di anak.[2]

Sakit tenggorokan akibat Streptokokus menyebar melalui kontak erat dengan orang yang sakit. Agar yakin bahwa seseorang terjangkit sakit tenggorokan akibat Streptokokus, diperlukan suatu pemeriksaan yang disebut kultur apus tenggorokan. Meskipun tanpa pemeriksaan ini, suatu kasus sakit tenggorokan akibat Streptokokus yang khas dapat diketahui berdasarkan gejalanya. Antibiotik dapat membantu orang yang terkena sakit tenggorokan akibat Streptokokus. Antibiotik adalah obat yang membunuh bakteri. Antibiotik terutama digunakan untuk mencegah komplikasi seperti demam reumatik dan bukan untuk memperpendek lamanya sakit.[3]

Gejala dan tanda

[sunting | sunting sumber]

Gejala sakit tenggorokan akibat Streptokokus yang umum ditemukan adalah nyeri pada tenggorokan, demam lebih dari 38 °C (100,4 °F), nanah (suatu cairan berwarna kuning atau hijau yang tersusun atas bakteri yang mati, dan sel darah putih) pada tonsil, dan kelenjar getah bening yang membengkak.[3]

Dapat pula ditemukan gejala lain seperti:

Seorang yang terkena sakit tenggorokan akibat Streptokokus akan menunjukkan gejala antara satu hingga tiga hari setelah berkontak dengan seorang yang sakit.[3]

Sakit tenggorokan akibat Streptokokus disebabkan oleh suatu tipe bakteri yang disebut Streptokokus beta-hemolitikus grup A (SGA).[6] Bakteri atau virus lain juga dapat menyebabkan nyeri tenggorokan.[3][5] Seseorang menderita sakit tenggorokan akibat Streptokokus melalui kontak langsung dan erat dengan seorang yang sakit. Penyakit ini dapat lebih mudah menyebar apabila berada dalam lingkungan yang padat.[5][7] Contoh lingkungan yang padat di antaranya orang-orang di lingkungan militer atau di sekolah. Bakteri SGA dapat mengering menjadi debu, tetapi tidak dapat menyebabkan orang menjadi sakit. Apabila bakteri di lingkungan dipertahankan tetap lembab maka sampai dengan 15 hari bakteri tersebut dapat menyebabkan seseorang menjadi sakit.[5] Bakteri yang lembap dapat ditemukan pada benda-benda seperti sikat gigi. Bakteri ini dapat hidup dalam makanan, tetapi hal ini sangat jarang terjadi. Orang yang memakan makanan tersebut dapat menjadi sakit.[5] Dua belas persen anak tanpa gejala sakit tenggorokan akibat Streptokokus memiliki SGA di tenggorokan mereka dalam keadaan normal.[2]

Diagnosis

[sunting | sunting sumber]
Modifikasi Skor Centor
Nilai Kemungkinan Strep Pengobatan
1 atau kurang <10% Tidak diperlukan antibiotik atau kultur
2 11–17% Antibiotik berdasarkan kultur atau RADT
3 28–35%
4 atau 5 52% Antibiotik tanpa melakukan kultur

Suatu daftar cek yang disebut Modifikasi Skor Centor membantu dokter memutuskan bagaimana menangani seseorang dengan nyeri tenggorokan. Skor Centor memiliki lima penilaian atau pengamatan klinis. Ini menunjukkan seberapa mungkin seseorang mengalami sakit tenggorokan akibat Streptokokus.[3]

Satu poin diberikan untuk setiap kriteria ini:[3]

  • Tidak ada batuk
  • Kelenjar getah bening membengkak atau kelenjar getah bening yang nyeri bila disentuh
  • Suhu tubuh lebih dari 38 °C (100,4 °F)
  • Pus (nanah) atau pembengkakan tonsil (amandel)
  • Usia kurang dari 15 tahun (dikurangi satu poin apabila orang tersebut berusia lebih dari 44 tahun)

Pemeriksaan laboratorium

[sunting | sunting sumber]

Suatu pemeriksaan yang disebut kultur tenggorokan adalah cara terbaik[8] untuk mengetahui apakah seseorang mengalami sakit tenggorokan akibat Streptokokus. Pemeriksaan ini memiliki ketepatan 90 sampai 95 persen.[3] Terdapat pemeriksaan lain yang disebut uji strep cepat (rapid strep test), disebut juga RADT. Uji strep cepat lebih cepat dibandingkan dengan kultur tenggorokan namun hanya mampu menemukan penyakit dengan benar pada 70% pemeriksaan. Kedua pemeriksaan dapat menunjukkan kapan seseorang tidak mengalami sakit tenggorokan akibat Streptokokus. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut dapat menunjukkan bahwa seseorang tidak mengalami penyakit tersebut pada 98 persen kesempatan.[3]

Saat seseorang sedang sakit, kultur tenggorokan atau uji strep cepat dapat memberitahukan apakah seseorang sedang sakit tenggorokan akibat Streptokokus.[9] Orang yang tidak mengalami gejala sebaiknya tidak diperiksa kultur tenggorokan atau uji strep cepat karena beberapa orang memiliki bakteri streptokokus di tenggorokan mereka pada keadaan normal tanpa ada gejala yang buruk. Dan orang-orang ini tidak memerlukan pengobatan.[9]

Penyebab gejala serupa

[sunting | sunting sumber]

Sakit tenggorokan akibat Streptokokus memiliki beberapa gejala yang sama seperti penyakit lain. Karena hal ini, dapat sulit untuk mengetahui apakah seseorang mengalami sakit tenggorokan akibat Streptokokus tanpa kultur tenggorokan atau uji strep cepat.[3] Apabila orang tersebut mengalami demam dan nyeri tenggorokan disertai batuk, hidung berair, diare, dan mata terasa merah dan gatal, hal ini lebih mungkin suatu nyeri tenggorokan yang disebabkan oleh virus.[3] Mononukleosis infeksiosa dapat menyebabkan kelenjar getah bening di leher membengkak dan nyeri tenggorokan, demam, dan dapat menyebabkan amandel membesar.[10] Diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan dengan pemeriksaan darah. Namun, tidak ada pengobatan yang spesifik untuk mononukleosis infeksiosa.

Pencegahan

[sunting | sunting sumber]

Beberapa orang mengalami sakit tenggorokan akibat Streptokokus lebih sering dibandingkan orang lainnya. Operasi pengangkatan tonsil adalah salah satu cara untuk membuat orang-orang tersebut berhenti mengalami sakit tenggorokan akibat Streptokokus.[11][12] Menderita sakit tenggorokan akibat Streptokokus tiga kali atau lebih dalam setahun mungkin merupakan alasan yang baik untuk mengangkat amandel.[13] Menunggu dahulu juga tidak apa-apa.[11]

Pengobatan

[sunting | sunting sumber]

Sakit tenggorokan akibat Streptokokus biasanya berlangsung selama beberapa hari tanpa pengobatan.[3] Pengobatan dengan antibiotik biasanya akan membuat gejalanya hilang 16 jam lebih cepat.[3] Alasan utama pengobatan dengan antibiotik adalah untuk mengurangi risiko menderita penyakit yang lebih berat. Sebagai contoh, suatu penyakit jantung yang dikenal sebagai demam reumatik atau berkumpulnya nanah di tenggorokan yang dikenal sebagai abses retrofaring.[3] Antibiotik bekerja dengan baik apabila diberikan dalam waktu 9 hari sejak gejala pertama kali muncul.[6]

Obat nyeri

[sunting | sunting sumber]

Obat penghilang rasa nyeri dapat membantu mengurangi nyeri yang disebabkan oleh sakit tenggorokan akibat Streptokokus.[14] Biasanya ini mencakupOAINS atau parasetamol yang juga dikenal sebagai asetaminofen. Steroid juga bermanfaat,[6][15] demikian pulalidokain kental.[16] Aspirin dapat bermanfaat pada dewasa. Tidak baik memberikan aspirin pada anak karena hal ini akan membuat mereka lebih mungkin mengalami Sindrom Reye.[6]

Obat antibiotik

[sunting | sunting sumber]

Penisilin V adalah antibiotik yang paling sering digunakan di Amerika Serikat untuk sakit tenggorokan akibat Streptokokus. Antibiotik ini banyak digunakan karena aman, bekerja dengan baik, dan tidak mahal (tidak menghabiskan banyak uang).[3] Amoksisilin biasanya digunakan di Eropa.[17] Di India, orang lebih berisiko menderita demam reumatik. Karena itu, suatu obat disuntikkan yang disebut benzatin penisilin G merupakan terapi yang biasa diberikan.[6] Antibiotik menurunkan rata-rata lama gejala. Rata-rata lama gejala adalah tiga hingga lima hari. Antibiotik menurunkan hal ini sebanyak sekitar satu hari. Obat-obat ini juga mengurangi penyebaran penyakit.[9] Obat-obat ini terutama digunakan untuk mencoba mengurangi komplikasi yang jarang. Ini mencakup demam reumatik, ruam, atau infeksi.[18] Efek baik antibiotik harus seimbang dengan kemungkinan efek sampingnya.[5] Terapi antibiotik mungkin tidak perlu diberikan pada seorang dewasa sehat yang mengalami reaksi buruk terhadap obat.[18] Penggunaan antibiotik pada sakit tenggorokan akibat Streptokokus lebih sering dibandingkan dengan perkiraan tingkat kejadian penyakit yang diharapkan.[19] Obat eritromisin (dan obat-obat lain, yang disebut makrolid) harus digunakan pada orang yang mengalami alergi berat terhadap penisilin.[3]Sefalosporin dapat digunakan pada orang dengan alergi yang lebih ringan.[3] Infeksi streptokokus juga dapat menyebabkan pembengkakan ginjal (glomerulonefritis akut). Antibiotik tidak mengurangi kemungkinan terjadinya kondisi ini.[6]

Perjalanan penyakit

[sunting | sunting sumber]

Gejala sakit tenggorokan akibat Streptokokus biasanya membaik, dengan atau tanpa pengobatan, dalam waktu sekitar tiga hingga lima hari.[9] Pengobatan dengan antibiotik mengurangi risiko penyakit yang lebih berat. Antibiotik juga membuat penyakit lebih sulit menyebar ke orang lain. Anak dapat kembali sekolah 24 jam setelah pemberian antibiotik.[3]

Masalah yang sangat berat ini mungkin disebabkan oleh sakit tenggorokan akibat Streptokokus:

Epidemiologi

[sunting | sunting sumber]

Sakit tenggorokan akibat Streptokokus termasuk dalam kategori yang lebih luas dari nyeri tenggorokan atau faringitis. Sekitar 11 juta orang menderita nyeri tenggorokan di Amerika Serikat setiap tahunnya.[3] Sebagian besar kasus nyeri tenggorokan disebabkan oleh virus. Bakteri Streptokokus beta hemolitikus grup A menyebabkan 15 hingga 30 persen nyeri tenggorokan pada anak. Bakteri ini menyebabkan 5 hingga 20 persen nyeri tenggorokan pada dewasa.[3] Kasus biasanya terjadi pada akhir musim dingin dan awal musim semi.[3]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "streptococcal pharyngitis" di Kamus Medis Dorland
  2. ^ a b Shaikh N, Leonard E, Martin JM (2010). "Prevalence of streptococcal pharyngitis and streptococcal carriage in children: a meta-analysis". Pediatrics. 126 (3): e557–64. doi:10.1542/peds.2009-2648. PMID 20696723. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v Choby BA (2009). "Diagnosis and treatment of streptococcal pharyngitis". Am Fam Physician. 79 (5): 383–90. PMID 19275067. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-02-08. Diakses tanggal 2012-07-30. 
  4. ^ a b c d Brook I, Dohar JE (2006). "Management of group A beta-hemolytic streptococcal pharyngotonsillitis in children". J Fam Pract. 55 (12): S1–11; quiz S12. PMID 17137534. 
  5. ^ a b c d e f Hayes CS, Williamson H (2001). "Management of Group A beta-hemolytic streptococcal pharyngitis". Am Fam Physician. 63 (8): 1557–64. PMID 11327431. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-05-16. Diakses tanggal 2012-07-30. 
  6. ^ a b c d e f Baltimore RS (2010). "Re-evaluation of antibiotic treatment of streptococcal pharyngitis". Curr. Opin. Pediatr. 22 (1): 77–82. doi:10.1097/MOP.0b013e32833502e7. PMID 19996970. 
  7. ^ Lindbaek M, Høiby EA, Lermark G, Steinsholt IM, Hjortdahl P (2004). "Predictors for spread of clinical group A streptococcal tonsillitis within the household". Scand J Prim Health Care. 22 (4): 239–43. doi:10.1080/02813430410006729. PMID 15765640. 
  8. ^ Smith, Ellen Reid; Kahan, Scott; Miller, Redonda G. (2008). In A Page Signs & Symptoms. In a Page Series. Hagerstown, Maryland: Lippincott Williams & Wilkins. hlm. 312. ISBN 0-7817-7043-2. 
  9. ^ a b c d Bisno AL, Gerber MA, Gwaltney JM, Kaplan EL, Schwartz RH; Gwaltney (2002). "Practice guidelines for the diagnosis and management of group A streptococcal pharyngitis. Infectious Diseases Society of America". Clin. Infect. Dis. 35 (2): 113–25. doi:10.1086/340949. PMID 12087516.  Tidak memiliki parameter |last2= di Authors list (bantuan)
  10. ^ Ebell MH (2004). "Epstein-Barr virus infectious mononucleosis". Am Fam Physician. 70 (7): 1279–87. PMID 15508538. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-07-24. Diakses tanggal 2012-07-30. 
  11. ^ a b Paradise JL, Bluestone CD, Bachman RZ; et al. (1984). "Efficacy of tonsillectomy for recurrent throat infection in severely affected children. Results of parallel randomized and nonrandomized clinical trials". N. Engl. J. Med. 310 (11): 674–83. doi:10.1056/NEJM198403153101102. PMID 6700642. 
  12. ^ Alho OP, Koivunen P, Penna T, Teppo H, Koskela M, Luotonen J (2007). "Tonsillectomy versus watchful waiting in recurrent streptococcal pharyngitis in adults: randomised controlled trial". BMJ. 334 (7600): 939. doi:10.1136/bmj.39140.632604.55. PMC 1865439alt=Dapat diakses gratis. PMID 17347187. 
  13. ^ Johnson BC, Alvi A (2003). "Cost-effective workup for tonsillitis. Testing, treatment, and potential complications". Postgrad Med. 113 (3): 115–8, 121. PMID 12647478. 
  14. ^ Thomas M, Del Mar C, Glasziou P (2000). "How effective are treatments other than antibiotics for acute sore throat?". Br J Gen Pract. 50 (459): 817–20. PMC 1313826alt=Dapat diakses gratis. PMID 11127175. 
  15. ^ "Effectiveness of Corticosteroid Treatment in Acute Pharyngitis: A Systematic Review of the Literature". Andrew Wing. 2010; Academic Emergency Medicine. [pranala nonaktif permanen]
  16. ^ "Generic Name: Lidocaine Viscous (Xylocaine Viscous) side effects, medical uses, and drug interactions". MedicineNet.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-04-08. Diakses tanggal 2010-05-07. 
  17. ^ Bonsignori F, Chiappini E, De Martino M (2010). "The infections of the upper respiratory tract in children". Int J Immunopathol Pharmacol. 23 (1 Suppl): 16–9. PMID 20152073. 
  18. ^ a b Snow V, Mottur-Pilson C, Cooper RJ, Hoffman JR (2001). "Principles of appropriate antibiotic use for acute pharyngitis in adults" (PDF). Ann Intern Med. 134 (6): 506–8. PMID 11255529. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2009-07-16. Diakses tanggal 2012-07-30. 
  19. ^ Linder JA, Bates DW, Lee GM, Finkelstein JA (2005). "Antibiotic treatment of children with sore throat". J Am Med Assoc. 294 (18): 2315–22. doi:10.1001/jama.294.18.2315. PMID 16278359. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-03-17. Diakses tanggal 2012-07-30. 
  20. ^ a b "UpToDate Inc". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-12-08. 
  21. ^ Stevens DL, Tanner MH, Winship J; et al. (1989). "Severe group A streptococcal infections associated with a toxic shock-like syndrome and scarlet fever toxin A". N. Engl. J. Med. 321 (1): 1–7. doi:10.1056/NEJM198907063210101. PMID 2659990. 
  22. ^ a b Hahn RG, Knox LM, Forman TA (2005). "Evaluation of poststreptococcal illness". Am Fam Physician. 71 (10): 1949–54. PMID 15926411.