Hak moral

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hak moral adalah hak seseorang untuk diakui ekspresi individunya sebagai perpanjangan dari kepribadiannya. Konsep ini berasal dari Yunani Kuno dan Romawi Kuno di bawah Kaisar Yustinianus I. Pada waktu itu, hak moral hanya meliputi right of attribution (hak atribusi) atau hak pencipta untuk diakui sebagai pencipta dari ciptaannya sendiri. Saat itu, plagiarisme menjadi perhatian besar di Romawi Kuno ketika tindakan tersebut diartikan sebagai the crime of stealing a human being (kejahatan pencurian insani). Berdasarkan definisi tersebut, dapat diketahui bahwa ciptaan seseorang sama halnya dengan eksistensi dan integritas pribadinya. Ide ini lantas ditanamkan ke dalam konsep hak moral yang memberikan kepada pencipta hak kontrol atas "nasib" kreativitas ciptaannya. Hak pencipta kemudian digunakan untuk melindungi kontribusi kreatifnya dari modifikasi hukum Romawi, sehingga para pencipta tersebut diberikan hak untuk menggugat seseorang yang membelokkan pesan kreatifnya dengan cara yang sebenarnya tidak diinginkannya.

Konsep[sunting | sunting sumber]

Konsep hak moral berasal dari sistem hukum Eropa Kontinental abad ke-19 sebagai respon terhadap karya filsuf Jerman, Immanuel Kant dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel maupun filsafat individualis dari Revolusi Prancis. Hukum di Prancis sendiri saat itu mulai melindungi investasi emosional para seniman terhadap karya­-karya seni mereka dengan cara melarang pemotongan karya-karya tersebut tanpa persetujuan dari seniman penciptanya. Negara-negara Eropa lainnya lantas mengikuti Prancis, bahkan beberapa negara Eropa melindungi dua tambahan hak moral, yaitu right of disclosure (hak penyingkapan), yang memungkinkan pencipta untuk menolak membuka atau menerbitkan karyanya ke publik sebelum dirinya merasa bahwa karyanya tersebut memuaskan serta right of withdrawal (hak penarikan kembali), yang memberikan hak kepada pencipta untuk menarik kembali karyanya dari publik, meskipun karyanya itu telah dijual.

Konsep ini mengakui bahwa suatu ciptaan eksis atau hidup lebih dari hanya sekadar memperoleh tempat di pasar secara ekonomi. Selain itu, konsep tersebut juga berpandangan jika dalam setiap ciptaan kreatif turut melekat kepribadian penciptanya dan ekspresi pribadi khas penciptanya, yang eksis atau hidup bersamaan dengan kepentingan ekonomi penciptanya. Unsur kepribadian yang melekat dalam suatu ciptaan ini bersifat abadi, berlangsung melebihi waktu penciptanya sendiri, dan seorang pencipta dapat menjual ciptaannya kepada masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan hak moral dianggap sebagai perpanjangan dari pribadi pencipta tersebut, sehingga penciptanya memiliki hak kontrol atas ciptaannya di kemudian hari, bukan karena alasan ekonomi, tetapi karena alasan kepentingan yang sangat pribadi.

Perbedaan pandangan[sunting | sunting sumber]

Hak moral merupakan manifestasi dari pengakuan manusia terhadap hasil karya orang lain yang bersifat non ekonomi. Hak tersebut hanya terdapat dalam hak desain industri dan hak cipta, yang melekat kepada penciptanya dan tidak bisa dialihkan seperti halnya hak ekonomi. Alison Firth dan Jeremy Phillips mendefinisikannya sebagai hak yang melindungi keutuhan reputasi pencipta, yang tidak dapatdijual atau dihilangkan oleh klaim perdagangan. Abdul Kadir Muhammad sendiri menguraikan perbedaan antara hak moral dan ekonomi, yaitu:

Hak moral adalah hak yang melindungi pribadi atau reputasi pencipta. Hak ini melekat dalam diri seorang pencipta. Apabila hak ekonomi dapat dialihkan kepada pihak lain, hak moral tidak dapat dipisahkan dari penciptanya karena bersifat pribadi dan kekal.

Perlindungan hak moral sesuai dengan pandangan authors rights (hak pencipta). Ada dua pandangan berbeda terkait dengan peran ciptaan dan pencipta dalam masyarakat, yaitu:

  • Pertama, pandangan hak pencipta yang menyatakan bahwa ciptaan adalah perpanjangan dari kepribadian pencipta yang menciptakannya. Ciptaan tersebut terus merefleksikan penciptanya, meskipun telah dijual dan dipublikasikan. Dikarenakan hubungan yang sangat dekat antara pencipta dan ciptaannya inilah para pencipta berhak untuk mendapatkan tidak hanya kompensasi finansial, tetapi juga hak kontrol terus-menerus berkaitan dengan penggunaan ciptaannya. Seorang penulis lagu misalnya, dapat menolak lagunya dimainkan dalam kampanye bagi seorang calon pejabat politik atau penulis sandiwara dapat menolak sandiwaranya dipentaskan oleh pihak tertentu. Ahli hukum Prancis, Bernard Edelman, menyatakan bahwa "since the work embodies the authors personality, harming it also attacks its creator". Pandangan ini menunjukkan bahwa kepentingan pencipta sangat kuat karena pencipta mempunyai hak untuk menulis kembali ciptaannya, menarik kembali ciptaan yang tidak lagi direkomendasikan oleh penciptanya (atau karena penciptanya malu dan tidak nyaman) dari peredarannya di masyarakat dengan tujuan untuk melindungi reputasi penciptanya.
  • Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada ciptaan tanpa masyarakat audience (penonton). Ciptaan merefleksikan dan menggerakkan budaya serta melekat secara kuat dalam di dalam masyarakat yang membesarkan dan mendidik penciptanya. Masyarakat tersebut memiliki kepentingan dalam "warisannya" dan dapat menuntut kepentingannya yang berhadapan atau bersaing dengan kepentingan pencipta. Nilai ciptaan timbul dari kemampuannya untuk menginspirasikan, menginformasikan, menghibur, dan menjelaskan kepada masyarakat. Pencipta berhak untuk mendapatkan hak-hak dari ciptaannya tidak hanya karena kepentingan dirinya sendiri, tetapi karena pencipta mengembangkan budaya yang menjadi bagian dirinya. Seorang pencipta diberikan hak­ untuk meningkatkan kepentingan publik, tetapi jika tidak diberikan akan membatasinya. Tujuan hukum tertinggi konsep ini adalah meningkatkan kepentingan masyarakat; kompensasi dan royalti hanya diberikan kepada pencipta apabila pemberian itu akan mendukung tercapainya tujuan tersebut. Hal inilah yang menyebabkan harus ada keseimbangan antara hak-hak pencipta dan hak-hak masyarakat. Pencipta membutuhkan hak-hak agar rasa takut terhadap pembajakan tidak menurunkan minatnya untuk membuat ciptaan baru, tetapi hak-hak pencipta tersebut tunduk kepada pembatasan-pembatasan, seperti fair use, lisensi wajib, dan lain sebagainya. Hak-hak pencipta harus mempunyai jangka waktu yang cukup untuk menjamin pencipta mendapatkan kompensasi, tetapi jangka waktu tersebut tidak boleh menyebabkan masyarakat kehilangan kemanfaatan atas akses mereka kepada ciptaan tersebut.