Lompat ke isi

Hak koreksi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.[1] Hak koreksi digunakan ketika seseorang atau sekelompok orang merasa terdapat kekeliruan informasi yang menyangkut dirinya atau orang lain dalam pemberitaan media, baik media cetak, media elektronik, ataupun media siber.[1] Hak koreksi ini telah diatur oleh pemerintah dan Dewan Pers Indonesia dalam Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers.[1] Peraturan tentang hak koreksi ini dimuat dalam pasal 1, pasal 5, pasal 6, pasal 11, dan pasal 15.[2][3][4][5][6]

Ketentuan

[sunting | sunting sumber]

Selain telah diatur dalam undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers, hak koreksi juga merupakan bagian dari Kode etik jurnalistik yang harus dipatuhi oleh semua wartawan dan perusahaan media.[1] Berdasarkan pasal 5, sebuah pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.[3] Berdasarkan hal itu pula, pers dan wartawan wajib melayani hak koreksi dan hak jawab secara proporsional.[3][5]

Hak koreksi memilki fungsi sebagai kontrol sosial masyarakat dimana setiap orang dijamin haknya oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemantau media dan dewan pers dengan berbagai bentuk dan cara dengan adanya Hak jawab dan hak koreksi.[6]

Hak koreksi menjadi tugas dan peran pers nasional dalam memenuhi hak masyarakat terkait pemberitaan media.[1] Hak-hak tersebut diantaranya mencakup tentang hak masyarakat untuk mengetahui, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.[4]

Penanggungjawab

[sunting | sunting sumber]

Penanggungjawab terhadap pemberitaan yang merugikan pihak lain adalah bidang yang telah ditunjuk oleh pihak pers.[7][8] Kedua bidang tersebut adalah penanggung jawab bidang usaha dan penanggung jawab bidang redaksi.[7][8] Mekanisme pertanggungjawaban yang dilakukan oleh wartawan diambil alih oleh perusahaan pers yang diwakili oleh penanggung jawab itu.[7][8] Hal tersebut sesuai dengan Pasal 12 Undang-undang Pers yang mengatakan bahwa perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan.[7][8]

Hak jawab dan Hak Koreksi tersebut merupakan kewajiban koreksi para pelaku pers sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 13 UU Pers.[7][8] Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan. Kewajiban koreksi ini juga merupakan bentuk tanggung jawab pers atas berita yang dimuatnya.[7][8] Berdasarkan hal diatas, maka secara prinsip menyelesaikan sengketa di bidang pers yang berlaku adalah Undang-undang Pers.[7][8]

Mekanisme

[sunting | sunting sumber]

Mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers adalah dengan menggunakan pemenuhan secara sempurna pelayanan Hak jawab dan hak koreksi.[7][9] Hal ini dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara langsung kepada redaksi yang dalam hal ini mewakili perusahaan pers sebagai penanggungjawab bidang redaksi.[9]

Pelapor yang merasa dirugikan nama baiknya akibat pemberitaan itu harus memberikan data atau fakta yang dimaksudkan sebagai bukti bantahan atau sanggahan pemberitaan itu tidak benar.[9] Implementasi pelaksanaan Hak Jawab tersebut dapat dilihat pada Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode etik jurnalistik.[9] Dalam peraturan Dewan Pers tentang Kode etik jurnalistik yang telah diperbaharui, menyatakan bahwa wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.[9]

Selain itu, pelaksanaan hak jawab dan hak koreksi dapat dilakukan juga ke Dewan Pers.[9] Hal itu disebutkan dalam Undang-undang nomor 40 tahun 1999 pasal 15 ayat 2.[6][9] Salah satu fungsi Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.[9]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
  2. ^ Pasal 1 Bab 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
  3. ^ a b c Pasal 5 Bab 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
  4. ^ a b Pasal 6 Bab 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
  5. ^ a b Pasal 11 Bab 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
  6. ^ a b c Pasal 15 Bab 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
  7. ^ a b c d e f g h (Indonesia) Letezia Tobing. "Mekanisme Penyelesaian atas Pemberitaan Pers yang Merugikan". Hukum Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-04-04. Diakses tanggal 25-Februari-2015. 
  8. ^ a b c d e f g (Indonesia) Andri. "Apakah Pekerja Pers Bisa Dipidana dalam Membuat Berita?". Padang Ekpress. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-04-02. Diakses tanggal 25-Februari-2015. 
  9. ^ a b c d e f g h (Indonesia) Pandjaitan, Hinca I. P. (2004). "Panduan menggunakan hak jawab, hak koreksi, dan kewajiban koreksi bagi pembaca dan redaksi dalam menyelesaikan permasalahan akibat pemberitaan pers". Surabaya. Kerjasama Tim Ombudsman Jawa Pos Grup, Jawa Pos News Network (JPNN) dan Jawa Pos Press (JP Press).